july ╎ 4th.
[Full name] berjalan memasuki kelas. Tak seperti murid lain yang biasanya sembari bersapa hangat. Gadis itu langsung berjalan lurus begitu saja ke kursinya di baris jendela.
Kala ia lihat satu sosok yang duduk di belakang kursinya itu ternyata sudah tiba, [name] pindahkan tas nya ke dada. Lalu membuka resletingnya.
"Nih. Sweater dan celanamu yang sudah bersih dari detergen haram milikku," gadis itu menaruh kantung plastik berisi hal yang disebut ke atas meja si pemuda. Di akhir ia menyirnyir, "dasar sok suci."
Tsukishima Kei yang dimaksud itu meraih plastik lalu mengintipi isinya. Pemuda itu mengendus, mendeteksi harum pakaian itu apakah sama dengan detergen yang telah disediakannya atau tidak. Sementara si gadis mendudukan diri di kursinya.
"Bagus. Kalau begini kebaikan juga akan selalu menyertaiku tanpa adanya bahan haram," Tsukishima itu berucap. [Name] mencemooh.
Gadis itu mengeluarkan barang lain, "sekalian topi sama sendalnya. Aku gak mau barang dari orang sok suci ini ada di rumahku."
"Dasar setan," hina Tsukishima. Ikut meraih kedua benda itu dari atas mejanya.
"Kamu yang setan. Kamu melakukan ini padaku itu termasuk pelecehan nama baik tau," balas [name].
Iya. Jadi beberapa minggu yang lalu [full name] seharusnya sudah mengembalikan pakaian milik Tsukishima. Tapi pemuda itu menolak dengan alasan baju barunya tidak mau terdapat detergen haram milik [name]. Akhirnya Tsukishima mengembalikannya lagi untuk dicuci kembali dengan detergen yang dibeli pemuda itu sendiri.
Gadis itu tau bahwa laki-laki ini memang menyebalkan. Tapi ia gak nyangka Tsukishima Kei itu sangat menyebalkan.
"Pft, pencopet jadi korban pelecehan nama baik? Orang mana ada yang mau percaya," ucap Tsukishima itu. Membalas perkataan [name] sebelumnya.
Merasa sebal laki-laki ini selalu saja melecehkannya. [Full name] putar badannya menghadap depan setelah ia melemparkan decihan.
Kedua remaja itu terdiam di kursinya masing-masing kini. Padahal kalau dilihat, keadaan kelas pagi ini cukup ramai dengan murid yang saling berbincang akrab. Tapi dua kursi belakang itu hanya saling duduk tegap.
Sampai bel masuk berbunyi dan seorang guru pun datang.
"Cepat buat kelompok yang terdiri dari empat orang. Kita akan lakukan praktikum golongan darah. Perwakilan kelompok, segera datangi saya untuk ambil alat dan bahan."
Guru itu tiba-tiba datang. Dan tiba-tiba pula memberikan tugas. Membuat murid yang mendapatkan hal itu serempak langsung bergerak cepat; mencari tim kelompok.
[Full name] bercelinguk menatapi murid-murid kelasnya yang sedang sibuk sendiri itu. Sementara Tsukishima Kei hanya merunduk menatap bukunya dengan tenang.
"Baik, tersisa satu pasang alat dan bahan yang belum terambil. Siapa yang belum membuat kelompok?" Guru itu bertanya lagi setelah sekian lama sibuk membagikan peralatan pada murid-murid yang menghampirinya.
Empat orang pas mengangkat tangannya. Memang pembagian kelompok empat orang ini dibuat untuk tidak ada sisa atau bilangan ganjil lain. Tapi guru itu juga tidak menyangka bahwa sisa-nya juga tidak sigap untuk membentuk kelompok.
"Nah, yasudah. Kalian berempat berarti satu kelompok," putus guru itu menatap bergantian dua orang di baris jendela, satu di baris tengah, dan satu lain di paris pojok.
Keempat orang itu menerimanya dengan pasrah.
[Full name] membuang nafasnya kala mengetahui bahwa ia akan satu kelompok dengan manusia menyebalkan di belakangnya. Gadis itu dengan ogah menoleh, tapi baru menatap sedetik wajah Tsukishima, laki-laki itu langsung menggerakan dagu. Menyuruh [name] untuk mengambil alat dan bahan ke depan kelas.
Gadis itu membuang nafas kasar.
"Pak guru bilang kita cuman butuh dua sampel darah berbeda buat nyusun kesimpulan laporannya nanti," [name] memberikan lancet, satu kartu golongan darah, dan kapas pada dua perempuan lain dalam kelompoknya. "Aku mohon kerjasamanya. Sampel akan diambil satu dariku dan satunya lagi dari salah satu dari kalian berdua."
Tsukishima Kei hanya menatap [name] yang sedang berlagak seperti ketua kelompok. Diperhatikan seperti itu, tentu saja si gadis menoleh, "apa?" Tanyanya judes. "Kamu nanti nulis hasil laporannya aja."
Dengan itu, [full name] langsung mengambil botol alkohol dan menuangkannya di kapas. Di sterilkan lebih dulu ujung jari telunjuknya dengan bahan itu.
Tsukishima Kei memerhatikan.
Kala sang gadis telah mengganti jarum lancet dengan yang baru dan siap menusukan jarinya, Tsukishima dapati tangan gadis itu gemetar. Dengan mata terpejam.
"Lancet itu gak akan nusuk kalo cuman didiamkan loh?" celetuknya, refleks mengembangkan senyum meledek melihat gadis itu.
"Aku memang belum menekannya kok!" Sungut [name] yang langsung membuka mata.
Tsukishima hanya mendehem sarkas. Dilihatnya lagi gadis itu menyiapkan ujung lancet ke ujung jarinya. Lagi. Tangan gadis itu gemetar kala perlahan jari kanannya mendekati tombol tusuk.
"Lama banget."
Ctak!
[Name] terlonjak kaget, "kaget tau!" Itu katanya, tapi lancet yang sudah tertembak tadi itu belum menancap di jarinya.
Tsukishima tersenyum puas mendapati reaksi gadis yang duduk di sampingnya tersebut. Sebelum ia jadi mengernyit heran saat [name] memberinya lancet.
"Kamu gak berani, ya?" Tebak pemuda itu mengejek. "Trus aku yang jadi sampelnya nih? Beneran jarumnya belum menusuk? Aku gak mau ketular darah kotorm--"
"Bacot." Potong [name]. Dia memberikan jari tangannya, "tusuk."
Tsukishima mendengus sebal. Ia ambil lancet itu. Begitu ujung lancet kembali di arahkan ke ujung jari [name], gadis itu kembali menutup mata. Dan tangannya kembali bergetar kecil.
"Bisa diem gak sih? Kalo kamu tegang justru malah sakit," komentar pemuda itu. Langsung memegang pergelangan tangan [name] agar tak bergerak, "lemesin."
Ctak!
[Name] agak meringis. Ujung jarinya pun akhirnya mengeluarkan darah. Langsung di bawa tangan itu oleh Tsukishima ke kertas uji. Diteteskannya ke empat kotak berbeda selagi tangan yang lain menuangkan alkohol ke kapas.
"Udahan meremnya. Udah selesai, nih," kata Tsukishima seraya menempelkan kapas basah itu ke ujung jari [name]. "Pegang. Dasar penakut. Dikejar orang berani, disuntik jarum takut."
[Name] yang membuka matanya langsung mendecih mendengar dirinya kembali diejek Tsukishima. Dia menatap ujung jari yang tertutupi kapas putih itu. Sebelum maniknya berpindah pada Tsukishima yang sibuk menuangkan serum ke atas darah.
"Sama-sama."
[Full name] terlonjak kaget. Ia tatap lagi empunya suara berat itu. Tsukishima Kei kini sedang menoleh ke arahnya, dengan seringai ejekan yang masih terpasang.
Padahal tadi [name] hanya menggumamkan kecil kalimat terimakasih. Apakah pemuda itu mendengarnya?
.
.
.
↓continue↓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro