BAB 33 - Pilihan
Holaa, minggu ini HSHL up 2 kali karena emang ini sebenernya satu tapi aku bagi jadi 2 bab. MCB belum bisa di up, karena belum selesai penulisannya. Untuk yg tanya kapan upnya, aku nggak bisa pastiin.
Follow akun ig @indahmuladiatin untuk info cerita-ceritaku.
Jangan lupa vote dan komentar untuk dukung cerita ini. Happy reading guys!
☁☁☁
Dimas pergi ke rumah Kiara setelah mengantar Risa pulang. Mudah-mudahan Kiara sudah pulang dari rumah Mita. Kadang perempuan kan suka lupa waktu kalau sudah bergosip. Muali dari a sampai z semua dibicarakan.
"Siang Tante," sapa Dimas.
"Dim? Wah bagus deh, tuh Kiara di belakang. Dari siang uring-uringan," kata tante Sarah.
"Kenapa gitu? Waduh, Dimas jadi takut kena omel kalau Kia lagi uring-uringan," kekeh Dimas sambil melihat taman yang sedang disirami. Taman depan rumah ini tampak asri. Susunannya rapih mengingat tante Sarah suka sekali dengan tanaman.
Tante Sarah tertawa geli. "Nggak diizinin keluar, karena kasus kemarin Papanya jadi makin protektif."
Dimas tersenyum tipis, mengerti maksud om Reza itu baik. "Yaudah, coba masuk dulu. Doain ya mudah-mudahan Dimas nggak kena cakar."
"Tenang, anak Tante udah jinak," kekeh tante Sarah.
Respon itu membuat Dimas tertawa geli. Dia langsung ke taman belakang rumah Kiara yang lumayan luas. Dia melihat cewek itu duduk di gazebo sambil membaca novel. Lagi-lagi begitu, si kutu buku satu ini memang tidak bisa jauh sebentar dari buku. Entah itu buku pelajaran atau novel.
"Kia," panggil Dimas.
Kiara mendongak kaget. "Lo ngapain di sini?"
"Kangen," jawab Dimas. Dia duduk di samping Kiara dan merebahkan kepalanya dipangkuan cewek itu. "Kia."
"Hem?" tanya Kiara.
Dimas tersenyum dan menjawil hidung Kiara. "Gitu dong, jangan ngambek terus. Gue kan pusing.
"Lo ngeselin sih!" balas Kiara. Jarinya menyisir rambut Dimas. "Lo kenapa? Lagi ada masalah ya?"
"Hem? Tau dari mana?" tanya Dimas.
Kara mengangkat bahunya. "Enggak tau, feeling aja."
Dimas tersenyum dan memejamkan matanya. Usapan tangan Kiara membuatnya tenang. "Kia, gue tidur bentar ya. Gue ngantuk, capek. Jangan bangunin gue." Dia ingin tidur sebentar, menenangkan kemarahannya.
☁☁☁
Kiara memandang wajah Dimas yang tampak tenang. Dia penasaran masalah apa yang sedang dialami Dimas. Ingin bertanya, tapi tidak mau membuat Dimas tidak nyaman. Mungkin lebih baik dia menunggu sampai Dimas siap untuk bercerita. Sama seperti waktu dia menunggu cowok ini jujur tentang pekerjaannya.
Tangannya masih mengusap kepala Dimas. Lupakan soal rasa kesalnya. Dia tidak mau marahan dengan Dimas terus. Lebih baik dia mengalah, karena selama ini Dimas sudah banyak mengalah untuknya.
"Dimas tidur?" tanya mama.
Kiara tersenyum dan menganggukan kepala. "Biarin aja Ma, kasian capek."
"Yaudah, nanti kamu sama dia makan aja. Makanannya udah ada di meja makan," kata mama sambil meletakan nampan berisi dua gelas minuman dan kembali masuk ke dalam rumah.
Sambil menunggu Dimas bangun, Kiara lanjut membaca novelnya. Kegiatan yang setidaknya bisa mengobati dari rasa bosan. Hari ini tidak ada jadwal les, biasanya kalau pulang sekolah dia akan ikut Adrian. Lagi-lagi ingat Adrian, Kiara menghela nafas panjang. Apa kabar cowok itu. apa sudah masuk panti rehabilitasi. Semoga saja sudah, ibunya itu tidak akan diam saja kan.
Aktivitas membaca itu buyar karena tangannya digenggam. Kiara menundukan kapala. "Apa? ngapain lo liat gue begitu?"
"Maaf," kata Dimas. "Gue beneran minta maaf."
"Hem? Buat apaan? Udah deh cepet bangun! Kaki gue kesemutan tau!"
Dimas duduk dan merapihkan seragamnya. "Kia, besok gue bolos ya? Sehari aja."
"Mau ngapain?" tanya Kiara.
"Kita jalan, lo mau kemana? Toko buku? Terserah lo mau kemana aja," kata Dimas lagi.
Kiara tersenyum dan menepuk pelan tangan Dimas. "Lo bikin salah apa sampe begini? Gue nggak mau jalan kemana-mana kalau ajakan lo buat nebus kesalahan. Mama udah masak, ayo makan dulu abis itu lo mending pulang, kayaknya lo lagi banyak masalah."
Jujur, Kiara merasa ada yang aneh dengan Dimas. Tiba-tiba cowok itu jadi bersikap manis. Mudah-mudahan pikirannya salah.
"Kia," panggil Dimas saat Kiara mengantarnya keluar rumah. "Gue serius, besok gue mau libur sekolah dulu."
"Yaudah, gue ikut aja mau kemana," jawab Kiara. "Sana balik! Salam yaa buat Tante Alya."
"Salam buat gue?" tanya Dimas sambil mengangkat kedua alisnya.
Kiara mendengus geli dan memukul kening Dimas dengan telapak tangan. "Nih salam tempel!"
"Duh, tega amat sih Ki! Sakit tau!" protes Dimas.
Kiara tertawa dan berlari masuk ke rumah. Di balik pagar dia melambaikan tangan. "Take care." Setelah berbalik, senyum itu lenyap. Dia harus cerita pada sohibnya untuk minta saran. Mereka lebih berpengalaman tentang ini. Jangan sampai dia salah mengambil keputusan.
Di kamarnya, Kiara menelepon Sasya, dan menceritakan sikap aneh Dimas, dan masalah kemarin. Respon dari Sasya tentu saja menggebu-gebu seperti biasa. Padahal Kiara sengaja memilih kata yang tepat agar sohibnya ini tidak emosi.
"Udah gila! Kesel gue sama Dimas. Masa dia bilang Risa pacarnya! Gue aja kesel apalagi lo Ra!" omel Sasya. "Apapun alesannya, ini udah nggak bener! jangan-jangan dia emang ada apa-apa sama anak baru itu. Lagian lo sih dari awal kan udah gue ingetin, eh lo santai-santai aja, udah tau doi lo ganteng begitu."
"Terus gue harus gimana?" tanya Kiara.
"Yaa gimana lagi? tanya aja sama si Risa, dia maunya apa. Udah tau Dimas cowok lo, masih aja nempel-nempel," jawab Sasya.
Kiara garuk-garuk kepala. Gila, itu bukan caranya dalam menyelesaikan masalah. Dia tidak suka main labrak begitu. terlalu berlebihan. Lagian dia juga geli sendiri kalau harus labrak melabrak. Seolah dunia cuma soal cinta.
Mungkin Mita bisa memberikan solusi. Gantian dia menghubungi Mita. Ternyata respon Mita sama seperti ucapan mamanya kemarin. "Yaa gue tau Dimas salah, tapi kalau dipikir lagi, lo bisa juga introspeksi diri. Masa yang nemenin Dimas terus malah Risa yang bukan siapa-siapa. Lo tuh terlalu cuek, gue tau Adrian lagi butuh perhatian, tapi itu bukan tanggung jawab lo Ra. Dia punya orangtua."
"Terus gue sekarang harus apa?" tanya Kiara lemas.
Mita berdeham pelan. "Omongin sama Dimas gimana baiknya aja. Sampe sini gue nggak bisa ikut campur Ra."
"Mit," panggil Kiara. "Thanks yaa."
"Sama-sama, udah lo jangan nangis dulu," kata Mita.
☁☁☁
Kiara menatap pantulan wajahnya di cermin. Menata rambutnya sebelum keluar kamar. Dimas sudah menunggu di bawah. Cowok itu serius bolos sekolah. Kalau ini waktu normal, sudah pasti dia akan ngomel-ngomel sampai membuat kuping cowok itu panas. Enak saja bolos sekolah sembarangan. Di luar sana banyak anak yang ingin sekolah tapi tidak mampu.
"Mending kemana ya?" tanya Dimas. "Eh lo pernah ke planetarium?"
"Pernah dulu, kenapa?" tanya Kiara.
Dimas tersenyum, tampak sangat bersemangat. "Ke sana mau nggak Ki? Gue lama nggak ke sana."
"Boleh," jawab Kiara.
Melihat Dimas yang semangat sekali seperti anak kecil membuat Kiara tersenyum. Dia jadi ingat, di kamar cowok ini juga nuansanya luar angkasa. Sejak masuk ke tempat ini tangannya digengang erat oleh Dimas. Cowok itu melihat koleksi-koleksi di planetarium ini sebelum melihat pertunjukan di dalam.
"Bagus ya," gumam Dimas.
"Lo dulu sering ke sini?" tanya Kiara.
Dimas menganggukan kepala dengan senyum cerah. "Dulu gue sering diajak Papa-" ucapannya terhenti. Senyum itu lenyap.
"Dim," panggil Kiara dengan senyum menenangkan. "Ayo, gue kangen liat luar angkasa."
Meski bukan hari libur, tempat ini cukup ramai karena ada satu sekolah yang sedang kunjungan. Kiara dan Dimas duduk dan menatap langit buatan di atas. Cahaya sekitar mulai gelap, dan pertunjukan luar angakasa di mulai. Mata Kiara berbinar. Dulu dia juga suka sekali melihat ini. Rasanya kangen masa-masa itu. Saat tamasya dengan teman-teman sekolah dasar.
"Suka?" tanya Dimas.
Kiara menoleh, kepalanya mengangguk antusias. "Banget! Kapan-kapan gue mau ke sini lagi."
"Sama gue yaa Ki?" tawar Dimas.
Kiara tersenyum dan kembali menatap ke atas. "Itu tergantung pilihan lo." Dimas cuma bisa mengerutkan kening, apa maksud ucapan Kiara barusan.
☁☁☁
Puas sekali rasanya melihat pertunjukan tadi. Rasanya seperti baru saja keliling luar angkasa dan mengunjungi planet-planet di sana. Meski sudah beberapa kali, Kiara tidak pernah bosan melihatnya. Apalagi Dimas yang sangat suka dengan benda-benda langit.
"Abis ini mau kemana? Mau ke Ancol?" tanya Dimas.
Kiara tertawa dan menggelengkan kepala. "Balik aja deh, tapi makan dulu yaa? gue laper."
"Siap Nona," kekeh Dimas.
Lagi-lagi, sial untuk Dimas karena dia kembali bertemu dengan papanya. Kenapa harus ekarang, di tempat ini, dengan Kiara pula. Dimas menggenggam tangan Kiara, wajahnya kaku sama seperti kemarin. Saat ini bukan hanya papanya, ada wanita yang juga sudah merusak keluarganya.
"Dimas? Tante udah lama nggak liat kamu, kamu ternyata sudah besar yaa," sapa perempuan itu.
"Kemarin aku juga bertemu dia, mana pacarmu Risa? Dia tidak ikut kamu? Papa mau menyapanya lagi."
Kiara mengerutkan keningnya. Jadi ini papanya Dimas. Tapi kenapa nama Risa disebut-sebut. Matanya melirik Dimas yang sepertinya tidak berniat menjelaskan apa-apa. Dia melepaskan tangannya dari genggaman tangan Dimas.
"Ini siapa? Temennya Dimas ya?"
"Siang Om, saya Kiara temennya Dimas," jawab Kiara dengan senyum ramah.
"Kia!" tegur Dimas.
Kiara tersenyum pada Dimas. "Hari ini Risa nggak ikut, iya kan Dim?"
"Oh sayang sekali," papanya Dimas menepuk bahu anaknya itu. "Kalau sekarang, kamu ada waktu untuk makan sama Papa?"
"Ada," jawab Kiara.
"Nggak," jawab Dimas bersamaan dengan jawaban Kiara. Dari sorot mata, dia berusaha memberi kode untuk Kiara. Sayangnya cewek itu pura-pura tidak mengerti. Entah apa rencana Kiara sampai mengiyakan ajakan papanya.
"Akhirnya, ya sudah ayo. Papa ingat tempat makan favorit kamu di dekat sini," kata papanya Dimas dengan semangat. "Ayo Ma, kita makan dulu."
Dimas menahan tangan Kiara yang sudah ingin mengikuti langkah papanya. "Kia, gue jelasin di tempat lain. Jangan di sini, nggak di depan bokap gue."
"Siapa yang minta penjelasan? Gue cuma berusaha jadi temen yang baik di depan Papa lo. Udah ayo makan! katanya laper," ajak Kiara sambil menarik tangan Dimas. Jangan sampai Dimas kabur duluan.
Dimas makan dalam diam, tidak ingin menyimak Kiara yang asik ngobrol. Justru kelihatan akrab sekali dengan papanya. Sial sekali, kalau tahu akan bertemu papa di sini, lebih baik dia cari tempat lain. Kenapa kebetulan begini.
"Ini tempat favorit Dimas dulu," kata papanya Dimas.
"Iya Om, makanya Om ke sini kan?" tanya Kiara. "Dimas tadi juga cerita."
"Mas tolong pangku Azka bentar ya," kata ibu tiri Dimas.
Kiara melambaikan tangan pada anak kecil itu. "Ganteng banget, halo Azka."
Papanya Dimas tertawa dan menggerakkan tangan putra kecilnya. "Halo juga Kak Kiara." Suaranya dibuat seperti anak kecil membuat Azka tertawa dan meraih-raih tangan Kiara. "Mau coba gendong?"
"Boleh Om?" tanya Kiara dengan mata berbinar. Sedikit lupa kalau Dimas sedang keki berat, di sampingnya. "Yaa ampun lucu banget sih? Kia tuh udah lama mau punya adek Om, tapi kata Mama dua anak aja udah ribet."
"Oh yaa?"
Kiara tidak tahu kenapa bisa cepat sekali akrab dengan papanya Dimas. Mungkin karena pembawaannya bisa membuat orang di sekitar nyaman jadi Kiara juga bisa cepat akrab. Kepalanya menoleh pada Dimas. "Lo nggak mau nyapa adek lo?"
"Nggak, dia bukan adek gue," balas Dimas sengit.
"Dim," tegur Kiara. Dia mengembalikan Azka ke pangkuan papanya Dimas yang tidak marah mendengar ucapan ketus dari Dimas tadi.
"Ayo pulang!" ajak Dimas sambil menarik tangan Kiara.
Kiara langsung melepaskan tangan Dimas. "Ngapain sih Dim? nggak enak sama Papa lo. Nanti kalau ketauan Risa gimana?"
Telak. Dimas tidak bisa bicara apa-apa lagi.
Papanya Dimas tersenyum mendengar ucapan Kiara. "Om senang kenal sama Kia, terima kasih ya udah jadi temannya Dimas."
"Sama-sama Om, Kia juga seneng bisa ngobrol sama Om, sama dedek Azka," jawab Kiara.
Dimas tidak tahan lagi, dia langsung menarik Kiara tanpa berpamitan. Dia harus bicara dengan cewek ini. Ada yang harus dijelaskan tentang kejadian kemarin agar cewek ini tidak salah paham.
Sampai di dekat motor Dimas. Kiara menghentikan langkahnya. "Gue balik sendiri aja Dim."
"Kia, kita omongin nanti ya? Sekarang pergi dulu," kata Dimas melunak.
Kiara menggelengkan kepala, tidak ada nanti. Sejak kemarin dia ragu antar mau bicara atau tidak. Tapi kejadian tadi membuatnya tidak bisa mundur lagi. "Gue udah mikirin semuanya Dim, semaleman."
Oke, kalau Kiara sudah bicara begini, Dimas yakin ujungnya tidak akan enak. Dia harus menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk. Karena ini salahnya. Jujur sejak kemarin dia merasa brsalah karena menggenggam tangan Risa meski tujuannya agar bisa kabur dari papa secepatnya.
"Kita udahan dulu ya," kata Kiara dengan senyum manis. "Seenggaknya sampe lo bisa ngerti perasaan lo sendiri."
Benarkan duguaannya tadi. "Kia-"
"Dimas," potong Kiara. "Lo nggak bisa jawab kan alesan lo care banget sama Risa? Lo sendiri juga bingung kan? Nggak apa-apa, lo bisa pikirin semua, jangan-jangan alesan lo bilang Risa pacar lo dua kali ini bukan cuma gara-gara kepepet."
Kiara mengambil minuman dari tasnya dan memberikannya pada Dimas. "Nih minum dulu, tadi di sana lo nggak minum kan? Maaf tadi gue lancang ikut campur urusan lo sama bokap lo. Tapi saran gue, mungkin lo bisa belajar memaafkan meskipun susah banget, karena kita nggak tau Dim. Sampai kapan kita hidup di dunia."
Saat berbalik untuk pergi, tangan Kiara ditahan oleh Dimas.
"Kalau gue udah dapet jawaban pilihan gue?" tanya Dimas.
Kiara tersenyum dan kembali menghadap Dimas. "Lo bisa temuin gue, apapun yang lo pilih pasti itu yang terbaik buat lo, buat gue juga." Dia langsung berjalan pergi meninggalkan Dimas. Pergi ke halte terdekat dan duduk di sana menunggu kendaraan umum lewat.
Jarinya menghapus setitik airmata yang menetes. Tidak boleh menangis, ini sudah keputusan yang paling tepat.
☁☁☁
Dimas melempar bola basket itu ke ring. Masih tidak bisa fokus bermain padahal sejak tadi teman-temannya sudah mengajaknya. Dia masih memikirkan kata-kata Kiara. Ada benarnya, mungkin dia harus memikirkan lagi. tapi apa iya dia punya perasaan pada Risa. Sepertinya tidak. Tapi kenapa dia bisa peduli pada Risa.
Dug. "Arrgg! Siapa yang lempar bola ke kepala gue?" omel Dimas.
Angga mengacungkan tangannya dengan santai. Wajh tanpa dosa itu nyengir. "Gue kira lo kesurupuan arwah batu."
"Apaan si!" omel Dimas sambil mengusap-usap kepalanya. Dia duduk di lapangan sambil mendongak, menatap panasnya sinar matahari sambil menyipitkan mata.
"Lo sama Kiara beneran putus?" tanya Angga sambil duduk di samping Dimas.
Dimas mendengus kesal. Dia juga bingung sekarang hubungannya dengan Kiara itu disebut apa. "Si Risa mana? dari pagi nggak keliatan."
"Dim, Kiara sama Risa itu emang sifatnya sama. Pemalu, kutu buku, gemesin. Tapi Kiara ya Kiara, Risa ya Risa. Mereka dua orang yang beda, nggak bisa lo anggep sama," kata Angga sambil memainkan bola basket di tangannya. "Coba lo pikir, lo peduli sama tuh cewek gara-gara dia kayak Kiara apa emang lo peduli sama dia."
"Gue nggak tau," jawab Dimas. Bingung sekali.
Angga mendengus geli dan menepuk bahu sohibnya itu. "Coba aja lo pdkt sama si Risa, entar lo juga tau. Risa emang kayak Kiara, ditambah dia ada di deket lo mulu, tapi kalau Kiara beneran pergi. Lo bakal sadar sendiri, lo nggak akan nemuin apa yang ada di dalem diri Kiara di Risa. Balik lagi, mereka bukan orang yang sama Dim."
Dimas terdiam. Lamunannya terhenti karena suara keras yang memanggil nama Angga dari ujung lapangan.
"Oh Shit man, gue lupa abis bikin masalah sama si gorilla," keluh Angga.
Mona sudah mengambil ancang-ancang untuk mengejar Angga. Wajahnya benar-benar seperti algojo yang siap mengeksekusi tahanan. Menyeramkan sekali. Cewek satu ini memang paling bar-bar.
"Nyari masalah apa lo?" tanya Dimas.
Angga nyering sambil garuk-garuk kepala. "Gue ngirim bunga karangan duka cita buat dia."
Dimas tertawa geli dan geleng-geleng kepala. "Siap-siap aja deh lo, kalo bonyok jangan minta bantuin gue."
"Mending bonyok! Kalo sampe mati? Duh sialan, pantes firasat gue kagak enak," kekeh Angga sambil berlari kabur.
☁☁☁
Selama tiga hari ini Dimas sibuk mengerjakan tugas kelompok dengan Risa. Intensitas bertemu pun jadi bertambah. Selain di sekolah, Dimas juga pergi ke rumah Risa untuk mengerjakan tugas. Tentunya setelah latihan basket selesai.
Hari minggu ini, Dimas kembali ke rumah Risa. Cewek itu mengenakan kaus sederhana dan rambut dicepol asal. Memang terlihat manis, lagi-agi mengingatkannya pada Kiara yang selalu berpenampilan sederhana. "Dim, karangannya udah tujuh puluh persen loh. Mau liat nggak?"
"Baca? Nggak deh. Lo aja," tolak Dimas.
Risa tertawa geli, mengerti kalau Dimas tidak suka membaca cerita. "Baca doang Dim, dikit doang deh. Satu bab."
"Bagus Sa, udah gue percaya lo," jawab Dimas.
"Ckck dasar," keluh Risa. Dia bertopang dagu. "Dim, ke toko buku yuk? Cari reverensi lagi. Mau nggak?"
"Boleh," jawab Dimas.
Senyum Risa mengembang. "Oke, tapi kali ini patungan ya? Gue kan nggak enak kemaren sama lo."
"Iya-iya, yaudah gue nunggu di luar," kata Dimas sebelum bangkit dan mengambil ranselnya. Dia keluar, duduk di motor, menunggu Risa siap-siap. Sambil menunggu, Dimas mengecek ponselnya. Kiara sedang apa sekarang. Apa dia telepon saja.
"Ayo Dim!" kata Risa.
Dimas mendongak, dia tersenyum dan menganggukan kepala.
Di toko buku, Risa antusias sekali. Cewek itu langsung berlari ke rak bagian novel dan memilih-milih. "Dim, lo pilih aja bukunya, gue mau milih novel dulu yaa."
Dimas membolak-balik cover buku, tapi pikirannya tetap pada Kiara. Apa ini jawaban dari kebingungannya kemarin. Meski ada Risa yang seperti Kiara, tetap saja rasanya ada yang beda. Dia kangen omelan Kiara yang kadang lucu, apalagi kalau wajahnya sudah memerah karena marah.
"Dim? Udah ketemu bukunya?"
"Apa Kia?" tanya Dimas.
Risa mengerutkan keningnya. "Dim, gue Risa. Bukan Kak Kiara."
Dimas mengerjapkan mata, senyumnya mengembang tipis. "Sorry, gue lagi banyak pikiran."
"Hem, yaudah. Gue bantu milih bukunya, novel yang gue cari juga udah ketemu," jawab Risa.
Setelah ke toko buku, Risa mengajak Dimas untuk mampir nonton di bioskop karena ada film Disney baru. Selama nonton, Dimas terus mengecek ponsel. Membuar Risa sadar kalau Dimas sedang tidak nyaman. "Lo kangen Kak Kiara ya?"
"Hem?" tanya Dimas. Kepalanya mengangguk.
Risa tersenyum dan menepuk tangan Dimas. "Kenapa nggak samperin aja? Kata anak-anak lo sama Kak Kiara putus, tapi menurut gue, lo sama dia nggak bener-bener putus. Samperin aja Dim kalau emang lo masih mau jalan sama Kak Kiara. Kalian cocok kok, gue iri malah sama kalian berdua, lucu aja ngeliatnya."
"Gue balik duluan gapapa ya Sa?" tanya Dimas. Dia ingin buru-buru ke rumah Kiara untuk memberitahu keputusannya.
"Hem, gue bisa balik sendiri," jawab Risa.
Dimas tersenyum lega dan langsung berdiri. "Thanks Sa, kabarin kalau lo udah sampe rumah."
Risa menatap Dimas yang pergi meninggalkannya. Keplanya tertunduk. Dia tahu, niat awalnya sudah salah. Harusnya dia tidak berusaha mendekati Dimas, padahal cowok itu sudah milik Kiara. "Kenapa gue jadi jahat gini."
☁☁☁
Dimas mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi menuju rumah Kiara. Sampai di sana, tante Sarah sedang di depan dengan mbak Minah, asisten rumah tangga di rumah Kiara. "Sore Tante."
"Eh Dimas? Kiaranya lagi pergi. Kamu ke sini nyari dia apa Lion?" tanya tante Sarah.
"Kia pergi kemana Tan?"
Tante Sarah menggelengkan kepala. "Nggak tau, tadi pagi izin main. Coba aja telfon dulu, masuk sini tunggunya di dalem aja."
"Coba Dimas telfon dulu aja," jawab Dimas. Dia menghubungi nomor Kiara. Nada sambung terdengar, tapi sayangnya tidak diangkat. Sekali lagi dia mencoba, dan hasilnya sama. Entah sengaja atau tidak. "Tante, Dimas langsung nyari Kia aja ke rumah temen-temennya."
"Oh yaudah, hati-hati yaa."
Dimas mengunjungi rumah Saya, Luna, Mita, bahkan Mona yang galak itu. Bukan Kiara yang didapat dia malah mendapatkan ceramah. Bahkan tendangan dari Mona yang bar-bar itu. Kemana sebenarnya Kiara, dia benar-benar cemas sekarang.
Untuk kesekian kali, Dimas berusaha menghubungi nomor Kiara, tapi sampai sekarang tidak diangkat. Dia memutuskan untuk lanjut mencari Kiara ke tempat les cewek itu. Setelah ini baru dia akan ke rumah Adrian. Siapa tahu kan Kiara ada di sana. Kalau iya pun tidak apa-apa, yang penting cewek itu baik-baik saja.
Tempat les Kiara sepi. Berarti cewek itu tidak ada di sini. Dimas langsug pergi ke rumah Adrian yang waktu itu sempat dia datangi untuk mengantar Kiara. Rumah besar itu sepi. Dimas menghampiri satpam di pos dekat pagar. "Mas, mau nanya. Adrian ada di rumah?"
"Oh Den Adrian kan dipindahin ke luar kota sama Ibu, udah hampir semingguan," jawab satpam itu.
Dimas menghela nafas panjang, kalau begitu dimana Kiara. "Makasih ya Mas."
Sampai petang, Dimas masih keliling mencari Kiara sambil tetap berusaha menelepon. Berharap mendapatkan respon. Karena lelah, dia memutuskan untuk mampir ke toko kue bunda. Mungkin lebih baik dia numpang mandi di sana, baru lanjut mencari lagi. Jangan-jangan Kiara malah sudah pulang ke rumah. Cewek itu tidak akan pergi ke tempat jauh sendirian kan.
"Loh Dim? Baru pulang? Tumben langsung ke toko," tanya bunda melihat Dimas datang dan langsung duduk di kursi.
Dias merebahkan kepalanya di atas meja. "Numpang mandi Bun, mau lanjut pergi lagi."
"Kemana?" tanya bunda.
"Nyari Kia," jawab Dimas. Helaan nafasnya memberat.
Bunda tersenyum geli. "Udah Bunda duga, kalian lagi ada masalah."
"Tante Alya, ini adonannya udah jadi," suara Kiara membuat Dimas reflek menoleh. Matanya menajam, melihat Kiara keluar sambil membawa loyang, wajah itu terkena noda tepung. Saat mendongak Kiara kelihatan kaget melihat Dimas
☁☁☁
Sejak pagi, Kiara sudah bersiap untuk pergi ke toko kue milik tante Alya. Dia sudah janjian untuk datang ke sana dan belajar membuat kue. Rasanya dia semangat sekali. Dari dulu dia mau bisa membuat kue.
Kiara turun dari ojek online di depan mini market dekat toko kue untuk membeli makanan. Di dalam, tidak disangka, dia bertemu dengan papanya Dimas. "Om? Yaampun, nggak nyangka bisa ketemu di sini."
"Kia? Iya kebetulan sekali. Rumah kamu deket sini?"
Kiara menggelengkan kepala. "Kia mau main ke toko kue Tante Alya. Om ke sini juga buat ke sana yaa?"
Papanya Dimas tertawa dan menganggukan kepala. "Om mau lihat Tante dari jauh, jujur Om belum berani untuk menyapa secara langsung."
Senyum Kiara mengembang. "Iya Kia ngerti."
"Kamu udah sering ke toko kue itu?"
"Kiara mengerjapkan mata, bingung ingin menjawab apa. Dimas kan bilang pada papanya kalau Risa itu pacar. Bukannya aneh kalau dia akrab dengan tante Alya. "Emm, iya Om. Semua temen-temen Dimas-"
"Kamu bukan teman Dimas kan? Kamu pacar putra Om."
"Hah? Om tau darimana?" tanya Kiara.
"Dari cara Dimas melihat kamu, cara dia memperlakukan kamu. Om yakin pacar anak itu bukan Risa tapi kamu," jawab om itu dengan santai. "Terima kasih karena mau menjadi bagian dari Dimas, mudah-mudahan kamu bisa mengobati luka yang sudah Om berikan padanya."
Kiara berjalan ke toko kue sambil memikirkan ucapan tadi. Mungkin sekarang itu bukan tugasnya, tapi tugas Risa. Dimas dan Risa, apa dua orang itu sekarang sudah makin dekat. Kepalanya menggeleng, tidak udah memikirkan hal yang membuat sedih.
"Nah ini Kia, yaudah ayo kita mulai aja yaa," ajak tante Alya.
Selama proses membuat kue, Kiara lebih banyak termenung. Dan pastinya tante Alya sadar dengan tingkah Kiara. "Lagi ada masalah ya sama Dimas?"
"Emm? Hehe nggak Tante, maaf yaa Kia lagi mikirin pelajaran yang ketinggalan banyak," jawab Kiara bohong.
Sampai petang, Kiara masih sibuk belajar membuat kue. Percobaan pertama gagal. Adonannya tidak mau mengembang. Kedua pun sama saja. Ini yang ketiga, aklau sampai gagal lagi, ya sudah, mungkin dia tidak berbakat.
Kiara keluar untuk memberitahu pada tante Alya kalau adonan ini sudah siap. Saat mendongak dia kaget karena ada Dimas di sini. Matanya membulat. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara.
Dimas mendekat dan merebut baskom berisi adonan itu lalu meletakannya di atas etalase kaca. "Gue udah dapet jawaban."
"Hem?" Kiara mengerutkan keningnya. Dia makin kaget karena Dimas memeluknya. "Apa jawaban lo?"
"Nggak ada pilihan," jawab Dimas. "Dari awal cuma ada lo, gue nggak perlu milih."
"Risa?" tanya Kiara.
Tangan Dimas mengusap kepalanya. "Nggak ada Risa juga, maaf Kia."
Kiara tersenyum dan balas memeluk cowok itu. "Jadi balikan?"
"Emang pernah putus?" tanya Dimas.
Kiara tertawa kecil dan melepaskan pelukannya, tapi Dimas tidak mau. "Dim lepas nggak! Malu tau ada Bunda lo, Mbak Niken sama Mbak Arum."
"Biarin aja, kan kangen Kia," balas Dimas.
Kiara langsung meninju perut Dimas agar menjauh. "Nyebelin banget sih! Dibilang malu."
Dimas cemberut kesal. "Hp lo kemana? Gue nyari lo kemana-mana, kalau marah jangan bikin orang khawatir Kia!"
"Hp gue silent terus gue taroh tas," jawab Kiara santai.
Mata Dimas menyipit. "Sengaja ya? Mau bikin gue khawatir?" Dia menggelitiki Kiara membuat Kiara tertawa. "Awas ya!"
"Dimas! Ihh geli tau haha ! stop nggak! Dim!" omel Kiara.
Dimas tersenyum dan berhenti. Jarinya mengusap pipi Kiara yang terkena noda tepung. Pandangan matanya menyorot teduh sekali. "Gue kangen denger omelan lo."
"Kangen diomelin? Oke tiap hari gue omelin lo terus yaa," kata Kiara. Dia beralih pada tante Alya yang sejak tadi tersenyum. "Maaf Tante, Dimas yang minta diomelin."
"Yaa, omelin aja kalau dia nakal," kata tante Alya.
☁☁☁
See you on the next chapter ❤
Dimas Kiara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro