BAB 18 - Kemarahan Dimas
Holaaa mana semangat 17 Agustusnyaa!
Aku balik lagi buat lanjutin cerita. Edisi kejar tayang karna kemaren nggak update2 😂😂
Jangan lupa follow @indahmuladiatin
Happy reading guys! 😗
☁️☁️☁️
Bukan hal baru bagi kelas dua belas jika jam kosong menjadi ajang paling dimanfaatkan sebagai waktu tidur. Masing-masing sibuk mencari tempat yang nyaman untuk tidur. Lumayan, sebelum berpusing ria dengan pelajaran yang makin padat.
Acara kemarin juga menguras tenaga. Libur hanya sehari, rasanya baru saja istirahat tidur di ranjang yang empuk tapi harus diseret bangun untuk pergi ke sekolah. Menjalankan rutinitas belajar, bermain, bersosialisasi, berdandan bagi yang mau.
Kiara membuka novel yang sengaja dia bawa. Di tasnya juga ada seplastik keripik yang jadi makanan favorit tiap sedang membaca novel. Ahh benar-benar waktu yang menyenangkan. Iya kalau saja tidak ada Sasya yang sejak tadi mengoceh panjang lebar tentang pertandingan basket antar sekolah yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
"Keren nggak sih Ra?"
Kiara menoleh kaget mendengar namanya disebut. "Hah apa yang keren?"
"What?? lo nggak dengerin gue ngomong dari tadi?" omel Sasya.
Luna dan Mita tertawa geli. Yaa mau bagaimana lagi, Kiara ini jenis siswi unik jaman now. Dia bukan cewek yang kebelet hits padahal bakatnya dalam beberapa bidang seni cukup bagus. Kadar kecuekannya lumayan tinggi sampai kadang tidak kenal dengan teman satu organisasi. Kiara juga tidak terlalu peduli dengan event yang padahal murid lain sangat antusias.
"Maaf deh, coba ulang ngomongnya," kata Kiara dengan ringisan kecil.
"Nggak heran ni anak jomblo terus," gumam Sasya.
Kiara bukannya kesal tapi justru tertawa geli. Yaa seperti ini juga asik. Bisa main dengan bebas dengan sohib-sohibnya. Dia bertopang dagu setelah novel yang awalnya ingin dibaca ditutup kembali.
"Emang apa menariknya event basket antar sekolah sih? tiap tahun juga ada. Nggak ada yang spesial," tanya Kiara.
"Ohh jelas ada dong, sekolah kita bakal didatengin banyak sekolah lain. Otomatis kita bisa cuci mata ngeliat cowok kece sekolah-sekolah hits, siapa tau ada jodoh disana," jawab Luna.
Sasya menjentikan jarinya. "Itu maksud gue, si Kiara emang dodol banget. Begitu aja nggak ngerti!"
"Loh olimpiade juga banyak anak kece sekolah lain. Udah kece pinter pula!" jawab Kiara yang lebih suka melihat kompetisi belajar itu.
"What kumpulan Einstein itu? udah gilaa emang ini anak!" jawab Sasya ngeri.
Tawa Mita makin kencang melihat wajah ngeri Sasya dan Luna. Benar kan Kiara ini siswi yang unik. Harus dilestarikan kepolosannya dan sikap cueknya ohh dan ketidakpekaannya.
"Udah lo baca novel aja deh Ra," kata Luna.
Sasya mengangguk setuju. "Iya sana! gue nggak mau denger omongan ngeri lo. Ayoo Mit, Lun kita ngobrol bertiga aja."
"Jahatnyaa," jawab Kiara.
"Hahaa lo sih!" kata Mita.
Sekarang Sasya benar-benar tidak minta pendapat dari Kiara. Ketiganya membiarkan Kiara hanyut dalam cerita novel tebal itu. Bahkan wajahnya sudah tidak terlihat karena tertutup buku. Tidak ada yang bisa mengganggunya ketika dia sedang tenggelam dalam sebuah cerita.
Hampir dua jam berlalu, dan sekarang kelas Kiara harus ke lapangan karena saat ini jam pelajaran olahraga. Mata pelajaran yang paling Kiara tidak suka. Dia benar-benar payah dalam hal ini. Roll depan, belakang, sikap lilin atau apalah itu.
"Gih sana cowok-cowok keluar!" usir para murid cewek yang ingin ganti baju dikelas.
"Huuu!"
Sudah menjadi kebiasaan, murid laki-laki ke lapangan lebih dulu dan para murid petempuan akan berganti pakaian di kelas. Sebenarnya bisa saja di toilet, tapi kadang mereka malas karena ada kelas lain juga yang sedang ada jam olahraga. Mita yang sudah selesai langsung berjaga di pintu.
"Woyyy Sapri!! Lo ngintip gue yaa!" bentak Mona yang melihat Malik yang muncul di jendela. Iya anak itu dipanggil Sapri karena kepalanya botak ditambah suka pantun. Masalahnya jokes anak itu jayus banget.
Malik tertawa dan mengacungkan dua jari sebelum berlari pergi.
"Sialan!" omel Mona.
Kiara meringis kecil, untung dia sudah selesai ganti baju dan tinggal memakai sepatu olahraga. "Sabar yaa Na."
"Tenang Na, paling tuh anak liat kaos spongebob lo doang." Luna tersenyum menghibur.
Mona menggeretakan gigi dan menggulung seragam olahraganya. Waduh gawat, anak ini kan terkenal jago kickboxing. Cewek paling tomboy seantero sekolah ini. Piala kickboxing sudah berjejer di raknya. Poor Malik yang mungkin sebentar lagi akan jadi bulan-bulanannya.
Kiara mendekati Mona, mencoba untuk menenangkan. Dia sendiri tidak terlalu dekat dengan anak ini. Karena seperti yang diketahui, Mona ini jarang bergaul dengan anak cewek. Temannya rata-rata murid cowok.
"Udah ayo, nanti gue bantu hajar deh. Tenang gue bela," kata Kiara dengan cengiran lucu.
"Emang lo bisa?" tanya Mona.
Kiara menggeleng polos. "Nginjek semut aja gue gemeteran."
Mona yang awalnya cemberut kesal jadi tertawa geli dan ikut dengan Kiara. Dibelakangnya anak cewek yang lain mengikuti. Bagus lah Kiara berhasil menenangkan Mona. Jujur, mereka agak takut.
☁️☁️☁️
Permainan basket yang paling tidak jelas. Para cewek hanya mengoper-ngoper bola. Bermain lempar-lemparan tanpa berniat untuk memasukan benda bulat itu ke dalam ring. Mereka juga tidak mau berlarian. Alasannya tentu saja karena matahari sedang terik, capek, dan yang satu ini yang paling awkward, bau ketek.
Padahal saat ini mereka sedang diberi waktu untuk latihan sebelum pengambilan nilai basket. Pastinya bukan hanya melempar bola dengan tidak jelas. Harus benar cara melempar dan kalau bisa bola itu berhasil masuk ke ring.
"Woy Ra, si Dimas tuh," kata Mita.
Kiara menoleh ke belakangnya. Menatap cowok dengan balutan seragam yang tidak dikancing hingga menampilkan kaus hitam yang digunakan sebagai dalaman. Bisa dia tebak, anak itu pasti tidak pakai seragam di kelas. Mungkin sedang tidak ada guru sampai berani main keluar kelas. Tunggu dulu, hey anak itu kan masih baru. Berani sekali tampil begitu di luar kelas.
"Dasar trouble maker," gumam Kiara sambil kembali fokus melempar bola.
"Lo nggak mau ngingetin itu anak? inget Ra lo kan pengurus OSIS," kata Mita.
Kiara cemberut kesal. "Kan Luna, Sasya sama Diana juga pengurus OSIS. Udah kalian aja sana!"
"Hehe kan lo yang deket, udah sana Ra! masa takut sih sama Dimas?" pancing Sasya dengan alis terangkat tinggi.
Kiara kembali menoleh pada Dimas. Cih takut pada cowok itu. Maaf saja, untuk apa takut. Dia langsung meninggalkan lingkaran permainan dan menghampiri Dimas di pinggir lapangan.
"Ngapain sih lo di sini?" tanya Kiara.
Dimas mengerutkan keningnya. Dia bahkan baru sadar ada Kiara karena fokus bicara dengan Angga. "Weitss tenang, segitu kangennya sampe langsung nyamperin."
"What? kangen sama lo? mending gue dilempar ke kandang gorila deh." Kiara berkacak pinggang dengan mata tajam. "Lo ngapain ke sini? mau ganggu gue lagi?"
Dimas menunjukan cengirannya. Dia menggaruk kepalanya sendiri sambil melirik Angga yang juga menahan tawanya. "Sorry nih Kia, gue tau lo mau gue ganggu. Tapi sorry banget kali ini gue ke sini bukan buat lo." Tangannya menunjuk orang di belakang Kiara. "Gue lagi ada bisnis sama temen gue. Jadi lo bisa minggir sekarang? main lagi sana, nanti gue samperin."
Wajah Kiara memanas karena jawaban Dimas. Kepalanya menoleh ke belakang. Ada Cakra disana yang juga sedang ada di lapangan. Siapa yang tidak kenal Cakra, si biang onar. Salah satu anggota paling sering dipanggil guru, paling jago memanas-manasi murid lain untuk turun ke jalan dan ikut tauran.
"Kia?" panggil Dimas.
Kiara mendengus kesal dan melipat kedua tangannya. "Nggak usah ngerasa penting banget deh. Gue nggak ngarep lo gangguin tuh." Setelah mengucapkan itu dia langsung bergegas pergi tapi kembali ke tempat Dimas lagi. "Kancingin baju lo sebelum tuh baju gue potong-potong!"
☁️☁️☁️
"Dimas Sialan!" maki Kiara.
Sasya, Mita dan Luna menoleh dengan pandangan horor. Oh demi hello kitty yang mungil dan lucu, baru kali ini mereka mendengar Kiara mengumpat. Pasti level kekesalannya sudah naik dari level akut menjadi kronis.
Mona yang sedang mendribling bola basket langsung menghentikan gerakannya. "Mau gue bantu hajar?"
"Hah?" tanya Kiara kaget. Dia meringis kecil dan buru-buru menggelengkan kepala. "Gue bisa atasin kalau dia ganggu. Tenang aja, ada banyak semprotan air cabe di tas gue."
Mona mengerutkan kening sebentar sebelum akhirnya mengangkat bahu dengan cuek dan lanjut bermain basket sendirian. Benar-benar jauh dari nama Mona yang sangat cantik. Badannya agak berotot ditambah kalau pakai seragam olahraga.
"Kenapa tuh anak jadi baik?" tanya Sasya.
"Dia emang baik tau! kita aja yang nggak mau deketin dia. Mulai sekarang kalau apa-apa ajak dia, kan kasian kalau dia main sama anak kelas lain terus," kata Kiara.
Luna dan Mita mengangguk setuju karena mereka juga yakin sebenarnya Mona itu asik. Sayangnya orang sudah keburu takut duluan karena penampilan Mona yang agak unik. Belom lagi rambutnya yang tak lazim untuk para cewek itu.
Sedang asik berlindung di bawah pohon pinggir lapangan, guru olahraga tiba dengan satu papan penilaian. Semua langsung berdiri dengan wajah malas. Para cowok yang asik bermain bola juga langsung ikut berbaris.
Pengambilan nilai para cowok didahulukan karena katanya ingin cepat main bola lagi. Sementara itu, para cewek menunggu sambil menatap serius cara-cara melempar bola sampai masuk ke ring itu. Keliahatannya mudah sekali, tapi apa nanti saat praktik juga begitu.
"Eh ngomong-ngomong lo nggak setuju sama saran Nazwa kemarin kan?" tanya Sasya tiba-tiba.
Kiara yang asik memperhatikan langsung menoleh. "Saran apaan?"
"Itu loh, buat jauhin Dimas. Menurut gue itu konyol deh," jawab Sasya. "Bener nggak sih?"
Mita mengangguk setuju. "Bener, apa urusannya? Lagian tuh anak baik ko. Buktinya dia bantu nyari lo."
"Yoi banget, paling yaa jahilnya aja yang bikin kesel. Selebihnya dia baik, dia tau kapan lo nggak bisa diganggu," lanjut Luna.
Kiara diam sambil mencabuti rumput di dekatnya. Dia juga masih bingung, tapi kan urusannya dengan Dimas sudah selesai. MOS sudah berakhir dan tidak ada lagi acara besar seperti kemah kemarin. Tanpa disuruh menjauh, dia juga akan jarang bertemu dengan Dimas.
"Ayo anak-anak kemari. Sekarang dimulai dari Acha yaa," kata bapak Yogas.
Satu persatu anak perempuan mulai maju. Sampai giliran Kiara yang melempar bola. Tangannya mencoba memposisikan bola basket itu dengan benar. Matanya fokus pada bola.
"Bukan begitu Kiara, posisi tanganmu!" ucap pak Yogas.
Kiara menghela napas kesal, sudah dia bilang kalau dia tidak suka olahraga. Benar-benar menyebalkan. Setelah merasa tangannya sudah benar dia langsung melempar bola itu. Matanyanya melebar saat bola itu jatuh tepat di tempatnya berdiri. Buru-buru dia berjongkok sambil menutupi kepalanya.
Teman-teman Kiara akhirnya tertawa. Yaa kalau masalah yang satu ini sih bukan rahasia lagi. Terakhir kali, Kiara harus mengalami sakit leher karena roll depan yang gagal.
Kiara mencoba beberapa kali tapi tidak berhasil. Pak Yogas geleng-geleng kepala dan mengibaskan tangannya. "Belajar dulu, nanti kamu Bapak panggil lagi."
"Biar saya yang ajarin Pak," kata Dimas yang tiba-tiba saja sudah bergabung.
"Siapa kamu?" tanya Pak Yogas.
Dimas menyalami tangan guru itu. "Adimas kelas sepuluh."
"Wah kamu calon team basket sekolah kan? nah bagus-bagus. Ajari dia ya, pusing saya." Pak Yogas memasang wajah sumringah. Benar-benar berbanding terbalik dengan Kiara yang masih kaget.
Dimas mengajak Kiara ke sisi ring lain. Membiarkan teman-teman melanjutkan pengambilan nilai. Sesekali mereka melirik penasaran pada dua orang itu. Kali ini keributan macam apa lagi.
☁️☁️☁️
"Mau lo apa sih? katanya lo ada bisnis, ngapain ke gue?" tanya Kiara emosi.
Dimas memutar bolamatanya dan mengulurkan tangan. "Mana bolanya?"
Buru-buru Kiara menyembunyikan bola itu dibalik tubuhnya. Matanya menyipit tajam dan perlahan dia berjalan mundur menjauhi Dimas. "Gue nggak mau lo ajarin!"
Dimas diam, tapi tetap maju dan Kiara terus mundur sampai membentur tiang ring. Matanya melebar karena cowok itu terus mendekat. Menutupi rasa gugupnya, dia memasang wajah menantang. Jelas, dia tidak mau kelihatan ciut di depan adik kelasnya ini.
"Bolanya," bisik Dimas yang mendekatkan kepalanya ke telinga Kiara. "Lo kasih sendiri atau gue ambil paksa."
Bisikan itu membuat Kiara merinding. Mata bulatnya mengerjap lucu dengan mulut terbuka karena syok. Dia langsung memberikan bola basket itu pada Dimas yang masih memasang senyum manis.
"Begini aja lo harus dipaksa," kata Dimas. "Sini lo deketan. Mau belajar basket kan? mau nilai lo nol?"
Kiara mendekat bukan karena perintah itu, tapi lebih karena dia masih kaget dengan bisikan yang mengandung ancaman barusan. Bisikan yang terdengar mengerikan dan membuat jantungnya lagi-lagi berdegub kencang.
"Posisi tangan lo," kata Dimas yang berdiri di belakang Kiara.
"Hem?" tanya Kiara sambil menoleh.
Dimas tersenyum dan membenarkan posisi tangan Kiara. Melihat sepertinya cewek ini masih syok. Sebenarnya perlakuan tadi sama sekali tidak terencana. Dia hanya gemas karena baru kali ini ada perempuan yang sebegitu melawannya.
"Begini bener, lo lihat target lemparan. Jangan asal lempar kayak tadi." Dimas melanjutkan penjelasannya. Kiara masih bengong menatap wajah Dimas yang kelihatan serius. "Lihat bola sama ringnya, jangan lihat gue Kia."
"E-emm siapa yang ngeliat lo!" kata Kiara sambil fokus pada bola dan ring di depannya. Dalam hati dia merutuk kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia kelihatan bodoh di depan orang ini.
Tangan Dimas masih menyentuh tangan Kiara yang memegang bola. "Lempar bolanya!"
Kiara melempar bola tapi tentu saja tidak masuk ke ring. Jangankan masuk ke ring, bola itu hanya terlempar tidak jauh dari jaraknya berdiri. Yaa bukan salahnya juga, karena tangannya sekarang lemas gara-gara perlakuan Dimas tadi.
"Ckck lo bener-bener payah," ledek Dimas.
"Bodo amat, gue nggak ada cita-cita buat jadi atlit. Nggak jago olahraga nggak akan ngerugiin gue," balas Kiara dengan suara ketus.
"Belajar lagi!" suruh Dimas.
Kiara menahan Dimas agar tidak mendekat padanya. "Gue udah ngerti, lo ngajarin dari jauh aja!" Daripada diajari Dimas seperti tadi lagi, dia memilih untuk fokus dan berusaha berkali-kali sampai akhirnya bolanya bisa mendekati ring. Yaa tidak perlu masuk, begitu juga sudah bagus.
"Lumayan lah," kata Dimas.
Kiara tersenyum puas dan memasang wajah kemenangan. Sampai akhirnya dia melihat Adrian di dekat pintu kelasnya. Sedang menatap kemari dengan ekspresi kesal yang sama seperti saat menghajar Dimas saat acara kemarin. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk minta cowok ini menjauh. Atau setidaknya tidak perlu menyapa kalau tidak sengaja berpapasan di koridor.
"Dim," panggil Kiara.
Dimas mengerutkan keningnya. "Apa? mau bilang makasih?"
Kiara mendengus kesal dan menarik tangan Dimas sampai mereka duduk di dekat kursi taman. "Gue mau minta lo jangan ganggu gue lagi."
"Hem?" tanya Dimas bingung.
"Jauhin gue, kalau perlu lo bisa pura-pura nggak kenal sama gue. Ngerti?" tanya Kiara.
"Kenapa?" tanya Dimas bingung.
Jelas alasannya tidak akan Kiara bocorkan. Memangnya apa yang jelas dari alasannya meminta Dimas menjauh. Khawatir pada cowok ini, hah yang benar saja. "Emang alesannya penting?"
"Lo nggak bisa minta orang ngejauh tanpa alesan Kia," jawab Dimas. Ketenangan dalam suara itu membuat Kiara merasa bahwa menjauh bukan masalah untuk Dimas.
Kiara mencoba berpikir lebih lama, mengaitkan hal-hal yang masuk akal. "Pertama, gue nggak suka digangguin sama lo. Kedua gue nggak suka nama gue selalu dikaitin sama nama lo. Apalagi lo anak yang suka buat masalah. Ketiga-" Kiara menghela napas panjang. "Gue nggak suka berurusan sama orang kayak lo ataupun Cakra yang cuma bisa bikin huru-hara."
"Orang kayak gue sama Cakra?" tanya Dimas sambil menyipitkan mata. "Maksud lo orang kayak kita gimana? nggak punya tujuan hidup gitu? anak-anak rusak?"
Kali ini nada itu terdengar emosi. "Bukan gitu Dim!"
"Alah! gue kira lo beda. Ternyata sama aja, emang orang kayak kita gini, nggak sebanding sama tuan putri serba baik kayak lo!" balas Dimas dengan penekanan saat mengatakan orang kayak kita. "Lo bisa jelek-jelekin gue, tapi nggak sama temen-temen gue."
Kiara hanya terdiam melihat Dimas pergi meninggalkannya bahkan tanpa menoleh. Tiba-tiba dia merasakan penyesalan karena bicara begitu. Kepalanya buru-buru menggeleng, sadar Kiara, kenapa harus sedih. Bukannya ini hal yang paling dia tunggu.
Sambil memejamkan mata, Kiara berusaha untuk menetralkan perasaannya yang tidak karuan. Setelah sedikit tenang, barulah dia kembali ke lapangan. Bergabung dengan yang lain dan menghampiri pak Yogas.
"Sudah bisa?"
"Iya Pak, tapi setelah ambil nilai saya pamit ke kelas ya Pak? saya nggak enak badan," kata Kiara.
Tiga kesempatan melempar, satu masuk dan dua lagi hanya membentur ring. Tapi itu sudah menjadi kemajuan luar biasa. Kiara langsung berlari ke kelasnya diikuti para sahabatnya yang penasaran kenapa wajah Kiara kelihatan sedih.
☁️☁️☁️
"Lo kenapa?" tanya Sasya pelan.
Kiara cuma diam dan menenggelamkan wajahnya di atas meja. Dia tidak mau membahas apapun. Apalagi tentang Dimas dan Adrian. Dua cowok yang membuatnya pusing. Khususnya Dimas yang menjadi objek rasa kacaunya sekarang.
Ada rasa bersalah dan menyesal yang sulit Kiara ungkapkan bahkan pada diri sendiri. Dia ingin menarik semua ucapannya tapi jelas itu tidak bisa. Jujur pada Dimas tentang alasannya juga percuma. Toh cowok itu sudah terlanjur membencinya.
Benci, oke sekarang Kiara ingin berteriak kencang. Apa iya Dimas sekarang benci padanya. "Hiks!"
"Yahh lo nangis Ra? kenapa sih? ada masalah apa tadi sama Dimas?" tanya Luna.
Kiara mengangkat wajahnya. Dia menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum. "Gue laper, nanti nitip makanan di kantin boleh?" Dia terlalu takut bertemu Dimas di kantin.
"Hahh? boleh-boleh," jawab Luna bingung.
"Thanks, gue ganti baju duluan yaa," kata Kiara sambil berjalan keluar kelas menuju toilet.
Tidak dia hiraukan pandangan-pandangan yang menatapnya sejak dia masuk ke dalam toilet. Meski sedang tidak fokus, dia tahu itu gerombolan Siska. Si kumpulan anak hits kelas sepuluh. Ternyata menjadi kakak kelas ada untungnya juga. Dia tidak perlu takut dibully.
"Abis diajarin basket sama Dimas ya Kak?" tanya Siska basa-basi.
Kiara berdeham untuk membalas pertanyaan itu. Dia memandang Siska dan teman-temannya. "Kalian nggak ada jam pelajaran? ini bukan jam kosong kan?"
"Oh kita lagi izin ke toilet," jawab Siska.
"Kalau gitu langsung ke toilet, jangan buang waktu kalian untuk gosip di sini."
Siska menahan senyumnya dan menganggukan kepala. Dia mengajak teman-temannya untuk keluar. Sebelum melewati pintu, Siska berbisik pada temannya. Jelas bukan bisikan, tujuannya pasti untuk pamer pada Kiara.
"Nanti gue balik sama si Dimas loh."
"Wah resmi jadian?"
"Bisa jadi," jawab Siska.
Kiara menyipitkan matanya, menyebalkan sekali perempuan macam Siska itu. Sekolah saja gayanya seperti tante-tante. Kenapa sih Dimas suka dengan yang begitu. Ihh dia saja geli dengan gaya menyebalkan itu.
"Ck bukan urusan gue," kata Kiara sebelum membasuh wajahnya dengan air segar.
Pantulan dirinya di cermin besar menampakan wajah kelihatan lelah. Tentu itu sisa-sisa kegiatan kemarin. Beruntung kakinya sudah sembuh. Lagi-lagi ucapan Dimas kembali terbayang.
"Gue udah berhasil ngedepak dia," gumamnya sendiri. "Terus dimana masalahnya?"
"Ngedepak siapa?" tanya Sasya.
Kiara menoleh kaget dan mengusap dada dan mengatur napas. Gila, muncul mendadak begitu. Kapan sahabatnya ini masuk ke toilet. "Lo kenapa ngagetin gitu sih?"
"Hehe abis gue ngerasa lo aneh. Siapa yang berhasil lo depak? Dimas? segampang itu sia setuju?" tanya Sasya curiga.
Kiara menyandarkan tubuhnya pada wastafel. Kepalanya menggeleng pelan. Tentu mendepak Dimas bukan hal yang mudah. "Gue bikin dia benci sama gue."
"What?" tanya Sasya.
Semua ucapannya pada Dimas kembali diceritakan pada Sasya. Wajah sohibnya itu tampak kaget. "Yaa ampun Kiara! gue harap lo nggak bener-bener nyesel!"
☁️☁️☁️
See you in the next chapter ❤❤🤘
DIMAS
KIARA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro