BAB 23 - Fall in Love
Holaaaa semua, apa kabar? Indah balik lagi nih sama Kiara dkk.
Untuk semua yang nunggu cerita ini. Terima kasih banyak ❤😍 Terus untuk cerita baru yang aku upload. Mohon dibaca lagi yaa itu COMING SOON. Aku sadar kalau aku masih punya 2 cerita yg belum selesai.
Aku nggak bohong kalau sekarang aku memang persiapan untuk UKOM. Tolong yang mau komentar yaa berkomentarlah dengan sopan agar saya pun balasnya dengan sopan. Ingat sayang, penulis pun punya hati, mereka juga bisa sensitif saat ada komentar yang nggak enak. Kalau udah begitu mood nulis pun bisa langsung down. Bahkan aku sempet males banget lanjutin cerita ini.
Oke lah selesai cuap-cuapnya. Semoga yang berkomentar kemarin membaca. Aku nggak perlu permintaan maaf, yang penting kamu jangan komen begitu ke penulis lain. Yaa! Happy reading guys! Jangan lupa vote dan komen cerita ini untuk dukungan kalian.
Mohon maaf untuk pembukaan author yang kurang enak 🤗🤗🤗 hanya sekedar mengingatkan agar penulis dan pembaca bisa saling memahami.
☁️☁️☁️
Pekan perlombaan basket antar sekolah akhirnya tiba. Event yang paling ditunggu ini membuat euforia dari setiap siswa meningkat. Bukan cuma siswa laki-laki, para siswi pun ikut semangat menyambutnya. Yaa tidak perlu dijelaskan mereka kenapa begitu. Karena sudah jelas bukan karena permainan basket yang menarik.
Dimas semakin sibuk di klub basketnya. Untung Kiara sudah biasa menunggunya. Cewek itu duduk dengan Keshia pacar Julian. Sepertinya sedang membahas soal-soal latihan ujian. Yaa begitu lah Kiara, pecinta buku sejati.
Sore ini tidak ada latihan, semua fokus menyusun strategi untuk game pertama besok. Harus meraih kemenangan agar game selanjutnya mereka bisa lebih percaya diri. Kalau anak-anak lain menyebut gerombolan cowok ini keren, mereka belum lihat saja sifat-sifatnya. Seperti sekarang, bahkan saat rapat mereka tetap lahap cenderung rakus memakan biskuit. Bahkan remahannya berantakan di pipi-pipi mereka.
"Udah selesai rapat kan? gue mau cabut yaa?" izin Dimas. Si adik kelas paling seenaknya. Harusnya kan orang ini pulang paling akhir.
Aryo merangkul bahu Dimas. "Mau buru-buru jalan sama Kiara ya?"
"Bukan, gue mau jemput Kakak di stasiun. Udah ya cabut guys!" Dimas membawa tasnya dan menghampiri Kiara. "Ayo, gue mau jemput si Aya."
Kiara mendongak, keningnya berkerut dalam. Dia tidak tahu kalau kakaknya Dimas akan pulang hari ini. "Oh yaudah lo jemput aja. Nanti gue minta jemput Bang Lion."
"Lo temenin gue ke stasiun dong Ki," jawab Dimas dengan senyum manis. Kalau tidak mengaak Kiara, untuk apa dia minta cewek ini menunggu. "Ke tempat temen gue bentar yaa, pinjem mobil."
Kiara menganggukan kepala. "Oke."
Rumah yang dituju adalah rumah Dirga. Jaraknya tidak jauh dari sekolah. Tadi pagi Dimas sudah bilang pasa Dirga kalau dia akan pinjam mobil. Jadi dia ke rumah untuk mengambil kunci.
"Dirganya ada?" tanya Kiara yang menunggu di luar.
Dimas mengangguk. "Lagi main PS sama si Angga. Sialan, ternyata mereka sering main di belakang gue."
"Lo kayak jealous gitu," kekeh Kiara.
Kekehan Kiara membuat Dimas tersenyum. Dia membukakan pintu mobil untuk cewek ini. "Silahkan masuk, hari ini tiketnya gratis. Lagi ada giveaway."
"Kalau besok?"
Dimas menepuk-nepuk kepala Kiara. "Besok bayar Non, maunya giveaway terus! Supir ganteng ini kan butuh makan."
"Haha iya, lo kan kalau makan kayak kuli!" Kiara tertawa. "Oke, goceng yaa?"
Meski mereka hanya bercanda, Dimas mencoba memasang wajah serius. Tampak berpikir dan menimbang apakah selembar goceng itu pantas. "Oke, tapi ada syaratnya."
"Apa?" tanya Kiara dengan senyum tertahan.
Dimas menyubit pipi Kiara membuat cewek ini meringis. "Tetep jadi cewek jutek, senyumnya buat gue aja. Nggak boleh senyum manis gini ke cowok lain, meskipun ke temen-temen gue."
"Hehe siap boss!" balas Kiara sambil hormat. "Yaudah ayo, nanti Kak Aya nunggu lama."
Dimas mengangguk dan langsung pergi ke tempat mengemudi. Dia sudah belajar mengemudi mobil sejak kelas dua SMP. Waktu itu dia kasihan kalau harus melihat bunda menyetir malam-malam padahal sudah lelah seharian di toko. Lalu dia juga khawatir pada Aya kalau harus pulang malam dan sedang hujan hingga tidak memungkinkan untuk menjemput menggunakan motor.
"Dim, Kak Aya galak sama gue juga nggak yaa?" tanya Kiara.
Dimas menoleh, kemudian tertawa geli. "Kayaknya macan ketemu macan bakal akur deh Ki. Daripada berantem, mending mereka diskusi mau makan bagian tubuh yang mana dari mangsanya."
"Ihh Dim, serius tau!" keluh Kiara.
Rasanya membuat Kiara kesal masih sangat menyenangkan. Dimas membuka telapak tangannya. "Pinjem tangan boleh?"
"Buat?" tanya Kiara.
"Pegangan biar nggak lepas," jawab Dimas.
Kiara tersenyum geli, dan memberikan tangannya. Tapi dia buru-buru mengalihkan pandangan karena pipinya memanas. Rasanya ingin berteriak saking girangnya, tapi sayang dia hanya bisa sok kalem karena ingat yang di dekatnya ini Dimas. Si menyebalkan.
Dimas menggenggam tangan Kiara. Dia bernyanyi lagu yang Kiara sering dengar, tapi kadang liriknya diganti dengan kata-kata nyeleneh sampai Kiara protes karena itu lagu favoritnya. Senang rasanya mengganggu cewek ini.
☁️☁️☁️
Kiara duduk di samping Dimas. Mereka sedang menunggu kak Aya di stasiun. Sebenarnya dia agak takut bertemu dengan kakaknya Dimas yang katanya galak itu. Menyebalkan, harusnya tadi dia menolak ikut.
"Tuh si galak," kata Dimas.
Kiara menoleh, menatap ke arah cewek dengan penampilan santai dan tas ransel. Rambutnya panjang bergelombang. Matanya mengerjap, takjub dengan kecantikan cewek yang berjalan ke arahnya. Gila, apa keluarga Dimas semuanya mempunyai wajah menawan.
"Dim, itu kakak lo? cantik banget?" bisik Kiara.
Dimas balas berbisik. "Masa? gue rasa dia mirip nenek lampir."
"Nenek lampir darimananya?!" protes Kiara. Mana mungkin nenek lampir ada yang secantik itu. Dia tersenyum kaku karena cewek itu sudah berdiri di hadapan mereka.
"Gue lama yaa? sorry." Aya melepas ranselnya dan langsung melemparnya pada Dimas. "Bawain!" perintahnya.
Aya tersenyum pada Kiara. "Ini pasti Kiara kan? si Dimas sering curhat, padahal gue lagi sibuk."
"Kan gue bilang juga apa, dia lebih mirip nenek lampir," timpal Dimas.
Pandangan menyeramkan tentang kak Aya langsung luntur karena ternyata kakaknya Dimas ini sangat menyenangkan. Kiara bahkan memilih duduk di belakang daripada di depan dengan Dimas. Mereka terus ngobrol dan mengabaikan cowok itu.
Sampai di rumah Dimas, Kiara mampir karena dipaksa kak Aya. Katanya masih ingin ngobrol. Jadilah Kiara di sini, bergabung di dapur dengan tante Alya dan kak Aya. Sedangkan Dimas sudah kabur ke kamar.
"Kenapa mau pacaran sama Dimas sih? dia kan ngeselin," kata kak Aya.
Kiara tertawa geli dan menggaruk kepalanya sendiri. "Duh Kak, Kia sama Dimas nggak pacaran."
"Hahh belum?" tanya Aya kaget. "Kenapa dia belum nembak? payah amat sih itu anak."
"Ayaaa," kata tante Alya dengan pandangan geli.
Kiara tertawa geli, mendengar komentar-komentar dari Aya tentang Dimas, dia juga bisa menebak kelakuan dua kakak beradik itu. Pasti tidak jauh dari kelakuannya dengan bang Lion. Untung bang Lion lebih banyak mengalah meski suka sekali meledeknya.
Dimas menuruni tangga, wajahnya kelihatan segar. Dengan celana jeans selutut dan kaus berwarna hitam, cowok itu kelihatan makin ganteng. "Pasti lagi ngomongin gue."
"Idih pede gile," jawab Aya.
Kiara mengangguk setuju. "Ngapain ngomongin lo?"
"Astaga Kia! lo udah dipengaruhin sama si nenek lampir!" kata Dimas sambil menghampiri Kiara.
Aya menyipitkan matanya. "Enak aja! ayo Kia main di kamar gue aja. Gue juga punya banyak novel loh."
"Serius Kak?" tanya Kiara antusias.
Dimas buru-buru merangkul Kiara dari belakang. "Nggak boleh, Kia punya gue! daritadi lo ajak ngobrol terus. Gue kan juga mau ngobrol!"
Rangkulan Dimas membuat Kiara menahan nafas. Wajahnya memanas, dia menoleh pada Dimas yang sepertinya tidak sadar. Huh apa cowok ini tidak tahu kalau sekarang jantungnya sudah seperti ingin loncat dari tempatnya.
"Gue mau sama Kak Aya aja," kata Kiara sambil menjauh dari Dimas.
Aya tersenyum dan memeletkan lidahnya. "Nah si Kia aja males sama lo. Udah sana lo diem aja di pojokan!" tawanya pecah. Buru-buru mereka naik ke atas menghindar dari Dimas.
☁️☁️☁️
Kiara pulang setelah makan malam selesai. Sejak tadi Dimas tetap tidak buka suara. Bahkan selama perjalanan mengantar Kiara pun Dimas tetap diam. Dengan wajah kesal pastinya.
"Kenapa sih?" tanya Kiara.
Dimas cemberut kesal. "Nggak, udah sana masuk. Salam buat orangtua lo sama Bang Lion."
"Marah yaa?" ledek Kiara. Senyum geli terukir di wajahnya. "Yaudah, nanti malem nggak udah nelfon gue. Lagi marahan kan?"
"Kia," panggil Dimas dengan wajah makin kesal. Dia mengeluh sendiri dan menggelengkan kepala. "Gue nggak marah."
Kiara tertawa geli dan membuka pintu mobil itu. "Thanks yaa Dim, gue seneng bisa kenal sama Kak Aya. Sana pulang, take care!" ucapnya sebelum menutup pintu dan masuk ke rumahnya.
Senyum Kiara mengembang. Bahkan ketika dia masuk ke dalam rumah dan mendapat ledekan dari Lion. Entah, hari ini dia sedang sangat senang. Atau lebih tepatnya beberapa hari ini adalah hari menyenangkan. Ada Dimas yang selalu membuat dia kesal dan juga tertawa di waktu yang bersamaan.
Ahh Kiara jadi gemas sendiri. Rasanya dia tidak pernah sebahagia ini waktu menyukai Kahfi. Apa karena saat itu perasaannya tidak berbalas. Bahkan mungkin dulu Kahfi tidak mengenalnya.
Kiara tertawa sendiri dan berbaring di ranjang. Ditatap tangannya yang tadi di genggam Dimas. "Astaga! cuma mikirin aja jantung gue deg-degan begini!!"
Kembali Kiara tertawa sendiri, mungkin dia memang sudah gila.
☁️☁️☁️
Sekolah ini didatangi murid-murid dari sekolah lain. Di depan dekat pagar masuk, sudah berdiri stand-stand bazar dari perwakilan tiap kelas. Kiara pun sibuk di depan dengan Putra untuk mengurus tiket masuk.
Ternyata event basket memang termasuk event yang paling menguntungkan sekolah. Bayangkan saja berapa banyak keuntungan yang didapat dari banyaknya orang yang datang ke sekolah ini. Kiara saja kewalahan.
"Capek yaa Ra?" tanya Putra.
Kiara menggelengkan kepala. "Nggak, gue cuma laper."
"Sama sih gue juga. Mana sih yang harusnya gantian sama kita? dikira kita nggak punya perut?!" protes Putra.
Sorak sorai terdengar, menandakan pertandingan akan dimulai. Kiara menghela nafas pasrah, dia jadi tidak bisa melihat pertandingan pertama Dimas. Yaa mau bagaimana lagi, masa dia tega meninggalkan Putra berjaga sendiri.
"Lo nggak ngeliat si Dimas?" tanya Putra.
Kiara menggelengkan kepala dengan senyum tipis. "Tadi pagi kan udah ketemu, gue bantu doa aja."
Semakin lama suara-suara itu makin ramai. Membuat Kiara dan Putra jadi penasaran dengan hasil pertandingan. Sayangnya masih banyak yang datang jadi mereka tetap harus menunggu di sini. Mungkin yang harusnya menggantikan Kiara dan Putra sedang asik menonton sekarang.
"Babak pertama selesai kayaknya," kata Putra. "Lo ke sana aja, gue nggak apa-apa sendirian. Toh antrian nggak terlalu panjang kayak tadi."
Kiara menggelengkan kepala. "Nggak, gue bosen liat basket terus."
Sedang sibuk merapihkan uang yang baru saja diterima. Kiara dikejutkan dengan suara Dimas yang memanggil namanya. "Dim! kenapa di sini?"
Dimas tertawa dan memberikan satu plastik besar entah berisi apa. "Belum makan kan? jangan sampe sakit. Gue harus balik ke lapangan Ki. Semangat yaa jaganya!"
"Ehh emm iya," jawab Kiara masih dengan ekspresi kaget. "Harus menang yaa!"
Dimas tertawa dan mengangkat jempolnya sebelum kembali berlari ke lapangan. Meninggalkan pandangan-pandangan terpesona dari para perempuan sekolah lain yang baru datang untuk menonton pertandingan. Sudah ganteng, perhatian pula.
"Waduh, makin terang-terangan yaa?" kekeh Putra.
Kiara berdeham pelan. "Apaan sih?!"
Akhirnya antrian berakhir, Kiara bisa makan makanan yang tadi Dimas berikan. Dia juga membaginya dengan Putra. Sesekali Putra meledek Kiara tapi tidak ditanggapi oleh Kiara.
"Ehh tapi kalau yang ini beneran apa gosip doang si? kan waktu itu lo sama si Adrian cuma gosip," tanya Putra.
Kiara memutar bolamatanya. "Putra, lo kepo banget si. Udah nih dimakan, keburu nanti ada yang dateng lagi!"
"Hehe iya-iya yaampun Ra, ditanya begitu aja wajah lo merah," kekeh Putra.
☁️☁️☁️
Event basket berlangsung selama tiga hari. Di hari pertama penyaringan untuk masuk ke babak semi final berlangsung cukup sengit. Hari kedua pun begitu, hingga akhirnya hari ini didapatnya dua tim yang melaju ke final. Sekolah yang menjadi tuan rumah dan sekolah Mutiara Bangsa.
Sebenarnya dua tim ini memang sudah diprediksi akan masuk final. Setiap tahun selalu begitu. Mutiara Bangsa adalah sekolah rival dalam hal basket dan sepak bola sekolah.
Kiara dan Dimas sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan terakhir bicara langsung dengan Dimas adalah saat hari pertama Dimas memberikannya makanan saat dia berjaga di depan. Yaa wajar, pasti sekarang Dimas sedang sangat sibuk.
Gerombolan cewek yang melewati Kiara sedang membicarakan Dimas. Mereka tampak antusias dengan cekikiran girangnya. Kiara tahu itu anak-anak sekolah lain. Lagi-lagi begini, selama tiga hari ini dia harus mendengarkan pujian-pujian dari para cewek untuk Dimas.
"Nanti kan final, masa kita nggak nonton sih?" tanya Sasya.
Kiara menguncir asal rambutnya. "Yaa gue juga mau nonton, tapi kan lo liat sendiri kita sibuk."
Luna mengangguk setuju. "Pokoknya kerjaan kita harus cepetan selesai. Gue kan nggak mau ketinggalan!"
"Iya bener," tambah Sasya.
Para pengurus OSIS berkumpul mengurus perlengkapan untuk acara penutupan event basket hari ini. Para cewek yang tadinya termasuk penggemar Dimas menatap Kiara dengan sinis. Menurut mereka, Kiara itu munafik, bilang benci padahal cari perhatian pada Dimas sampai akhirnya pacaran.
"Si Dimas kenapa yaa nggak sama si Siska? kan tuh cewek cantik, seumuran lagi," kata Dilla.
Kiara menghela nafas dan mencoba untuk mengabaikan suara-suara itu. Toh dia sudah biasa dibicarakan. Pacaran dengan berondong lah, pecinta dedek gemes lah. Kalau mereka lelah juga mereka akan diam dengan sendirinya.
"Raa, lo nggak malu yaa pacaran sama adek kelas? gue sih malu."
Nazwa menggebrak meja. "Lo pada ngapain sih kepo banget. Hidup lo semua nggak bahagia yaa sampe suka banget ikut campur sama hidup orang lain?"
"Loh kenapa lo yang sewot? lagian emang lo nggak marah sama si Kiara. Dia kan yang bikin lo putus sama Adrian!" balas Dilla.
Sasya dan Luna langsung maju. "Coba ngomong sekali lagi? biar gue lilit leher lo pake rambut kriwil bikinan itu."
Dilla melotot kesal dan menyentuh rambutnya sendiri. Ini kan bentukan salon dengan biaya mahal. Sembarangan. "Gue sama temen-temen gue kan ngomongin fakta."
"Udah! kita kan di sini buat nyelesein kerjaan!" kata Kiara. "Dil, kalau lo nggak suka gue yaudah. Tapi lo harus profesional! masalah gue sama Dimas biarin itu jadi urusan kita berdua, lo nggak perlu ikut campur."
Buru-buru Kiara menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pergi. Para cowok yang sejak tadi melihat jadi merasa kasihan. Sebenarnya mereka juga kesal pada gerombolan Dilla. Masuk OSIS cuma karena ingin jadi anak hits di sekolah. Giliran ada pekerjaan, mereka selalu pura-pura buta. Bahkan proker kalau tidak dikejar tidak akan dikerjakan.
Kiara pergi disusul Sasya dan Luna. Ketiganya memilih untuk ke kelas. Padahal pertandingan sudah mau dimulai. Sasya dan Luna tahu kalau sekarang mood Kiara sedang buruk.
"Udah Ra nggak usah didengerin," kata Luna.
Sasya mengangguk setuju. "Tenyata bener yaa kata orang, orang yang iri itu cuma bisa kebanyakan bacot."
Kiara mengatur nafanya dan duduk sambil memandang papan tulis. Dia harus meredam emosinya. "Yaa, gue juga nggak akan nanggepin mereka."
"Ada apaan?" tanya Mona yang datang dengan dua bungkus besar ciki. "Muka lo pada asem amat kayak ketek."
"Sialan ni anak," protes Luna.
Mona tertawa geli. Nah kan, anak itu sudah banyak berubah. "Pada nggak ke lapangan? udah mulai tuh!"
"Bentar, si Kiara lagi cooling down dulu. Abis komunikasi sama setan," jawab Sasya.
Kiara tersenyum geli, karena ucapan nyeleneh dari sahabat-sahabatnya dia jadi merasa lebih rileks. Kenapa harus mengurus orang-orang yang tidak suka pada kita, diantara banyak orang yang peduli pada kita. Buang waktu saja.
"Ayoo nonton! gue nggak sabar liat sekolah kita menang!" kata Sasya semangat.
☁️☁️☁️
Lapangan sesak dipenuhi anak-anak yang menonton pertandingan. Kiara melihat Dimas yang sedang beraksi di lapangan. Cowok itu kelihatan kelelahan. Padahal kemarin katanya dia hanya bermain sebentar karena bersiap main di final.
"Parah," kata Mita yang sejak tadi sudah menonton. "Si Dimas diapit terus."
"Yahh tapi udah pasti sih, mereka pasti udah liat gimana permainannya Dimas," jawab Luna.
Kiara hanya menonton dan tidak membuka suara. Sesekali dia ikut teriak saat sekolahnya berhasil mendapatkan point. Wajahnya juga tampak cemas karena beberapa kali Dimas jatuh karena terdorong oleh musuh. Cowok itu bahkan masih jatuh bangun ketika wajahnya sudah lelah sekali.
Permainan semakin ketat. Sekolah Mutiara Bangsa unggul beberapa point. Di sana kelihatan Dimas dibantu untuk berjalan. Sepertinya tidak bisa melanjutkan permainan.
Kiara buru-buru berdiri dan berlari ke sana saat mereka break. Untungnya dia adalah pengurus OSIS jadi punya akses untuk masuk ke lapangan. Di sana ternyata juga ada Keshia yang saat ini sedang menemani Julian.
"Wahh Ra akhirnya nonton juga," sapa Aryo.
Kiara mengabaikan sapaan itu dan langsung menghampiri Dimas yang sedang duduk sambil mengompres kaki. "Dim lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, tapi kayaknya gue nggak bisa lanjut main," kata Dimas dengan wajah kecewa. Ini lah event pertamanya.
Kiara duduk di samping Dimas dan menepuk-nepuk bahu cowok itu. "Kan masih ada pertandingan-pertandingan berikutnya. Jangan maksain."
"Bener Dim, mereka sengaja bikin lo cidera. Kalau lo maksain pasti bakal makin parah," kata Julian.
William mengeluh kesal. "Terus sekarang gimana? Dimas cidera. Dia kan andalan team. Sekarang kita udah ketinggalan."
"Kalah dong kita?" tanya Aryo pasrah.
Dimas berdiri dengan susah payah. Dia terlihat sangat bersemangat. "Nggak! kita menang! inget dalam team nggak ada siapa yang paling hebat. Semua hebat, menang bukan karena satu orang kalah pun begitu. Ada atau nggak ada gue, team ini tetep kuat!"
"Setuju!" kata pelatih. "Ini kerja sama team. Kalian harus saling membantu. Sedikit lagi, kita harus menang!"
"Yaa!"
"Ingat intinya tetap fokus! jangan terpancing lawan," kata pelatih sebelum permainan kembali dimulai.
Kiara tersenyum melihat kekompakan mereka. Selama ini yang dia tahu team basket sekolah ini cuma bisa tebar pesona. Ternyata tidak begitu. Mereka bisa saling mendukung dengan solidaritas tinggi.
"Keren Dim," kata Kiara.
Dimas tersenyum dan kembali duduk di samping Kiara. "Baru sadar yaa gue keren?"
"Nyesel gue muji," jawab Kiara.
Keshia yang duduk di samping Kiara cuma bisa tertawa melihat pasangan ini. Sering melihat interaksi antara Kiara dan Dimas membuatnya jadi ikut gemas. Kata siapa Kiara dan Dimas tidak cocok. Mereka itu dua orang berbeda, bertolak belakang tapi bisa saling melengkapi.
Menit-menit akhir pertandingan makin menegangkan. Masih tertinggal dua point. Padahal tinggal menunggu pluit dari wasit. Kiara melihat kecemasan Dimas. Dia pun sebenarnya juga sama cemasnya.
Sampai pada akhirnya Julian berhasil mencetak tiga point sebelum pluit berbunyi. Serentak sorak sorai terdengar.
"Yesss!!" teriak Dimas. Dia langsung berpelukan dengan seluruh teamnya.
Akhirnya Kiara bisa menghela nafas lega. Tidak sia-sia team basket rutin latihan setiap sore. Bahkan rela pulang malam dan mengorbankan hari minggu. Hasilnya memuaskan.
"Ini event terakhir gue, akhirnya gue bisa ngelepas jabatan kapten dengan tenang," kekeh William. Yapp ini memang menjadi event terakhir untuk anak kelas tiga karena selepas ini mereka akan fokus pada ujian nasional.
"Abis ini kita party!" teriak Aryo semangat.
☁️☁️☁️
Penutupan event ini berjalan meriah. Ada pensi yang menampilkan beberapa band di sekolah ini. Anak-anak pun menikmati acara yang sudah disiapkan. Mereka berdiri di dekat panggung dan bernyanyi bersama.
Kiara masih bergabung dengan team basket. Dia menemani Dimas yang kakinya sedang dibalut karena terkilir. Cowok itu tidak bisa latihan basket selama beberapa minggu. Kasihan, padahal kan basket adalah hal yang paling Dimas sukai.
"Susah yaa buat jalan?" tanya Kiara.
Dimas menganggukan kepala. "Nggak bisa jalan-jalan sama lo deh."
"Yaudah nggak usah jalan," jawab Kiara dengan santai.
Mata Dimas menyipit curiga. Tangannya menunjuk Kiara. "Lo seneng yaa nggak bisa jalan-jalan sama gue?"
"Hehe iya," balas Kiara. Pelototan Dimas justru dibalas ledekan olehnya. Dia pun langsung pergi meninggalkan cowok itu.
Sasya dan sahabat-sahabatnya sudah ada di dekat panggung. Mereka memanggil Kiara dengan lambaian tangan. Dia langsung berlari ke sana. "Ngapain disini? pada nggak makan?"
"Nanti deh, si Angga mau manggung," jawab Sasya.
Kiara mengerutkan keningnya. "Hahh? si Angga?"
"Hehe iya Angga sama temen-temennya, makanya ini pada rame," kata Luna dengan girang. Benar juga, penonton jadi makin bertambah. Bahkan para cewek sudah mengambil tempat di dekat panggung.
Ketika Angga dan teman-teman Dimas naik ke panggung. Sorak sorai membahana. Apalagi saat musik mulai dimainkan. Kiara berdecak kagum. Gila, ada bakat jadi idola yaa anak-anak itu. Tapi tumben Dimas tidak ikut.
"Ki," panggil Dimas yang susah payah berjalan kemari.
Kiara menoleh kaget. "Ngapain di sini? kan kaki lo sakit."
"Mau liat temen-temen gue manggung," jawab Dimas santai. "Harusnya gue ikut nyanyi."
"Hemm sedih yaa nggak bisa tebar pesona?" ledek Kiara.
Dimas tertawa dan menyubit pipi Kiara, gemas. Membuat Kiara protes dan teman-teman Kiara tertawa. "Nggak usah tebar pesona juga gue udah jadi idola."
"Idih," jawab Kiara.
Dimas mengusap kepala Kiara. "Kia," panggilnya lagi. Membuat Kiara menoleh dengan kerutan di keningnya. "Jadi pacar gue yaa Ki?"
☁️☁️☁️
See you in the next chapter ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro