Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mei : Day 3

"IORI, BERHENTI!!!"

Sang empunya nama tak mengindahkan seruan tersebut dan memilih mempercepat laju larinya untuk menghindari 3 makhluk aneh yang tidak kenal lelah untuk mengejarnya sejak bel pulang dibunyikan.

Berhenti? Jangan konyol. Jika ia berhenti sekarang, mungkin dirinya hanya tinggal nama saja nanti.

Semua ini gara-gara Tamaki. Kalau saja teman semasa SMPnya itu tidak ember dengan mengatakan bahwa dirinya pernah mengikuti lomba menyanyi, mungkin Rika yang memang sedang mencari vocalis untuk band tidak jelasnya tidak mungkin mengejar dirinya hingga ke ujung perempatan seperti ini.

"IORI, BERHENTI!! KALAU KAU TIDAK BERHENTI JUGA, AKU AKAN BERTERIAK!!!"

BODO AMAT

Gak nyadar apa tuh cewek dari tadi juga udah teriak-teriak sampe bikin telinga Iori mimisan mendengarnya.

"Dosa apa yang kuperbuat di masa lalu hingga aku harus berurusan dengan gadis aneh itu?" gumam Iori nelangsa.

Mungkin, bisa saja dosa Iori di masa lalu sangatlah besar. Seperti membunuh kakaknya sendiri, menjadi buronan karena memburu gurita yang bisa nge-rap, hingga berniat menghancurkan satu desa demi membalaskan dendamnya. //gagituwoyy

"Andai saja sharingan itu benar-benar ada, mungkin aku bisa langsung sampai di rumah dengan menggunakan kamui." Iori mulai berkhayal di tengah kegiatan melarikan dirinya.

'Bruk'

Sejenak Iori berhenti dan menoleh begitu terdengar suara 'gedebuk' disusul dengan teriakan yang menyayat hati menyapa indra pendengarnya.

Ah, ternyata di belakang sana Rika, Tamaki, dan Souko sedang merintih kesakitan karena menabrak gerobak cilok yang melintas di depan mereka.

'Lebok sia'

Iori tertawa puas dalam hati. Iya, dalam hati aja. Iori itu orang yang gak suka pamer soalnya.

Memanfaatkan kesempatan yang ada, Iori lantas kembali berlari sekuat tenaga hingga menghilang di balik tikungan karena ia memilih naik ojek saja biar cepat sampai di rumah.

"Ke Jl. Kehidupan ya, bang." ucap Iori pada si abang tukang ojek yang hanya bisa melongo mendengar tujuan penumpangnya tersebut.

Tapi yasudahlah, apapun nama jalannya, yang penting ujungnya jadian. Eh?

"Berangkaaaaaatt."

.
.
.
.
.

"Duh, kita kehilangan jejak Iori deh." Rika menghela napas lelah. "Ini semua gara-gara Tamaki, nih."

"Lho? Kok aku?" Tamaki memandang gadis berambut merah itu tidak mengerti.

"Yaiyalah, kalau kau tidak jajan cilok dulu, kita tidak mungkin kehilangan jejak Iori."

Tamaki hanya bisa cengengesan mendengar kalimat teman sekelasnya itu. Iya sih, tadi waktu nabrak abang tukang cilok, Tamaki jadi ngiler dan berakhir dengan dirinya yang habis cilok tiga porsi. Tapi kenapa Rika marah begitu? Wong tadi dia ikutan makan juga kok. Tamaki yang traktir, lagi. Meski pake duwit Shouko, sih.

"Yaudah, biar tau keberadaan Iorin dimana, kita tanya peta aja."

'Pletak'

"Kau pikir Doraemon, hah?"

"Kok doraemon sih, Rik?"

"Tau nih, Ri-chan. Yang bener itu Spongebob."

"Bukan, Tamaki-kun. Peta itu seekor bajing yang ada di upin-ipin the movie."

Ah, ga ada yang bener nih.

"Susah sekali sih membujuk Iori supaya mau masuk klub kita?" Rika menggembungkan pipinya kesal, lalu ia menoleh pada Tamaki yang berjongkok di sampingnya. "Tamaki, apa Iori tidak punya kelemahan untuk kita jadikan senjata?"

Tamaki menghentikan sejenak kegiatan menghitung semutnya dan memasang pose seolah tengah berpikir. "Kurasa tidak ada. Iorin itu perfect. Dari kelas 1SMP juara satu terus."

Kamu juga juara 1 terus lho, Tam. Iya, juara 1 dari belakang.

"Mau bagaimana lagi, membujuk Iori itu susah. Gak kayak Tamaki-kun yang dibujuk sama pudding gope-an aja langsung mau."

Tamaki yang mendengar hal itu hanya bisa merengut. "Maap deh kalo aku murahan."

"Aku gak bilang Tamaki-kun murahan, lho." Souko tersenyum manis.

'Bibirmu memang tidak mengatakan hal itu, namun raut wajahmu menjelaskan semuanya' batin Tamaki.

"Tam, kamu tau alamat rumah Iori gak?" tanya Rika pada Tamaki.

"Aku cuma tau alamat rumah lamanya. Gak tau deh dia masih tinggal di sana apa ngga sejak pindah sekolah dulu."

"Yaudah, kasih aku alamat rumahnya."

Tamaki segera membuka tasnya untuk mengambil buku dan pulpen.

"Kamu mau ngapain, Rik?" Souko memandang kedua temannya tidak mengerti.

"Mau kirim santed ke rumahnya." jawab Rika asal.

"Nih." Tamaki menyerahkan selembar kertas berisi alamat rumah Iori. "Tapi aku gak bisa ikut. Aku harus jemput Aya di sekolahnya."

"Aku juga."

"Kau juga mau jemput Aya, Sou?" tanya Rika dengan sebelah alis terangkat.

Souko menggeleng. "Aku mau ke MeatReal. Persedian sausku hampir habis."

'Uced dah. Sou-chan mau beli saos apa cat tembok? Kok belinya di Matrial begindang' Tamaki kembali membatin.

"Yasudah. Aku pergi sendiri saja. Jja na." Rika segera berlari meninggalkan kedua temannya setelah mengantongi alamat rumah Iori.

"Apa dia akan baik-baik saja." Tamaki memandang Rika yang semakin menjauh dengan tatapan cemas.

Souko menggendikkan bahunya. "Kau seperti tidak mengenal Rika saja. Gunung akan dia sebrangi, lautan akan dia daki demi mencapai tujuannya."

"Eh? Gak kebalik tuh, Sou-chan?"

.
.
.
.
.

Rika membaca tulisan ceker ayam Tamaki, kemudian ia mendongak untuk mengamati bangunan berlantai dua yang merupakan tempat tinggal target pencariannya tersebut.

"Ini rumahnya, ya?" gumam Rika sebelum gadis itu memencet bel untuk memancing si pemilik rumah keluar. "Permisi. Assalamu'alaikum..."

Beberapa saat Rika menunggu, hingga keluarlah makhluk pendek berwarna jingga dari balik pintu dengan celemek menempel di tubuh kecilnya

"Wa'alaikumsalam. Maaf, cari siapa ya?" tanyanya ramah.

Ah, ini pasti Izumi Mitsuki. Kakak laki-laki Iori. Untung saja Tamaki memberitahunya bahwa Iori punya kakak laki-laki yang memiliki tinggi di bawah rata-rata, jadi Rika tidak akan salah mengira bahwa Mitsuki ini adalah adik Iori. Soalnya Tamaki bilang, Mitsuki ini suka ngamuk jika ada yang mengira bahwa dirinya ini adik Iori.

"Maaf, apakah benar ini rumah Izumi Iori?" tanya Rika dengan memasang wajah anak baiknya.

Kakak Iori yang pendek itu mengangguk. "Benar."

"Apakah Iorinya ada?" tanya Rika lagi.

"Iori sudah berangkat ke tempat lesnya." jawab Mitsuki. "Tapi kalau kau mau, tunggu saja di dalam. Sebentar lagi pasti Iori juga pulang."

"A-apakah boleh?" Rika menatap Mitsuki ragu, padahal kakinya sudah sangat gatal untuk memasuki rumah Iori tersebut.

Mitsuki tertawa, "Tentu saja boleh. Kau teman sekelas Iori, kan?"

Rika tersenyum lebar, kemudian gadis itu mengangguk semangat. "Benar, Kak. Sebenarnya aku kesini untuk mengerjakan tugas kelompok kami. Tapi karena ada jadwal piket, aku jadi terlambat datang." ucap Rika penuh dusta.

Mitsuki tidak tahu saja, bahwa adiknya itu sedang dalam pengejaran ilegal gadis yang kini dia izinkan masuk ke dalam rumah. Oh.. berdoalah, Iori. Semoga Rika tidak menemukan kelemahan sekaligus aibmu didalam sana.

.
.
.
.
.
.
.

"Aku pulang."

Iori menutup pintu dan mengernyit begitu mendapati sepasang sepatu perempuan tergeletak manis di dekat rak sepatu.

'Sepatu siapa?' Tanyanya dalam hati. Tidak mungkin ini milik Ibunya, karena sekarang sang Ibu masih berada di Toko mereka.

Punya Nii-san?

Lebih tidak mungkin lagi. Meski ukuran sepatunya sama, tapi Kakaknya itu lebih suka memakai sendal gunung, sendal jepit dan juga bakiak.

Iori segera mengganti sepatu dengan sandal rumah, kemudian ia berjalan ke arah dapur karena mencium aroma masakan yang ia yakini bahwa sang Kakak sedang memasak untuk makan malam.

"Nii-san, apakah ada tamu yang datang?"

"Tamu?" Mitsuki tampak berpikir, lalu sesaat kemudian ia menjentikkan jarinya. "Ah, Iya. Ada temanmu yang datang."

"Teman?"

Mitsuki mengangguk. "Bukankah kalian mau mengerjakan tugas kelompok di sini?"

Teman?

Tugas kelompok?

"A-apakah dia perempuan?" tanya Iori hati-hati.

Mitsuki mengangguk.

Perasaan Iori mulai tidak enak. Hanya ada satu orang yang menari-nari di dalam kepalanya saat ini.

"R-rambutnya merah?"

Mitsuki mengangguk lagi.

Tuh, kan ...

"Di mana dia sekarang?" tanya Iori cepat.

Mitsuki menunjuk ke lantai atas. "Tadi dia izin ke toilet, tapi kamar mandi bawah kan sedang rusak, jadi aku menyuruhnya untuk menggunakan kamar mandimu di atas."

"APA?!" Iori memandang Mitsuki shock. "Kenapa Nii-san menyuruhnya menggunakan kamar mandi di kamarku bukan di kamar Nii-san saja?!"

"Kan dia temanmu, bukan temanku." jawab Mitsuki enteng. "Tapi sampai sekarang dia belum turun juga. Apa dia tersesat? Tapi itu tidak mungkin karena rumah kita tidak begitu be-... eh? Iori?" Mitsuki celingak celinguk karena Iori sudah menghilang entah ke mana.

"Kakaknya sedang ngomong malah ditinggal. Dasar tidak sopan." Mitsuki mendengus sebal sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

.
.
.
.
.
.

'Brak'

Pintuk itu terbuka lebar, menampilkan sosok Iori yang berdiri dengan napas terengah.

"KAU?!" Iori menunjuk seonggok makhluk astral berambut merah yang kini berdiri dengan senyum lebarnya.

"Okaeri, Iori."

"A-apa yang kau lakukan di kamarku?!"

"Apa ya?" Rika meletakkan jarinya di bawah dagu sebelum menatap Iori jahil. "Menurutmu apa?"

"Keluar."

"Kalau aku tidak mau? Kau akan teriak?"

"Apa maumu?"

"Kau tau apa mauku." Rika menaik-turunkan alisnya.

Iori mendengus. "Jika aku harus bergabung dengan klub anehmu itu, lupakan saja."

"Benarkah?" Rika terlihat mengotak-atik ponselnya sebelum menunjukkan foto yang berhasil membuat Iori ingin masuk ke dalam mugen tsukuyomi saat itu juga.

"Bagaimana jika aku mencetak ini, lalu aku tempel di mading sekolah? Wahhh, kau bisa langsung terkenal tuh."

Iori mulai panas dingin. Bagaimana gadis aneh itu bisa mendapatkan foto ketika ia mengikuti pentas drama waktu SMP?

Syaland. Kenapa juga Iori masih menyimpan foto itu di kamarnya?! Dan kenapa juga ia menerima peran nista itu ketika SMP dulu? Ah sudahlah, terlalu banyak kata 'kenapa' di dalam otak cerdas Iori sekarang.

Gawat. Kalau sampai gadis itu benar-benar menyebarkannya di sekolah, masa-masa SMA yang seharusnya berwarna mawar akan berubah warna menjadi polkadot. Mau ditaruh dimana wajah gantengnya ini? Di kardus?!

"Bagaimana?" Rika menatap Iori yang terlihat frustasi dengan senyum cerahnya.

Lama Iori terdiam, hingga laki-laki itu menghela napas sebelum mengangguk pasrah, membuat Rika memekik senang karena Iori mengiyakan ajakannya.

Rajungan!

Saus tar-tar!

Pada akhirnya, ia tetap tidak bisa lepas dari jeratan setan merah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro