Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 38 - Sama-sama Hancur

Holaaa semua. Aku balik lagi. Mudah-mudahan next part itu udah ending. Wkwk nggak berasa udah mau selesai aja.

Beberapa dari kalian nanya ke aku, Dimas beneran ada nggak sih. Pasti ada, diantara kalian. Cuma kalian belum ketemu aja.

Aku bikin karakter ini sesuai sama apa yang pernah aku temuin. Jadi pastinya ada lah Dimas2 diantara kalian.

Follow ig aku @indahmuladiatin biar nggak ketinggalan info2 ceritaku

Happy reading guys! 😉

☁️☁️☁️

Suara teriakan menggema dari pendukung masing-masing jagoan yang akan bertanding malam ini. Penonton lebih ramai dari biasanya, karena sekarang mereka tahu siapa yang akan bertanding. Lawan Dimas yang saat itu menyusahkannya, ternyata memang seorang profesional yang pernah ikut kejuaraan dunia.

Teman-teman Dimas, menatap dengan cemas. Sedangkan yang ditatap, dengan santai mengaitkan ikatan di lengannya sambil menatap papan besar di depan yang menampilnya namanya dan nama musuhnya. Dimas menyipitkan mata, mencoba berpikir, strategi apa yang harus dia lakukan. Ini bukan lawan biasa. Dimas harus berhati-hati kalau tidak ingin habis dalam ring. Kalau hanya mengandalkan kemampuannya, itu tidak akan cukup. Karena sudah pasti orang itu kemampuannya lebih baik daripada dia.

"Dim, lo yakin?" tanya Cakra memastikan untuk kesekian kalinya.

Dimas mengangguk. "Gue nggak mungkin mundur kan?"

"Tapi Dim-"

"Tenang aja," potong Dimas. "Gue nggak bakal mau kalah." Pointnya bukan itu, semua cemas karena sepertinya ini berbahaya. Lebih baik tidak ambil risiko. Karena jika sampai terjadi apa-apa. Siapa yang akan bertanggung jawab.

Makin malam, suasana semakin ramai. Dimas harus bersiap-siap mendekati ring. Ditemani Cakra dan pelatihnya. Sedangkan Angga cuma bisa menonton di kursi yang sudah disediakan. Dia pun sudah berusaha mencegah Dimas.

"Woy!" panggil Mona sambil memukul bahu Angga dari belakang. Dengan keras, catat, Mona bukan tipe cewek yang memukul dengan manja. Cewek itu punya tenaga badak.

Angga menoleh kaget. "Apaan sih lo ngagetin aja?!"

"Hehe," kekeh Mona. Dia duduk di kursi yang ada di samping Angga. "Dimas udah di sana? dia bener-bener siap ngehadepin Damian?"

"Lo kenal?" tanya Angga.

Mona mengganggukan kepala. Tangannya bersedekap sambil memandang wajah yang terpampang di layar itu. "Dia pernah dateng ke tempat gue latihan. Kata pelatih gue, dia itu pernah menang kejuaraan Nasional."

"Sial," maki Angga. Kalau begini Dimas memang dalam bahaya. Anak itu mau bunuh diri juga. Harusnya sejak tahu musuhnya bukan orang sembarangan, Dimas memilih mundur. Duh, bagaimana dia akan menghadapi tante Alya kalau sampai anak itu masuk rumah sakit.

"Hem kita liat, ini ajang bunuh diri dia apa ajang ngelepasin marahnya dia," kata Mona dengan santai. Dia datang memang untuk melihat Dimas. Meski Kiara mengatakan tidak ingin membahas Dimas lagi, dia yakin sohibnya itu masih sangat peduli. Ayolah, meski dia tidak mengerti tentang cinta atau apalah itu, dia juga bisa melihat dari mata Kiara kalau Kiara itu sayang pada Dimas.

"Lo emang brutal," gumam Angga.

Mona menoleh dan tersenyum manis, seolah mendengar pujian. "Thanks."

Ting, bel penanda bahwa pertandingan babak pertama sudah dimulai. Angga duduk dengan punggung tegak, semakin tegang. Dimas meski menyebelkan, adalah sahabat karibnya. Tangannya mengepal keras, menyaksikan awal pertandingan yang terlihat masih seimbang.

"Menurut lo ada kemungkinan Dimas menang?" tanya Angga.

Mona mengangkat bahunya. "Fifty-fifty, nggak ada yang nggak mungkin. Dimas juga nggak kalah kok dari dia. Cuma pengalaman emang nggak bisa bohong. Damian udah ngelawan banyak musuh."

Dimas meninju wajah itu, tapi Damian berhasil menghindar dan mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Bug, wajah Dimas tidak bisa menghindar dari serangan dadakan itu. Angga dan Mona meringis ngeri. Benar kan, pengalaman tidak bisa berbohong. Babak demi babak berjalan. Jual beli serangan terjadi. Keduanya berusaha keras untuk menang, tidak peduli dengan wajah yang sudah babak belur.

Dua babak akhir, makin menyeramkan. Darah tidak berhenti mengucur dari pelipis Dimas. Bisa dilihat Damian pun sudah terengah-engah kehabisan tenaga. Intinya kedua orang ini keadaannya sudah buruk. Pukulan-pukulan pun melemah. Hanya beberapa serangan saja yang berhasil mereka lakukan.

Penonton makin dibuat riuh dengan aksi Dimas dan Damian. Tapi tentu saja tim dari tiap kubu sedang was-was. Menerka siapa yang akan rubuh melihat kondisi dalam ring.

Dimas mengatur nafasnya, pandangan mata sudah mulai buram hingga prrtahanannya turun, dan tepat saat itu, tanpa diduga, Damian menggunakan tendangan memutar yang mengarahkannya ke kepala Dimas. Bruk. Dimas rebah. Belum cukup dengan itu, Damian menginjak bahu Dimas dengan keras.

"Arrrggh!" ringis Dimas.

"Woy! curang!" teriak bang Tian.

"Wasit! itu ngelanggar peraturan!!!" teriak Cakra juga.

Wasit menarik Damian untuk mundur.

Penonton pendukung Dimas berteriak menyoraki tindakan Damian yang tidak sportif. Meski ini ilegal, mereka juga punya aturan. Harusnya Damian lebih mengerti karena sudah mengikuti banyak ajang resmi. Damian seperti tidak peduli dengan sorakan itu. Dia malah tersenyum sinis.

"Masih sanggup berdiri?" tanya wasit.

Dimas mengatur nafasnya dan mengangguk lemah. Dengan sisa kekuatannya, dia berusaha berdiri. Tangannya terkepal, mata Dimas berusaha untuk kembali fokus. Dia kembali maju untuk menyerang , meski bahunya sakit sekali. Dalam sekali serangan, Dimas berhasil menjatuhkan Damian. Kali ini dia meninju wajah itu berkali-kali, hingga bunyi penanda babak ini berakhir telah berbunyi.

"Dim! lo harus berhenti sekarang!" suruh Angga yang akhirnya mendekat ke ring.

Dimas tidak bisa banyak bicara karena kepalanya sangat sakit. "Nggak."

"Dim jangan gila deh!" bentak Mona yang tadi mengikuti Angga turun dari kursi penonton. Melihat pertandingan tadi, dia pun ikut cemas. "Lo bisa kalahin dia kapan-kapan. Dia emang bukan tandingan lo sekarang."

Dimas menelan salivanya dan menunjuk Damian yang juga sedang dikompres kepalanya. "Dia juga udah babak belur."

"Dim, apa sih yang lo tunjukin? Sampe sini aja lo udah hebat. Jangan maksain," saran Cakra, membujuk sohibnya itu untuk berhenti sekarang juga.

"Kiara," jawab Mona. "Lo nggak mikir gimana kalau Kiara tau lo kenapa-napa?" semoga saja ini berhasil membuat Dimas berhenti.

Mendengar nama Kiara disebut, Dimas pun kembali mengingat obrolannya siang tadi. Obrolan yang ingin dia lupakan. Dia sudah berusaha untuk tidak memikirkannya. "Kalau gue kenapa-napa? titip salam aja buat Kia."

Mona memutar bola matanya. "Dasar tolol! salam lo nggak bakal bikin dia seneng. Udah lah, terserah lo aja!"

Dimas tersenyum miring dan kembali ke tengah ring karena babak akhir akan dimulai. Dia ingin menyelesaikan semuanya. Ini pertandingan yang sangat menarik. Selama ini dia belum pernah melawan orang yang kemampuannya ada di atasnya.

Dimas dan Damian sama-sama bersiap untuk menyerang. Di bawah ring, Angga cuma bisa pasrah melihat sahabatnya melampiaskan kemarahannya dalam ring. Dia tidak bisa mencegah Dimas. Lebih tepatnya tidak ada yang bisa melarang Dimas sekarang.

Bug!! Rahang Dimas terkena tinjuan dengan sangat keras. Sebelum pandangannya makin memburam, Dimas pun berhasil membalas tinjuan itu. Sampai pada akhirnya Dimas dan Damian kembali ambruk di dalam ring. Dimas mencoba untuk bangun, tapi tidak bisa. Dia mengumpat kesal dan berusaha merangkak pelan untuk tetap bangun. Sayangnya semua sudah kunang-kunang.

"Dim stop!" bentak Mona.

"Sebentar lagi," lirih Dimas. "Sebentar lagi gue-" Dimas tidak bisa melanjutkan ucapannya karena sudah kehilangan kesadaran.

Orang-orang ramai menghampiri ring. Dua orang yang bertanding ini sama-sama mengenaskan. Ambulans segera dipanggil untuk menjecah hal yang tidak diinginkan. Angga dan Cakra pun langsung naik ke ring untuk menyumbat darah yang terus mengalir di pelipis Dimas.

"Dim?" Mona berusaha membangunkan cowok itu.

Angga mengacak rambutnya, kesal. "Telfon Tante Alya sekarang!"

☁️☁️☁️

Kiara menatap ke arah luar jendela kamarnya. Malam yang gelap. Cahaya bulan tertutup awan mendung. Di luar pasti dingin sekarang. Dimas, apa cowok itu sudah pulang ke rumah. Jangan sampai kehujanan.

Mengingat obrolannya siang tadi dengan Dimas, Kiara kembali meneteskan airmatanya. Dia tahu kalau ini tidak adil untuk Dimas. Tapi dia memang benar-benar tidak bisa melihat cowok itu. Bukankah lebih baik begini, daripada hubungan mereka makin tidak jelas, karena dirinya terus menghindar.

Ponselnya bergetar. Pesan grup, tentu obrolan iseng Sasya, Luna dan Mita. Mereka menanyakan Mona yang sama sekali tidak nongol di grup malam ini. Kiara mengetik balasan.

Dia sibuk belajar

Mana mungkin?
Sasya

Paling tuh anak lagi asik ngegame
Mita

Nah Mita baru bener, lagian tuh anak mana sih? @Mona woy! hello! spadaa! permisi! Punten!
Luna

Mau nagih utang ya? 😂
Sasya

Buku PR Kimia gue di dia, nggak tau nasibnya gimana. Takut dijadiin wadah gorengan
Luna

Kiara mendengus geli dan meletakkan kembali ponselnya. Dia kembali menatap jendela. Lagi-lagi kembali ingat Dimas. Biasanya malam-malam begini cowok itu akan meneleponnya. Iseng mengganggu kegiatannya belajar. Jemarinya menyentuh anting yang dia kenakan. Anting pemberian Dimas sebelum kepergian Adrian malam itu. Kiara menghela nafas panjang dan memejamkan matanya. Dia harus mulai melupakan Dimas dan kembali fokus pada sekolah.

Paginya Kiara berangkat dengan angkutan umum karena Lion sedang ada acara di kampus sejak kemarin. Untungnya jalanan tidak terlalu macet jadi dia tidak terlambat ke sekolah. Dia sampai di sekolah bertepatan dengan Sasya yang diantar oleh papanya.

Kiara melambaikan tangan pada Sasya. "Sya, hari ini gue ada les. Balik les gue ke rumah lo yaa?"

"Boleh, ajak anak-anak sekalian. Nggak ada sebulan lagi kita udah ujian kan? mumpum hari sabtu nih, kita nginep. Seru pasti," usul Sasya.

"Hem oke," jawab Kiara.

Di kelas, Luna dan Mita sedang asik nongkrong di tempat Mona yang tumben sudah datang tapi kelihatan lusuh sekali. Kiara dan Sasya ikut mendekat. Kepo juga kalau Mona datang pagi-pagi ke sekolah.

"Kenapa lo? gue yakin nih lo nggak mandi lagi kan?" tanya Sasya.

Mona mendongak, menampilkan wajah ngantuknya. Mata itu dihiasi lingkar hitam. "Boro mandi, gue baru balik dari rumah sakit."

"Siapa yang sakit? Lo sakit Na?" tanya Kiara khawatir.

Karena kelepasan, Mona mengerjapkan matanya. Gawat sekali, berita ini kan tidak boleh sampai didengar Kiara. Dia meringis kecil dan menggelengkan kepala. "Itu loh, piaraan gue sakit. Kasian."

"Sejak kapan lo punya piaraan?" tanya Kiara bingung.

"Kemaren, hehe iseng aja si," balas Mona.

Luna geleng-geleng kepala miris. "Yaa wajar dia langsung masuk RS. Liat aja yang pelihara aja brutalnya gini."

Kiara meringis kecil dan menggelengkan kepala. Karena masih ada waktu, Kiara memilih untuk pergi ke perpustakaan. Ada buku yang harus dia kembalikan. Lalu dia akan meminjam buk yang lainnya lagi.

"Mau kemana?" tanya Sasya.

"Perpus," jawab Kiara tanpa menoleh.

Di perpustakaan, Kiara bisa duduk dengan tenang tanpa gangguan dari orang lain. Itu hal yang bagus. Karena moodnya belum membaik untuk sekedar ngobrol. Lebih asik menyendiri dan menghabiskan waktu dengan membaca buku. Salah satu hal yang selalu berhasil menyita perhatiannya.

Buku yang menarik perhatiannya adalah astronomi. Kiara tersenyum dan mengambil buku itu. Setidaknya hal ini bisa membuatnya merasa dekat dengan Dimas.

Baru membaca beberapa halaman, bel masuk berbunyi. Kiara buru-buru mengambil buku itu dan pergi ke penjaga perpustakaan. "Bu, saya mau pinjam buku ini."

"Oke, biar Ibu data dulu."

"Suka astronomi juga?"

Kiara tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Iya, kalau ada koleksi terbaru, nanti aku pinjem yaa Bu?"

"Sip, nanti Ibu kabarin. Senangnya ada anak muda yang punya minat baca yang tinggi."

"Hehe, kalau nggak baca nanti aku nggak tau apa-apa Bu. Buku itu kan jendela dunia, kalau pun nggak bisa keliling dunia, aku kan jadi bisa tau gambarannya lewat buku."

☁️☁️☁️

"Tulang rusuk patah! Gegar otak! Sekarang apa lagi?" omel Aya setelah satu minggu Dimas dirawat di rumah sakit. "Gue kan udah bilang Dim! Lo tuh berhenti aja. Kenapa sih masih bandel. Kalau gini siapa yang sedih?! Gue sama Bunda juga kan?"

Dimas memainkan selimutnya dan tidak menanggapi omelan dari kakaknya yang sudah seperti nenek lampir ini. Setelah pertandingan malam itu, dia tidak sadarkan diri lebih dari 24 jam sampai membuat bunda menangis dan hampir pingsan. Jelas dia jadi merasa bersalah.

"Udah, kan yang penting Dimas udah nggak apa-apa," bela bunda.

"Nggak apa-apa gimana?" tanya Aya. Dia memukul tangan Dimas dengan mata memerah. "Kalau lo kenapa-napa siapa yang bakal jagain Bunda sama gue?! Lo tau kan cuma lo yang kita punya sekarang!"

Dimas menundukkan kepalanya. "Maaf, gue janji nggak bakal ngulangin lagi."

"Jelas! Lo emang nggak bisa ikut pertandingan lagi," balas Aya.

"Nggak bisanya kan cuma tiga bulan Ya," balas Dimas.

Aya melotot marah. "Terus abis itu lo mau lanjut lagi?!"

"Hemm liat nanti," balas Dimas. Mau bagaimana lagi, dia suka dengan pekerjaannya. Toh segala macam pekerjaan punya risiko masing-masing. "Lagian gue nggak apa-apa, cuma begini."

"Cuma?!" Aya bernafas seperti banteng ingin mengamuk. "Sini gue benturin kepala lo ke tembok biar nggak jadi cuma!"

"Udah-udah!" Bunda memisahkan.

Aya duduk di samping bunda sambil menggelengkan kepalanya. "Sadar nggak sih lo ngelepasin impian lo? Katanya lo mau jadi timnas basket? Seleksi buat tim-tim yang biasa diambil timnas sebentar lagi Dim. Gimana lo mau ikut?"

Inilah yang membuat Dimas sedih. Dia jadi harus mengubur mimpinya untuk sementara. Tapi dia yakin masih ada banyak kesempatan. Masih ada tahun depan. Itupun kalau cedera di tangan dan bahunya tidak parah.

Bunda tersenyum dan menghampiri Dimas. Mengusap kepala putra satu-satunya ini. "Apapun yang Dimas pilih, Bunda dukung. Tapi tolong, jangan buat Bunda khawatir seperti kemarin."

Dimas tersenyum dan mengecup pipi ibunya ini. "Maaf Bunda, nggak lagi."

"Awas aja kalau lo bikin gue harus pontang-panting balik ke Jakarta lagi," kata Aya.

☁️☁️☁️

Mona sama sekali tidak memberitahu kabar Dimas pasa Kiara. Sesuai perjanjiannya dengan Dimas, dia akan tutup mulut serapat mungkin. Jadi kalaupun Kiara tahu, itu sudah pasti bukan darinya.

Untung sampai sekarang Kiara tetap tidak tahu. Meski sebenarnya Mona ragu kalau Kiara tidak curiga. Karena sudah seminggu Dimas tidak terlihat di sekolah. Okelah sekolah ini luas, mungkin saja kan Kiara pikir Dimas ngumpet di kamar mandi agar bisa menghindar.

"Ra, lo nggak mau nanya apa-apa sama gue?" pancing Mona.

Kiara menyantap makanannya. Ekspresi itu tidak bisa terbaca. Kembali pada Kiara si kutu buku yang tidak suka mengekspresikan diri di depan orang banyak. "Nggak."

"Nggak nanya kenapa gue sering balik bareng Angga?" tanya Mona lagi.

Sasya, Luna dan Mita mengerutkan keningnya bingung. Mona ini kenapa sih. Maksud dari pertanyaannya itu apa. Kenapa berbelit-belit. Bukan seperti Mona yang biasanya to the point.

"Lo pasti ada urusan yang nggak harus gue tau," jawab Kiara dengan santai. Dia menyelesaikan makan siangnya. "Minggu ini kan minggu tenang. Kalian belajar yang bener yaa."

"Eh mau kemana?" tanya Luna.

"Perpus," jawab Kiara.

"Lagi?" tanya Mita yang dijawab senyuman oleh Kiara. Mita geleng-geleng kepala sambil menatap Kiara yang sudah berjalan pergi. "Gila tu anak."

"Eh sebenernya apa sih yang lo mau omongin ke Kiara?" tanya Sasya kepo.

Mona ikut menatap ke arah perginya Kiara. Dia memang belum menceritakannya pada Sasya dan yang lain. Takut anak-anak ini keceplosan di depan Kiara. "Lo pada sadar Dimas nggak masuk udah seminggu ini?"

"Sadarlah, bego kalau gue nggak sadar," jawab Luna.

"Dia masuk rumah sakit," jawab Mona.

Sasya membuka mulutnya. Kepalanya langsung mendekat. "Dia sakit apa? Leukimia? Yaampun. Kayak film! Pasti nanti Kiara bakal balik buat nemenin Dimas!"

Plak. Kepalanya langsung dipukul oleh Mita. Sembarangan saja kalau bicara. Ucapan itu kan doa. "Jelasin Na, jangan denger ocehan Sasya."

"Dia tanding sampe babak belur, gue kasian sih liatnya. Gue rasa malem itu Dimas bener-bener gila. Udah nggak sanggup berdiri tapi maksain buat lanjutin pertandingannya," jelas Mona sambil bertopang dagu.

Ketiga orang dihadapannya meringis ngilu membayangkan Dimas dihajar begitu. "Apa gara-gara masalahnya sama Kiara ya? Gue bilang juga apa, harusnya tuh anak nggak sampe putus sama Dimas."

"Mau gimana lagi? Kiara emang ngerasa bersalah banget sama Adrian," komentar Mita.

Sasya berdecak kesal. "Tapi gue beneran nggak abis pikir, kenapa harus nyakitin diri sendiri sih? Maksud gue, siapa sih yang nggak sadar Kiara masih sayang banget sama Dimas?"

"Bener, lagian menurut gue tetep bukan Kiara yang salah. Tapi gimana ya jelasinnya? Bingung juga sih," ucap Luna.

"Yaudahlah, ini kan udah keputusannya Kiara. Toh dia pasti udah mikirin baik-baik," kata Mita.

☁️☁️☁️

Ujian Nasional yang ditunggu-tunggu akhienya datang, semua berjalan dengan lancar. Hari-hari yang paling krusial untuk anak kelas dua belas. Waktu dimana saatnya mengerahkan semua hasil usaha belajar mereka. Termasuk Kiara yang sudah berusaha sebisanya.

Dia sudah berencana untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas yang ada di Australia. Selama di sana dia akan tinggal dengan tantenya. Keputusan yang sudah bulat sejak dua minggu yang lalu.

"Akhirnya kita selesai juga," kata Sasya.

Kiara tersenyum lega dan menyandarkan kepalanya di kursi. "Hem, gue lega. Semoga hasilnya bagus."

"Amin!" teriak Luna. "Eh lo beneran fix mau ke Aussie?"

"Hem iya, udah disiapin juga semuanya. Tenang aja, nanti tiap liburan gue pasti nyamperilo semua," kata Kiara.

"Harus lah! Pokoknya kabarin terus ya kalau udah di sana. Jangan lupa gaet bule yang cakep. Bawa ke sini buat gue!" suruh Sasya.

Luna berdecak dengan jari telunjuk tergerak ke kanan dan kiri. "Nakal yaa udah punya Zidan juga. Gue bilangin ah biar lo sama dia ribut."

"Eh jangan dong!"

"Haha gue bilangin, gue nggak suka kalian akur!" kekeh Luna

Kiara memutar bola matanya dan langsung pergi ke kelas. Lebih baik dia pulang sekarang. Besok tantenya akan datang untuk berkunjung. Dia akan menyiapkan semua berkas-berkas yang harus diperlukan. Nanti setelah UN dia juga pasti akan jarang ke sekolah. Kalau tidak penting, lebih baik dia di rumah saja. Sesuai dengan ucapan Dimas, dia akan berusaha menghindar dari pandangan cowok itu sebisanya.

☁️☁️☁️

Hari-hari di sekolah berjalan seperti biasanya. Kelas dua belas hanya datang untuk nongkrong di kelas atau di kantin. Sembari menunggu hasil ujian. Beberapa anak rajin tentunya membuat kelompok belajar untuk bersiap menghadapi tes perguruan tinggi.

Dimas pun sudah kembali masuk sekolah. Beberapa orang heboh melihat wajah cowok itu saat muncul pertama kali setelah satu minggu tidak masuk sekolah. Banyak spekulasi yang muncul. Bahkan pekerjaannya pun mulai diketahui. Tapi Cakra berusaha untuk tetap menutupinya.

"Nyari siapa Dim?" tanya Luna saat berpapasan dengan Dimas di kantin sekolah.

Cengiran Dimas membuat beberapa cewek yang ada di kantin makin kagum. Tidak peduli dengan wajah lebam-lebam cowok itu. "Nggak, gimana ujian lo pada? lancar?"

"Ujiannya Kiara? lancar kok Dim, dia sih udah siap banget," jawab Sasya yang langsung mengerti arah pertanyaan Dimas. Kemana lagi kalau bukan ke sana. "Kalau lo nyari dia, nggak bakal nemu Dim. Tuh anak nggak bakal masuk kecuali penting banget. Dia lagi nyiapin berkas buat lanjut ke Aussie."

Dimas terdiam mendengar penjelasan Sasya. Jadi sekaran dia dan Kiaraa benar-benar berakhir. Tidak da kesempatan bahkan hanya untuk melihat cewek itu lagi.  Oke, toh ini sudah jadi keputusannya juga. Senyumnya mengembang. "Thanks. Yaudah, gue mau ke temen-temen gue dulu."

"Lo nggak apa-apa Dim?" tanya Mita.

"Pake ditanya," celetuk Mona. "Broken heart lah dia, nggak liat tuh muka sampe begitu."

"Sial lo," balas Dimas.

Benar saja, selama di sekolah Dimas tidak pernah bertemu dengan Kiara lagi. Mungkin nanti dia akan bertemu di malam prom. Itu pun kalau Kaira mau datang, karena cewek itu tidak terlalu suka acara yang itu. Dia yakin Kiara tidak akan datang kalau tidak dipaksa sahabat-sahabatnya. Semoga saja Sasya berasil membujuk Kiara. Untuk sekali ini lagi, dia mau melihat Kiara. Sebentar juga tidak apa-apa.

"Dim!" panggil Risa.

"Hem?"

Risa memberikan minuman pesanan Dimas. "Malem prom lo dateng?"

"Mungkin," balas Dimas.

"Jemput gue dong Dim, biar gue boleh berangkat," pinta Risa dengan wajah memohon. Dia ingin sekali datang ke acara itu, tapi mamanya tidak mengizinkan. padahal dia kan penasaran prom night itu seperti apa. Selama ini dia hanya tahu dari film dan buku.

"Dasar jomblo," ledek Dimas. "Oke, ntar gue jemput."

"Yesss! Thanks Dimas!" teriak Risa girang.

Dimas cuma tersenyum tipis, dan kembali menikmati semilir angin. Sedang asik, bahunya tiba-tiba kembali sakit. Dia meringis sambil menyentuh bahu.

"Masih sakit banget ya Dim?"

"Lumayan." Dimas kembali menegakkan punggungnya.

Risa menatap Dimas, kasihan melihat cowok itu sampai harus begitu. Juga marah pada Kiara karena egois sekali. Kurang baik apa Dimas. "Lo harusnya nggak sampe begitu."

Dimas diam, dan berdeham pelan. Mengalihkan pandangannya dari Risa. Ingat, Risa bukan Kiara. Dia tidak bisa menyamakan keduanya.

☁️☁️☁️

Dimas

Kiara Dimas

Mona

Mona Angga

See you on the next chapter ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro