july ╎ 17th.
kei's view;
Huh. Padahal sudah sepanjang hari ini awan mendung dari awal, tapi hujan baru turun menjelang kelas bubar. Walau memang biasanya hujan turun jam segini, sih.
Lalu, tau apa yang paling menyebalkan sekarang?
Payungku di loker klub voli hilang.
Aku sangat yakin kemarin menyimpannya di sini setelah selesai urusan klub. Aku sengaja tidak memindahkan ke loker kelasku karena pada saat latihan lah hujan biasanya turun. Aku malas harus kembali ke kelas untuk mengambil payung, jadi biar sekalian langsung pulang. Tapi sekarang hilang.
Wah, yakin sekali sih ini pasti antara dua kebodohan itu yang mengambilnya. Siapa lagi yang punya kunci ruang klub selain kapten dan wakil kapten?
Pantas ruang klub tidak terkunci saat aku memasukinya. Ah, benar-benar, deh. Tapi ke mana pun mereka bawa payungku, aku tetap membutuhkannya sekarang juga. Mengingat hari ini klub sedang tidak ada latihan, aku jadi ingin cepat pulang.
Tapi memang dasar dua kesialan itu.
Harusnya tadi aku tidak menyuruh Yamaguchi pulang duluan. Dia kulihat tadi membawa payung.
Kalau sudah begini ya bagaimana. Tunggu hujan mereda, atau tunggu kebodohan itu kembali. Tapi opsi kedua lebih tidak terjamin. Bisa aja mereka bawa payungku untuk pulang. Jadi aku terpaksa pilih opsi pertama, dan menunggunya di ruang loker sepatu sambil mendengarkan musik dari headphone-ku.
Terbawa suasana, aku mengerjap saat ada seseorang yang memukul punggungku.
"Kalo ngomong sama kamu pasti deh gak cukup sekali. Tuli banget, ya?"
Itu kalimat yang langsung aku dengar saat sudah menurunkan headphone-ku. Seperti biasa. Yang selalu keluar dari mulut orang ini pasti sebuah ejekan. Lihat, sejujurnya dia lah yang selalu memulai lebih dulu.
"Apasih? Kamu ngomong sama siapa?" Balasku. Balik mencoba membuatnya sebal.
Tapi entah kenapa semenjak belakangan ini, kalau aku balas kalimat ejekannya, pipinya selalu terlihat berwarna merah sambil memalingkan muka. Seperti sekarang.
Dari belakangku, dia lalu berpindah ke sampingku. Tas ranselnya sedang dia pindahkan ke depan. Dari samping sini aku bisa lihat samar perubahan warna di pipinya. Mulutnya merapal, entah mengucap apa karena suara hujan jauh lebih kontras.
"Kamu gak pulang?"
Dia tiba-tiba bertanya lagi.
Astaga. Entah kenapa aku merasa aneh kalau ia malah mengeluarkan kalimat normal dan bukan ejekan.
"Gak."
Karena aku jadinya hanya bisa menjawab seadanya. Bukan sindiran lain untuk membalasnya. Gak seru.
"Gak bawa payung?"
"Gak."
Percakapan kita berakhir. Dia juga jadi terdiam di sampingku. Merasa gak nyaman karena kami jadi canggung, aku coba menyambung obrolan lagi.
"Payungku hilang. Entahlah dicuri siapa," ucapku kembali membawa aksen sindiran. Dan untungnya dia jadi terpancing.
"Apa? Kamu nuduh aku?"
Menyukai responnya, aku menoleh ke arahnya sambil membuat senyum puas, "karena pencuri yang aku kenal itu cuman kamu."
Tapi pipinya lagi-lagi memerah. Huh, kenapa, sih?
"Enak aja main nuduh. Dibilang, aku nyuri juga pilih-pilih!" Balasnya, kembali memalingkan wajah.
Masih merasa aneh dengan perubahannya, aku tatapi [full name] itu yang sedang merogoh isi tasnya. Lalu tepat saat ia menoleh lagi padaku, aku langsung memalingkan wajah.
Gila. Kenapa jadi sekaget ini?
Mencoba cuek sambil menatapi langit yang sedang turun hujan, aku merasa dia masih melihat ke arahku. Merasa saja. Bukan kegeeran, ya.
"Nih."
Aku menoleh langsung kala ia bersuara lagi. Ternyata tangannya sedang menyodorkan payung.
"Payungku bukan seperti ini, tuh?"
"Kamu masih aja nuduh aku nyuri, ya," dia mengerling sebal. "Ambil aja. Aku lagi jadi malaikat, nih."
Sungguh. Aku merasa dia makin aneh belakangan ini. Mana mungkin, kan, cewek se-setan dia jadi baik gini sekarang? Kecuali mungkin ia punya rencana licik lain.
"Cepat ambil. Aku gak sudi punya hutang terimakasih lama-lama sama kamu."
Hah. Jadi bisa balas terimakasih juga dia?
Masih merasa ragu, aku ambil payung dari tangannya itu. Tapi masih merasa ada yang aneh, aku perhatikan dia.
"Kamu mau hujan-hujanan?" Tanyaku akhirnya saat melihat ia bersiap dengan tas di atas kepalanya.
"Udah pakai aja. Gak usah sok khawatir."
"Siapa yang khawatir? Kamu kali yang sok baik pakai berkorban gini segala," aku tersenyum meledek, membalikkan lagi ejekannya.
"Denger, ya. Dibilang, aku gak mau punya hutang sama kamu. Ngaca dong, siapa yang duluan jadi sok baik?"
Hah. Masih sangsi aku kalau dia ternyata bisa balas terimakasih.
Selepas berbicara seperti itu, dia langsung berlalu dari sampingku; kini berjalan mendekat ke sisian untuk bersiap menerobos.
Namun sebelum tubuhnya dikeroyoki hujan yang turun, tanganku telah lebih dulu meraih kerah lehernya.
"Apasih? Kamu mau aku kepeleset, ya?" Omelnya, berbalik ke arahku.
Aku terdiam sejenak.
"Bareng aja."
Dia terbengong. Dan aku juga merasa kalimatku tadi terlalu jelek untuk disampaikan pada cewek macam dia.
"Aku gak mau bawa barang haram ke rumah," aku menyambung dengan alasan asal.
"Hah?" Dia menekuk alis, lalu mendecih. "Udah dibaikin tapi masih aja sok suci."
Aku melepas genggaman pada kerahnya. [Full name] itu langsung saja bertolak pinggang.
"Terus kalau bareng, aku yang nganter kamu gitu ke rumah?" Tanyanya.
Agak gak elit, sih.
"Iya, lah."
Dia mendecih, "harusnya cowok tau yang nganterin cewek?" gumamnya samar, tapi masih bisa kudengar.
Lalu aku sodorkan kembali payungnya, "kamu yang pegang. Nanti tanganku ternodai."
Dia mengambilnya dengan kasar, "sok suci." Hinanya padaku.
[Full name] langsung saja membuka payung. Aku dengan agak ragu juga langsung masuk ke dalam payungnya tapi...
"Pegangnya tinggian lagi, dong. Bukannya tukang curi itu tangannya panjang?"
Cewek itu mendesah, mengangkat tinggi-tinggi tangannya, "bawel banget sih. Berat juga tau, mana banyak angin." Ucapnya. Jadi memegang payung itu dengan kedua tangannya.
Kami baru akan mulai berjalan. Tapi melihat dirinya yang kerepotan, entah kenapa tanganku jadi bergerak.
"Kerdil banget sih. Kepalaku kepentok terus," keluhku, meraih gagang atas payung untuk aku ambil alih.
"Kamu aja yang ketinggian!"
Dengan begitu, kami pun mulai jalan menerobos hujan. Tapi baru saja beberapa langkah, [full name] sudah makin merapat padaku.
"Geseran, dong, payungnya. Bahuku basah, nih!"
Aku ikuti permintaannya kali ini dan membiarkan bahuku saja yang basah. Besok ketika liburan musim panas juga puas aku tidak bertemu dengan cewek menyebalkan seperti ini.
"Oh ya, kamu liburan mau nargetin nyopet di kota mana?" Tanyaku iseng. Dia mendengus.
"Apa? Kamu mau nguntit aku lagi, hah?" Katanya jutek.
Aku sunggingkan senyum mengejek sambil menatapi tubuh pendeknya walau ia tidak menatap padaku, "pede banget." Balasku, menoyor pelan kepalanya dengan jari telunjuk. "Mau tau aja, kalo-kalo ada berita penangkapan pencuri aku jadi bisa tebak itu kamu atau bukan buat diketawain."
Dia kini mendecih, "aku gak akan ketangkep."
"Hoo? Masa? Trus kalo aku yang sengaja laporin?"
"Kamu mau laporin aku? Hmph, silakan aja."
Aku masih menatapi tubuh kecilnya di sampingku. Tapi kini tanpa sebuah ekspresi. Dia yang menghadap lurus pun sama.
Tak ada percakapan lagi dari kami selama beberapa saat.
Hingga berikutnya aku meluruskan kembali atensi, "daripada laporin, aku lebih suka nangkep kamu pake tangan aku sendiri. Kan kayak pahlawan."
[Full name] terkekeh sinis, "lucu. Trus? Kenapa kamu gak nyeret aku ke kantor polisi sampai sekarang?" Tanyanya. Aku jadi menoleh lagi ke arahnya, dan ternyata dia kini menolehkan kepalanya padaku juga.
Atensi kami beradu.
Aku menyungging seringai. Salah satu tanganku yang menganggur aku gerakan; melingkari pinggangnya.
"Jadi kamu mau aku bawa ke kantor polisi sekarang juga?" Tawarku. Merengkuh erat agar ia tidak kabur.
Sesuai dugaan.
Pipinya memerah. Hehe.
Berikutnya dia mendengus keras, menghempaskan lenganku yang melingkar di pinggangnya, lalu merampas payungnya yang aku pegang dan membawanya pergi.
Hei, aku ditinggal di tengah hujan?
.
.
.
↓continue↓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro