Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 21 - Tentang Dimas

Holaa semua, apa kabar??🤘🤘🤘

Satnight sama Kiara dkk yaaa

Jangan lupa vote dan coment untuk dukung cerita ini! Follow instagram @indahmuladiatin untuk pemberitahuan update dan info-info lainnya

Happy reading! Hope you like this chapter 😗😄❤

☁️☁️☁️

Tidak ada yang tahu kalau saat ini Kiara merasa senang bercampur dengan bingung. Setelah berbaikan dengan Dimas, intensitas pertemuannya dengan bocah itu jadi meningkat. Seperti saat pulang sekolah Dimas minta ditunggui saat main basket. Atau saat istirahat di kantin Dimas akan makan di meja yang sama, mengajak Angga dan teman-teman lainnya.

Hari ini Kiara menunggu Dimas latihan basket. Karena sering menunggu Dimas, dia jadi mengenal beberapa anggota team basket. Bahkan para pacar team basket yang juga sama menunggu dengan Kiara.

Iya semua wajar menunggu, kalau Kiara, dia kan cuma teman. Dasar Dimas, dia jadi curiga kalau cowok itu mengerjainya. Kalau sampai iya, awas saja. Daripada kesal tidak jelas, Kiara memilih untuk mengisi buku-buku persiapan ujian.

"Rajin amat Ra," sapa Nazwa yang entah kenapa belum pulang.

Kiara mendongak, kemudian tersenyum ramah. Dia sudah lama tidak ngobrol dengan Nazwa. Apalagi rapat OSIS pun jarang. Kalau pun ada biasanya tidak full karena belum ada lagi event besar sekolah.

"Kenapa belum pulang Naz?" tanya Kiara.

Nazwa duduk di samping Kiara, matanya menatap orang-orang yang sibuk bermain basket. "Ada tugas kelompok, terus pas pulang liat lo lagi di sini." Tatapannya kembali pada Kiara. "Jadi bener lo udah pacaran sama Dimas?"

"Ehh nggak, hehe gue sama dia cuma temenan." Kiara sedikit ragu mengatakannya karena waktu itu cewek ini menyarankannya untuk menjauhi Dimas. Yaa dia juga mengikuti sarannya sih.

"Ohh." Nazwa menganggukan kepala. "Kalau sama Adrian, lo masih sering chatingan?"

"Hmm udah nggak, kayaknya dia ngejaga jarak. Gue udah berusaha buat perbaikin hubungan gue sama dia, tapi gue rasa dia nggak mau," jawab Kiara dengan pandangan sedih. Mau bagaimana lagi, yaa dia sudah berusaha. Entah melalui chat, atau langsung ketika dia berpapasan dengan cowok itu di sekolah.

Adrian menjadi sulit untuk didekati. Bahkan cowok itu sekarang juga sering tidak masuk sekolah. Setiap kegiatan ekskul pun Adrian tidak datang, padahal dia tahu kalau fotografi adalah hobi cowok itu.

"Lo sendiri gimana? masih sering chat dia?" tanya Kiara.

Nazwa menggelengkan kepala. Kali ini tidak menyembunyikan ekspresi sedih dan takutnya. "Gue ngerasa Adrian berubah Ra."

"Berubah?" tanya Kiara.

Bukannya tidak sadar, dia tahu kalau Adrian memang berubah. Tapi bukannya cowok itu berubah hanya kepadanya. Kenapa orang lain juga merasakan itu. Oh bukankah dia teman yang tidak baik. Saat itu Adrian lah yang mendukungnya. Menghibur saat dia sakit hati pada Kahfi. Mengajaknya jalan kemana pun saat dia sedang bosan. Sekarang, dia justru asik sendiri dan seperti tidak peduli pada Adrian.

"Besok gue coba tanya deh, pokoknya dia harus mau ngomong sama gue," kata Kiara.

Nazwa tersenyum. "Thanks Ra, gue harap dia mau terbuka sama lo." Karena jujur saja, dia agak takut karena cowok itu seolah menarik diri dari siapa pun. Dia pun tidak bisa melakukan apapun karena sudah putus dengan Adrian.

Kiara mengusap bahu Nazwa. Oh sebenarnya kenapa bukan cewek ini yang disukai cowok setulus Adrian. Dia merasa tidak pantas karena hanya bisa memberi rasa sakit. "Lo tau? gue harap lo sama Adrian bisa sama-sama bahagia. Gue sayang sama Adrian, tapi mungkin lo juga tau sayang gue ke dia itu kayak gue sayang sama sahabat gue."

"Thanks Ra," lirih Nazwa sebelum memeluk Kiara dan terisak disana. Jujur dia menyesal karena pernah memusuhi Kiara waktu itu. Harusnya dia sadar, yang namanya perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Dan justru Kiara melakukan hal yang tepat untuk tidak menyakiti Adrian karena pura-pura menerima.

☁️☁️☁️

"Ki lo kenapa?" tanya Dimas saat mereka berada di parkiran sekolah. Dia sudah selesai bermain basket. Dan sejak menghampiri cewek ini, dia sudah mendapati Kiara yang suka bengong.

Kiara menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Ayo balik."

"Lagi ada masalah?" tanya Dimas sambil mengusap kepala Kiara. Masalahnya meski Kiara ini agak pendiam, biasanya cewek ini akan bawel kalau sudah bersamanya. Entah karena marah-marah kesal atau mengeluh karena menunggu lama saat dia main basket.

Wajah itu kelihatan agak ragu sampai akhirnya Kiara menggeleng pelan sambil menundukan kepala. Rasanya dia gemas sekali pada cewek ini. Semingguan sering bersama Kiara, dia jadi tahu kalau mood sedang buruk, maka hal yang bisa membuatnya membaik adalah toko buku.

"Ki, temenin gue cari buku yu! gue ada tugas," ajak Dimas.

Kiara mengerjapkan matanya. "Tapi..."

"Ayo Kia, gue nggak ada temen. Si Angga sibuk," minta Dimas lagi.

"Oh emm oke deh."

"Sipp," jawab Dimas. Segera dia menaiki motornya dan membantu Kiara untuk naik karena motor ini tinggi. Motor yang dia beli dari hasil tabungannya. Lumayan kan. Setidaknya dia bisa membanggakan hasil keringatnya sendiri bukan memamerkan harta orangtua.

Dimas lebih memilih untuk fokus pada jalanan. Sepertinya Kiara juga masih sibuk dengan lamunannya. Karena buktinya cewek itu diam saja bahkan ketika mereka memasuki kompleks perumahan. Bukan ke jalan besar menuju pusat perbelanjaan.

Motor itu berhenti di depan rumah dua lantai dengan gaya minimalis yang lumayan besar. Rumah milik bundanya. Pagar itu dibuka karena kebetulan ada tukang kebun yang sedang menyapu halaman depan.

"Siang Mang," sapa Dimas sambil memasukan motornya ke halaman.

"Siang Den, tumben bawa temen perempuan," jawab Mang Asan.

Dimas tertawa dan punggungnya ditepuk. Menyebalkan, memangnya dirinya tukang ojek. Kepalanya menoleh pada si pemilik tangan yang kadang kurang ajar ini. "Apaan Non?"

"Ini rumah siapa?" bisik Kiara.

"Rumah gue," jawab Dimas dengan santai. Ekspresi cewek ini langsung berubah. Kaget yang lucu sekali. Mata bulatnya melebar dan mulutnya terbuka. Ingin dia foto rasanya, pasti nanti Kiara akan ngamuk.

"Ngapain lo bawa gue ke rumah lo?!" protes Kiara.

"Gue mau mandi dulu, ganti baju." Dimas turun dari motor dan meninggalkan Kiara yang masih bengong. "Kalau lo mau mandi yaudah, ada baju si galak yang bisa lo pakai. Dan nggak usah mikir macem-macem, di dalem ada Bunda sama Mbok Jum."

Lagi-lagi Kiara cuma bisa membuka mulutnya. Dalam hati Dimas cuma bisa tertawa. Yaa setidaknya tidak ada wajah sedih seperti tadi. Dia kembali pada Kiara yang masih duduk di atas motor. "Butuh bantuan buat turun?" tanyanya setengah menunduk. Bergaya ala seorang yang menyambut seorang putri dari kereta kuda.

Bukannya mendapat uluran tangan, kepalanya justru dipukul oleh Kiara. Memang kan anak ini kurang ajar. "Duh Ki galak amat si."

Kiara turun dari motor itu tanpa bantuan dan bersiap untuk mencekik Dimas yang seenaknya. Jelas saja Dimas langsung kabur ke dalam. Dia kan tidak mau mati muda.

"Bunda," panggil Dimas.

"Yaaa," balas suara dari arah dapur itu.

Dimas menggenggam tangan Kiara dan mengajaknya untuk masuk. Bukan bermaksud untuk sok manis, tapi kalau tidak digandeng cewek ini akan lari seribu langkah. Ini aja wajahnya sudah mulai pucat.

"Loh bawa teman?" tanya bunda.

Dimas tersenyum dan menyalami tangan bunda. Kiara pun ikut menyalami. "Bun ini Kiara, temen Dimas."

"Ohh Kiara?" tanya bunda dengan senyum ramah. "Haha Tante dengar dia suka cari gara-gara sama kamu yaa?"

Dimas menahan senyum karena kali ini wajah Kiara kelihatan gugup. Yaa meski nanti sudah pasti dia akan diamuk tapi setidaknya dia bisa tertawa sekarang. Oh bunda tolong, sebentar lagi anak tertampan ini akan disiksa oleh gadis galak.

☁️☁️☁️

Kiara tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Dimas yang penuh dengan kejutan. Tadi selama dijalan dia masih memikirkan Adrian sampai tidak sadar kalau dia dibawa ke kandang cowok ini. Memang sinting. Wajahnya kan sedang dekil-dekilnya. Belum lagi dia bau matahari. Malu kan kalau harus bertemu orangtua Dimas. Yaa meski dia juga sering begini saat main ke rumah Sasya dan yang lain, tapi kan tetap saha. Rasanya ingin mencakar Dimas saking kesalnya.

Belum lagi sekarang dia harus bicara langsung dengan ibunya Dimas. Kelihatan sangat baik, tidak ada perangai jahil seperti si gila Dimas itu. Oh maafkan Kiara tante kalau hari ini Kiara sudah mengatai Dimas gila berkali-kali.

"Emm yaa kita sering ribut, tapi sekarang udah nggak Tan," jawab Kiara seadanya. Lirikan maut dia lemparkan pada Dimas yang justru cuma nyengir sambil mengakat dua jari membentuk huruf V.

"Maaf yaa dia itu memang menyebalkan," kekeh wanita cantik itu.

Kiara diajak ke dapur sedangkan Dimas langsung naik ke atas untuk mandi. Untung ibunya Dimas sangat baik jadi dia bisa cepat berbaur. "Tante-" ucapannya terhenti.

"Alyana, panggil Tante Alya aja," kata tante Alya.

Kiara mengangguk dan tersenyum. "Tante Alya lagi masak?"

"Iya, lagi buat resep baru untuk toko kue milik Tante." Tante Alya yang dibantu oleh seorang wanita yang sudah tua. Mungkin ini yang dipanggil mbok Jum. "Kiara suka kue?"

"Suka, Tante buka toko kue dimana?" tanya Kiara penasaran.

"Nggak jauh dari sini. Kapan-kapan minta antar Dimas aja ke sana." Tante Alya menghampiri Kiara dengan piring berisi kue berwarna cokelat yang tampak enak sekali. Mengundang rasa lapar Kiara. "Ayo dicoba."

"Terima kasih Tante," jawab Kiara malu-malu. Suapan pertama membuatnya kagum. Manis yang tidak terlalu berlebihan. Sangat pas dan enak sekali. Matanya berbinar senang. Jujur, dia tidak terlalu suka makanan yang sangat manis. "Enak banget Tante!"

"Haha terima kasih, senangnya kalau resep ini berhasil," kekeh tante Alya. Wajahnya terlihat sangat senang. "Tante bawain buat Mama sama Papanya Kia yaa."

"Duh nggak usah repot, Kia jadi nggak enak Tante," tolak Kiara. Baru hari pertama dia sudah merepotkan. Eh tapi memangnya dia akan sering main kemari. Oke lah kalau untuk bertemu tante Alya yang menyenangkan. Kalau untuk menghampiri Dimas, tentu saja tidak mau.

"Repot apa? pokoknya bawa untuk Mama Papa oke?" Tante Alya mengerling. Wajahnya jadi makin cantik. Kalau dipikir-pikir pantas saja Dimas ganteng. Lihat saja ibunya yang bahkan seperti tidak menua.

Kiara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Sambil mendengarkan cerita tante Alya tentang Dimas kalau sedang di rumah, dia memakan kue itu. Kadang dia tertawa saat mendengar Dimas dan kakak perempuannya sering ribut. Namanya Tatyana yang dipanggil kak Aya. Saat ini kuliah di Bandung dan pulang satu bulan sekali, kalau tidak sedang banyak tugas.

"Dimas itu sayang banget sama Aya," kata tante Alya.

Kiara tahu itu, waktu dia tersesat Dimas juga sempat cerita tentang kakak perempuannya. "Iya makanya dia sering jail sama Kia. Katanya Kia kalau marah mirip Kak Aya."

Tante Alya tertawa dan mengangguk. "Sebenarnya Dimas nggak setuju kalau Aya kuliah di Bandung, terlalu jauh katanya. Dia nggak bisa tahu gimana pergaulan Aya di sana. Ditambah dia merasa nggak bisa jaga Aya kalau terlalu jauh. Makanya niatnya dia mau ikut ke Bandung, tapi karena Tante nggak bisa pindah jadi dia tetap di sini."

"Loh emang Ayahnya Dimas dimana?" tanya Kiara bingung.

Kali ini tante Alya tersenyum dengan pandangan agak sedih. Sepertinya pertanyaan barusan salah. Kiara mengerjap, dia kenapa jadi kepo begini. Rasanya jadi tidak enak.

"Tante dan ayahnya Dimas udah cerai sejak Dimas masuk SMP. Yaa itu alasan sekarang anak itu jadi merasa punya tanggung jawab untuk menjaga Tante dan Aya karena cuma dia laki-laki di keluarga ini," jawab tante Alya.

Jawaban itu membuat Kiara terdiam. Dimas, si cowok tengil yang selalu menunjukan cengiran konyol dan melontarkan lelucon itu ternyata punya masalah keluarga yang cukup rumit. Anak broken home. Alih-alih menjadi anak nakal, Dimas justru jadi anak yang benar-benar bisa diandalkan ibunya.

Kiara terdiam sambil memandang kue di hadapannya. Kenapa dia tidak pernah melihat Dimas sedih. Yaa mungkin kejadiannya juga sudah cukup lama, tapi cowok itu memang selalu terlihat seperti manusia tanpa masalah hidup.

"Kia kenapa?"

"Emm? hehe nggak Tante," jawab Kiara.

"Oh iya Kiara mau mandi sekalian?" Tante Alya melepas apron bunga-bunganya. "Ayo Tante antar ke kamar Aya."

Kiara mengikuti tanta Alya menaiki tangga menuju lantai dua. Di sana ada ruang untuk bersantai lalu ada beberapa kamar. Ada kamar yang pintunya berwarna cokelat tua tanpa hiasan apapun. Di sampingnya ada kamar dengan pintu berwarna putih yang dihiasi gantungan lucu. Pasti itu kamar Aya.

"Ini kamarnya Aya, nah ini kamarnya Dimas," kata tante Alya.

Kiara membulatkan mulutnya. "Oke deh, Kia pinjem bajunya Kak Aya aja."

"Oke, biar Tante suruh Dimas cepet-cepet yaa," jawab tante sebelum masuk ke dalam kamar Dimas.

☁️☁️☁️

Kiara berjalan di samping Dimas. Mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan yang sangat ramai seperti biasa. Di sampingnya, Dimas asik berjalan sambil memainkan ponselnya. Terlihat tidak peduli ketika beberapa cewek melirik ke arah cowok itu. Bahkan ada yang menoleh dan tidak berbalik.

"Dim!" panggil Kiara.

Dimas berdeham tanpa menoleh.

Kiara gemas dan langsung menghentikan langkahnya. Tadi kan cowok ini yang minta ditemani, kenapa sekarang dia harus jalan dengan orang yang bahkan lebih fokus pada ponsel. Kalau memang sibuk kenapa harus mengajaknya jalan.

"Kita pulang aja deh, kayaknya lo sibuk," ucap Kiara.

Dimas tersenyum tipis dan memasukan benda kotak itu di sakunya. "Maaf deh, si Angga lagi nanyain kerjaan."

"Kerjaan?" tanya Kiara. Dia baru tahu kalau Dimas punya pekerjaan. Oh kalau dipikir-pikir, dia memang tidak banyak tahu tentang Dimas. Dia bahkan baru tahu tentang keluarga cowok itu. Selama ini dia kan tidak pernah kepo. Kalau pun ngobrol lebih banyak Dimas yang bertanya, sedangkan dia cuma menjawab seadanya.

Dimas mengangguk dan tersenyum. "Biasa lah, udah ayo abis cari buku temenin gue jalan."

Entah kenapa, Kiara merasa Dimas sedang mengalihkan pembicaraan. Dia jadi penasaran kerjaan apa yang Dimas maksud. Kalau bertanya langsung sepertinya dia tidak akan mendapat jawaban. Mungkin nanti dia akan tanya Angga. Kenapa sih sekarang dia jadi ingin lebih tahu tentang Dimas.

Mereka masuk ke toko buku. Aroma buku yang sangat Kiara suka membuat moodnya kembali naik. Langsung saja dia menuju rak novel dan meninggalkan Dimas. Kalau sudah berurusan dengan novel, maka semua terasa tidak penting. Di belakangnya, Dimas mengikuti dengan senyum geli, ternyata cara ini memang ampuh untuk Kiara.

"Semangat amat Ki, kan gue yang mau nyari buku," kata Dimas.

"Oh lo cari buku aja sana, nanti kalau udah lo ke sini," awab Kiara sambil asik memilih novel. Alamat menghabiskan uang tabungannya selama satu minggu. Dia tidak bisa hanya melihat. Rasanya selalu gemas, padahal niatnya cuma lihat-lihat.

Setelah menimbang cukup lama akhirnya Kiara membeli dua novel. Yaa say good bay pada sepatu kets yang sedang dia incar. Gara-gara Dimas sih. Di sampingnya Dimas juga sedang asik membaca, entah buku apa.

"Udah milihnya?" tanya Dimas.

Kiara mengangguk. "Lo nggak jadi beli buku?"

"Nggak, yang gue cari nggak ada." Dimas menepuk bahu Kiara. "Ayo buruan, gue laper."

Sejak tadi saat diluar toko buku maupun di dalam, Kiara merasa selalu saja ada yang melirik ke arah mereka. Penampilan Dimas memang keren abis. Harus diakui meskipun Kiara tidak akan ngomong langsung pada cowok itu.

"Gue aja yang bayar," kata Dimas.

Kiara buru-buru menggelengkan kepala. "Kan gue yang mau baca. Gue punya uang sendiri, jadi nggak usah repot-repot."

"Yaelah Ki, anggep aja kado temenan," jawab Dimas sambil mengeluarkan dompetnya. Kiara itu selalu saja susah.

"Pokoknya gue bayar sendiri! udah sana lo tunggu luar!" usir Kiara. Dia tidak mau merepotkan. Lagipula dia punya uang sendiri.

"Pacarnya baik loh Kak," kata mbak kasir dengan senyum geli.

Kiara meringis kecil, jadi tadi mereka menjadi tontonan. "Iya Mbak." Hanya itu yang bisa dia ucapkan, dia segera pergi setelah memberikan uangnya. Menyusul Dimas yang tadi dia usir.

"Ayo Dim!" ajak Kiara.

☁️☁️☁️

Dimas melirik kesal dan langsung berjalan duluan. Melewati stand-stand makanan yang ramai. Menuju stand makanan favoritnya. Dia masih kesal pada Kiara. Padahal dia kan cuma mau memberikan hadiah.

"Dim marah ya?" tanya Kiara.

"Nggak," jawab Dimas.

Kiara meringis kecil. "Nggak marah tapi cemberut gitu. Iya deh gue minta maaf tadi ngusir."

"Nah!" kata Dimas. "Lo kira gue ayam bisa diusir gitu?" Dia ingin protes karena Kiara ini benar-benar menyebalkan. Baru kali ini dia diusir begitu.

Bukannya merasa bersalah, Kiara justru mendumel tanpa suara. Meledek Dimas yang menurutnya cerewet sekali. Jadilah Dimas makin kesal dan berjalan meninggalkan Kiara.

"Ehh Dim! yaampun!" kata Kiara.

"Gue kesel yaa Ki," omel Dimas.

Kiara tertawa dan mengulurkan tangannya ke kepala Dimas. "Iya, maaf ckck gitu aja ngambek."

"Kia gue bukan anak kecil!" protes Dimas sambil menjauhkan tangan Kiara yang menepuk-nepuk kepalanya. Enak saja, bahkan dari postur tubuh jelas sekali Kiara yang seperti anak kecil.

"Ehh anak kecil dong, kan gue ketemu lo juga pas lo pake seragam SMP!" kekeh Kiara.

Ledekan itu membuat Dimas makin gemas dan langsung merangkul Kiara. "Coba ngomong gue anak kecil sekali lagi." Senyumnya mengembang manis berbeda dengan Kiara yang mencoba melepaskan diri.

"Iya-iya nggak, lepas dong! diliatin orang tau!" rengek Kiara.

Mereka memesan makanan dan kali ini Dimas memaksa untuk membayar semua. Kali ini Kiara tidak bisa menolak. Anggap saja rezekinya. "Thanks loh ditraktir."

"Hmm," jawab Dimas. "Ki, lo lagi ada masalah?"

"Masalah?"

Dimas melahap suapan terakhirnya. Dia memutuskan untuk bertanya karena terlalu penasaran. "Tadi pas balik kenapa muka lo sedih gitu?"

"Ohh." Kiara menggigit bibirnya. Menimbang apa perlu cerita dengan Dimas. Ini kan tentang Adrian. Dua cowok itu kan tidak pernah akur. Jangan-jangan nanti justru membuat Dimas kesal.

"Nggak usah cerita kalau lo nggak nyaman."

Kiara menghela napas panjang dan meletakan sendoknya. "Tadi Nazwa nyamperin gue. Dia cewek yang waktu itu ribut sama gue di deket ruang OSIS."

"Ohh pacarnya si Adrian? tadi lo diajak ribut lagi?"

Buru-buru Kiara menggelengkan kepala. "Bukan, kita udah damai. Tadi dia cerita kalau Adrian sekarang berubah. Yaa gue juga ngerasa gitu, sekarang dia juga nggak pernah dateng pas ekskul fotografi."

"Mungkin dia emang bosen," jawab Dimas santai.

"Nggak mungkin, gue tau dia cinta sama fotografi," jawab Kiara dengan mantap. Meski belum lama mengenal Adrian, dia tahu sekali fotografi adalah bagian dari cowok itu.

Dimas bertopang dagu, mencoba memikirkan beberapa kemungkinan. "Tapi lo sama dia kan udah kelas dua belas. Mungkin dia ngerasa ekskul udah nggak penting."

Kalau itu alasannya, mungkin ada benarnya juga. Kelas duabelas kan harusnya sudah mulai fokus pada pelajaran. Mengejar PTN impian. Tapi Kiara masih belum yakin dengan itu. "Dia ngejauh dari temen-temennya juga Dim. Gue takut dia lagi ada masalah,  yang gue tau orangtua Adrian itu nggak harmonis."

"Terus kenapa?" tanya Dimas.

Pertanyaan itu membuat Kiara ingat cerita tante Alya. "Emm gue takut dia sedih karena masalah orangtuanya. Maaf gue nggak bermaksud nyinggung lo, tadi nyokap lo juga cerita."

"Ohh gue nggak apa-apa, lagian udah lama juga. Papa bahkan udah seneng sama keluarga barunya," jawab Dimas tanpa nada kesal sedikitpun. Seperti masalah itu bukan apa-apa untuknya. Yaa kadang kesedihan tidak bisa ditunjukan dengan ekspresi bukan. "Kalau menurut lo si Adrian ngejauh karna masalah orangtuanya mending lo biarin dia sendiri dulu. Kadang kita butuh waktu sendiri untuk nenangin pikirian."

"Gitu yaa?" tanya Kiara.

Dimas mengangguk. "Tapi kalau lo khawatir, lo tanya aja sama dia langsung. Gue yakin dia nggak akan nyuekin lo."

☁️☁️☁️

Dasar tolol, cuma itu yang terus Dimas ucapkan setelah mengantar Kiara pulang. Kenapa dia sok memberi nasihat begitu kalau ujungnya dia jadi kesal sendiri. Jadi nanti Kiara akan menghubungi si Adrian itu.

Darimana muncul saran sok baik itu. Cih, dia kan tidak suka munafik. Mana mau dia membantu rival. Sialan,bagaimana kalau nanti Kiara jadi makin dekat dengan Adrian. Pokoknya dia tidak akan rela.

Lagipula istilah bahagia asal melihat orang yang disukai bahagia itu bullshit. Percuma mengaku bahagia tapi dibelakang menangis sendiri, galau berhari-hari, dan disertai dengan kebodohan-kebodohan lainnya.

Dimas memasukan motornya ke garasi dan langsung masuk ke rumah. Awalnya dia ingin langsung ke kamar, tapi bunda memanggil, mungkin mau mengajaknya makan malam.

"Abis anter Kia?" tanya bunda.

"Iya Bun," jawab Dimas sambil mencomot satu bakwan yang aromanya menggoda.

Bunda tersenyum dan menganggukan kepala. "Jadi sama Kia udah pacaran atau cuma temen aja?"

"Temen," jawab Dimas. "Buat sekarang Bun."

Keduanya tertawa bersama. Bunda menggenggam tangan Dimas. Matanya menyorot hangat, anak laki-lakinya yang saat ini harusnya masih menikmati masa-masa sekolah tanpa harus terbebani oleh masalah keluarga.

"Dimas udah cerita tentang kerjaan Dimas ke Kia?" tanya bunda.

Dimas menggelengkan kepala, belum, dan mungkin dia tidak akan cerita. "Penting yaa Bun?"

"Kiara penting nggak untuk Dimas?" tanya bunda balik. Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan mantap dari Dimas. Yaa sudah diduga, tidak mungkin anaknya ini membawa teman biasa ke rumah. Mengingat teman Dimas yang datang kemari hanya sedikit. "Kalau begitu Dimas harus cerita sama Kia."

Dimas menghela napas panjang dan mengangguk. "Oke, nanti kalau waktunya tepat Dimas pasti cerita sama Kia." Sebenarnya dia ragu, sepertinya Kiara tidak akan suka.

Bunda menjauhkan piring yang isinya sudah habis. Kali ini wajahnya tampak lebih serius. Kerutan di dekat mata itu menandakan usia yang semakin tua. "Bunda rasa pendapatnya nggak akan jauh dari pendapat Bunda dan kakakmu."

"Dimas bakal usaha buat yakinin Kia."

"Yahh oke terserah kamu, tapi Bunda harap kamu berhenti. Kamu tahu kan ketakutan terbesar Bunda?" tanya bunda sambil menggengam erat tangan Dimas.

Dimas menganggukan kepala dan tersenyum menenangkan. Dia tidak akan membuat bunda dan kakaknya menangis. Pekerjaan ini adalah tempatnya menyalurkan hobi dan menghasilkan uang. Dari sana lah dia juga belajar untuk melindungi seluruh orang-orang yang dia sayangi.

☁️☁️☁️

See you in the next chapter ❤❤❤

Kiara

Dimas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro