Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 22 - Jealous

Hola selamat malam, aku balik sama cerita Kiara dkk. Sekaligus mau ngasih info kalau aku akan lama2 lagi updatenya. Nggak nentu bisa seminggu sekali atau lebih dari seminggu baru bisa up atau mungkin nggak update sama sekali. Karena sekarang aku lagi fokus untuk ujian kompetensi oktober nanti. Sekarang pun lagi ikut-ikut try out. So mohon dipahami 😊 Oke langsung aja.

Jangan lupa kasih vote dan coment untuk dukung cerita ini! Follow instagram @indahmuladiatin untuk pemberitahuan update dan info-info lainnya

Happy reading! Hope you like this chapter 🤘🤘😍

☁️☁️☁️

Tumben sekali saran Dimas itu benar. Sebenarnya agak aneh karena yang bicara itu Dimas. Melihat sejarah antara Dimas dan Adrian itu tidak bagus-bagusnya sama sekali. Kiara saja heran kenapa sih dua orang itu selalu ribut.

Masa keributan itu cuma karena dirinya. Oh Kiara jadi merinding sendiri membayangkannya. Memangnya dia se- wah apa sampai dua cowok itu sampai harus ribut gara-gara cewek yang bahkan agak introvert.

"Tadi balik sama siapa?" tanya Lion di meja makan.

"Sama Dimas, tuh ada kue titipan dari Bundanya. Jangan diabisin yaa Bang! Ara juga mau." Kiara melahap makan malamnya dengan semangat. Setelah jalan dengan Dimas tadi, moodnya jadi membaik. Meski tentu saja ada kesalnya, karena bukan Dimas kalau sehari saja tidak membuatnya naik darah.

"Kuenya enak loh, kapan-kapan ajak Mama ke toko Bundanya Dimas yaa," kata mama dengan semangat. "Ayo Pa cobain kue-kue buatan calon besan."

"Waduh, team gercep." Lion tertawa geli melihat Kiara cuma cemberut tanpa bisa membuat pembelaan apapun.

Beberapa hari ini Dimas memang sering datang untuk menjemput dan mengantarnya. Jadi mau tidak mau seluruh keluarganya kenal Dimas. Cowok itu juga sepertinya tidak segan untuk ngobrol dengan Lion. Bahkan Dimas lebih cocok menjadi adik Lion dibanding Kiara.

Papa tertawa dan menepuk-nepuk kepala putrinya. "Putri Papa ternyata sudah remaja."

"Paa!" rengek Kiara.

Menyebalkan bukan, bahkan makan malamnya tidak bisa tenang. Disekolah pun dia terus saja mendengar ledekan dari para sahabatnya. Padahal sampai sekarang kan dia belum pacaran dengan Dimas. Matanya melebar, buru-buru dia menggelengkan kepala. Kenapa dia terlihat seperti berharap.

"Kacau," gumam Kiara sambil menggigit ujung ibujarinya. Kepalanya menoleh karena ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Dimas. Matanya mengerjap, oh jantung kenapa detaknya terasa sangat cepat.

Kiara berdeham pelan agar nada suaranya tidak terdengar girang. "Yaa Kenapa Dim?"

"Belom tidur?" tanya Dimas.

Kening Kiara mengerut. "Gue kan lagi ngangkat telepon lo, berarti belom tidur dong. Yaa kali gue ngigo."

"Nih cewek emang nggak ada manis-manisnya," jawab Dimas.

Jawaban spontan itu membuat Kiara tersenyum geli. Dia meloncat ke ranjangnya dan bergulung di selimut tebalnya. "Kenapa lo nelfon gue? mau nanya tugas? mau ngajak ribut? ayo! gue lawan!"

Tawa Dimas terdengar berat. Membuat Kiara makin kangen pada cowok itu. Tunggu, apa tadi, kangen. Astaga Kiara menepuk kepalanya sendiri. Pikiran macam apa tadi.

"Mau denger suara lo," balas Dimas.

Kiara terdiam, senyumnya mengembang dengan wajah tersipu malu. Nah ini yang membuatnya kesal pada Dimas. Dasar cowok modus. "Idih, mau modus? gih sana ke yang lain. Ke Siska tuh, pasti dia klepek-klepek."

"Boleh?" tanya Dimas lagi. Kali ini dengan suara lembut, tidak ada nada ledekan seperti biasa.

"Cih terserah lo," ketus Kiara.

Lagi-lagi Dimas tertawa geli. "Yah ngambek. Nggak dong, modusan gue buat lo doang. Ekskulif."

Selama setengah jam mereka hanya ngobrol tidak jelas sampai Kiara tertidur. Suara napasnya terdengar teratur. Di seberang Dimas tersenyum. "Night Kia, jangan sedih lagi nanti gue ikut sedih."

☁️☁️☁️

Sinar matahari menyeruak di sela-sela pilar. Silaunya membuat embun pagi mulai menguap. Kiara berjalan di tengah koridor yang masih lumayan sepi. Masih tiga puluh menit sebelum bel masuk. Hanya tipe murid rajin yang sudah datang di jam-jam murid lain bahkan baru bersiap untuk mandi. Oh selain murid rajin, ada juga murid yang memang niat mengerjakan PR di kelas alias nyontek.

Tidak Kiara duga, orang yang dia tunggu sudah datang. Sedang duduk sendirian di kursi sambil memejamkan mata. Terlihat agak kacau. Oh berapa hari dia tidak melihat Adrian sampai dia merasa cowok ini asing.

"Adrian?" panggil Kiara.

Adrian membuka mata, tampak terganggu karena suara itu. "Hmm." Mata itu terlihat sayu. Seperti kurang tidur. Sebenarnya ada masalah apa dengan cowok ini. Adrian bukan tipe penyendiri. Temannya sangat banyak. Bahkan bisa dibilang Kiara tidak pernah melihat Adrian jalan tanpa teman. Kenapa sekarang berubah.

"Tumben jam segini udah dateng. Jadwal piket ya?" tanya Kiara basa-basi.

Adrian mendengus geli dan kembali memejamkan mata. "Gue ngantuk Ra. Bisa tinggalin gue sendiri?"

"Tapi gue mau ngobrol. Janji sebentar aja," pinta Kiara sambil menyentuh tangan Adrian yang dingin. Melihat penampilannya, sepertinya cowok ini tidak pulang ke rumah.

Bukannya menjawab, Adrian justru menghela napas panjang. Matanya terbuka, dan saat itulah Kiara melihat mata itu memerah, menahan diri untuk tidak menangis. Benar kan, Adrian sedang ada masalah. Oh kenapa dia tidak pernah bisa jadi sahabat yang baik untuk cowok ini.

"Lo yang bilang kalau lo nggak mau ngomong sama gue lagi Ra." Adrian berkata dengan suara pelan.

"Maaf," kata Kiara. Dia menggenggam tangan Adrian. Waktu itu dia kesal karena Adrian menghajar Dimas. Dia khawatir pada Dimas dan dia kaget melihat Adrian yang dia kenal seperti berubah.

"Lo selalu minta maaf," jawab Adrian dengan senyum miris. "Pergi Ra, jangan bikin gue makin kacau."

Perkataan Adrian memang tanpa nada membentak. Tapi suara pelan yang berat itu rasanya menusuk. Ada kekecewaan disana. Kalau saja Adrian tahu, dia juga sedih. Dia khawatir, takut, kesal dan gemas.

"Oke, kalau nggak mau ngobrol sama gue nggak apa-apa." Kiara mencoba tersenyum. "Tapi bisa nggak lo jangan begini? lo bikin kita semua khawatir Adrian."

Ucapan Kiara seolah membuat Adrian meledak. Adrian mengacak rambutnya, tampak benar-benar kesal. Untungnya di sekitar tidak ada siswa lain yang menyaksikan kekacauannya. "Khawatir? ya gue emang cuma pembuat onar."

Mata Kiara mulai berkaca-kaca hingga akhirnya airmatanya menetes di sudut mata. Dia tidak tahu harus apa sekarang. Meninggalkan Adrian kah, pura-pura buta dan tuli. Atau memeluk cowok ini, membantu menenangkan, meski ditolak mentah-mentah.

Tidak peduli kalau nanti akan didorong, Kiara memeluk Adrian. Membuat cowok itu membeku ditempat. "Nggak ada yang bilang lo pembuat onar. Kita khawatir karena kita sayang lo Adrian."

Tidak pernah Kiara lihat Adrian seemosional ini. Cowok itu kini menangis pelan. Bahkan mungkin hanya dia yang bisa mendengar tangis itu. Tangannya menepuk-nepuk punggung Adrian.

"Kenapa bukan nyokap gue yang bilang begitu?" tanya Adrian pahit.

Kiara tidak menjawab. Tidak mungkin kan dia menjelek-jeleki orangtua teman sendiri. Meski mungkin memang salah. Dia sudah pernah dengar kalau ibunya Adrian adalah wanita sosialita kelas atas.

"Orangtua gue cerai Ra," kata Adrian pada akhirnya.

Kiara mengerjapkan mata. Dia menghela napas panjang. "Gue nggak tau harus bilang apa Adrian, tapi gue yakin lo bisa lewatin ini." Tiba-tiba saja dia mengingat obrolannya dengan tante Alya.

Saat perpisahan orangtua Dimas, cowok itu masih SMP. Sedang dalam proses pertumbuhan dengan emosi yang mudah meledak. Bagaimana cara Dimas mengatasi rasa sakitnya. Kenapa dia sedih karena tidak bisa menghibur Dimas.

Kiara tersenyum kecil, bahkan ketika dia sedang memeluk Adrian, yang ada di otaknya justru cowok tengil bernama Dimas itu. "Adrian, lo nggak pernah sendiri. Di sini ada sahabat-sahabat lo, ada Nazwa, ada gue."

"Thanks," kata Adrian. "Maaf Ra."

"Maaf?" tanya Kiara.

☁️☁️☁️

Dimas berlari di sepanjang koridor. Karena sok jago bermain games sampai dini hari, dia jadi kesiangan. Padahal hari ini dia harus mengerjakan tugas di mata pelajaran pertama. Larinya terhenti karena Siska menghadang jalannya.

"Weitss! lo ngapain?! minggir!" omel Dimas sambil mengusap keringatnya.

"Buru-buru banget sih? lo nggak mau ketemu sama Kak Kiara?" tanya Siska dengan senyum mencurigakan. Cih, apalagi sekarang.

Dimas mendengus pelan dan melipat kedua tangannya di depan dada. Kadang cewek ini memang minta dilibas. Mengganggu saja kerjaannya. Oke dia agak menyesal waktu itu mengatakan kalau cewek ini baik dan asik.

"Aduh Dim, gue cuma mau nunjukin adegan romance. Asli deh," kata Siska sambil menarik tangan Dimas ke kursi dekat kelas Kiara.

Matanya menyipit melihat pemandangan di depannya. Kiara sedang memeluk Adrian. Tangannya terkepal, buru-buru dia mengalihkan pandangannya. Ini bukan pemandangan yang ingin dia lihat. Apalagi di pagi hari yang cerah seperti sekarang.

"Gue kira lo sama Kak Kiara udah pacaran, tapi gue malah liat ini. Makanya gue narik lo," kata Siska dengan senyum tertahan. Terlihat sangat puas melihat Dimas menyaksikan pengkhianatan Kiara.

Lirikan tajam Dimas membungkam Siska. Melunturkan senyum kemenangan yang sejak tadi tersungging menyebalkan. Kalau bukan perempuan, sudah dia tonjok wajah di hadapannya ini. Sekarang rasanya dia ingin menghajar orang.

Sialan, ini benar-benar kesalahannya. Pasti ini karena sarannya kemarin. Tapi memangnya dalam saran salah kaprahnya ada kata-kata memeluk. Tidak mungkin kan dia menyarankan begitu. Jadi ini otomatis tindakan inisiatif dari Kiara.

"Itu hak mereka," kata Dimas.

"Dimas?" panggilan itu membuat keduanya menoleh.

Dimas menghela napas panjang. Dia langsung pergi ke kelasnya. Untuk pagi ini dia tidak ingin ingat semuanya. Lupakan, fokus saja pada tugas yang belum sempat dikerjakan. Ingat kalau guru ini tidak pernah segan memberi hukuman. Bisa-bisa dia tidak diizinkan ikut pelajaran hanya karena lima soal sialan itu. Menjaga prestasinya di sekolah adalah janjinya pada bunda agar dia tetap diizinkan untuk mengerjakan pekerjaan yang dia sukai.

"Dim mau ngerjain tugas yaa?" tanya Risa teman satu kelasnya.

Dimas menganggukan kepala. Dia berjalan ke mejanya yang berada di deretan belakang. Teman-temannya sedang asik menyalin tugas. Entah itu milik siapa.

"Itu tugas gue, lo liat aja. Takut nanti nggak keburu," kata Risa dengan senyum manis.

"Oh oke, thanks." Dimas balas tersenyum dan langsung mengeluarkan bukunya. Bergabung dengan Angga yang wajahnya bahkan kelihatan sangat serius.

"Lo rayu apa tuh anak sampe mau ngasih contekan?" bisik Dimas.

Angga menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Gue bilang bakal kasih info tentang lo." Wajah tanpa dosa itu benar-benar minta ditonjok. Dimas melotot kesal. Jadi dia dijual dengan harga satu setengah lembar PR. Kurang ajar.

"Thanks Dim Angga, berkat lo berdua kita sering dapet contekan." Dirga bicara sambil menulis.

"Emang untung temenan sama orang ganteng. Gue berasa ganteng juga," balas Danu. Senyumnya cerah, menandakan dia memang benar-benar senang. Kalau saja sekarang tidak sedang dalam keadaan kepepet sudah Dimas pukuli kepala teman-temannya itu.

Pukul tujuh tepat, guru sudah ada di dalam kelas. Tipe guru yang ontime sekali. Sangat menjunjung tinggi kedisiplinan. Memberikan contoh langsung melalui perbuatan. Tidak hanya berkoar tapi memberi contoh yang buruk.

Kalau pun telat, beliau tidak akan segan meminta maaf. Alasannya pun sangat logis. Katanya kita harus menghargai orang lain jika ingin dihargai oleh orang lain. Intinya adalah perlakukan seseorang seperti perlakuan yang ingin kamu dapatkan dari orang lain.

Sangat wajar kalau ibu guru yang satu ini sangat dihormati dan disegani oleh seluruh siswa di sekolah. Di sekolah ini pun ada tipe guru yang lumayan unik. Kedisiplinannya tidak diragukan. Pembawaannya santai. Ketika tersenyum, maka semua murid akan bertanya-tanya apakah mereka membuat kesalahan. Karena guru itu memiliki dua senyum. Satu senyum karena memang ramah, dua tersenyum pada saat seseorang berbuat kesalahan.

Kalau dipikir-pikir, sekolah ini memang sangat menarik. Salah satu sekolah terfavorit, hingga membuat Dimas memilih untuk mendaftar di sini. Meski banyak sekolah yang menawarkan beasiswa karena prestasi basketnya.

Jam pelajaran berlalu cepat. Dimas sudah siap-siap untuk pergi ke kantin. Perutnya sudah lapar, cacing sudah meronta-ronta. Pokokny dia sudah menyiapkan langkah seribu untuk lari ke sana untuk sepiring nasi goreng yang wanginya mengalahkan duren matang. Sedep banget.

"Lo liat Kiara sama rival lo tadi?" tanya Angga.

Dimas melirik kesal sohibnya ini. Bayangan akan indahnya warna nasi goreng dan aroma lezat itu langsung hilang. Dia sudah berusaha lupa dengan pemandangan pagi tadi. Mencoba mengabaikan dan menunggu penjelasan dari Kiara. Meskipun dia juga tidak harus berharap kalau cewek itu akan menjelaskan semuanya. Mereka bahkan hanya teman, setidaknya itulah statusnya dengan Kiara hingga sekarang.

Bukan tanpa alasan, sampai sekarang dia tidak berani menyatakan perasaannya pada Kiara. Dia takut Kiara akan menolak. Lebih-lebih ada saja yang meledek Kiara karena umurnya yang lebih muda dari pada cewek itu. Selama ini dia pura-pura cuek pada kabar itu, karena Kiara juga tidak pernah cerita padanya. Tapi dia tidak bisa mengabaikan itu. Dia tidak mau Kiara merasa tidak nyaman.

"Hem," jawab Dimas.

Angga menghela napas panjang dan bersandar di kursinya. "Lo juga si, tegesin kalau lo suka sama dia. Lo juga tau kan dia suka lo."

"Lo tau lah Kiara gimana, kalau gue nembak terus dia nolak yang ada tuh anak bakal kabur terus pas ketemu gue," keluh Dimas dengan wajah kesal.

Dari belakang Dirga menjulurkan kepalanya. "Apaan nih? ada denger nama Kak Kiara. Kenapa?"

"Anjir ini orang! jauh-jauh sana!" omel Dimas sambil menjauhkan kepalanya. Hampir saja bibir Dirga menyentuh pipinya. Kalau sampai iya, dia merasa dinodai.

Dirga tertawa geli dan langsung berdiri. "Jangan malu-malu cyinn. Sini!"

"Najis," kekeh Angga.

☁️☁️☁️

Kiara terus menggigit ujung jempolnya. Dia memikirkan reaksi Dimas tadi. Apa cowok itu marah. Tapi kenapa harus marah, toh mereka cuma teman. Kenapa juga dia harus takut Dimas salah paham.

"Kenapa sih?" tanya Sasya.

Kiara menoleh dan meringis kecil. Kepalanya menggeleng, rasanya hal ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Toh nanti Dimas akan baik lagi. Iya kan? akan begitu.

Luna menghampiri meja itu dan duduk di atas meja dengan seenaknya. "Ayo gengs ke kantin."

"Gue nggak dulu deh," jawab Mita. Tumben.

Kiara dan yang lainnya sampai bengong mendengar jawaban dari Mita. Ini Mita yang motto adalah hidup untuk makan. Kalau ini dari Sasya yang sedang program diet sih mereka wajar. Mona yang baru saja datang hanya bingung melihat orang-orang ini diam.

"Kenapa?" tanya Mona.

Sasya berdecak kagum dan tepuk tangan dramatis. "Bravo! si Mita nggak mau ke kantin!"

"Biasa aja kali!" keluh Mita.

Kiara menggelengkan kepala. "Ini nggak biasa! lo kan paling cinta sama kantin. Ngaku lo kenapa? abis putus yaa? apa tiba-tiba lo divonis gendut sama cowok lo?"

"Sialan!" balas Mita.

Mereka tertawa bersama. Yaa habis, Mita hari ini aneh. Luna menepuk pundak teman sebangkunya itu. "Lo kenapa? share lah. Kali aja beban lo nggak berkurang tapi kita jadi punya bahan bullyan."

Lagi-lagi mereka tertawa. Diantara semua, memang tidak ada yang benar. Bahkan Kiara pun tidak pernah berusaha bijak. Padahal menurut mereka, Kiara yang paling normal.

"Lo tau nggak sih berat gue berapa?" tanya Mita sambil melotot pada sahabat-sahabatnya. "Enam puluh tiga! Gila!"

Sasya melebarkan mata. "Ehh gila! subur amat lo!"

"Nah kan?!" jawab Mita dengan nada tidak santai.

Beberapa anak di kelas sampai menoleh. Wajar, sekarang itu sebenarnya belum bel istirahat, tapi guru sudah setengah jam keluar karena materi sudah selesai. Belum lagi kelas Kiara kan meski tidak dekat dengan ruang guru tapi sering dikontrol guru piket. Entah kenapa begitu. Padahal kalau dipikir-pikir penghuni kelas ini tidak nakal-nakal amat. Gosipnya sih guru piket naksir pada salah satu siswi di kelas ini. Tapi please jangan paksa untuk menceritakan romansa antara guru dan murid. Rasanya tidak sopan.

"Jadi lo nggak mau ke kantin? gue juga deh. Gue nitip aja," kata Kiara.

Mita tersenyum lebar, menunjukan deretan giginya yang putih. "Bagus! anak pinter. Lo pada sana gih!"

"Eh enak aja gue diusir!" omel Sasya tidak terima. Saat bel berbunyi langsung dia melompat girang. "Yaudah ayo pasukan. Kita ke kantin."

Kiara terkekeh geli dengan Mita melihat ketiganya berebut posisi menjadi bos. Sampai saling memiting. Jelas Sasya dan Luna kalah dari Mona. Sekarang anak itu sudah makin banyak tertawa dan bicara. Meski masih cuek kalau dengan orang lain.

"Raa, ke kelas si Dimas yu!" ajak Mita.

Kiara mengerutkan keningnya. "Ngapain? tumben amat lo ngajak ke sana."

"Hehe mau ngecengin si Brian," jawab Mita dengan cengiran. Brian itu adik kelas yang Kiara tahu satu ekskul dengan Mita di klub drama. Katanya anaknya pendiam dan kalem banget. Beda dengan Mita yang aktif.

Bukannya menjawab, Kiara justru semakin bingung. "Nggak takut ketauan si Bebep?"

"Alah dia juga di sana main sama cewek lain, masa iya gue setia? mana sudi?!" Mita tertawa dengan santai.

Kiara membuka mulutnya, takjub. Anak ini tumben sekali berani membalas. Biasanya kan kalau diselingkuhi selalu pasrah. Ujung-ujungnya Mita yang akan mengalah dan memaafkan. "Gitu dong! gue kan udah bilang dari dulu. Putus aja! lo sih bandel udah kayak noda."

"Haha korban iklan," kekeh Mita. Tangannya merangkul bahu Kiara. "Ayo! lo ke Dimas gue ke Brian."

Dimas, Kiara jadi ingat masalahnya tadi pagi. Buru-buru dia menggelengkan kepala. Sepertinya lebih baik dia menghindar dulu. Nanti kalau sudah membaik juga Dimas akan kembali seperti biasa.

"Kenapa? kali-kali lo samperin dia. Gue yakin tuh anak pasti senyum-senyum kegirangan," kekeh Mita membayangkan wajah Dimas.

Kiara tersenyum kecil. "Nggak deh, kalau lo mau ke Brian iya gue temenin. Tapi kalau nanti lewat kelas si Dimas kita buru-buru jalannya."

"Loh emang kenapa? lo sama dia berantem?" tanya Mita penasaran.

Kiara melirik ke atas, berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepala. "Hari ini kita nggak baku hantam. Adu bacot pun nggak. Yaa gue juga bingung sih, mungkin gue aja yang sensitif."

"Hah? emang kenapa sih?" Mita bertopang dagu. Jadi kepo dengan cerita Kiara.

Meski rasanya tidak penting untuk diceritakan tapi mungkin Mita bisa memberikan solusi. "Tadi pagi gue ngobrol sama Adrian. Terus Dimas liat eh dia langsung pergi. Yaa emang nggak apa-apa sih, tapi kan biasanya dia nyapa gue."

"Aduh Raa itu dia marah! lo ngapain lagi sih ngobrol sama Adrian? bukannya tuh cowok ngehindar dari lo ya?" tanya Mita tidak habis pikir.

Kiara mengeluh sambil bertopang dagu. "Lo tau lah Mit, gue nggak bisa ngejauhin Adrian. Mau gimana pun gue nggak bisa cuek sama dia, sama kayak gue nggak mungkin cuek sama lo sama Sasya sama Luna sama Mona juga."

"Duh! terus tadi Dimas liat lo ngobrol sama Adrian? coba dong lo mikirin Dimas juga," kata Mita.

Kiara juga memikirkan itu sejak tadi. "Sebenernya Dimas bukan liat gue lagi ngobrol sama Adrian," lirihnya. "Dimas liat gue lagi meluk Adrian Mit."

"Apaaa?!" tanya Mita. Wajahnya tercenyang. Asli sahabatnya yang satu ini goblok banget. Tapi kan dia tidak mungkin memaki keras-keras. "Duh Ra, kehabisan kata-kata gue. Ayo sekarang ke kelasnya!"

"Nggak mau, yaudah lah nanti juga baikan lagi. Lagian gue sama dia kan emang cuma temenan. Apa haknya buat marah sih?" tanya Kiara mencoba untuk membela diri.

Mita memutar bolamatanya. "Yaudah kalau gitu lo bilang ke dia kayak gini, lo tuh sebenernya maunya apa sih? deketin doang nembak nggak? jangan bikin gue bingung Dim. Nah gitu, biar clear sekalian urusan lo berdua."

"Ih kesannya gue ngarep ditembak, nggak lah," tolak Kiara mentah-mentah.

Mita menganggkat bahu. "Yaa emang iya kan? nggak usah gengsi."

"Ini bukan soal gengsi, tapi harga diri. Kalau gue bilang begitu terus dia bilang loh emang gue suka sama lo Ki? pede amat," kata Kiara dengan wajah ngeri. Daripada mendapat jawaban begitu, dia lebih baik menceburkan diri ke laut. Setidaknya itu lebih keren.

Sekarang Mita dan Kiara justru saling berdebat. Menentukan siapa disini yang bersalah. Padahal semua tahu jawabannya kalau saat ini memang abu-abu. Dimas salah, Kiara juga salah banget.

"Terserah lah, pokoknya nanti kalau si Dimas tiba-tiba pacaran sama Siska gue bakal kasih selamet. Lo jangan nangis yaa di pojokan. Soalnya sampai nangis darah pun gue nggak bakal hibur, justru gue sukur-sukurin!" Mita melipat kedua tangannya di depan dada.

Ucapan Mita memang sederhana, tapi Kiara merasa ada kekesalan mendengar Dimas dengan Siska. Oke sekarang dia tidak bisa mengelak, terlepas dari tekanan teman-teman yang mengatainya suka pada berondong, dia memang punya perasaan pada Dimas. Menyebalkan memang menyadari ketika move on dari lubang buaya dia harus pindah ke sarang harimau.

Tapi mau bagaimana, sebanyak apapun dia menyangkal, sebanyak itu pula dia tidak bisa bohong kalau dia suka setiap kali ngobrol dengan Dimas selama beberapa minggu ini. Makanya meski malu dengan ledekan yang didapat dia tetap cuek dan jalan dengan Dimas. Cukup tutup telinga saja, dan kalau ditanya dia akan jawab hanya berteman dengan Dimas. Bukan jawaban bohong kan.

"Diem kan?" ledek Mita.

Kiara cemberut kesal. "Udah ayo ke Brian! kan tadi kita ngomongin masalah lo bukan gue."

"Tetep nggak mau nyamperin Dimas?" tanya Mita.

"Nggak."  Kiara buru-buru berdiri dan keluar dari kelas. Disusul Mita yang berlari. Mereka menaiki tangga menuju kelas sepuluh. Karena jam istirahat, ada beberapa siswa yang duduk di koridor. Menatap dua kakak kelas yang berjalan di area yang jarang sekali dikunjungi para senior.

Mita berlari melihat Brian keluar kelas sambil menenteng buku. "Brian!"

"Duh!" Kiara menepuk keningnya sendiri dan langsung menyusul. Baru beberapa langkah tapi dia langsung terhenti karena Dimas keluar dengan gerombolannya. Oke sekarang dia bingung ingin kabur atau pura-pura cuek.

☁️☁️☁️

Dimas mengerutkan kening melihat Kiara berdiri di hadapannya. Cewek ini kelihatan kaget, jadi sudah jelas kan tujuannya kemari bukan untuk dirinya. Yaa mana mau Kiara menghampirinya.

"Weits Kak Kiara?" sapa Dirga sok manis.

Kiara tersenyum dan mengangguk. "Iyaa, mau ke kantin yaa?"

"Iyaa, si Dimas kelaperan katanya," jawab Dirga. "Mau nyamperin Dimas? tumben amat Kak."

Benar-benar menyebalkan, kenapa sih harus bertanya begitu. Kiara meringis kecil dan menggelengkan kepala. "Ada urusan sama Brian. Yaudah gue ke sana yaa."

Dimas cuma menatap Kiara yang kelihatannya sejak tadi menghindari tatapannya. Sekarang apa lagi, kenapa sih cewek ini selalu berurusan dengan cowok lain. Sekarang bahkan dengan Brian. Kalau tidak salah anak itu penghuni kelas samping. Anak pintar dan pendiam sejenis dengan Kiara.

Saat Kiara melewatinya begitu saja, dia langsung menahan tangan cewek itu. "Kalian ke kantin duluan, gue ada urusan sama nih cewek."

"Hahh? oke," jawab Danu bingung dan saling lirik dengan Dirga.

Dimas menggenggam tangan Kiara dan mengajaknya masuk ke dalam kelas. "Jim, gue pinjem tempat lo."

"Hemm oke," jawab Jimmi sambil berdiri dari tempatnya yang berada di baris paling depan. Dia tidak banyak bertanya karena tidak suka kepo dengan urusan orang lain.

Dimas mengajak Kiara duduk, dia cuma menahan senyum karena wajah takut Kiara. Selalu saja begitu, memangnya dia mau memutilasi. "Santai Ki, gue nggak akan jadiin lo tumbal pesugihan."

"Lo udah nggak marah?" tanya Kiara.

Dimas bertopang dagu sambil menepuk-nepuk kepala Kiara. "Tergantung jawaban lo nanti."

"Hemm? lo mau tanya apa?" tanya Kiara.

Jelas saja masalah pagi tadi. Kenapa sih harus bertanya. "Tadi, lo yang peluk atau Adrian yang peluk?"

"Ehh? hemm gue yang peluk, soalnya gue liat dia kacau banget. Selama gue temenan sama Adrian baru hari ini gue liat dia begitu," jawab Kiara dengan jujur. Lama kelamaan suaranya makin memelan. Karena dia memang tidak ingin ada orang lain yang dengar kecuali Dimas. "Orang tua Adrian cerai Dim."

Dimas terdiam mendengar cerita pelan itu. Perceraian, dia jadi ingat saat itu dia juga mengalaminya. Masa-masa paling sulit menurutnya. Dia harus mengalihkan diri dengan bermain game berhari-hari. Untungnya Angga selalu siap menjadi teman. Lalu ada bunda yang selalu berusaha menguatkannya.

"Gue juga inget lo, apa lo sesakit itu pas orangtua lo cerai?" tanya Kiara. Wajahnya kelihatan sedih.

Dimas tersenyum dan mengangguk jujur. Siapa yang tidak sedih saat orangtua berpisah. Terlebih alasannya adalah orang ketiga. Rasanya ingin marah, kecewa, dan sedih. "Tapi gue nggak apa-apa, kan udah lama. Kata orang waktu bisa nyembuhin luka kan?"

"Syukur deh," jawab Kiara.

"Pertanyaan kedua, lo ngapain nyari Brian? Kia mau berapa orang sedih yang lo hibur? inget jangan peluk-peluk!" omel Dimas. Suasana sedih itu langsung buyar karena omelannya.

Kiara cemberut kesal dan langsung berdiri. "Si Mita yang cari Brian, tuh kan gue lupa ngawasin itu anak."

"Ngapain di awasin?" tanya Dimas.

Kiara mendongak, menatap wajah Dimas. "Urusan cewek, lo nggak perlu tau."

"Waduh," kata Dimas disusul dengan kekehan gelinya. Kembali menggandeng tangan Kiara. "Temenin gue makan dulu, kan gue abis sedih tadi."

"Cih katanya tadi udah nggak," jawab Kiara.

Dimas merengut kesal. "Gue abis sedih juga, masa gue liat Kia meluk orang lain. Gue nggak dipeluk juga." Dia merentangkan tangannya. "Boleh peluk juga nggak?" tanyanya dengan tampang polos dan mata berbinar.

"Idih, tuh peluk tiang tembok!" Kiara langsung berbalik dengan wajah bersemu merah. Dibelakangnya, Dimas hanya tertawa, menyusul Kiara.

☁️☁️☁️

See you in the next chapter ❤❤❤

Ohh iya minta pendapat dong.. cover HSHL mau ganti. Mending yg mana yaa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro