BAB 37 - Perpisahan
Hola, jadi double up minggu ini 😂 mau buru-buru namatin ini cerita.
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys, hope you like this chapter ❤
☁️☁️☁️
Sudah setengah jam sejak pusara Adrian ditutup. Bunga segar bertaburan di atas tanah yang baru itu. Beberapa orang berbisik, membicarakan tentang kematian Adrian yang ternyata sudah diketahui banyak orang. Dalam situasi duka pun, orang-orang tidak memandang, hanya bisa melihat keburukan.
Kiara masih menatap nanar nisan yang terukir nama orang yang selama ini dia sia-siakan. Tidak ada air mata, karena dia sudah lelah menangis semalaman. Sama halnya dengan Nazwa yang duduk sambil mengusap nisan itu, seolah sedang mengusap kepala Adrian.
Ibunya Adrian, yang biasanya tampil glamor kini hanya memakai pakaian putih polos. Wajah itu tidak dihiasi make up apapun. Pandangan matanya kosong. Sejak semalam entah sudah berapa kali jatuh pingsan. Adrian putra satu-satunya telah pergi untuk selamanya.
"Kenapa kamu tega ninggalin Mama berjuang sendirian di sini?" itu pertanyaan yang sejak semalam Kiara dengar. Dia bisa mengerti bagaimana menyesalnya ibu itu sekarang. Adrian yang sejak dulu sering diabaikannya.
"Ra, kita pulang sekarang ya?" ajak Sasya.
Kiara menggelengkan kepalanya. "Gue mau di sini dulu Sya. Lo sama yang lain duluan aja."
"Tapi Ra, dari semalem lo nggak istirahat. Lo belum makan kan? Nanti kalau sakit gimana?" tanya Sasya khawatir.
"Gue nggak apa-apa Sya," balas Kiara masig tetap menatap makam Adrian. "Gue mau sama Adrian dulu, sebentar. Gue nggak sempet nemenin dia sebelum dia pergi."
Mendengar itu, Sasya kembali terisak kecil dan memeluk sahabatnya. Kali ini dia tidak memaksa Kiara. Karena dia paham sekali sekarang ini sahabatnya itu pasti sedang merasa bersalah.
"Gue balik duluan ya, Dimas nunggu lo di mobil. Kalau mau pulang lo bisa nelfon dia," kata Sasya.
Mendengar nama Dimas, Kiara jadi ingat sejak semalam dia memilih untuk menghindar dari cowok itu. Melihat Dimas membuat rasa bersalahnya makin menumpuk pada Adrian. Selama ini bagaimana dia bisa egois senang-senang dengan Dimas sedangkan Adrian menderita karena obat-obatan itu.
"Sya," panggil Kiara. "Kalau lo ketemu dia, suruh dia pulang aja. Gue bisa pulang sendiri."
"Hem, yaudah nanti gue sampein." Sasya pergi dengan Luna sambil menggelengkan kepala. Memberi isyarat agar teman-temannya tidak terlalu banyak bicara. Saat ini lebih baik membiarkan Kiara tenang dulu.
Orang-orang mulai berpergian dari pusara Adrian. Taman makam ini hanya menyisakan beberapa orang. Di luar sana wartawan masih berkumpul, meliput dari kejauhan karena dijaga oleh keamanan.
Kiara mengusap pelan bahu Nazwa. "Naz, lo nggak pulang?"
Nazwa menyingkirkan tangan Kiara dari bahunya. Kepalanya mendongak, mata itu masih memerah karena terlalu banyak menangis. "Lo tau? Adrian nggak suka gue nyalahin lo karena dia pake narkoba. Mungkin dia bener, semua nggak sepenuhnya salah lo. Ini pilihan dia sendiri."
"Tapi Ra," ucapan Nazwa terputus karena satu tetes airmatanya kembali jatuh. "Gue nggak bisa munafik, gue nggak bisa buat nggak marah sama lo. Coba aja waktu itu lo nggak nyuruh dia ngejauh, nggak musuhin dia, nggak ninggalin dia, mungkin dia nggak bakal ngerasa sesendiri ini."
Kiara diam mendengar ucapan Nazwa yang benar adanya. Kepalanya tertunduk dalam. Tidak bisa menjawab apa-apa.
"Lo bilang apa sama Adrian pas nolak dia? Hem? Lo masih suka sama Kahfi? Hah, kalau gitu kenapa lo terima Dimas? Itu nggak adil Ra buat Adrian! Lo ninggalin Adrian yang lo bilang sahabat lo buat Dimas juga kan?!" tanya Nazwa.
Isak Kiara kembali keluar. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan dan menganggukan kepalanya. "Iya, gue emang salah Naz. Gue emang egois. Tapi sumpah gue nggak pernah mau Adrian berakhir kayak gini!"
"Kalau pun Adrian maafin lo, gue nggak bisa. Buat gue, lo salah satu alesan dia bisa berakhir begini," ucap Nazwa sebelum meninggalkan Kiara yang masih menangis di samping makam Adrian.
Kenapa, kenapa harus pergi dengan cara begini Adrian. Kiara menggelengkan kepalanya. Rasanya benar-benar sakit. Apakah selama ini dia menyayangi Adrian lebih dari sahabat.
☁️☁️☁️
Kiara ikut ke rumah Adrian karena ibu dari cowok itu kembali pingsan. Dia membantu asisten rumah tangga yang tadi ikut ke pemakaman. "Tante nggak apa-apa?"
"Hem saya nggak apa-apa, Papanya Adrian, dia udah bisa dikabari?" tanyanya lemah.
Kepala Kiara menggeleng pelan. "Kiara nggak tau Tante-"
"Renata, kamu bisa panggil saya Tante Renata," ucapnya pelan. Jemari lentik itu mengusap pipinya yang basah. "Saya harus bagaimana sekarang? Adrian-"
"Tante," panggil Kiara. "Tante harus kuat, buat Adrian. Dia pasti sedih lihat Tante begini."
Isakan keduanya mengisi kamar besar ini. Tante Renata kembali menyeka airmatanya. "Terima kasih, kamu udah buat Anak Tante bahagia. Kamu tau, dia nggak pernah senyum secerah itu, waktu itu Tante sampai bingung. Ternyata dia abis jalan sama kamu katanya."
"Tante, Kiara nyakitin Adrian," balas Kiara.
Tante Renata menggelengkan kepalanya. Tangannya mengusap lembut kepala Kiara, bibirnya tersenyum meski air mata masih mengalir. "Kamu nggak pernah nyakitin Adrian, anak itu nggak pernah marah sama kamu, nggak bisa katanya. Dia itu sering curhat sama Bibi Jum yang ngasuh dia dari kecil."
"Sebelum kasus Papanya, hubungan Tante sama Adrian sempat membaik. Dia mau terbuka sedikit, sayangnya kasus itu bikin Adrian makin jauh," kata tante Renata. Helaan nafasnya memberat. "Adrian benar, Tante bukan ibu yang baik buat dia. Kasian dia harus punya ibu seegois Tante."
"Tante," lirih Kiara sambil memeluk tante Renata. "Aku yakin Adrian sayang banget sama Tante."
☁️☁️☁️
Kiara masuk ke dalam kamar Adrian, tempat dimana cowok itu memilih untuk mengakhiri hidupnya. Beberapa barang masih tergeletak berserakan menandakan belum lama digunakan dari siempunya kamar.
Matanya menatap lemari koleksi kamera milik Adrian. Cowok itu suka sekali dengan fotografi. Hasil fotonya selalu menakjubkan. Di sudut ruangan yang menghadap jendela ada meja belajar beralih fungsi sebagai tempat piala penghargaan dari lomba-lomba yang Adrian ikuti. Di sana juga ada kumpulan foto-foto pemandangan.
Kiara menyipitkan matanya melihat foto dirinya yang sedang mengenakan gaun yang saat ini dia kenakan. Ini malam prom night dimana dia menunggu Kahfi. Lagi-lagi matanya berkaca-kaca.
Dia duduk di ranjang, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Masih belum bisa benar-benar percaya dengan apa yang sekarang sedang terjadi. Ponsel yang bergetar di atas nakas mengalihkan perhatian Kiara.
Dia menghampiri ponsel itu. Ini bukan ponsel Adrian. Apa cowok ini baru mengganti ponselnya lagi. Pesan masuk dari toko bunga. Pengiriman hari ke-25 sudah diantar. Kiara melebarkan matanya. Dia langsung mengecek alamat tujuan pengirimannya.
Astaga, apalagi ini, bunga mawar putih itu dari Adrian. Benar, kenapa dia bisa lupa kalau cowok itu pernah bilang kalau dia menyukai mawar putih. Katanya mawar putih itu melambangkan kesetiaan. Kiara waktu itu tertawa geli karena melihat Adrian yang kelihatan garang ternyata mellow juga.
"Gue mau kasih mawar putih ini buat orang-orang yang gue sayang," kata Adrian bangga.
"Oh yaa ke siapa? Lo kan jomblo," ledek Kiara.
Adrian menjitak kepala Kiara. "Ngeledek yaa? Gue udah pernah ngasih ke satu orang."
"Siapa?"
"Bi Jum, orang yang ngerawat gue dari kecil," balas Adrian dengan senyum simpulnya. "Lo mau jadi yang berikutnya?"
"Hah? Apa? Dapet bunga? Sorry yaa nggak deh makasih, gue nggak suka bunga."
Kiara tersenyum mengingat obrolan itu. Mawar putih bukan melambangkannya, tapi melambangkan Adrian yang selalu tulus dalam menyayangi orang lain. "Lo harus tanggung jawab, sekarang gue jadi suka bunga mawar putih."
Satu draft pesan yang belum sempat Adrian kirim juga menarik perhatiannya. Dia melihat pesan itu. Ternyata itu pesan yang dikirim untuknya.
Mau denger suara lo, tapi nggak sempet :)
Kening Kiara mengerut, dia mengirim pesan itu dan melihat ponselnya. Nomor yang tidak dikenal. Buru-buru dia mengecek nomor yang kemarin meneleponnya. Benar saja, itu nomor Adrian.
"Adrian," isak Kiara. "Maaf, maaf, maaf."
☁️☁️☁️
Sudah tiga hari sejak Adrian meninggal dunia. Tapi suasana hati Kiara masih saja kacau sampai jatuh sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Kiara hanya berdiam diri di kamar. Mama dan bang Lion sudah berusaha membujuk untuk keluar tapi tidak ditanggapi.
"Sayang, itu ada Dimas loh di bawah. Nggak mau nemuin bentar?" tanya mama dari luar kamar.
"Ara capek Ma, kepala Ara masih pusing," jawab Kiara.
"Tapi kan kasian sayang, udah dateng loh," balas mama lagi.
Kiara menutup kepalanya dengan bantal untuk meredakan suara tangisnya. "Ma, please. Ara beneran pusing sekarang. Bilang sama Dimas, besok aja kalau mau ketemu, Ara besok sekolah."
Maaf Dimas, untuk sementara ini mungkin lebih baik begini. Kiara belum siap untuk melihat Dimas lagi. Apalagi untuk ngobrol. Dia masih terlalu syok dengan kepergian Adrian. Ditambah rasa bersalahnya.
Seharian ini kondisi Kiara lumayan membaik. Demamnya sudah turun. Besok pagi dia sudah bisa kembali ke sekolah lagi. Semoga saja masih bisa menghindari Dimas. Dia akan datang agak telat, lalu istirahat di kelas saja, hem mungkin lebih aman dia sembunyi di toilet, nanti setelah pulang ada jadwal pendalaman materi. Kalau Dimas menunggu bilang saja dia mau langsung pergi ke tempat les.
Paginya, Kiara langsung berangkat tanpa sarapan. Rasanya dia tidak lapar. Dia hanya ingin cepat melewati hari ini. Lalu kembali ke kamar dan tidur lagi. Setidaknya saat tidur dia bisa melupakan sedikit bebannya.
Lion mengantarnya ke sekolah meski Kiara menolak. "Nanti pulang gue jemput apa bareng Dimas?"
"Aku mau ada PM Bang, nanti jemput aja jam empat," jawab Kiara. "Yaudah aku masuk dulu ya. Makasih Bang."
Kiara melewati koridor dengan kepala tertunduk. Menutupi matanya yang masih membengkak. Jangan mengundang gosip lagi. Dia lelah.
"Kia," panggil Dimas.
Kiara mendongak, dia terdiam melihat Dimas berdiri menjulang di hadapannya. Ternyata cowok ini sudah menunggu di depan kelasnya. Entah sejak kapan. Untung sebentar lagi bel masuk.
Senyumnya mengembang tipis. "Kenapa Dim?"
"Lo nggak apa-apa?" tanya Dimas pelan.
"Hem? gue nggak apa-apa, lo ke kelas aja. Gue mau masuk, bentar lagi bel," jawab Kiara sambil berlalu masuk ke dalam kelas. Meninggalkan Dimas yang masih tetap berdiri di tempatnya. Jujur, dia ingin menoleh pada cowok itu, tapi dia tidak bisa.
Kiara pura-pura cuek mengeluarkan buku-bukunya dan duduk dengan santai. Dia tahu kalau Dimas masih berdiri di sana menatapnya. Cukup lama, sampai akhirnya cowok itu pergi.
Akhirnya. Kiara menghela nafas panjang dan menyandarkan punggunya ke kursi sambil memejamkan mata. "Maaf."
☁️☁️☁️
Dimas memainkan gitar milih Danu yang dia pinjam sambil memetik asal. Pagi ini dia kembali gagal mengajak Kiara bicara. Cewek itu menghindar, jelas dia sadar. Wajar, Kiara pasti masih syok dengan kepergian Adrian yang sangat mendadak. Ditambah alasan kematiannya adalah OD.
"Kiara udah masuk?" tanya Angga.
"Hem," jawab Dimas seadanya. Dia menggelengkan kepala. "Gue cuma mau tau kabarnya."
"Sabar, dia butuh waktu," jawab Angga.
Danu dan Dirga mengangguk setuju. Yaa meski kadang pemikiran perempuan itu rumit. Kali ini mereka bisa sedikit paham. Ini bukan soal mood swing biasa. Masalah ini lumayan berat.
Dimas menghela nafas berat dan kembali memetik gitar. Bernyanyi asal, tapi tetap enak didengar. Sebenarnya situasi sekarang bukan hanya mengagetkan Kiara, dia pun sama kagetnya.
Hari itu, saat menemani Kiara pergi ke rumah Adrian untuk mengecek keadaan orang itu setelah penangkapan ayahnya, dia sempat bicara sebentar dengan Adrian. Pembicaraan yang aneh sampai membuatnya tidak fokus. Sekarang dia sadar itu adalah pesan.
Adrian memang sudah berniat untuk mengakhiri semua sejak hari itu.
"Gue sayang Kiara," kata Adrian.
"Lo ngajak ribut?" tanya Dimas.
Adrian tersenyum sinis dan menggelengkan kepalanya. "Gue nggak bisa jaga dia, gue sering bikin dia nangis, gue nggak bisa bikin dia ketawa lepas, nggak kayak lo yang selalu berhasil."
"Oh jelas," balas Dimas dengan bangga.
"Tolong sampein maaf gue ke dia," kata Adrian lagi. "Maaf gue milih jalan ini. Tapi ini bukan salah dia, nggak sama sekali. Ini murni pilihan bego gue sendiri."
"Lo harus bilang itu sendiri," balas Dimas.
Lagi-lagi Adrian tersenyum. "Nggak bisa, gue nggak ada waktu, lo yang harus bilang. Gue titip Kiara sama lo. Jagain dia, gue percaya lo bisa bikin dia bahagia."
Dimas terdiam.
"Tolong sampein maaf gue ke dia. Sorry juga gue sering bikin lo kesel," lanjut Adrian sambil menepuk bahu Dimas. "Sana lo balik, kasian dia nunggu lama."
"Dim?" panggil Risa sambil mengguncang tangan Dimas. "Lo bengongin apaan sih?"
Dimas mengerjapkan mata dan menggelengkan kepalanya. "Kenapa Sa?"
"Ck, ini nilai tugas kelompok kita kemaren. Lagian lo siang bolong begini bengong, kesambet loh!" kata Risa.
Dirga terkekeh geli dan menepuk-nepuk bahu Dimas. "Biarin aja Sa, dia lagi galau. Jangan ganggu, nanti lo kena damprat. Mending ngobrol sama gue."
"Ogah! gue mau ke ruang seni," balas Risa dengan tawa kecil. "Kalian nanti kalo mau ke kantin kabarin yaa? Gue nggak ada temen nih."
"Siap Non, aktifin hp! Gue mager nyamperin ke ruang seni," jawab Danu.
"Hihi takut sama Ainun yaa?" ledek Risa yang dihadiahi pelototan. Dia langsung kabur sebelum Danu ngoceh panjang lebar karena membahas Ainun si cewek yang selalu mengejar Danu sejak hari pertama MOS.
Dimas cuma geleng-geleng kepala dan meletakkan gitarnya. Dia merebahkan kepalanya di meja. "Bangunin gue kalau guru masuk!"
☁️☁️☁️
Sudah lebih dari seminggu, dan Kiara masih menghindari Dimas tanpa penjelasan apapun. Sasya meletakkan buku latihan soalnya di meja kantin. Dia sudah ingin bertanya soal ini sejak kemarin-kemarin.
"Sampai kapan sih lo mau ngehindarin Dimas? Dia nunggu lo terus tiap pagi. Seenggaknya kasih dia kejelasan dong Ra," kata Sasya.
Kiara menutup bukunya, matanya menatap Sassya dan yang lain. "Gue rasa gue nggak bisa lanjut sama Dimas."
"Apa?" tanya semua dengan kompak. Bahkan Mona juga. Ini jelas mengagetkan. Karena hubungan Kiara dan Dimas sebelumnya baik-baik saja.
Ini hal yang sudah Kiara pikirkan baik-baik sejak berhari-hari. "Gue nggak bisa liat Dimas, setiap ngeliat dia gue selalu inget Adrian. Sumpah gue ngerasa bersalah banget sama Adrian."
"Tapi kan Ra, kayaknya nggak harus gini deh," kata Luna.
"Lo nggak ngerti Luna! waktu itu gue nolak Adrian alesannya karna nggak bisa move on dari Kak Kahfi, terus tiba-tiba gue pacaran sama Dimas," jelas Kiara. Kepalanya menggeleng. "Gue asik sama Dimas, sampe lupa sama sama Adrian."
"Ra gue rasa lo juga udah usaha buat narik Adrian, lo udah berusaha jadi sahabat yang baik buat dia. Jangan pikirin omongan Nazwa, dia nggak tau apa-apa," ucap Mita.
Kiara menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Lo tau? Sebelum meninggal Adrian telfon gue. Bahkan gue nggak ngangkat padahal itu telfon terakhirnya."
"Adrian terus baik sama gue, dia bikin gue jadi orang yang lebih percaya diri. Dia yang selalu yakinin gue padahal gue nggak yakin sama diri gue sendiri," lanjutnya lagi. "Gue- gue bener-bener ngerasa bersalah. Dan ngeliat Dimas bikin perasaan bersalah gue makin numpuk. Sakit banget Sya," isaknya.
Melihat Kiara terisak, membuat Sasya dan yang lainnya tidak tega. Mereka tahu arti Adrian untuk Kiara. Tapi rasanya tidak adil kalau Kiara harus menghukum diri sendiri atas meninggalnya Adrian. Karena pada dasarnya ini adalah jalan yang dipilih oleh Adrian sendiri.
Dari balik dinding, Dimas kembali mendengar semua obrolan itu. Kalau saat itu menguping membuatnya mendapatkan penjelasan yang melegakan. Sekarang, penjelasan itu terdengar pahit. Jadi ini alasan Kiara menjauhinya. Jadi begini akhirnya.
"Terus lo mau putusin Dimas kapan?" tanya Mona.
Kiara menggelengkan kepala. "Gue nggak tau, gue bener-bener nggak tau harus ngomong gimana sama Dimas."
"Dasar," gumam Dimas pelan. Dia langsung pergi meninggalkan kantin. Tidak jadi menghampiri Kiara. Karena jawabannya sudah didapatkan.
☁️☁️☁️
Jam pelajaran olahraga kelas Dimas dan Kiara ada di hari yang sama. Setelah kelas Dimas, kelas Kiara bersiap ke lapangan. Hari ini guru olahraga absen. Mereka hanya disuruh berlatih untuk pengambilan nilai minggu depan. Kesempatan yang pas untuk Dimas mengajak Kiara bicara.
"Kia!" panggil Dimas.
Kiara menoleh dan terlihat gugup. "Emm Dim, gue mau latihan dulu. Ngobrolnya nanti-nanti aja ya?"
"Bentar doang, penting," kata Dimas. Pandangannya beralih pada teman-teman Kiara yang ada di belakang cewek itu. Senyumnya mengembang manis. "Gue pinjem Kia bentar yaa?"
"Eh oh iya silahkan," jawab Mita.
Sasya dan Luna saling menyikut, terlihat bingung harus memberi respons apa. Ingin membantu Kiara menghindari Dimas, tapi sepertinya pembicaraan kali ini penting. Jadi lebih baik mereka diam.
Dimas mengajak Kiara duduk di kursi kantin. Ini jelas tentang apa yang dia dengar kemarin. Setelah semalaman berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk bicara dengan Kiara.
"Ki," panggil Dimas.
"Hem?" jawab Kiara.
Dimas menoleh, dia tersenyum simpul dan menunjuk wajah Kiara. "Jangan pasang muka bersalah begitu di depan gue."
"Maksudnya?" tanya Kiara sambil menyentuh wajahnya sendiri.
"Gue ngerti," ucap Dimas mengabaikan pertanyaan Kiara. "Kita udahan aja Ki, kalau lo nggak bisa ngomong putus, biar gue yang selesain semua."
"Dimas," gumam Kiara.
Lagi-lagi senyum Dimas terukir, tangannya mengusap tangan Kiara dengan lembut. "Kalau sama gue bikin lo sakit, mending kita selesai."
Kiara mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tidak menangis. "Lo denger obrolan gue kemaren?"
"Hem, sorry gue nggak sengaja denger," kekeh Dimas. "Lo nggak perlu susah mikir gimana cara ngomongnya sama gue. Harusnya lo bilang langsung sama gue Kia. Kalau selesai bikin lo lega, gue beneran nggak apa-apa."
"Maaf Dim," ucap Kiara.
Dimas menatap lekat-lekat wajah sedih itu. Sial, dia tidak bisa lama-lama menatap Kiara. "Ck jangan nangis, nanti gue peluk," canda Dimas dengan wajah sedih. "Sana balik ke temen lo, mereka pasti lagi was-was."
Kiara mengusap airmatanya dengan kasar dan menganggukan kepalanya. "Thanks Dim."
"Bentar Ki," kata Dimas. Dia bangkit dan berdiri di hadapan Kiara. "Jaga diri, jangan pergi malem-malem kalau nggak ditemenin sama Bang Lion. Kalau pergi kemana-mana minta temenin Sasya kalau perlu Mona yang jagoan."
Kiara menganggukan kepalanya.
"Jangan ngerasa bersalah, jangan hukum diri lo sendiri," lanjut Dimas lagi.
Lagi-lagi Kiara mengangguk. Dia tersenyum manis meski airmatanya sudah menetes. "Makasih Dimas."
Dimas mengusap pipi Kiara yang basah. "Jangan senyum begini kalau pas-pasan sama gue di jalan, kalau lo nggak mau gue peluk." Benar-benar perpisahan menyakitkan yang tidak pernah dia bayangkan. Harusnya semua tidak berakhir begini.
"Hemm," jawab Kiara. "Gue harap lo dapet yang lebih baik dari gue. Bye Dimas." Dia langsung berbalik pergi meninggalkan kantin. Tanpa menoleh sama sekali.
Di tempatnya berdiri, Dimas hanya bisa menatap Kiara yang sudah tidak bisa dia raih lagi. Dia tidak bisa mengusap airmatanya lagi. Tidak bisa menggenggam tangan itu lagi.
Dimas tersenyum miris. Tidak boleh menyesal. Ini sudah keputusan terbaik untuk mereka. Dia tidak ingin membuat Kiara makin sedih.
Semoga setelah ini, Kiara bisa merasa lebih baik dan kembali menjadi Kiara yang ceria. Dia ingin melihat senyum manis Kiara lagi. Meski nanti harus melihat dari jauh dan diam-diam.
"Udah selesai?" tanya Angga sambil duduk di samping Dimas.
Dimas menganggukan kepala. "Selesai."
"Lo beneran yakin?" Angga agak ragu karena tahu kalau Dimas menyayangi Kiara.
"Liat aja nanti," balas Dimas. Dia berdiri untuk kembali ke kelasnya. "Nanti malem ada pertandingan ulang sama orang yang waktu itu kan?"
"Yoi, tapi lo harus hati-hati Dim. Dia bener-bener bukan orang sembarangan, dia udah pelajarin tak tik lo di pertandingan pertama," kata Angga.
Dimas tersenyum. "Oke."
☁️☁️☁️
See you on the next chapter ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro