
BAB 35 - Berita Mengejutkan
Hola, setelah libur beberapa lama. Aku akhirnya bisa up. Tapi tetep up jarang yaa karena aku udah kerja sebagai perawat di rs dan sekarang suasana lagi kacau. Selama pandemi corona ini jadwal jadi makin padet. Doain mudah2an aku selalu dikasih kesehatan yaa 😊
Beberapa part menuju ending...
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys ❤
☁️☁️☁️
Sekolah hari ini sangat ramai karena ada event futsal yang diikuti beberapa sekolah di daerah ini. Seperti biasa, disetiap acara besar, sudah pasti banyak stand-stand bazar tiap kelas. Karena Kiara dan yang lainnya sudah serah terima jabatan dengan pengurus OSIS baru, jadilah dia bisa ikut bergabung nongkrong di stand kelasnya.
Bersama Sasya dan yang lain pastinya. Mona sejak tadi sibuk menghabiskan makanannya. Katanya kalau acara seperti ini, yang paling menarik adalah penjual makanan. Masa bodo dengan event apa yang sedang berjalan. Padahal sejak tadi anak itu diajak menonton Angga yang sedang bertanding.
"Nyesel lo nggak liat Angga," kaa Sasya.
Mona mengibaskan tangannya. "Si kuyang mau tanding, mau jungkir balik, bodo amat. Pokoknya yang penting gue kenyang."
"Ckck lo nggak ngerasa getaran-getaran gitu ya Na?" tanya Mita penasaran.
Mona mengerjapkan mata dan menyentuh perutnya. "Ada sih, dari pagi perut gue geter minta jatah. Kenapa?"
"Ah elah, berasa ngadepin Kiara versi sadis," keluh Luna.
"Eh kok jadi gue yang kena?" tanya Kiara.
"Lo tuh pinternya masalah pelajaran doang, nah kalo ni anak pinternya barantem doang," kekeh Sasya. Komentar itu disetujui oleh Mita dan Luna. Ketiganya memasang wajah prihatin yang ditanggapi dengan cuek oleh Kiara dan Mona.
"Bayangin, berapa banyak yang mau ambil posisi lo Ra," kata Sasya lagi.
Kiara melipat kedua tangannya di atas meja. "Nggak usah lebay Sya, Dimas nggak sehits itu kok. Lagian masa iya sih gue mau nempel terus sama Dimas. Kemana-mana berdua gitu? Gue aja risih apalagi Dimas?"
"Iya sih," gumam Sasya. "Eh btw, lo perhatiin Nazwa nggak sih Ra? Kayaknya dia kesel lagi sama lo?"
"Kenapa lagi sih? Emang Adrian begitu gara-gara Kiara? Aneh banget deh tu anak pemikirannya," komentar Luna.
Mendengar obrolan ini, Kiara hanya bisa menghela nafas panjang. dia mengerti kenapa Nazwa begitu. Cewek itu benar-benar tulus pada Adrian, pasti dia tidak terima melihat Adrian sampai begini. Adrian yang sejak dulu terlihat baik-baik saja. "Yaudah lah, gue ngerti kok kenapa dia begitu. Mungkin kalau jadi dia, gue juga bakal kesel."
"Yaa nggak bisa gitu dong, lo kan nggak perlu tanggung jawab buat semua masalah yang dialamin Adrian. Lo bukan siapa-siapanya, kalau masalah hati siapa yang bisa maksa sih? Masa lo harus terima Adrian padahal lo nggak suka?" tanya Sasya menolak pendapat Kiara. Jelas komentar itu disetujui yang lain.
"Cewek emang pemikirannya ribet, bisa nggak sih idup dibikin santai aja?" tanya Mona sambil geleng-geleng kepala.
Obrolan mereka terhenti karena Dimas datang dengan gerombolannya, kecuali Angga karena anak itu pasti sedang sibuk sekarang. "Pada ngomongin apa nih? Serius amat?"
"Kepo banget sih? Ngapain ke sini? Pertandingannya udah selesai?" tanya Kiara.
"Udah," jawab Dimas sambil mengambil makanan Kiara. "Mona, dicari Angga. Katanya titipan lo ada di tas."
"Serius?" tanya Mona antusias. Dia langsung berdiri. "Guys gue ke sana dulu ya!"
Sasya mengerutkan keningnya. "Titipan apaan si, sampe tu anak semangat banget?"
"Tau, biarin aja. Lagi akur," jawab Dimas.
"Hem emang sejoli lo berdua Dim, sama-sama jadi berodongnya Kakak kelas," kekeh Dirga sambil geleng-geleng kepala.
Danu duduk di samping Kiara. "Kalo Kakak kelasnya manis kayak Kiara gue sih oke aja, lah kalo Mona? Buset dah serem bener."
"Heh minggir lo panu! Nempel-nempel," keluh Dimas sambil merangkul bahu Kiara. Matanya menyipit kesal. Enak saja dekat-dekat dengan Kiara. "Kia jangan mau ditempelin demit, susah nanti kudu di ruqyah."
"Enak aja, ganteng gini," kata Danu.
Dirga menepuk-nepuk bahu Danu, dramatis. "Sabar sob, tampang lo emang segini doang. Pantes dikira demit."
"Sialan!"
☁️☁️☁️
Dimas mengantar Kiara pulang ke rumah, setelah sore hari pertandingan akhir futsal berlangsung. Meski tidak menang menjadi juara satu, setidaknya mereka bisa meraih juara dua. Lawan memang sulit, karena ada anggota timnas di sekolah lawan.
"Bunga lagi," keluh Kiara. Ini sudah kesekian kalinya bunga mawar putih tanpa nama itu datang ke rumahnya. Tangannya meraih buket bunga indah itu. sebenarnya siapa yang mengirim ini. Apa artinya bunga mawar putih ini. Apa cuma orang iseng, kalau iya kenapa sampai hampir setiap hari mengirim bunga. Bukannya itu rugi, buket bunga itu mahal kan, iya kan, Kiara tidak tahu, dia tidak pernah membeli bunga.
"Simpen aja," komentar Dimas.
Kiara menyipitkan matanya. "Bukan lo kan yang ngirim?"
Dimas tersenyum dan mengacungkan dua jari. "Suer bukan gue, tapi lo simpen aja. Nanti lo juga tau apa artinya."
"Gue tuh bingung tau nyimpennya dimana, rumah gue jadi wangi kembang. Horor banget nggak sih?" keluh Kiara sambil memasuki rumah. Dia berpapasan dengan Lion yang baru akan berangkat kuliah.
"Bunga lagi?" tanya Lion.
"Hem, ini dari penggemar Abang kali."
Lion menggelengkan kepala. "Bukan lah, yaudah simpen aja Ra." Wajahnya beralih pada Dimas. "Weits, mau ikut kagak lo ke kampus gue? Banyak cewek cakep."
"Ah nggak lah Bang, ntar diamuk Kia," kekeh Dimas.
Kiara memukul tangan Dimas. "Gih sana, gue nggak bakal ngamuk tuh."
"Yakin?" tanya Dimas. "Em Kia malu-malu kucing."
"Bodo amat Dim," keluh Kiara meninggalkan Dimas ke dalam rumah. Cowok itu memang cuma mau mampir sebentar karena katanya nanti malam mau tanding di ring. Lagi-lagi Kiara cuma bisa mendoakan dari rumah saja, karena takut untuk melihat Dimas kena hajar secara langsung.
Setelah selesai mengganti seragam dengan rumahan ala kadarnya, Kiara langsung turun ke bawah. Dia menghampiri Dimas yang sedang asik ngobrol dengan mamanya. "Dim, lo mau langsung pulang kan?"
"Ngusir?" tanya Dimas.
Kiara tertawa geli. "Nggak, lo mau di sini seharian juga nggak masalah. Asal tebel muka."
Mama tertawa mendengar ocehan putrinya ini. "Dasar kalian ini! Dimas makan dulu aja yaa, itu Tante udah masak tadi."
"Nggak usah Tan, Dimas emang ada urusan. Makanannya biar diabisin sama Kia aja," kekeh Dimas.
"Heh perut gue nggak karet kayak lo ya!" protes Kiara. Membuat Dimas tertawa geli karena jawaban spontan itu.
Kiara menemani Dimas sampai keluar pagar rumah. Cowok ini duduk di motor sportnya sambil mengenakan kembali jaket hitam yang tadi dipakai Kiara. "Gue balik dulu."
"Hem, inget lo nanti malem ati-ati tandingnya!" kata Kiara.
Dimas mengangkat alisnya dan mengulurkan tangannya. "Pinjem tangan."
"Hem?" Kiara mengulurkan tangannya dengan wajah bingung. Pipinya memanas saat jemari Dimas menyentuh tangannya dengan lembut. "Kenapa sih Dim?"
"Kalau luka kan yang ngobatin tangan lo, jadi gue nggak apa-apa. Nggak perlu khawatir Kia," jawab Dimas dengan senyum manis. Kalau bisa meleleh, maka Kiara akan meleleh karena sikap manis Dimas sekarang.
"Ish, apaan sih lo!" Kiara menarik tangannya dan menyentuh kedua pipinya sendiri. "Gue malu tau! udah sana pergi!"
Dimas terkekeh geli dan mengacak rambut Kiara. "Siap Non, nanti balik tanding gue telfon. Jangan molor dulu ya!"
"Hemm!"
☁️☁️☁️
Bukannya tidak percaya dengan kemampuan Dimas, tapi Kiara memang bena-benar khawatir karena pekerjaan cowok itu benar-benar berbahaya. Meski saat melhat Dimas bertanding, Dimas memang terlihat tidak sesusahan, tapi kan tidak selamanya musuh Dimas itu mudah. Kalau nanti dapat musuh yang bera bagaimana. Usia Dimas kan belum genap 17 tahun.
Kiara bertopang dau sambil memandang ponselnya. Sudah lewat jam sebelas malam tapi belum ada telepon dari Dimas. Kata Angga, cowok itu masih ada di dalam ring. Rasanya jantung Kiara makin berdetak dengan cepat. Pokoknya awas saja kalau nanti lukanya banyak.
Ponselnya berdering, Kiara langsung buru-buru mengambil ponselnya dan mengangkat telepon itu. "Yaa?"
"Kiara, ini Angga."
"Angga, Dimas kenapa? kenapa dia belom telfon gue?" tanya Kiara khawatir.
Angga tertawa geli di seberang. "Tenang Ra, Dimas aman. Ini gue mau ngabarin soalnya Dimas masih ada briefing. Dia tadi nyuruh gue ngabarin lo kalau dia turun ring dengan selamat sentosa dan makmur."
Kiara tidak bisa menahan senyumnya mendengar pesan Dimas. "Oke, thanks yaa Ngga. Salam aja buat Dimas. Bilang ke dia nanti telfon gue, gue tunggu!"
"Sip! ada upah ya? kan Pak pos ngirim surat aja dibayar," kata Angga.
Bagaimana dia bisa lupa kalau Angga sama menyebalkannya dengan Dimas. Kiara memutar bola matanya. "Bayarannya lo di ditabok sama Mona, mau?"
"Haha itu gue udah biasa, yaudah gue mau ke Dimas dulu. Ntar gue sampein ke dia."
Karena kabar dari Angga, Kiara jadi bisa menghirup nafas lega. Untunglah Dimas aman. Dia berbaring di kasurnya sambil memandangi ponsel yang layarnya dihiasi walpaper pemandangan luar angkasa. Senyumnya mengembang, hal yang paling disukai Dimas kini menjadi hal yang dia sukai juga.
Ponselnya kembali berdering, kali ini benar-benar dari Dimas. Kiara buru-buru mengangkatnya. "Gimana?"
"Weits," Dimas terkekeh pelan. "Sabar dong Ki, gue menang."
"Nggak, bukan itu. Gimana, lo luka apa nggak?" tanya Kiara lagi.
"Em, luka dikit, tenang aja Ki-"
"Mana mau liat!" Kiara langsung mengalihkan ke panggilan video untuk melihat luka Dimas. Saat wajah cowok itu muncul di layar, matanya menyipit melihat lebam di pipi dan pelipis Dimas. "Kena pukul berapa kali tadi?"
"Hem? Lupa," cengiran Dimas dihadiahi pelototan Kiara. "Nggak apa-apa Kia, beneran. Kan udah biasa, namanya juga tanding."
"Tapi kan pasti sakit! yaudah lo pulang aja. Jangan main game, langsung tidur! Besok lo sekolah nggak? Nggak juga nggak apa-apa kalau badan lo sakit-sakit. Nanti surat izinnya titipin Angga aja, apa gue berangkat lewat perumahan lo aja biar lo bisa nitip surat?" tanya Kiara panjang lebar.
Bukannya menjawab, Dimas justru tersenyum manis dan merebahkan diri entah dimana. "Kia, besok berangkat sekolah bareng gue ya?"
"Hem?" Kening Kiara mengerut. "Oke, yaudah. Besok ke rumah gue aja."
"Eh apa kita bolos aja ya Ki?" usul Dimas.
"Heh enak aja! Pokoknya harus sekolah, lo tuh baru kelas sepuluh mau nyari gara-gara. Gue laporin pengurus OSIS baru ya!" ancam Kiara.
"Uuu takut." Wajah pura-pura takut dari Dimas membuat Kiara gemas ingin sekali memukul kepala cowok itu. "Yaudah besok sekolah, jalannya nanti aja balik sekolah."
"Eitss nggak bisa, gue ada les," jawab Kiara.
Dimas merengut kesal. "Yahh Kia, les terus! Jalan sama gue kapan?"
"Hehe kapan-kapan, udah ya. Lo pulang gih, gue juga mau tidur. Gara-gara lo nih gue tidur hampir jam duabelas malem, ketauan Mama, uang saku gue bisa dipotong tau!"
"Gue lapor Mama lo ya?" tanya Dimas.
"Cepu!" balas Kiara. "Bye Dim!" dia melambaikan tangannya sebelum mematikan videa call itu. Kalau tdia dimatikan,maka tidak akan ada habis-habisnya nanti. Dimas kan harus istirahat. Meskipun sebenarnya dia masih ingin ngobrol lama dengan cowok itu.
☁️☁️☁️
Satu bulan ini jadwal Kiara jadi makin padat. Makin mendekati ujian nasional. Makin banyak hal yang harus dipersiapkan. Penambahan jam pelajaran untuk pendalaman materi pun ditambah. Jadi mereka pulang semakin sore.
Biasaya Dimas akan menunggu, sekalian latihan basket dengan teman-temannya. Atau kalau sedang libur latihan, Dimas akan menunggu di kantin sekolah. Entah itu untuk tidur, atau ngegame. Sebenarnya Kiara sudah berkali-kali bilang kalau Dimas tidak perlu menunggu, karena dia bisa pulang dengan Sasya dan yang lainnya. Tapi Dimas tetap kekeh mau menunggu.
"Nunggu lama yaa?" tanya Kiara setelah berlari ke parkiran motor.
Dimas menyerahkan helm pada Kiara. "Nggak, tadi gue juga sekalian main ke tempat Dirga."
"Oh yaudah, besok lo nggak usah nunggu yaa. Gue mau main sama anak-anak," kata Kiara.
"Sip Kak, adek tidur aja di rumah," jawab Dimas.
Kepala Kiara mengangguk. "Iya anak bayi tidur aja, jangan banyak main."
"Cih," Dimas terkekeh geli dan membantu Kiara naik ke motornya. "Mampir makan dulu yaa? Gue laper banget."
"Oh iya istirahat ke dua lo kemana?"
"Dihukum Bu Sonya," kekeh Dimas.
Begitulah Dimas, anak itu memang kadang jahil sekali. Meski katanya ingin berusaha tidak mencari masalah di sekolah tapi tetap saja ada kelakuannya yang membuat dia dihukum. Seperti saat pertama masuk dan membuat masalah dengan Kiara.
Mengingat itu membuat Kiara selalu ingin tertawa. Kesal dan senang menjadi satu. Apalagi saat dia ditolong Dimas, bagaimana bisa diantara banyak orang, justru Dimas yang bisa menemukannya. Orang yang saat itu paling sering menbuatnya kesal.
Mereka mampir ke tempat makan yang biasa didatangi saat pulang sekolah. Di sofa panjang, Kiara meletakan tasnya dan menunggu Dimas memesan pesanan. Cowok itu sudah tahu apa yang dia suka. Jadi ya sudah, dia duduk santai saja.
Beberapa cewek yang mengantri di belakang Dimas saling berbisik sambil menatap cowok itu. Kiara bertopang dagu dengan senyum geli. Lagi-lagi begitu, dia jadi tidak sabar melihat wajah kecewa mereka saat nanti Dimas berjalan kemari.
"Kenapa senyum begitu?" tanya Dimas sambil membawa nampan.
Kiara berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Kayaknya tampang lo bisa dibisnisin deh Dim."
"Hem?" tanya Dimas sambil melahan makanannya. "Tampang gue kenapa? Cakep? Dari dulu."
"Yaa ya, kenapa lo nggak jadi artis aja?" tanya Kiara. "Kan lumayan Dim, gajinya gede loh."
Dimas mendekatkan wajahnya. "Kia, sejak kapan lo jadi pinter bisnis?"
"Sejak gue bisa liat banyak peluang," kekeh Kiara. "Mau nggak lo jadi artis?"
"Ah males, begini aja banyak penggemar," balas Dimas. "Nanti lo makin pusing Ki ngurus fans gue, jangan deh."
Kiara tertawa geli dan mulai memakan makanannya. Selama makan, dia memainkan ponsel karena sejak tadi belum dibuka. Beberapa notifikasi pesan masuk dari grup. Bukan hal penting, cuma cuitan Sasya dan Luna yang meledek Mona.
Melihat salah satu sosial media, Kiara terkejut karena berita yang viral saat ini adalah mantan anggota parlemen yang tertangkap karena korupsi. Orang itu adalah ayah Adrian.
"Dim," panggil Kiara dengan wajah gusar. "Kita harus ke rumah Adrian sekarang!"
"Hemm kenapa Ki?" tanya Dimas bingung.
Kiara mengambil ranselnya dan menarik tangan Dimas. "Papanya Adrian ditangkep kasus korupsi."
☁️☁️☁️
Suasa di rumah besar itu ternyata sudah ramai sekali. Barusan ayah Adrian sudah dibawa oleh pihak KPK, tapi para wartawan masih menunggu di depan rumah besar milik cowok itu. Kiara dan Dimas memperhatikan dari ujung gang, kalau begini bagaimana cara mereka masuk.
"Ki, setau gue Adrian lagi nggak di rumah," kata Dimas.
Kiara menatap rumah besar itu. "Kita harus tanya langsung, gue mau tau kondisi Adrian sekarang Dim."
"Tapi ada banyak wartawan Kia, nggak mungkin kita nerobos masuk," balas Dimas sambil mengamati kondisi kacau di sana. Kalau lewat pintu depan tidak bisa, mungkin ada jalan lain agar mereka bisa masuk. Tapi pertanyaannya, dimana jalan lain itu. Dia kan belum pernah masuk ke dalam.
Dimas mengulurkan tangannya. "Pinjem hp lo, biar gue coba telfon Adrian."
"Eh iya, bentar," Kiara buru-buru mengeluarkan ponselnya dari ransel.
Mungkin kemungkinan Adrian mengangkat telepon dari Kiara itu sangat kecil, apalagi dalan situasi kacau begini, tapi tidak ada salahnya mencoba. Dimas menunggu nada sambung itu berhenti. Semoga kali ini, si menyebalkan itu mau diajak bekerja sama.
"Ra?" sapa Adrian di seberang
"Nah, sorry ini gue Dimas bukan Kiara," sahut Dimas santai. "Lo dimana sekarang? Gue sama Kia lagi di depan rumah lo."
"Ngapain ke sini? di sini semua kacau, bawa Kiara pulang!" suruh Adrian.
Dimas menggerutu kesal, memangnya dia mau membiarkan Kiara bertemu dengan Adrian. "Kia mau ketemu lo bentar, ada jalan lain nggak selain lewat depan. Di depan banyak wartawan."
"Ck lo becus nggak si jagain Kiara? yaudah, lewat pintu belakang, gue tunggu di sana," jawab Adrian sebelum mematikan teleponnya.
Menyebalkan bukan, kalau tidak ingat situasi dia ingin sekali menonjok orang itu. Dimas menyerahkan kembali ponsel Kiara. Kita lewat belakang. Tangannya menggenggam tangan Kiara, mengajak cewek itu berjalan memutari gang. Di belakang ada pagar yang kecil, untungnya tidak ada wartawan di sana. Dan di sana pun sudah ada Adrian yang menunggu.
"Adrian!" panggil Kiara yang langsung berlari ke cowok itu. "Lo nggak apa-apa?"
Adrian tersenyum kecil dan menggelengkan kepala meski wajahnya kelihatan sangat lelah. "Masuk dulu, bahaya kalau diluar."
Dimas menarik tangan Kiara untuk berdiri di sampingnya. Meski percaya kalau Kiara menganggap Adrian sahabat, tapi tetap saja dia cemburu melihat keakraban keduanya. Dia ingin Kiara tetap berada di dekatnya.
Setelah masuk ke dalam rumah, Kiara kembali bertemu dengan ibunya Adrian. Wanita cantik yang biasa tampil anggun itu tampak sangat kacau. Matanya membengkak karena menangis. Meski sudah bercerai, ternyata rasa cinta pada mantan suaminya itu sangat besar hingga menangis tersedu saat tadi mantan suaminya itu dijemput paksa.
"Adrian, gue ikut sedih," kata Kiara.
Adrian menghela nafas panjang dan menganggukan kepala. "Thanks Ra, tapi gue nggak apa-apa. Dari awal gue udah tau bakal begini akhirnya."
"Lo yang sabar ya, gue yakin lo bisa ngelewatin semuanya," ucapnya tulus. Hanya itu yang Kiara bisa lakukan. Dia tidak tahu harus membantu apa.
Melewati semuanya, Adrian bahkan tidak tahu akan bagaimana kehidupannya setelah ini. Keluarganya kacau balau. Belum lagi sekolahnya pun juga. Ditambah dia masih tidak bisa lepas dari obat itu. Apa yang bisa dia lakukan sekarang.
"Hem," itu saja yang bisa Adrian jawab. Senyumnya lagi-lagi mengembang. Dia sudah sangat lelah sekarang. "Sekarang lo balik ya sama Dimas, jangan ke sini lagi, bahaya kalau wartawan liat lo berhasil masuk ke rumah ini."
"Oke, pokoknya kalau ada apa-apa lo telfon gue aja. Maaf yaa kemaren gue sempet-"
"Gue ngerti," potong Adrian. "Lo jalan duluan ya, gue mau ngomong sama Dimaa bentar."
"Hem? ngomong apa?" tanya Kiara.
Adrian mensejajarkan wajahnya dengan Kiara, jarinya menjawil hidung Kiara. "Urusan cowok, lo nggak boleh tau."
Benar-benar tidak boleh tahu. Kiara jadi penasaran sebenarnya apa yang dibicarakan. Adrian dan Dimas kan tidak pernah akur. Jangan-jangan mereka janjian untuk bertengkar lagi. Kalau sampai iya, gawat sekali. Pokoknya dia tidak mau ada keributan-keributan.
Kiara melipat kedua tangannya, menunggu di teras belakang dengan tidak sabar. Sampai akhirnya Dimas keluar dan langsung menarik tangannya untuk pergi dari rumah ini. "Dim, Adrian bilang apa?"
"Kan dia bilang tadi, urusan cowok," jawab Dimas.
"Kalian nggak mau berantem kan?" tanya Kiara lagi.
Dimas menoleh dan tersenyum tipis. "Nggak, lo tenang aja Kia. Sekarang gue anter lo balik aja."
Di perjalanan pulang sampai ke rumah Kiara pun Dimas tidak buka suara. "Lo mau mampir dulu Dim?"
Dimas diam, cowok itu seperti melamun. Kiara mengerutkan keningnya. "Dim? Lo kenapa sih?" tidak mendapat tanggapan, Kiara mengguncang tangan Dimas. "Dim! ada apaan sih?"
"Hem? Oh nggak Ki, gue lagi inget-inget tadi gue udah makan belom," jawab Dimas asal dengan cengiran konyolnya.
Jawaban itu jelas tidak bisa Kiara percaya. Sebenarnya apa yang dibicarakan Dimas dan Adrian tadi. Apa seserius itu. "Dim, ada yang mau lo ceritain ke gue?"
"Em gue ngerasa-" Dimas kembali terdiam sebentar, "ngerasa laper, Kia gue langsung balik ya, takut Bunda ngamuk."
Kalau begini, Kiara tidak bisa memaksa Dimas untuk buka suara. Dia melangkah mundur. "Yaudah, take care ya."
"Sip, bye Ki," jawab Dimas sebelum berlalu pergi.
Mata Kiara menatap motor Dimas yang makin jauh. Dia menghela nafas panjang, hari ini cukup mengejutkan. Dan dia pun harus melanggar janjinya pada Papa untuk tidak mendekati Adrian.
Langkah Kiara terasa berat memasuki rumah, takut untuk berhadapan langsung dengan Papa. Sampai di depan pintu rumah, dia kembali menemukan buket mawar putih. Mungkin saking bosannya, Mama membiarkannya tetap di luar rumah.
Tangannya meraih buket mawar itu untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Kata Dimas, terima saja. Yaa sudah lah, siapa pun pengirimnya, semoga orang itu cepat sadar kalau dirinya tidak suka bunga.
☁️☁️☁️
See you on the next chapter 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro