
BAB 31 - Nelangsa
Hola selamat sore, aku balik lagi. Untuk cerita MCB masih setengah jalan. Mudah-mudahan besok malem bisa up yaa 😊😊
Hari ini ditemenin sama Kiara dkk dulu. Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin untuk info cerita-ceritaku.
Happy reading guys! 🤗🤗🤗
☁️☁️☁️
Kiara mengusap sikunya yang terkena goresan besi saat tadi menaiki tangga gudang. Awalnya dia ingin mengambil sapu, tapi dia tidak hati-hati sampai jadi luka begini. Lebih baik dia ke UKS untuk minta plaster.
Karena ini jam pelajaran, koridor depan kelas sepi. Semua murid sibuk belajar. Kadang, Kiara melongok dari jendela, memperhatikan suasana kelas-kelas yang dia lewati. Suasanya kondusif. Sampai akhirnya dia sampa di depan ruang UKS.
Kiara berjinjit, ada suara orang sedang ngobrol. Karena terhalang tirai, Kiara tidak bisa tahu siapa orang di dalam. Tapi kalau pun kelihatan belum tentu juga dia kenal. Bahunya terangkat, cuek saja, dia kan cuma mau ambil plaster.
"Permisi Bu," sapa Kiara pada bu Amel penjaga UKS.
"Oh iya Kiara, ada apa? kamu sakit?" tanya bu Amel.
Kiara tersenyum ramah dan menggelengkan kepala. "Saya mau minta plaster aja Bu."
"Oh yaudah, ada di tempat biasa yaa," kata bu Amel.
Yaa Kiara tahu, dia sering kemari. Bukan karena sakit, tapi kadang setiap senin dia membantu anggota PMR mengurus siswa yang sdakit saat upacara. Kiara membuka lemari besar itu dan mengulurkan tangannya tinggi-tinggi.
"Bisa nggak?" bisik suara tepat di dekat telinga Kiara.
Kiara menoleh kaget. "Dim?"
"Hem?" tanya Dimas. Yang kembali menegakan punggungnya. Berdiri menjulang di hadapan Kiara. Tangannya terulur mengambil kotak berisi plaster. Sudah berapa hari dia tidak melihat cewek ini karena sedang mendapat dispen untuk tanding basket di sekolah lain. "Lo abis jatoh?"
"Enggak, gue cuma mau minta aja buat jaga-jaga," elak Kiara. Dia melongok ke belakang Dimas. Tempat yang tertutup tirai. "Siapa yang sakit?"
"Risa," jawab Dimas. "Mana liat tangan lo!"
"Kan gue bilang nggak kenapa-kenapa," jawab Kiara.
Dimas menarik tangan Kiara. "Udah lo bersihin lukanya?"
"Udah, ngapain sih Dim? Gue bisa sendiri tau!" protes Kiara saat Dimas mau memasang plaster itu. "Dim!"
"Bawel banget sih lo," balas Dimas dengan santai. Dia meniup luka di siku Kiara. "Lo ngapain bisa luka gini?"
"Mau ambil sapu di gudang, sapu kelas gue ilang terus," jawab Kiara.
"Piket kelas sempet, bales chat gue nggak sempet," keluh Dimas. Wajahnya kelihatan bete berat. Jelaslah, diabaikan dua hari, katanya sibuk tapi sempat-sempatnya piket. Murid teladan sekali Kiara ini.
"Kalau nggak piket kan nanti dihukum Dim," tanggap Kiara. "Lagian lo chat apaan sih?"
"Yaudah, gue males rebut," jawab Dimas.
Kiara cemberut kesal. "Risa sakit apa? lo doang yang nemenin dia?"
"Ya sendiri, kalo rame-rame namanya tauran," balas Dimas sengit. "Kepo ya?"
Pukulan mendarat di tangan Dimas. Siapa yang kepo. Anak ini benar-benar menyebalkan. "Awas!" Kiara menyibak tirai untuk melihat kondisi Risa. Dia memang kesal tapi kan tidak ada salahnya basa-basi menyapa. Melihat wajah pucar Risa, rasa simpatinya muncul. "Lo sakit yaa? sekarang gimana?"
"Oh emm udah mendingan Kak, tadi aku lupa sarapan tapi barusan udah dibeliin roti sama Dimas," jawab Risa.
Kiara membulatkan mulutnya. "Gue ada bekel nasi, mau?"
"Nggak usah Kak makasih yaa," jawab Risa dengan senyum manis.
"Udah nggak apa-apa daripada nanti lo pingsan," kata Kiara. Kasihan kan kalau sampai anak ini pingsan.
Risa tertawa kecil. "Nggak Kak, tadi udah pingsan, masa mau pingsan lagi."
"Pingsan?" ulang Kiara. Dia meloeh pada Dimas yang berdiri canggung. "Ohh jadi tadi digendong sama Dimas ke UKS? Yaampun kasian banget, yaudah deh lo istirahat aja, maaf yaa ganggu."
Kiara segera pergi meninggalkan ruang UKS. Dia sudah tidak mood bicara dengan Dimas. Di belakangnya Dimas menyusul Kiara dengan muddah, tapi tetap dia abaikan. Bodo amat, bicara saja sana dengan angin. Itu juga kalau anginnya mau.
"Kia, dia kan sakit. Masa gue seret?" tanya Dimas.
Kiara menghentikan langkahnya. "Iya bener, terus kenapa lo doang? Kenapa yang lain nggak? Temen-temen lo pada nggak kasian sama Risa?"
"Emm? Kasian, tapi gue duluan yang inisiatif," balas Dimas.
"Kenapa?"
"Soalnya-" kata-kata Dimas terhenti. Kenapa, dia juga tidak tahu. tadi melihat Risa pingsan dia langsung inisiatif membopongnya ke UKS. Tidak berpikir macam-macam.
Melihat Dimas diam, Kiara mendengus pelan. "Mikir kan? Udah deh gue juga lagi males ribut." Lagi-lagi dia berjalan meninggalkan Dimas. Kali ini Dimas tidak mengejarnya. Mungkin sedang memikirkan jawaban dari pertanyaannya tadi.
☁☁☁
Lagi-lagi panggilan dari Dimas, Kiara abaikan. Semua pesan juga tidak dibalas. Entah sudah hari ke berapa mereka perang dingin begini. Pokoknya dia harus menghilangkan rasa kesalnya dulu. Nanti kalau kesal ini sudah berkurang baru dia akan balas pesan Dimas.
Siang ini di jam istirahat, seperti biasa, Kiara menghampiri Adrian di taman belakang. Dia tersenyum dan melambaikan tangan pada cowok itu. "Nggak makan ke kantin? Lo makin kurus loh Adrian."
Adrian cuma melirik sekilas dan kembali sibuk dengan obat di tangannya.
Kiara menghela nafas, sudah cukup, setiap hari selalu begini. Dia merebut obat itu dari tangan Adrian. "Seenak apaan sih? Gimana cara pakenya? Gue penasaran."
"Jangan macem-macem ya! Kasih gue!" bentak Adrian.
"Nggak mau," balas Kiara. Dia melihat obat ini.
"Ra please jangan coba. Kasih gue yaa?" minta Adrian yang kali ini nadanya melembut. "Janji gue mau ngobrol sama lo tapi kasih itu ke gue."
"Tapi kan-," kata-kata Kiara terputus karena Adrian berdiri limbung dan akhirnya jatuh tidak sadarkan diri. Mata Kiara melebar. "Adrian!"
Tanpa diduga, beberapa guru datang ke taman belakang. Seperti sudah siap sejak tadi untuk menangkap basah Adrian. Kiara makin panik. Dia tidak mau Adrian ketahuan, tapi semua sudah terlambat. Saat ini dia pun harus ikut dibawa oleh guru ke ruangan UKS.
Kiara menundukan kepala dalam-dalam, mendengarkan para guru sedang berdiskusi serius tentang kasus ini. Ini pelanggaran berat. Dan dia pun akhirnya juga dituduh mengkonsumsi obat itu. Astaga, Kiara benar-benar tidak menyangka aka nada di posisi mencekam seperti sekarang ini.
Di ranjang, Adrian masih belum sadar. Itu membuat Kiara makin cemas sekarang. Dia harus menghadapi para guru ini sendiri. Apa yang harus dia jawab saat nanti guru-guru bertanya. Apa dia harus jujur dan membuat Adrian dikeluarkan.
"Kiara, kamu ini siswi teladan sekolah ini. Kenapa kamu bisa sampai terjerumus ke obat-obatan terlarang itu?" tanya pak Sopyan.
"Ini tidak bisa dibiarkan, pokoknya jangan sampai masalah ini menyebar keluar. Nama sekolah kita bisa tercoreng," balas Bu Arum.
"Kiara, jelaskan semuanya pada kami!" suruh pak Sopyan.
Kiara masih diam, tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih kaget sekali. Tangannya sudah mendingin. Di luar sudah banyak murid yang berebut ingin mengintip ke ruang UKS yang tertutup rapat. Di depan ruangan itu sudah ada beberapa guru dan pengurus OSIS yang berjaga.
"Kamu harus menceritakan semua," cecarnya lagi.
Bu Arum menghela nafas berusaha sabar. "Kiara tolong bekerja sama, kamu harus menjelaskan semuanya."
"Tenang Bu, Pak. Jangan membuat Kiara takut," kata bu Naira. Tangannya mengusap bahu Kiara dengan lembut. "Kita ini kan selama ini tahu Kiara itu bagaimana. Mana mungkin dia menggunakan obat-obatan itu?"
"Bisa saja, dia kan berteman dengan anak seperti Adrian," balas pak Sopyan.
"Benar, lagipula mana bisa kita tenang? Ini masalah nama baik sekolah!" tambah bu Arum. "Panggil orang tua dua murid ini."
Deg. Kiara mendongak, wajahnya makin takut. Selama ini dia tidak pernah membuat orang tuanya dipanggil ke sekolah karena masalah. Sekalinya dipanggil, kasusnya justru seberat ini. Semoga orangtuanya tidak salah paham.
"Tenang yaa Kiara," kata bu Naira.
Kiara tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Lebih ke arah pasrah.
☁☁☁
Kabar Kiara dan Adrian dibawa oleh guru langsung menyebar sampai ke kelas atas. Dimas yang tadinya sedang duduk santai setelah perutnya kenyang langsung berlari secepat mungkin ke UKS. Gawat, pasti masalah Adrian mengkonsumsi narkoba. Bodoh sekali, kenapa dia tidak mengawasi Kiara.
Di depan ruangan ini, sudah ramai murid-murid kepo. Dimas menghampiri teman-teman Kiara yang kelihatan cemas. "Kia masih di dalem?"
"Dim!" suara Sasya panik. "Ini ada apaan sih? Kenapa sama Kiara? Bener kata anak-anak kalau Adrian sama Kiara jadi pemakai?"
"Nggak mungkin! Kiara bukan orang yang begitu!" bantah Mita. "Ini pasti salah paham."
Dimas mengacak rambutnya kesal. "Gue harus masuk ke dalem!"
"Nggak bisa Dim, kita harus tunggu di luar," kata Mona. "Gue juga yakin Kiara nggak bakal ngobat. Kita serahin aja sama guru-guru. Gue yakin mereka bijak buat masalah sebesar ini."
"Tapi lo denger sendiri kan Na? katanya Kiara yang lagi pegang obat itu tadi. Dia emang nggak pake, tapi itu udah bisa ngeberatin Kiara," balas Luna.
"Apa?" tanya Dimas.
Suasana makin kacau. Dimas duduk di kursi dengan cemas. Teman-temannya yang tadi ikut menyusul cuma diam. Tidak ingin bertanya-tanya dan memperumit keadaaan yang sudah sangat rumit ini. Harusnya Kiara memang tidak ikut campur urusan Adrian sejak awal. Kalau sudah begini, Kiara bisa ikut dikeluarkan dari sekolah.
"Dimas?" panggilan itu membuat Dimas mendongak.
"Tante?" balas Dimas. "Maaf Tante, Dimas gagal jagain Kia."
Tangan itu mengusap lembut bahu Dimas. "Sudah, Tante percaya anak Tante nggak mungkin begitu. Kamu tenang yaa, Tante ke dalam dulu."
Dimas kembali duduk, menatap pintu itu. Dari sedikit celah dia bisa melihat Kiara sedang duduk diam. Pasti cewek itu takut sekali.
"Itu nyokapnya Kiara?" tanya Angga.
"Hem," jawab Dimas.
"Wah udah akrab banget sama calon mertua," kekeh Dirga mencairkan suasana.
Dimas mengdengus pelan dan tidak menjawab apa-apa. Sekarang ini yang dia pikirkan cuma Kiara. Semoga tidak ada hukuman berat untuk cewek itu nantinya.
☁☁☁
"Ara, jelasin semuanya sayang. Biar jelas semua. Jangan diam begini," kata ibunya.
Kiara terisak kecil dan langsung memeluk ibunya itu. "Maa, sumpah Ara nggak pernah konsumsi obat itu."
Seorang wanita dengan pakaian yang elegan datang. Wajahnya cantik, mungkin itu ibunya Adrian. Cowok itu kan dari keluarga kelas atas. Wanita itu duduk di kursi sambil bersedekap. "Saya nggak percaya kalau anak saya begitu. Dia mungkin suka membuat masalah tapi dia tidak akan melakukan hal bodoh begitu."
"Kalau begitu kita tunggu anak Ibu sadar," jawab Pak Sopyan.
Semua diam sambil menunggu Adrian sadar. Untungnya tidak butuh waklu lama. Kiara langsung menghampiri cowok itu. "Adrian, lo nggak apa-apa?"
"Hem?" tanya Adrian. Matanya menatap sekitar dan terkejut melihat banyak orang di sekitarnya. Tangannya menyentuh kepala yang terasa pusing. "Ini kenapa?"
Ibunya Adrian mendekat dan mencengkram kuat tangan Adrian. "Bilang sama mereka kalau kamu nggak konsumsi obat-obatan itu! Cepat bilang! Kita ini dari keluarga terhormat. Jangan membuat malu nama keluarga!"
Adrian mendengus samar dan menghempaskan tangan ibunya. Wajah itu terlihat sangat pucat. "Sayangnya aku emang make." Santai sekali Adrian bicara begitu. Tidak ada rasa takut padahal nasibnya di sekolah ini sedang terancam. Dia beralih pada guru-guru. "Maaf Pak, saya mengaku salah."
"Ibu dengar sendiri kan?" tanya pak Sopyan.
Kiara memperhatikan wajah terperangah itu, ada raut sedih dan marah di sana. Astaga, situasi macam apa ini.
"Karena kita sudah mendengarkan dengan jelas, sepertinya ini akan mudah. Adrian, karena kesalahan kamu yang fatal sekolah tdak bisa lagi mentoleransinya. Maaf, mulai hari ini kamu dikeluarkan dari sekolah."
Adrian menghela nafas panjang dan menganggukan kepala. "Saya mengerti Pak."
"Satu lagi, apa benar Kiara tidak ikut mengkonsumsi obat itu?" tanya pak Sopyan.
"Nggak Pak, cuma saya." Adrian menggenggam tangan Kiara tapi wajahnya tetap menghadap guru yang sedang bicara padanya.
"Tapi dia tetap harus dihukum karena menyembunyikan perbuatan kamu," kata Bu Arum.
Adrian menggelengkan kepala. "Saya yang paksa dia tutup mulut, dia baru tahu Pak. Tolong jangan libatin dia dalam masalah saya."
"Harusnya dari awal kamu jangan melibatkan dia," kata bu Arum. "Sekarang semua sudah lihat dia dibawa guru dengan kamu. Meskipun nggak bersalah, dia harus tetap mendapat hukuman."
"Apa saya juga dikeluarkan?" tanya Kiara.
"Kita akan diskusi dulu tentang hukuman apa yang pantas untuk kamu," kata pak Sopyan.
Kali ini di ruangan yang tidak terlalu luas. Hanya ada lima orang. Kiara dan ibunya, Adrian dan ibunya, serta Bu Naira. Semua diam. Wajah yang masih syok adalah ibunya Adrian. Sejak pengakuan putranya tadi, ibu itu tidak membuka suara sama sekali.
"Takut ya?" tanya Adrian.
Kiara menoleh, senyumya mengembang tipis. "Hemm, kalau gue dikeluarin-,"
"Nggak akan, lo nggak boleh keluar dari sekolah. Gue yang salah," jawab Adrian.
"Harusnya dia juga sama seperti kamu! Dia nggak melarang kamu untuk pakai obat-obatan itu! teman macam apa dia?!" bentak ibunya Adrian.
"Mama!" balas Adrian. "Dia udah ngelarang aku berkali-kali, dia nyuruh aku masuk panti rehab."
"Astaga," ucap ibu itu sambil mengusap airmatanya. "Kamu tahu kan kondisi keluarga kita sedang kacau? Sekarang kamu ngobat! Kamu menambah beban hidup Mama! Kamu mau bunuh Mama secara perlahan?!"
Adrian membuang muka, sedih melihat wajah ibunya. Dia memang arah, tapi dia tidak suka ada airmata di wajah itu.
"Semua salah Ayahmu, dia-"
"Sebelum Mama menyalahkan semua orang, bisa Mama intropeksi diri. Selama ini apa tugas Mama sebagai ibu terpenuhi? Dia yang tadi Mama salahin, dia yang support aku, bahkan diwaktu Mama sibuk sama kaum sosialita Mama itu. Bahkan setelah cerai pun Mama tetep sibuk sama teman-teman Mama. Clubing, pulang pagi dalam keadaan mabuk! Kita sama-sama salah di sini."
Plak. Pipi Adrian ditampar dengan kencang. "Kamu nggak berhak ngomong begitu sama Mama! Kamu nggak bisa menghakimi Mama! Kamu sama sekali nggak tau beban Mama! Seburuk apapun Mama, Mama adalah orang yang melahirkan kamu!"
Kiara membekap mulutnya sendiri. Tidak bisa berkata-kata.
"Ibu mohon bersabar," kata bu Naira dan ibunya Kiara.
"Apa tugas seorang Ibu hanya sampai melahirkan anaknya ke dunia?" balas Adrian. Tangannya mengusap pipi yang tadi terkena tamparan. "Di sini bukan cuma Mama yang kecewa. Aku juga."
☁☁☁
Kiara dan ibunya keluar dari ruangan setelah mendengar hukuman yang didapat. Di luar sudah sepi karena bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. "Ma, Kiara ambil tas dulu bentar."
"Iya, Mama tunggu di mobil yaa?"
"Iya," jawab Kiara. Dia berjalan dengan kepala tertunduk dalam. Beberapa orang yang melihat Kiara jadi tertarik melongok ke jendela. Menebak-nebak apakah cewek itu dikelarkan dari sekolah. Kiara yang terkenal pendiam, kalem, dan berprestasi.
Tangan Kiara ditarik saat melewati tangga. Matanya melebar kaget melihat Dimas. "Dim? Lo kenapa di sini? Kan lagi jam pelajaran."
"Gimana keputusannya?" tanya Dimas. "Lo dikeluarin?"
Kiara tersenyum dan menggelengkan kepala. "Gue dapet surat peringatan sama skorsing selama satu minggu."
Dimas tersenyum lega dan mengusap kepala Kiara. "Yaudah nggak apa-apa, yang penting lo nggak dikeluarin."
"Tapi," kata-katanya terputus karena matanya panas. "Adrian keluar, gue ngak bisa bantu apa-apa."
"Udah risikonya Kia, bukan salah lo," balas Dimas sambil mengusap pipi Kiara. "Mau ambil tas kan? Ayo gue temenin."
Dimas mengantar Kiara ke kelas. Dia ikut masuk ke kelas karena tidak ada guru di sini. Membantu Kiara membereskan buku-buku di meja cewek itu. Sedangkan yang lain, karena ada Dimas, mereka jadi segan untuk bertanya-tanya.
"Ra, lo nggak dikeluarin kan?" tanya Sasya panik.
"Nggak, gue cuma diskors seminggu. Lo semua kudu rajin belajarnya, biar nanti pas gue masuk lagi gue bisa nanya ke kalian materi yang gue tinggalin," balas Kiara dengan senyum menenangkan meski saat ini dia juga sedang kacau.
Setelah semua sudah masuk ke tasnya, Kiara pamit pulang. Dia berjalan dengan Dimas ke parkiran depan. "Emang lo nggak ada pelajaran?"
"Ada, tapi gue lagi bosen belajar," jawab Dimas asal. "Yaa ampun Kia, wajahnya jangan gitu dong. Kan lo mau liburan seminggu, apa mau tukeran aja? Gue yang libur, lo masuk gantiin gue?"
Kiara menahan senyumnya dan memukul tangan Dimas. "Apaan sih?!"
"Tante," sapa Dimas. "Hati-hati ya pulangnya."
"Iya, kamu kok nggak masuk kelas?"
"Bolos kelas dia Ma," jawab Kiara.
Dimas melotot kesal. "Kia, jangan jelek-jelekin gue di depan calon Mama dong. Maaf Tante, Kiara tukang fitnah, diliat dari wajah juga Dimas anak baik-baik, nggak akan bolos."
"Iyuh," balas Kiara dengan tawa geli. "Udah sana! Jangan cari masalah ya di sekolah. Awas lo kalau gue sampe denger lo bikin masalah."
"Siap Kak, Adek nggak nakal," jawab Dimas sambil hormat. Dia menyalami tangan ibunya Kiara. "Balik ke kelas dulua yaa Tante." Tangannya terulur ke arah Kiara. "Lo nggak mau salim?"
"Eh gue lebih tua ya!" protes Kiara.
Dimas menepuk keningnya. "Lupa Nek, maaf." Dia menyubit pipi Kiara sebelum berlari menjauh.
"Dimas!" omel Kiara.
☁☁☁
Dimas berjalan cepat mencari Adrian di kelasnya. Dia perlu bicara pada cowok itu sebentar. Ada yang harus diselesaikan di sini. Di koridor dia berpapasan dengan Adrian yang sudah menenteng tas. "Bagus ketemu di sini, gue mau ngomong bentar."
"Jangan di sini," kata Adrian cuek sambil berjalan duluan ke arah gudang yang sepi. Seperti tahu kalau pembicaraan ini sangat penting.
Sampai di sana, Dimas langsung meninju pipi Adrian sampai membuat cowok itu limbung dan jatuh ke lantai. Benar-benar tidak ada tenaga. Sangat jauh dari keadaannya dulu saat sebelum mengonsumsi obat itu.
"Gue biarin Kia nolong lo ya! Kenapa lo malah nyeret dia ke masalah lo!" kata Dimas dengan tajam.
Adrian diam dan berusaha untuk duduk. Tidak membalas ucapan Dimas karena itu memang benar. Ibu jarinya mengusap sudut bibir yang mengeluarkan darah. "Gue emang nggak bisa jagain Kiara sekarang. Lo liat gue, bahkan jaga diri sendiri aja gue nggak bisa."
"Sialan!" maki Dimas sambil menendang benda di dekatnya. "Harusnya dari awal gue ngelarang dia buat deket sama lo."
Adrian menghela nafas panjang dan berdiri perlahan. "Gue titip Kiara."
Dimas melirik kesal.
"Tolong jagain dia, jangan buat dia nangis, cuma lo yang gue percaya," tambah Adrian. "Tolong jagain Kiara buat gue."
Dimas tersenyum sinis. "Nggak usah lo suruh gue juga bakal jagain dia." Dia berbalik untuk pergi tapi teringat satu hal lagi yang belum dia sampaikan. "Jangan bikin Kia panik, gue nggak suka liat dia sedih. Apalagi gara-gara lo." Setelah itu dia pergi kembali ke kelasnya. Cuma itu yang ingin dia sampaikan.
Adrian menghela nafas lega. Setidaknya Kiara sudah bersama orang yang tepat. Dia bisa lega. Senyumnya mengambang sedih dan berjalan keluar dari sekolah ini. Sambil berjalan, dia memperhatikan tiap sudut sekolah ini.
Tempat yang menyimpan banyak kenangan. Saat dia bermain dengan teman-temannya. Tertawa sambil main bola di lapangan. Nongkrong di kantin padahal jam pelajaran. Atau bahkan bolos lewat pagar belakang yang lumayan tinggi jadi agak susah sampai celananya waktu itu bolong lumayan besar jadi kemana-mana harus pakai sarung mushola sekolah. Tawa getirnya muncul. Sekarang semua itu hilang. Semua menjadi pahit hanya dalam waktu sekejap. Kenangan dengan teman-temannya, dengan Kiara.
Di depan, ibunya sudah menunggu dalam mobil. Adrian duduk di sampingnya dan menutup pintu mobil. Keadaan di dalam mobil hening. Supir sudah menjalankan mobilnya keluar area sekolah.
"Kamu bisa protes langsung sama Mama atau Papa, kenapa kamu harus protes dengan cara membunuh dirimu sendiri," gumam ibunya sambil menatap jendela. Jari lentiknya menghapus airmata yang menetes.
Adrian menahan diri untuk tidak menangis. "Maaf."
☁☁☁
See you on the next chapter ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro