Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 39 - Prom Night

Hola, akhirnya kita sampai ke part akhir cerita High school hits list ini. Sedikit cerita, sebelum mutusin untuk publish cerita ini, aku mikirnya lama banget.

Maju mundur 😂😂 akhirnya aku beraniin untuk up cerita ini. Konflik yang simpel tapi emang ada di sekitar kita. Sampe temen-temenku yang baca pasti langsung tau. Eh ko karakter Kahfi kayak si ini yaa, ko dimas kayak si ini sih.

Terima kasih untuk dua tokoh yang menginspirasi sampai cerita ini bisa selesai. Kalian berdua keren! 😂😂😂 tapi tenang, aku bukan tokoh Kiara ko, aku nggak seberuntung itu. Asli deh 😂😂😂

Follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys!

☁️☁️☁️

Kiara menatap pantulan wajahnya di cermin. Setelah memantapkan diri berkali-kali, akhirnya dia akan datang ke acara prom malam ini. Wajahnya sudah dipoles make up oleh mama dan tante.

Make up yang harusnya membuat dirinya cantik. Tapi kenapa Kiara merasa wajahnya tetap sama. Riasan ini tidak bisa menyembunyikan kesedihannya sama sekali. Kiara menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.

Jangan sampai menangis lagi. Maskara ini bisa luntur, dan dia bisa jadi orang yang paling menyeramkan nanti. Setidaknya dia harus memberi kesan baik. Ini malam acara perpisahannya dengan teman-teman. Lusa dia sudah berangkat ke Aussie.

"Udah siap?" tanya Lion dari ambang pintu.

Kiara menoleh, anggukan kepalanya terlihat ragu. "Apa aku nggak usah dateng ya Bang?"

"Terserah," balas Lion dengan santai. Dia melangkah masuk ke kamar Kiara. "Tapi yakin nggak mau liat Dimas sebelum berangkat ke Aussie?"

"Apa sih Bang," keluh Kiara. Dia mengalihkan pandangannya dari Lion. Kembali pura-pura sibuk menata rambutnya. Rambutnya tergerai bebas menutupi telinga. Sengaja, dia tidak mau Dimas melihat anting yang diberikan cowok itu, masih terpasang.

"Udah ayo, nanti keburu telat!" ajak Lion sambil merangkul bahu adiknya ini. Sebenarnya dia kasihan melihat kondisi Kiara. Sejak Adrian meninggal, Kiara jadi makin pendiam. Apalagi setelah putus dengan Dimas.

Lion mengantar Kiara sampai ke depan gerbang sekolah. Di sana sudah terparkir deretan mobil-mobil. "Mau Abang tungguin aja?"

"Hem boleh, Ara nggak lama. Abang nanti nongkrong di cafe deket sini aja," kata Kiara sambil menatap sekolahnya. Mata bulat yang dihiasi bulu mata panjang itu mengerjap. "Ara masuk dulu Bang."

"Duh siap-siap mentalnya udah kayak mau pergi perang," ledek Lion.

Tidak seperti yang lalu, Kiara mengabaikan ledekan itu. Dia langsung pergi meninggalkan mobil. Berjalan masuk ke dalam sekolah dengan langkah pasti. Sayang itu hanya kepalsuan. Langkah itu ringkih. Sekali gertak, mungkin Kiara akan berbalik dan memilih untuk lari. Pergi jauh dan tidak kembali.

"Ra!!" teriak Mona sambil loncat-loncat melambaikan tangan.

Kiara menoleh, dia menghela nafas lega. Langsung menghampiri Mona yang malam ini kelihatan lebih rapih dengan celana dan blazer berwarna biru. Meski penampilan cewek ini sangat berbeda daripada murid perempuan lainnya. Tetap saja ini kemajuan. Setidaknya tidak ada kaus usang kedodoran. Atau celana jeans yang warnanya entah apa saking sudah lamanya.

"Mana yang lain?" tanya Kiara.

Mona menata rambut jingkraknya yang sudah diberi jell rambut itu. "Nggak tau, paling masih sibuk sama kaca. Mereka dandan, gue udah selesai mandi, makan, olahraga, terus traveling keliling dunia."

"Dasar!" kekeh Kiara. "Yaudah ayo masuk."

"Bentar deh, nunggu Mita. Katanya tuh anak udah deket," jawab Mona. Kepalanya mendongak tinggi-tinggi. Mencari Mita di antara banyaknya orang yang masuk ke sekolah.

Malam prom memang selalu menarik untuk seluruh siswa. Mereka akan memaksakan diri untuk datang. Hal yang menurut Kiara tidak terlalu penting. Tahun kemarin, kalau bukan untuk Kahfi, dia malas sekali datang.

Untuk tahun ini, jika bukan karena paksaan dari teman-temannya, serta keinginannya untuk melihat Dimas sebentar, dari jauh, maka dia tidak akan mau datang. Membahas Dimas, dimana cowok itu.

Biasanya Dimas kan selalu menarik perhatian. Dimanapun itu, Dimas akan menjadi kerumunan. Apalagi untuk acara resmi begini. Biasanya para murid cewek akan penasaran, bagaimana penampilan Dimas.

"Eh itu Mita, dateng sama Luna kayaknya," ucap Mona.

Mita dan Luna kelihatan buru-buru sekali berjalan. Di belakang dua orang itu, kelihatan ramai anak-anak berkumpul. Kiara menyipitkan matanya, penasaran, siapa yang ada di belakang dua anak itu, sampai ramai begitu.

"Eh ayo buruan masuk ke dalem!" suruh Mita.

"Nggak mau nunggu Sasya?" tanya Kiara masih sambil memandang kerumunan di sana.

Mita mengibaskan tangannya dan langsung menarik tangan Kiara untuk masuk ke dalam. Bahaya kalau Kiara sampai melihat siapa yang saat ini sedang menjadi tontonan. Lebih baik tidak tahu sama sekali.

Di dalam, suasana lebih ramai. Ternyata anak-anak sudah datang satu jam lalu. Padahal acara masih satu jam lagi. Kalau begini saja rajin. Coba saja ini acara belajar bersama. Dijamin akan banyak alasan, mulai dari sakit perut sampai sakit pinggang.

"Eh Ra cantik amat lo, pake gaun siapa?" tanya Luna.

Kiara menyentuh gaun yang diberikan oleh tante padanya kemarin. Gaun yang sangat cantik. "Tante Vira."

"Hem, keren deh," puji Mita sambil mengacungkan jempolnya. Senang melihat penampilan Kiara. Biar orang yang sering mengatakan kalau sohibnya ini tidak pantas dengan Dimas, jadi menyesal mengatakannya. Kiara itu sebenarnya cantik, tapi memang tidak suka menjadi perhatian, tidak pernah merasa cantik. Menurutnya itu yang membuat Dimas tertarik.

"Kalian juga cantik, gue sih ketolong make up," jawab Kiara. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. "Sasya mana? dia belum dateng. Udah coba telfon dia belum?

"Ehh, em. U-udah," jawab Luna.

Mata Kiara menyipit curiga. Ada yang disembunyikan oleh sohibnya ini. Dia bersedekap, dengan pandangan lurus ke arah Luna. "Dimana Sasya?

"Ada kok, tapi masih di depan. Udah nggak usah dipikirin," kata Mita buka suara. Menolong Luna yang keadaannya terjepit.

Tentu itu bukan jawaban yang memuaskan. Untuk apa Sasya lama sekali di luar. Apa ada hubungannya dengan kumpulan orang itu. Sayangnya Kiara tidak bisa lebih kepo lagi. Memangnya apa yang ingin dia cari tahu. Keberadaan Dimas? ayolah, semua sudah selesai.

"Oh," respon Kiara.

☁️☁️☁️

Kedatangan Dimas dengan Risa langsung membuat kehebohan. Bukan hanya soal Dimas yang sudah tidak heran lagi, selalu terlihat menawan. Ini tentang partner yang dia bawa di prom night ini. Semua tahu kalau Dimas pacaran dengan Kiara. Kenapa yang dibawa justru Risa.

Isu tentang putusnya sejoli yang beberapa bulan membuat heboh ini akhirnya terjawab. Jadi benar Dimas sudah putus dengan Kiara. Bisik-bisik terdengar, pandangan sinis, tidak menyangka kalau Dimas ternyata player juga. Baru putus sudah menggaet yang baru.

Sasya yang berada di tengah kerumunan, berusaha memanggil Dimas dengan bisikan. "Sssttt Dim, woy!"

"Sya?" sapa Dimas. "Kenapa lo bisik-bisik gitu?"

Sasya tersenyum pada Risa. "Sorry ya, gue pinjem Dimas bentar!"

Tangan Sasya menarik Dimas dari kerumunan. Dia mengajak cowok itu ke lorong kelas yang sepi, lewat jalur belakang. "Heh! Lo pacaran sama Risa?!"

"Kemakan gosip," balas Dimas santai.

"Terus, tadi itu apaan? kenapa lo bareng Risa?" cecar Sasya. Matanya menyipit curiga. Saat ini gayanya sudah seperti detektif yang sedang mengintrograsi tersangka.

"Berangkat bareng, nggak bikin gue otomatis jadi pacarnya kan Sya?" tanya Dimas.

"Tapi itu kayak lo mau ngumumin ke semua orang kalau lo pacaran sama Risa sekarang Dim! Ih lo tuh bego banget sih!" omel Sasya. Dia tadi menyuruh Mita dan Luna jalan duluan. Agar Kiara tidak melihat.

"Biarin mereka mau mikir apa, peduli setan. Lagian gue nggak ada apa-apa sama Risa," balas Dimas. Dia membenarkan kerahnya. "Kia dateng Sya?"

"Dateng! Udah ditarik Mita sama Luna biar nggak liat lo," jawab Sasya dengan kesal. "Mau liat dia nggak?"

Dimas menganggukan kepala. "Boleh, gue mau liat bentar."

Sasya mengajak Dimas masuk ke aula. Dia sudah mengirim pesan pada Luna. Menanyakan keberadaan para sahabatnya itu. Kali ini tugasnya adalah memastikan Dimas bisa melihat Kiara tanpa Kiara tahu.

"Liat bentar aja ya!" kata Sasya, mengingatkan.

Dimas menganggukan kepala. Saat menoleh, dia hanya bisa terdiam. Menatap kagum Kiara yang malam ini kelihatan sangat cantik. Gila, sudah berapa lama dia tidak lihat cewek itu. Kiaranya yang menggemaskan ketika sedang marah.

"Weits!!" cegah Sasya sambil menarik Dimas yang sudah akan melangkah, menghampiri Kiara. "Perjanjiannya liat doang ya! jangan bikin Kiara kabur."

Lampu aula mulai dimatikan. Hanya menyisakan lampu sorot di beberapa tempat. Dimas menyipitkan matanya, mencoba kembali fokus pada Kiara. "Lebih deket bisa?"

"Dim," panggil Sasya. Dia sangat mengerti kondisi cowok ini sekarang. Sayangnya dia tidak bisa membantu lebih dari ini. "Lo harus tahan diri, gue yakin, kalau emang lo sama dia jalannya udah sama-sama, mau ada apapun nantinya kalian bakal nyatu. Tapi mungkin nggak sekarang."

Dimas memejamkan matanya, mengatur emosi yang mulai timbul karena kondisi ini. Rasanya benar-benar tidak adil. "Oke."

"Sabar Dim," kata Sasya.

"Thanks Sya," ucap Dimas tulus. Setidaknya dia sudah diberikan kesempatan untuk melihat Kiara sebelum cewek itu berangkat, lusa.

Saat kembali menoleh pada Kiara, cewek itu sudah tidak ngobrol teman-temannya lagi. Kiara sedang bicara dengan cowok yang Dimas ingat namanya Kahfi. Kata Sasya, dia adalah cinta pertama Kiara. Orang yang berhasil membuat Kiara rela tetap menunggu meski sedang sakit.

Dimas memasukkan lengannya ke saku celana. Menyaksikan dari jauh interaksi dua orang itu. Tentu dengan hati tidak menentu. Apalagi melihat Kiara tersenyum simpul, dengan pipi merona.

"Cantik," gumam Dimas.

Sasya tersenyum dan menepuk bahu Dimas. "Jangan salah paham, pembawaan Kahfi emang selalu bikin adem kalau lagi ngomong sama dia. Kiara udah nggak suka kok sama Kahfi."

"Kalau Kahfi bisa bikin Kia senyum begitu, gue nggak apa-apa. Mungkin emang bukan gue orangnya," balas Dimas. "Kahfi, apa dia baik?"

"Baik, Kiara nggak mungkin suka kalau dia bukan cowok baik-baik," jawab Sasya.

"Kalau gitu gue bisa lega ngelepas Kia," kata Dimas dengan senyum tipis. "Seenggaknya gue bisa tanggung jawab sama amanah Adrian."

"Adrian?" gumam Sasya.

Dimas tidak berniat menjelaskan semuanya. "Yaudah, sana lo balik ke temen-temen lo. Nanti Kia curiga, thanks ya Sya." Dia berlalu, pergi meninggalkan aula. Ruangan luas itu terasa begitu sesak. Mungkin karena terlalu banyak orang. Atau karena suasana hatinya yang sedang kacau.

☁️☁️☁️

Kiara tersenyum pada Kahfi yang menghampirinya. Mungkin cowok ini datang untuk mengantar Fiona yang selalu bergantung pada Kahfi itu. Kasihan, padahal mereka tidak ada hubungan apa-apa.

"Tahun lalu kita janjian buat dateng bareng, tapi gagal. Sekarang kita ketemu," kekeh Kahfi.

Pipi Kiara bersemu merah karena pernyataan Kahfi ini. Mengingat bagaimana dia berusaha datang meski sakit. Tetap bertahan menunggu meski sudah pasti Kahfi tidak datang. Sampai Adrian memaksanya untuk pulang. Senyumnya mengembang sedih.

"Gue udah tau kabar meninggalnya Adrian," kata Kahfi melihat wajah sedih Kiara.

"Hem, banyak hal yang nggak terduga," gumam Kiara.

Kahfi mengangguk setuju. Tepat sekali. Beginilah perjalanan kehidupan. Selalu ada kejutan, dan kita harus siap dengan segala yang ada di depan. Tidak bisa dihindari, hanya bisa dijalani.

Suara dari arah panggung mengalihkan perhatian Kiara dan Kahfi. Semua sedang mendengarkan sambutan. Sampai pada akhirnya ada perwakilan kelas dua belas yang naik untuk menyampaikan kesannya. Putra mendapatkan kesempatan itu.

"Halo semua, sorry gue buang waktu kalian. Pasti kalian udah nggak sabar buat sibuk sendiri. Berhubung gue jomblo, jadi yaudah lah gue nggak rugi-rugi amat."

Tawa renyah terdengar. Kiara cuma tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Dasar anak itu.

Putra tersenyum lebar. "Selama tiga tahun, kita jadi keluarga di sini. Susah, seneng bareng. Ngelakuin banyak hal konyol yang jijik banget juga bareng. Dihukum bareng. Kalau ngomongin kesan nggak akan ada abisnya. Semuanya punya kenangan. Seenggaknya nanti pas kita kumpul, kita bisa ketawa bareng sambil ceritain hal jijik apa yang pernah dilakuin."

"Gue cuma mau bilang, semoga dimana pun kita nanti, kita semua bakal jadi orang sukses. Jadi nanti kita kumpul nggak di warkop mulu. Bisa lah sekali-kali di hotel bintang lima, kalau pergi di Istana Negara. Di luar pagernya aja tapi. Kalo di dalem, keberatan, bahasnya politik," kekeh Putra.

Kahfi tertawa, saat menoleh, dia kagum melihat Kiara sedang tersenyum. "Ra."

"Hem?"

"Mau ngobrol di luar sebentar?" tanya Kahfi.

Kiara menganggukan kepalanya. "Boleh."

Mungkin memang di luar lebih baik. Lagipula setelah ini hanya ada acara pensi. Lalu menentukan raja dan ratu prom. Kiara tidak tertarik sama sekali. Menghirup udara segar lebih menyenangkan.

"Nggak dateng bareng Dimas?" tanya Kahfi.

"Nggak, kita udah putus," jawab Kiara dengan senyum kecut. Dimana Dimas, apa cowok itu tidak datang. Apa Dimas menghindarinya.

Kahfi membulatkan mulutnya. "Oh, sorry." Dia sama sekali tidak bermaksud menyinggung. "Gara-gara meninggalnya Adrian?"

"Apa?" tanya Kiara.

"Lo putus sama Dimas, gara-gara itu?" tanya Kahfi.

Entah kenapa Kahfi bisa langsung tahu masalah ini. Kiara bukan orang yang suka menceritakan hal apapun pada orang asing, tapi kali ini dia ingin cerita, kepalanya mengangguk. "Iya, kita mutusin buat putus. Aku ngerasa bersalah sama Adrian tiap deket sama Dimas."

Kahfi tersenyum dan menghela nafas panjang. Matanya menatap halaman kelas yang sudah lama tidak dia lihat. "Lo tau nggak? Setiap kita jalan, kita pasti ngelewatin rumput. Kita kadang nggak sengaja nginjek, lewat pun kita nggak pernah nyiram tanaman itu."

"Hem?" Kiara mengerutkan keningnya.

"Tapi bukan kita aja kan yang lewat? Ada banyak orang. Kalau suatu saat rumput itu mati, apa itu salah kita?" tanya Kahfi. Kepalanya menggeleng. "Nggak Ra, karena di dunia ini bukan cuma ada kita. Dunia nggak berporos ke kita. Kita nggak tau apa penyebab rumput itu mati. Kita juga nggak bisa cegah rumput itu mati. Itu bukan kuasa kita."

Kiara terdiam mendengar perumpamaan dari Kahfi.

"Kita nggak pernah tau apa yang dialamin rumput itu selama kita nggak ada. Jadi apa kita harus ngerasa bersalah?" tanya Kahfi. Tangannya mengusap kepala Kiara. "Bukan begitu cara kerja dunia Ra. Setiap orang punya takdir masing-masing. Kalau Adrian milih takdirnya sendiri, itu jelas bukan salah lo. Malah harusnya yang ngerasa bersalah itu orang yang ngasih obat-obatan itu ke dia."

Kiara meneteskan airmatanya. "Tapi Kak?"

"Nggak ada yang bisa maksa perasaan Ra, lo berhak milih siapa orang yang lo suka. Adrian berhak suka sama lo, dan lo berhak suka sama Dimas," tambah Kahfi. Senyumnya mengembang, menenangkan. "Yakin Adrian seneng ngeliat lo begini?"

"Kalau Adrian bener sayang sama lo, gue yakin, liat lo senyum pun dia udah bahagia. Percaya sama gue, karna itu yang gue alamin sekarang," kata Kahfi sambil merapihkan rambut Kiara yang terkena hembusan angin. "Jangan bikin kesalahan kayak gue Ra, gue udah sia-siain orang yang sayang sama gue."

Kiara tersenyum, mengusap airmatanya sambil menganggukan kepala. "Makasih Kak! Aku mau cari Dimas." Dia berlari pergi. Masuk ke aula, mencari kumpulan teman-teman Dimas. Semoga cowok itu datang malam ini.

Di tengah ramainya murid yang sedang menikmati musik. Kiara mencoba menyelip di antaranya sambil mencari. Untungnya dia melihat Angga sedang berdebat dengan Mona seperti biasa. Dia langsung menghampiri dua orang itu.

"Angga!" panggil Kiara. "Dimas dimana?"

"Eh? Nggak tau deh, tadi dia keluar," kata Angga bingung. Kaget tentu saja, karena tiba-tiba Kiara mencari Dimas. "Perlu gue telfon? Dia pasti langsung ke sini kalau tau lo nyari."

Kiara tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Biar gue aja yang nyari. Thanks yaa Ngga. Silahkan dilanjut berantemnya!"

Angga dan Mona saling melempar pandangan, bingung. Dua-duanya mengangguk dengan kompak. Langsung mengikuti Kiara keluar karena penasaran. Apa yang membuat Kiara langsung berubah pikiran.

☁️☁️☁️

Dimas menghembuskan asap rokoknya ke udara. Menikmati pemandangan langit malam di atap sekolah. Ternyata bagus juga. Seperti melihat atap planetarium, tapi dengan pemandangan yang lebih luas lagi. Meski tidak bisa melihat planet-planet dan benda langit lainnya.

Sayup-sayup suara musik mulai terdengar. Sudah masuk acara inti. Pasti di dalam ramai sekali. Mungkin dia akan pulang duluan setelah rokoknya habis. Atau dia bisa jalan-jalan keliling kota. Ke planetarium meski sudah tutup.

Dimas lagi-lagi memejamkan mata sambil tersenyum menikmati udara. Segarnya. Ini akan jadi tempat favoritnya. Tenang sekali di sini.

"Dimas!" panggilan itu membuat Dimas menoleh.

Keningnya mengerut, melihat Risa datang sambil menangis. "Lo kenapa? Ada yang jailin lo?!"

Risa mengusap airmatanya. "Lo mau bunuh diri?"

"Hah?" tanya Dimas. Dia garuk-garuk kepala dengan wajah bingung. "Siapa yang bunuh diri?"

Risa ini aneh sekali. Siapa sih yang mengabarkan kalau dia ingin bunuh diri. Dimas berdiri di hadapan Risa sambil merentangkan tangannya. "Jangan suudzon, gue cari angin. Di dalem gerah."

Buk! Risa memukul bahu Dimas. "Gue panik tau! Kenapa harus diatep sih?!" Risa terisak kecil dan menutup wajahnya. "Gue pikir lo beneran mau bunuh diri!"

"Eh Sa, jangan nangis! entar gue dikira ngapa-ngapain lo," cegah Dimas. Matanya melebar karena Risa langsung memeluknya. Dia menepuk-nepuk punggung cewek itu. "Udah-udah, gue nggak bunuh diri. Suer! Nggak pernah kepikiran."

"Jangan pergi Dim," lirih Risa sambil memeluk Dimas dengan erat.

Dimas tersenyum miring. "Gue emang nggak kemana-mana." Tangannya mengusap kepala Risa. "Udah, jangan nangis. Nanti gue bingung jelasin ke nyokap lo kalau anaknya pulang-pulang matanya bengkak."

"Dasar," balas Risa sambil mengusap airmatanya. Masih tidak melepaskan pelukan Dimas.

Dari jauh Kiara cuma bisa menyaksikan Dimas memeluk Risa dengan hangat. Senyumnya langsung pudar. Mata Kiara ditutupi oleh kabut tipis. Pemandangan ini menyakitkan sekali. Tapi ini salahnya karena sudah melepas Dimas.

Kiara tertawa getir. Dia langsung berbalik pergi sebelum mengganggu dua orang itu. Buru-buru Kiara menuruni tangga sampai kakinya terkilir karena sepatu yang dia kenakan cukup tinggi. "Aargh! Bego!" omelnya kesal. Dia langsung melepas sepatunya dan lanjut berjalan dengan kaki terpincang.

Di bawah, Kiara bertemu dengan Angga dan Mona. Keduanya kaget melihat kondisi Kiara. Pasti ada yang tidak beres.

"Lo mau kemana?" tanya Mona.

"Pulang, Na tolong pamitin sama anak-anak ya. Gue nggak enak badan," balas Kiara dengan cepat sebelum lanjut berjalan. Ingat sesuatu, dia kembali pada Angga dan Mona. "Tolong jangan bilang Dimas kalau gue nyari dia."

"Kenapa?" tanya Angga.

Kiara menggelengkan kepala. "Gue cuma minta tolong ini. Makasih ya, Ngga gue titip salam sama Dirga Danu. Maaf kalau gue ada salah. Lusa gue berangkat ke Aussie."

☁️☁️☁️

"Raa?" panggil Lion untuk ketiga kalinya. Melihat Kiara diam saja sejak pulang dari acara tadi. "Ada apa?"

Kiara diam, memeluk lututnya erat-erat sambil menatap ke depan. "Abang."

"Hem?" tanya Lion pelan.

Kiara kembali terisak kecil dan menenggelamkan wajahnya diantara lutut. Nafasnya sampai terputus-putus. Dia menangis lama, dan Lion membiarkannya. Karena memang lebih baik begini. Menangis saja sampai beban itu berkurang. Jangan ditahan karena itu justru menyesakkan.

"Bang, Ara mau sendiri dulu. Bisa tolong tinggalin Ara?" pinta Kiara dengan suara seraknya. Dia tidak ingin orang lain melihat kejatuhannya.

"Yaudah, tapi kalau perlu apapun, panggil Abang. Oke?" Lion mengusap pelan kepala Kiara sebelum pergi keluar kamar. Kiara memang butuh waktu untuk sendiri.

Kiara melangkah ke meja belajarnya dan membuka kotak tempatnya menyimpan barang-barang berharga. Satu kertas dengan sobekan yang tidak sempurna itu masih ada disana. Goresan tulisan tangannya masih jelas. Deretan doa yang dia tulis dengan maksud iseng. Tidak dia duga kalau kalau apa yang tertulis di sana menjadi nyata.

Sekarang Kiara menyesal telah menulisnya. Kalau untuk menjadi anak hits di sekolah, harga yang harus dibayar adalah semua yang dia alami sekarang, maka dia tidak ingin menulis doa ini. Dia ingin kembali seperti biasa saja. Dia tidak masalah kembali ke masa mengagumi Kahfi dari jauh. Tidak masalah tidak dikenal banyak orang.

Sayangnya tidak bisa begitu. Kiara lupa satu hal penting. Bahwa setiap doa akan didengar. Dan sepertinya dia sudah salah menyebutkan semua keinginan konyolnya.

Kiara kembali menangis. Menumpahkan semua kesedihan yang sudah dia tahan selama berhari-hari ini. Atau mungkin berminggu-minggu. Sejak putus dengan Dimas. Sejak Dimas menghilang selama satu minggu. Sejak mendengar kabar kalau Dimas masuk rumah sakit. Atau sejak diam-diam datang ke rumah sakit untuk melihat cowok itu dari jauh.

Intinya, malam ini Kiara cuma mau menangis.

☁️☁️☁️

Arloji di tangan Kiara menunjukkan pukul sembilan tepat. Sudah waktunya dia dan tante masuk. Sebelum menenteng koper besarnya, Kiara memeluk erat mama.

"Ara berangkat dulu yaa Ma," pamit Kiara.

Mama mengusap wajah putrinya yang kelihatan pucat. "Hem, jaga diri di sana. Jangan nakal yaa! Nurut sama Tante."

"Iya," jawab Kiara dengan senyum. Dia beralih dan memeluk papanya. "Ara berangkat Pa."

"Yaa baik-baik di sana, kalau mau liburan ke Indonesia, langsung telfon Papa. Biar Papa atau Bang Lion ke sana jemput Ara," pesan papa. Khawatir putri sulungnya akan melakukan perjalanan sendiri.

"Ih Pa, boros itu," jawab Kiara. Dia beralih pada Lion yang sejak tadi ngomel-ngomel. Mengingatkannya ini dan itu. "Bang, jangan kangen yaa? Sekarang nggak ada temen debat."

"Idih, kangen tinggal nelfon," balas Lion.

Kiara menggelengkan kepalanya. "Nggak mau ngangkat telfon Abang kalau isinya cuma curhat."

Sasya, Luna, Mita dan Mona ikut mengantar Kiara ke bandara. Empat sahabatnya itu mengantar dengan wajah sedih. Jelas, melihat mata sembab Kiara sudah menjelaskan bagaimana kacaunya anak ini sekarang. Dan mereka tahu penyebabnya. Karena Mona sudah cerita semua.

Sasya ingin menjelaskan kalau Dimas dan Risa tidak ada hubungan apapun. Tapi sepertinya Kiara saat ini lebih memilih untuk menutup telinga rapat-rapat. Biar nanti Kiara sendiri yang menemukan jawabannya. Atau lebih tepatnya, biar Kiara dan Dimas yang menemukan jawaban masing-masing.

"Gue kan bukan mau perang, nanti sampai sana gue telfon kalian," kata Kiara.

Sasya memutar bolamatanya. "Iya, pokoknya sampe sana lo harus kompres mata lo pake es batu. Abis itu mandi, terus jalan-jalan. Lo harus happy di sana. Ngerti?"

"Iya," jawab Kiara dengan senyum simpulnya. "Yaudah gue jalan dulu yaa. Salam buat temen-temen yang lain."

Sebelum berbalik, Kiara menatap sekeliling dengan wajah sedih. Dia mencengkram erat pegangan kopernya. Memantapkan diri untuk pergi.

Semua sudah selesai. Setelah berbalik, dia akan membuka lembaran kehidupan baru. Menjadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk terus melangkah maju. Soal Dimas, biar ini menjadi penyesalannya. Sekarang dia hanya bisa menyimpan Dimas dalam memori manisnya.

Kiara tersenyum dengan yakin dan berbalik. Menarik kopernya. Mengikuti langkah tante yang sudah berjalan duluan. Sampai bertemu lagi Dimas, semoga di lain kesempatan, dia bisa mempunyai kesempatan untuk bertemu, meminta maaf dan mengucapkan terima kasih.

☁️☁️☁️

The end

Sampai jumpa di epilog cerita ini 😂

Kiara

Dimas

Risa

Author Note

Buat kalian yang mau belajar nulis. Mau tau tentang kepenulisan. Mau denger pengalaman beberapa penulis. Kalian bisa gabung ke sini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro