Bab 4 - Jatuh Cinta Diam-diam
Halooo wahh besok udah senin 😂😂 malem ini kita ditemenin sama Kiara,Kahfi sama Adrian yaaa. Dimasnya masih bobo 😶😶😶
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys 😄😉
☁☁☁
Kiara telah resmi menjadi sekretaris OSIS, tugasnya memang banyak. Dari yang awalnya termasuk murid yang paling tidak sibu menjadi murid yang paling sibuk. Hampir setiap minggu mengadakan rapat. Acara pertama berjalan lancar berkat bantuan dari kakak-kakak kelas yang meski sudah lepas jabatan tetap membantu.
Sejak masuk menjadi pengurus OSIS, Kiara jadi semakin dekat dengan Kahfi, tapi jelas itu karena acara saja. Setelah lebih dari satu bulan pasca turunnya Kahfi dari posisi ketua OSIS, anak-anak sempat dihebohkan gosip putusnya Kahfi dengan Marsya yang memang sangat di kenal di SMA ini. Lebih-lebih karena gosipnya Marsya selingkuh dengan teman satu angkatan cowok itu. Gila, Kiara benar-benar kesal saat mendengar berita itu.
Apa kurangnya Kahfi sampai diselingkuhi. Padahal cowok yang katanya selingkuhan itu tidak ada apa-apanya. Benar-benar tidak bersyukur. Di sini ada dirinya yang selalu mendoakan kebahagiaan Kahfi dan sisi lain ada cewek yang menyia-nyiakan kebaikan Kahfi.
Parahnya lagi satu minggu setelah berita besar itu, mereka kembali dihebohkan dengan berita kecelakaan ayah Kahfi yang termasuk donatur sekolah ini. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kehidupan cowok itu seperti kacau sekarang.
Kiara duduk di kursi depan kelas, setelah mendengar berita kecelakaan itu, entah bagaimana caranya dia bisa menangis. Oh bahkan dia sama sekali tidak mengenal ayah Kahfi. Ternyata perasaannya sudah sedalam ini.
"Lo kenapa?" tanya Adrian. Bicara tentang Adrian. Intensitas bicara antara Kiara dengan cowok itu jadi meningkat. Mereka sering ngobrol bareng, bahkan tidak jarang Adrian mengajak Kiara makan di kantin.
Kiara menggelengkan kepalanya, dia langsung mengusap pipinya sendiri. "Lo belum balik?"
"Masih ada kegiatan," jawab Adrian.
"Oh," jawab Kiara.
Adrian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Nggak usah sedih, bokapnya kan udah baik-baik aja. Masalah Marsya, Kahfi bego kalo masih mau sama dia."
"Hah?" tanya Kiara kaget.
Adrian tersenyum miring. "Lo sesuka itu ya sama dia?" tanyanya. "Gue nggak pernah liat ada cewek sebego lo. Suka tapi diem aja, nggak ada usaha sama sekali. Milih ngeliat dari jauh, nangis sendirian."
"Jahat," keluh Kiara.
Adrian tertawa kecil lalu menghela napas panjang. "Fakta."
"Gue emang sebego itu ya? penakut," gumam Kiara.
"Tapi lo bisa setulus itu," kata Adrian pelan. "Dan itu point bagusnya Ra." Dia berdiri dan menunjuk taman belakang. "Dia tadi ke sana kalau lo mau liat."
Kiara terdiam, dia mengangguk dan langsung menuju taman belakang untuk melihat Kahfi. Melihat keadaan cowok itu. Kemarin setelah mendapat kabar kurang menyenangkan itu, Kahfi langsung pamit untuk pulang. Kiara jadi tidak sempat melihat cowok itu.
Dari balik dinding pemisah Kiara bisa melihat Kahfi sedang duduk menatap ke depan, entah fokusnya sedang berada dimana. Terlihat wajah sedih yang tidak pernah Kiara suka. Lagi, rasanya dia ikut bersedih. Bagaimana dia bisa memberi dukungan jika mendekat saja tidak berani.
Kiara duduk di lantai dekat dinding itu. Melihat dari kejauhan. Cowok itu membutuhkan waktunya sendiri. Inilah caranya menemani Kahfi, ditemani senja yang begitu manis, keduanya sama-sama diam dengan kesedihan masing-masing.
☁️☁️☁️
Kiara sibuk menumpuk buku-buku yang akan diserahkan untuk amal. Acara yang juga termasuk agenda OSIS rutin. Di sampingnya ada Sasya yang mencatat jumlah buku.
"Kira-kira cukup nggak ya?" tanya Renald.
"Cukup menurut gue," jawab Dika.
"Kalo menurut lo Ra?" tanya Renald.
Kiara mengangguk setuju dengan Dika. "Cukup, kan rumah baca baru. Jadi sedikit-sedikit dulu, nanti pasti banyak."
"Iya sih," gumam Renald. Dia mengetuk-ngetuk tumpukan buku itu. "Lo suruh si Adrian nyumbang dong Ra, denger-denger koleksi buku bokapnya banyak."
"Nah bener tuh, suruh beli juga dia mau kalo lo yang nyuruh," kekeh Dika.
Kiara cemberut kesal dengan ledekan itu. Beberapa hari ini memang anak-anak sering meledeknya. "Apaan sih, gue sama Adrian cuma temenan tau!"
"Mana ada temenan sering makan di kantin bareng. Jalan-jalan bareng, kalo gitu berati dia modus Ra. Belom lagi tiap hari chat sampe malem," kata Renald.
Sasya jadi ikut tertawa tidak membantu apapun karena memang begitu faktanya. Entah Kiara yang bodoh atau apa. Masa begitu saja tidak mengerti. Padahal sudah jelas kalau Adrian sedang melakukan pendekatan. Begitu akibatnya kalau terlalu fokus pada Kahfi.
"Kalian tau darimana kita sering chatan?" tanya Kiara polos.
"Yee tau lah, kalo lagi kumpul tu anak mesti senyum-senyum sendiri liatin hp. Pasti lagi chat sama lo," kata Dika yang memang satu kelas dengan Adrian.
Kiara makin cemberut kesal. Dia menumpuk buku-buku itu dan langsung membawanya pergi keluar. Masa bodo dengan ledekan di belakangnya. Langkah kaki Kiara terhenti di depan pintu.
Beberapa suara di belakang langsung hilang. Kiara mendongak dan mengerjapkan matanya. "Kakak kenapa di sini?"
Kahfi tersenyum manis dan membantu Kiara membawa buku-buku itu. "Ke sini bentar."
Kiara menghampiri Kahfi dan memasang wajah penasaran. "Kenapa Kak?"
"Gue pinjem charger," kata Kahfi dengan santai.
"Hemm?" tanya Kiara kaget. Dia meringis kecil dan menganggukan kepala. "Bentar ya Kak biar aku ambil dulu."
"Sini buku-bukunya biar gue pegang," kata Kahfi.
"Nggak us-"
"Udah sana," suruh Kahfi.
Di sana Sasya, Renald dan Dika menunggu dengan penasaran. Renald berbisik pelan agar suaranya tidak sampai pada senior yang paling disegani itu. "Kenapa Ra? proker yaa?"
Kiara menggeleng. "Kak Kahfi pinjem charger," bisiknya lagi.
Ketiganya langsung memasang tampang bodoh. Jangan salahkan mereka, Kiara saja masih bingung kenapa Kahfi sampai jauh-jauh ke sini untuk pinjam charger. Memangnya teman-temannya tidak ada yang punya. Atau setidaknya memangnya satu angkatannya tidak ada yang membawa benda penting itu.
"Ini Kak," kata Kiara.
"Sipp thanks," jawab Kahfi.
"Ini mau dibawa kemana?" tanya Kahfi.
"Ruang guru."
Kahfi tersenyum dan berjalan duluan sambil membawa tumpukan buku itu. "Loh kenapa Kakak yang bawa?"
"Badan lo kekecilan buat bawa yang berat-berat," jawab Kahfi dengan santai.
Ucapan itu membuat Kiara terbang. Senyumnya mengembang senang, ohh bagaimana mungkin hanya karena perhatian kecil itu rasanya bahagia begini. Kahfi, kenapa dengan cowok ini. Kenapa harus memberikan harapan yang makin membuat Kiara berisiko untuk jatuh lagi dan lagi.
"Gue taroh sini ya?" tanya Kahfi.
Kiara hanya menganggukan kepala, masih dengan menatap Kahfi yang sedang sibuk dengan tumpukan buku itu. Jangan menoleh, batinnya. Biarkan dia melihat Kahfi dari jarak sedekat ini untuk beberapa menit.
"Masih ada yang harus lo bawa?" tanya Kahfi.
"Hemm? enggak Kak, udah."
"Oke, gue balik ke kelas dulu. Nanti chargernya gue kembaliin," kata Kahfi sebelum pergi. Tanpa Kiara duga, cowok itu menepuk pelan kepalanya. Membuat getaran yang membuat Kiara makin meleleh.
☁☁☁
"Serius Ra Kak Kahfi cuma pinjem charger?" tanya Sasya.
Mita yang biasanya suka sibuk sendiri jadi ikut kepo. Masalahnya ini tentang Kahfi yang punya banyak penggemar. "Kapan dia pinjem ke lo? wah ada kode nih Ra."
"Kode apa? dia pinjem gara-gara kepepet mungkin," jawab Kiara.
"Ehh oneng, hari gini emang nyari charger sesusah itu? pasti adalah satu dua di kelas dia yang bawa. Terus lo pikir deh, jarak antara kelas dia sama ruang OSIS kan jauh, rela amat Kak Kahfi," ucap Luna dengan hipotesanya yang sangat masuk akal menurut Sasya dan Mita. Tapi tidak untuk Kiara yang merasa itu wajar-wajar saja kalau sedang kepepet.
Melihat wajah Kiara yang belum bereaksi apa-apa, Sasya jadi gemas. Dia merauk kacang dengan rakus. "Nih ya, kenapa dia nggak pinjem ke gue dulu tadi? padahal dia kan lebih duluan kenal sama gue."
Kiara mengerutkan keningnya. "Ooohhh."
"Ngerti?" tanya Sasya.
Kiara menganggukan kepala. "Jadi lo iri gara-gara Kak Kahfi nggak pinjem ke lo?"
"Anjir, pengen makan orang gue jadinya," keluh Sasya.
Luna mengulurkan penggaris besi pada sahabatnya itu. "Nggak ada golok, pake ini aja potong-potong badannya."
"Ihh serem amat sih!" keluh Kiara sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Menjelaskan sesuatu pada Kiara memang susah. Sangat susah, bagi Sasya dan Luna. Kalau Mita sih sudah tahu sejak SMP. Bagi Mita, terserah Kiara ingin dengan siapa, dia hanya bisa mendukung. Masalah tentang nilai kepekaan, menurut Mita tidak usah terlalu jauh. Lagi-lagi harus Mita bilang kalau itu susah. Kalau menjelas pada Kiara, harus yang sejelas-jelasnya. Tidak perlu pakai kode-kode atau apapun. Karena kepolosan sahabatnya itu berasa pada titik yang membuat semua orang gemas.
"Eh ngomong-ngomong soal Kak Kahfi, sebentar lagi acara kelulusan loh. Nggak berasa yaa?" kata Mita.
Kiara mengangguk setuju. "Cepet banget, baru aja kemaren kita masuk SMA. Tahun ini udah mau jadi angkatan paling tua."
"Udah siap nih ditinggal Kak Kahfi?" tanya Sasya.
Kiara bertopang dagu dan menggelengkan kepala. "Gimana dong?"
"Gampang, doain aja doi nggak lulus," jawab Luna sembarangan.
"Huaa jahat!" rengek Kiara. "Nggak papa deh, toh udah liat dia selama dua tahun."
Luna menggeleng miris, antara kasihan dan juga masa bodoh dengan sohibnya ini. Kalau mungkin anak SMA lain saat ini sedang asik dengan masa putih abu-abu maka Kiara lah yang sepertinya tidak memiliki keseruan itu. Andai Kiara membuka matanya sedikit saja, maka dia yakin Kiara bisa menyadari ada beberapa cowok yang menaruh perhatian lebih padanya. Termasuk di kelas ini.
"Ra kalau lo nggak bertindak juga menurut gue rasa suka lo selama hampir dua tahun ini bakalan sia-sia. Masa lo rela si itu hilang gitu aja?" tanya Mita.
Kiara mengerutkan keningnya. Dia melipat tangan di atas meja dan mendekatkan kepalanya. "Jadi gue harus apa?"
Mita tersenyum dan bertopang dagu. "Menurut gue mumpum Kak Kahfi lagi single and lagi akrab sama lo, lo kudu harus berani chat dia duluan. Basa-basi aja gitu, kayak Kak lagi dimana. Kalau nggak pura-pura nanya proker apa yang menarik buat kedepannya."
"Harus gitu ya Mit?" tanya Kiara.
"Harus! anggep aja ini usaha lo yang pertama sekaligus terakhir. Belom tentu juga lo bisa ketemu dia pas dia udah lulus. Ayo lah Ra, sayang banget tau kalau lo diem aja," kata Sasya.
Kiara berpikir sejenak, mengangguk dan kemudian menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak ada bayangan untuk chat duluan. Payah bukan.
"Lo itu sebenernya adek kandung Bang Lion bukan si?" tanya Luna.
"Sembarangan!" keluh Kiara. "Bang Lion emang dari kecil begitu." Kadang dia juga iri pada abangnya itu, andai dia juga begitu. Bisa mengatakan apapun yang dia rasakan. Sayangnya, sejak kecil pun dirinya lebih suka diam. Tidak suka pada orang yaa diam saja.
Saat jam pulang sekolah datang, Kahfi menghampiri kelas Kiara. Membuat seisi kelas hening sebentar. Menduga-duga ada tujuan apa sang mantan ketua OSIS datang, sampai semua jadi tahu alasannya saat Kahfi menghampiri meja Kiara.
"Dia tidur?" tanya Kahfi pelan.
Sasya meringis kecil dan menganggukan kepala. "Tadi jam kosong Kak, biasanya dia milih tidur daripada ikut bikin ribut di kelas."
"Ohh," Kahfi tertawa kecil dan duduk di kursi depan Kiara.
"Mau balikin charger Kak?" tanya Sasya.
Kahfi mengangguk, dia meletakan benda itu di meja dekat Kiara. "Bangunin gih, kasian udah bel. Tolong bilangin makasih ya ke dia."
"Kenapa nggak Kakak aja yang bangunin?" pancing Luna.
Kahfi tertawa lagi. "Nanti dia kaget, kasian."
Setelah Kahfi meninggalkan kelas Sasya langsung menghampiri Luna dan Mita. "Sadar nggak sih? kayaknya Kak Kahfi tau kalau Kiara suka dia."
"Hmm kalau nggak tau dia bego," kekeh Luna.
"Ehh iya yaa ," tawa Sasya.
☁️☁️☁️
Kalian pernah ada di posisi Kiara? Suka sama kakak kelas tapi bisanya cuma diem? Hmm manusiawi 😂😂😂
See you in the next chapter ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro