BAB 17 - Kekacauan
Holaaaa setelah lama nggak muncul akhirnya bisa nulis lagi. Hehe mohin maaf karena lama.
Langsung aja deh yaa.. follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys hope you like this chapter 😗❤❤❤
☁️☁️☁️
Pertanyaan sederhana dari Dimas benar-benar mengganggu pikiran Kiara, bahkan sampai saat makan siang tiba. Kiara bertopang dagu sambil memandang sepiring nasi di depannya. Dia tidak selera, bukan karena lauknya tidak menarik.
"Raa kenapa sih? lo ribut lagi ya sama Dimas?" tanya Sasya.
Mita menghentikan aktivitas makannya, ikut memperhatikan Kiara yang sejak tadi banyak diam. Anak ini memang tidak terlalu banyak bicara. Tapi tidak pendiam juga. "Dimas bikin lo kesel? nanti gue deh yang omelin. Lo lagi sakit begini."
Kiara tersenyum geli dan memberikan piringnya pada Sasya. "Kalian makan aja deh, gue lagi males."
"Enak aja! lo tuh harus makan. Semalem udah nggak makan juga. Inget yaa jangan sampe kita diomelin sama Bang Lion nanti pas pulang," kata Mita.
Dua sahabat Kiara ini sedang melotot kesal. Untung hanya dua, karena Luna sedang sibuk mengurus kerjaannya. Kalau sampai Luna ikutan marah-marah, yaa sudah dia tidak bisa apa-apa. "Gue beneran nggak laper, nanti kalau laper gue makan deh. Sekarang ini lo makan aja, daripada gue buang kan?"
Sasya geleng-geleng kepala, dan Mita cuma bisa gemas. Terpaksa mereka memakan makanan Kiara. Sedangkan Kiara pilih kembali diam, memainkan kotak susu. Susu yang menjadi pengganti nasi karena setidaknya perutnya harus terisi.
Perhatian Kiara teralih mendengar suara Dimas dan Angga. Cowok itu sedang berjalan ke arah dapur dengan sohib setianya. Tampak cuek dan melewati Kiara begitu saja. Di belakang Dimas ada Siska yang juga berjalan dengan temannya.
Kiara mengerutkan keningnya. "Dasar."
"Hah? kenapa Ra?" tanya Sasya.
Kiara menggelengkan kepala. "Nggak, gue mau ke tenda aja deh."
Sasya dan Mita saling lirik dengan pandangan bingung. Bukannya tadi habis dari tenda. Kenapa sekarang Kiara betah sekali di tenda. "Kaki lo sakit lagi yaa? apa lo ngerasa nggak enak badan?"
"Nggak tau, gue mau tiduran aja," jawab Kiara cuek. Dia berusaha berdiri sambil berpegangan pada Sasya dan Mita. "Sini piringnya biar gue yang taroh di dapur."
"Bisa?"
"Bisa, cuma bawa piring doang." Kiara mengambil piring itu dan langsung pergi ke dapur. Masa bodo dengan Dimas ada di sana. Dia sudah cukup kesal pada cowok itu.
Di dapur ada beberapa orang yang sedang mengambil makanan. Di sana juga ada Luna dan Adrian. Baguslah, Kiara langsung menghampiri keduanya. Melewati Dimas yang sedang ngobrol dengan Siska.
"Udah selesai makannya?" tanya Adrian.
Kiara mengangguk. "Lo berdua nggak makan?"
"Gue sih udah, nih anak tadi bantu gue di sini," kata Luna sambil menunjuk Adrian.
Kiara tertawa dan mengacungkan jempolnya. Dia senang hubungannya dengan Adrian sudah membaik. Terlepas dari masalah kemarin, dia harap Adrian juga tetap bersikap sebagai teman. Tapi melihat Adrian membuatnya kembali ingat pertanyaan Dimas pagi tadi. Kepalanya menoleh pada Dimas yang kebetulan juga sedang melihat ke arahnya. Pandangan mereka bertemu beberapa detik sampai Kiara memutuskan untuk membuang muka. "Gue mau balik ke tenda dulu yaa."
"Mau gue anter?" tanya Adrian.
Kiara tersenyum geli dan menggelengkan kepala. "Gue bisa sendiri."
"Pacaran aja terus." Langkah kaki Kiara terhenti saat melewati Dimas dan mendengar ucapan cowok itu. Sindiran yang membuat Kiara makin kesal, sebenarnya Dimas ini dapat gosip darimana sih. Kiara ingin membuka suara kalau dia tidak pacaran dengan Adrian, tapi kalau dipikir kenapa harus susah payah menjelaskan.
"Bodo amat," jawab Kiara yang pergi begitu saja.
☁️☁️☁️
Dimas mengambil makanan dan langsung pergi ke dekat tendanya. Meninggalkan Siska yang tidak tahu kenapa selalu mengikutinya. Oke ada banyak yang mengatakan Siska suka padanya. Tapi dia risih diikuti terus.
Sambil marah-marah Dimas berusaha menghabiskan makanannya. Di samping, Angga cuma bisa pasang kuping tebal-tebal untuk dengar semua celaan Dimas. "Lo ngapain pake bilang gitu ke si Kiara tadi?"
"Kenapa?" tanya Dimas. "Dia emang pacaran terus."
"Yaa emang masalahnya dimana? hak dia men."
Dimas mengerjapkan mata, lalu mengacak rambut kesal. Dia juga bingung kenapa bisa sekacau ini. Kenapa harus mau tau urusan Kiara, kenapa harus khawatir pada cewek itu. Kenapa dan kenapa, cuma itu yang ada di kepalanya.
"Lo kayaknya bener-bener suka sama dia Dim," kata Angga.
"Suka?" tanya Dimas. Lama dia terdiam dan memikirkan pertanyaan yang menohoknya itu. Suka, entahlah dia hanya senang membuat Kiara kesal. "Ck pinjem hp lo Ngga. Mau nelepon si galak."
"Mau curhat ya?" tanya Angga.
Dimas memutar bola matanya. "Mau minta duit! udah mana hp lo, banyak nanya."
"Galaknyaa," kekeh Angga.
Kalau sedang bingung begini, dia harus langsung bertanya pada kakak perempuannya. Meski sering bertengkar, tapi dia selalu butuh saran dari si galak itu. Kalau dengan bunda pasti ujung-ujungnya selalu diledek.
Dimas mengecek sinyal di ponsel Angga. Tidak bagus, sama seperti miliknya. Baterai juga sudah hampir habis. Kalau begini rasanya dia tidak sabar untuk pulang ke rumah. Benar dugaannya kalau acara ini sama sekali tidak menarik.
"Lo lagi."
Suara itu membuat Dimas menoleh ke belakang. Dia memutar bolamatanya melihat Adrian datang sambil membawa beberapa kayu. Jujur saja dia tidak punya urusan dengan orang ini. Hanya kenal nama, itu pun dari Kiara.
"Gimana tadi? udah liat gue sama Kiara?" tanya Adrian dengan senyum sumringah. Berbanding terbalik dengan wajah kesal Dimas.
"Lo sama Kia bukan urusan gue," jawab Dimas sambil kembali mencari sinyal. Kepalanya mendongak, apa harus naik ke atas pohon. Kalau sudah capek naik tapi sinyal tetap tidak ada bagaimana.
Di belakang Dimas, Adrian masih berdiri dengan santai. Melipat tangan sambil bersandar pada pohon. Terlihat sangat menyebalkan, kalau tidak memikirkan Kiara sudah dia hajar wajah itu. Sekalian untuk balas dendam semalam.
"Kiara mau lo jauh-jauh dari dia," kata Adrian lagi.
"Oh," jawab Dimas. Akhirnya dia menoleh. "Bilang sama dia, ngomong langsung. Gue nggak mau dari kurir kayak lo."
Adrian mendengus kesal dan mendekat pada Dimas. Matanya tajam menusuk, tapi Dimas tetap jadi si tengil tanpa takut. Bukannya menjauh, Dimas justru berdiri menantang. "Apa tujuan lo deketin Kiara?"
"Urusan gue," jawab Dimas.
"Kurang jelas gue sama Kiara? perlu gue cium dia di depan lo?" kata Adrian.
Dimas bersiul pelan. Tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. "Terserah, itung-itung gue liat live action. Itu juga kalau Kia mau."
Kembali, Adrian memukul wajah Dimas. Tapi kali ini Dimas tidak membalas sama sekali. Dia sudah cukup puas membuat orang di hadapannya ini kesal. Kalau boleh jujur, orang ini bukan lawan tandingnya. Dia tidak suka melawan orang yang tidak sepadan.
"Kiara benci sama lo!"
Dimas terdiam mendengar kata-kata Adrian. Bugg tepat mengenai pipi Dimas sampai membuatnya jatuh tersungkur. "Dimas?!" teriak Kiara.
Pandangan Dimas memburam, dia melihat Kiara berusaha berlari kemari. Entah menangis atau apa. Belum siap untuk membalas, perutnya sudah terkena tendangan kencang dari Adrian. Kali ini dia benar-benar marah. Dimas bangkit dan ingin memukul Adrian.
"Dimas Adrian stop!" teriak Kiara lagi.
Tangan Dimas terhenti melihat Kiara ingin menangis. Dia langsung menurunkan tangannya. Tidak mau membuat cewek ini sedih. Mungkin Kiara terlalu khawatir pada Adrian.
Buggg. Adrian memukul Dimas. "Mundur Ra! gue mau hajar ini anak. Dia udah bikin lo kesel tiap hari. Nggak sopan, seenaknya."
Kiara terperengah, dia langsung terduduk membantu Dimas yang terjatuh. Melihat miris pada wajah Dimas yang babak belur. "Stop Adrian! lo kenapa sih?!" teriaknya.
"Jangan bantuin dia Ra, gue udah cukup sabar," jawab Adrian.
Amarah Kiara memuncak, dia tidak suka kekerasan. Apalagi untuk alasan yang bahkan tidak jelas. Untuk apa baku hantam, ingin menunjukan diri kalau dirinya jagoan. "Adrian, kalau lo nggak berhenti gue nggak mau ngomong sama lo lagi!"
Mendengar perkataan Kiara, Adrian langsung diam. Menatap tidak percaya, bagaimana bisa Kiara membela Dimas yang selalu membuat masalah. "Ra, kenapa lo bela dia segitunya?"
Kiara menggelengkan kepala. "Gue nggak suka orang sok jagoan." Tangannya menepuk pelan tangan Dimas. "Dim, lo bisa bangun?"
Dimas mengerang kecil dan mengangguk. Gila saja kelihatan lemah di depan perempuan. Mau ditaruh mana mukanya. Meski harus diakui pukulan tadi membuat pipinya berdenyut. Atau bahkan sudah mengeluarkan darah. Dia terlalu menganggap remeh Adrian.
Di sekitar, orang-orang mulai membentuk lingkaran. Penasaran akan keributan yang tiba-tiba itu. Guru belum ada yang datang kemari. Kalau sampai guru melihat, bisa gawat. Dua orang ini akan terkena masalah.
"Gue nggak abis pikir sama lo," gumam Adrian sebelum berbalik pergi dengan wajah kesal. Benar-benar kesal sampai wajahnya memerah.
Di tempatnya, Kiara hanya bisa menghela napas panjang. Apalagi sekarang, dia sudah cukup lelah. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk tetap biasa saja. Nanti dia akan bicara baik-baik dengan Adrian dan menanyakan maksud perbuatan cowok itu.
☁️☁️☁️
Kiara membantu Dimas, ada Angga juga yang menyiapkan air di wadah. Luna, Sasya dan Mita cuma menonton. Mereka mengerti kalau sekarang kondisinya sedang tidak memungkinkan. Bahkan Kiara saja mengobati Dimas tanpa banyak bicara.
"Lo marah?" tanya Dimas.
Kiara menggelengkan kepala. "Kenapa lo diem aja dipukulin? wajah lo samsak?"
"Hmm?" Dimas meringis kecil dan menggaruk kepalanya sendiri. "Nanti kalau gue bikin dia bonyok lo nya nangis-nangis. Tenang, pacar lo nggak gue hajar."
"Dasar bego," gumam Kiara. "Mulai sekarang lo nggak boleh diem aja. Kalau bisa jangan deket-deket sama Adrian. Ngerti?!"
"Kenapa?" tanya Dimas.
Pertanyaan Kiara membuat keadaan sekitar hening. Angga dan teman-teman Kiara cuma bisa menahan senyum dan memilih untuk menghindar. Membiarkan keduanya bicara. Takut mengganggu.
"Pokoknya lo nggak boleh deket-deket sama Adrian, bilang sama gue kalau dia ganggu lo lagi. Ngerti?" Kiara bicara dengan nada kesal. Dia marah, tapi dia juga ingin menangis melihat luka-luka Dimas. Tolong jangan tanya apa alasannya. Kiara bahkan bingung kenapa bisa sangat khawatir.
"Iya-iya, galak banget Non." Dimas tersenyum meski sudut bibirnya perih. "Kia?"
"Apa?"
"Manggil doang."
Kiara mendengus kesal dan lanjut mengobati luka Dimas. Tangannya dengan hati-hati memberikan obat merah di luka itu. Meski sebenarnya tidak bisa fokus karena salah tingkah. Salahkan Dimas yang terus tersenyum sok manis.
"Kia," panggil Dimas lagi.
"Manggil doang?" tanya Kiara.
Dimas tertawa dan menggelengkan kepala. "Sorry tadi gue bikin lo kesel."
"Kerjaan lo kan emang bikin gue kesel terus. Yaa untung aja gue sabar, kalau nggak gue bisa beruban sebelum waktunya." Kiara mengoceh tidak jelas. Tapi Dimas tertawa. Ekspresi Kiara yang cemberut lalu marah-marah itu lucu.
"Tau nggak?"
"Nggak, lo kan belom ngomong," jawab Kiara.
"Yeee makanya diem dulu," Dimas menghentikan tangan Kiara yang masih sibuk mengobati luka. Mata cowok itu lembut, membuat yang ditatap jadi makin salah tingkah. Demi naga-naga di film sinema salah satu stasiun televisi, Kiara lebih suka kerlingan jail dari Dimas daripada ditatap begitu. Membuat nafasnya sulit, paru-parunya seperti kekurangan oksigen, dan jantungnya memompa dengan cepat.
Kiara merutuk dalam hati, apa jangan-jangan dia punya masalah terhadap jantungnya. Atau diam-diam dia punya penyakit menyeramkan. Tangannya menyentuh dada. "Bentar Dim, kayaknya gue nggak enak badan."
"Hah?" tanya Dimas bingung. "Kenapa? kaki lo sakit lagi?"
Kiara menggelengkan kepala. Dengan tampang yang asli bodoh banget, kepalanya memiring. "Mungkin nggak sih anak remaja punya penyakit jantung?"
"Hmm nggak tau, jantung lo sakit?" tanya Dimas panik.
Sumpah, obrolan ini makin absurd. Kiara menggelengkan kepala dan langsung berdeham pelan menampilkan kembali wajah kalemnya. "Tadi lo mau ngomong apa?"
Dimas mau tidak mau kembali tersenyum. Meski faktanya seluruh badannya terasa remuk. Sialan memang si Adrian itu. "Lo itu orang paling pelit senyum yang pernah gue kenal."
"Yaa lagiang ngapain juga gue senyum-senyum. Lo pikir gue gila?" ketus Kiara dengan wajah kesal.
"Nggak senyum-senyum juga bego," balas Dimas. Jelas saja tangannya langsung dihadiahi pukulan yang kencang. Gila, selain super jutek Kiara ini juga suka menyiksa. "Galak amat sih Kia."
"Yaa lagian lo ngatain gue bego, nggak sopan! gue kan lebih tua dari lo!" Kiara memberikan kotak obat pada Dimas dan langsung berdiri. "Obatin sendiri! darah tinggi gue kalo deket sama lo."
"Buset tega amat ni bocah." Dimas cemberut kesal sambil menatap Kiara yang jalan dengan kaki yang masih terpuncang. Senyumnya kembali mengembang melihat Kiara menoleh dengan wajah kesal. Tangannya terangkat tapi Kiara justru melengos pergi begitu saja.
☁️☁️☁️
"Kalau udah gini gue nggak percaya lo sama si Kiara nggak ada apa-apa," gumam Angga.
Anak itu datang tak dijemput, disuruh pulang pun susah banget. Intinya sangat menyusahkan. Dimas cuek saja dan fokus mengobati lukanya sendiri. Setelah dicampakan oleh cewek mungil yang mengaku lebih tua darinya tadi. Oh sial, sekarang dia terdengar sangat menyedihkan.
"Jadi sekarang beneran punya gebetan?" tanya Angga lagi.
"Bacot," balas Dimas. Tapi lama-lama mulutnya gatal juga untuk bertanya. "Woy, gimana lo tau kalau lo suka sama si Jasmin waktu itu?"
Angga menahan tawanya melihat sohib seperjuangan yang emang tolol banget masalah cewek ini. Tampangnya boleh ganteng, tapi kalau sudah menyangkut perempuan, jangan berharap banyak pada Dimas. Asli ini orang buta banget masalah pacaran.
"Emm gimana ya?" gumam Angga sambil berpikir. Menjelaskan tentang jatuh cinta itu adalah yang paling menggelikan untuknya. "Tau-tau aja gue mau deket terus sama doi. Mau lindungin doi. Mau-" ucapannya terputus. "Ohh shit man! gue geli. Mending lo tanya langsung sama pakar cinta."
"Siapa?" tanya Dimas.
"Yaa Kangmas Danu yang dangdutnya kebangetan." Angga tersenyum pongah dan Dimas memutar bolamata. Itu sih sama saja merelakan diri untuk jadi bahan candaan sampai kuping panas. Belum lagi pasti petuahnya yang panjang tidak akan ada artinya. Jangankan berfaedah, yang ada bikin laper saking lamanya ceramah.
Intinya Dimas tidak mendapat jawaban apapun. Untuk semua kekacauan selama beberapa hari ini, kekesalan yang tidak jelas, serta kekhawatiran yang menggebu, dia tahu ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri. Ini belum pernah dia rasakan.
Angga menonjok pelas bahu Dimas. "Setiap orang punya cerita masing-masing. Gue sayang doi gue dengan cara gue. Lo pun pasti begitu. Gue rasa lo nggak bego-bego amat lah."
Dimas mendengus pelan dan meringis kecil karena pipinya terasa sakit. "Sialan!"
"Kalau sampe rela babak belur gini si nggak usah ditanya," kata Angga dengan tawa geli. Baguslah jadi tiap malam minggu dia bisa ngapel tanpa gangguan si kunyuk ini. Pakai acara memelas bilang tidak setia kawan karena mengabaikan ajakan main game sampai pagi.
"Menurut lo gimana?" tanya Dimas. "Ada peluang?"
Angga langsung mengerti maksud Dimas. "Hemm rumit, umur dia lebih tua. Lo tau sendiri lah omongan anak-anak kayak gimana. Tapi persetan sama omongan orang, toh yang jalanin lo berdua. Masalah utamanya itu saingan lo lumayan."
"Si Adrian?" Dimas mendengus kesal.
"Siapa lagi?" tanya Angga disusul tawanya melihat wajah super bete dari Dimas. Oh belum mulai pergerakan sudah patah hati.
☁️☁️☁️
Kiara menguncir rambut panjangnya dengan rapih. Hari ini akhirnya mereka akan pulang. Tidak sabar rasanya bertemu dengan kasur yang empuk. AC kamar yang jelas lebih nyaman. Ruangan terang benerang tanpa nyamuk yang besar-besar.
"Lo tau nggak sih Ra? muka lo tuh happynya ngalahin orang yang abis menang lotre!" Sasya yang duduk mengemasi barang-barangnya jadi berkomentar melihat Kaira yang sejak tadi tersenyum.
Kiara terkekeh kecil dan menoleh pada sohibnya. "Gue kangen masakan rumah yang layak makan. Di sini gue makan mie terus. Bukannya perbaikan gizi bisa-bisa jadi busung lapar."
Mita dan Luna sama-sama tertawa. Antara geli dan setuju pastinya. Yaa selama beberapa ini kan mereka harus makan dengan mie bagus kalau ada tempe dan tahu. Nah kalau ada suiran ayam itu artinya anugrah terindah. Rezeki yang luar biasa.
"Ehh emang gue tuh pelit senyum ya?" tanya Kiara tiba-tiba.
"Hah? emm agak sih hehe," jawab Luna.
Mita menoleh dengan wajah penasaran. "Kenapa Ra? Dimas bilang gitu ke lo?"
Kiara langsung gelagapan mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja pipinya sudah memanas dan lagi-lagi jantungnya berderak cepat. Dia duduk menghadap teman-temannya dengan wajah serius. Ini sangat krusial.
"Gue rasa gue harus periksa ke spesialin jantung," kata Kiara serius.
Mita mengerutkan keningnya. "Kenapa? Lo ngerasa sesek?"
Kiara menggelengkan kepala dan merasakan detak jantungnya. "Dari semalem jantung gue detaknya berasa cepet! apa jangan-jangan ada masalah yaa? tapi kan gue masih muda."
"Masih muda dan bego luar biasa," jawab Sasya.
Jelas ledekan itu membuat Kiara cemberut kesal. "Ko bego si? kan gue nanya serius?!"
"Gue tanya, semalem kenapa lo bisa deg-degan?" mata Sasya tampak serius.
Kiara memikirkan kejadian semalam. Saat mata itu menyorot lembut. Membuat rasa nyaman yang dia tidak mengerti. Lalu tiba-tiba saja jantungnya berdebar kencang. Matanya melebar oh astaga apa kekesalannya pada cowok itu sudah level kronis sampai mempengaruhi kerja jantungnya.
"Jadi gara-gara gue terlalu kesel sama Dimas? apa sekarang gue punya darah tinggi?" tanya Kiara panik.
Sekarang ketiga sahabatnya ini seperti ingin menelan bulat-bulat Kiara. Sinyal bahaya itu langsung direspon dengan kecepatan langkah Kiara untuk keluar dari tenda. Mungkin ada yang salah dengan ucapannya tadi.
"Duh!" ringisnya saat menabrak seseorang. Kiara mendongak siap untuk minta maaf tapi wajahnya langsung berubah cemberut melihat Dimas yang kembali cengar cengir menyebalkan.
"Segitu nggak sabarnya ketemu gue," kata Dimas dengan senyum menyebalkan.
"Hoeekkk," balas Kiara. "Ngapain sih lo pagi-pagi di depan tenda cewek? mau ngintip yaa?!"
"Sembarangan! gini-gini gue suci kalian penuh dosa," jawab Dimas yang wajahnya tampak sakit hati tapi tentu saja langsung berubah lagi. Matanya menatap ke arah belakang Kiara. Dia tersenyum menyapa teman-teman cewek itu. "Pinjem dia bentar!"
"Ehh apaan nih narik-narik. Lo kira gue kambing?" omel Kiara.
Dimas menoleh sebentar. "Oh jelas nggak, kambing kebagusan."
"Sialan," balas Kiara.
"Ihh Kia ko ngomongnya kasar? mana coba sifat manisnya?" balas Dimas setelah mereka sampai di bawah pohon besar. "Nggak boleh ngomong kasar, nggak cocok sama muka Kia."
Kiara makin cemberut, tapi dia juga sadar kalau dia jadi agak bar-bar. Dia kan lebih suka bersikap tenang, diam dan berdiri anggun. Yaa meskipun nggak anggun-anggun amat. "Gara-gara lo tau! mau apa sih Dim?"
Dimas mengulurkan tangannya. "Thanks udah ngobatin luka gue."
"Hah?" tanya Kiara. Dia mengerutkan keningnya dan meneliti tangan itu dengan saksama. Jangan-jangan ada jebakan mengingat cowok ini kan ajaib banget. Kalau ada permen karet bekas yang menempel bagaimana.
"Astagaa Kia, sumpah gue cuma mau bilang thanks."
Kiara membalas uluran tangan itu tapi saat ingin melepaskan jabat tangan itu, Dimas menahannya. "Apaan si?"
"Nanti satu bis sama gue!" perintah Dimas.
"Ogah!"
"Oh??? oke deh," hanya itu tanggapan Dimas. Senyumnya mengembang sempurna. Membuat lesum di kedua pipinya terlihat. "Bye Kia, sampai ketemu nanti di bis."
Kiara membuka mulutnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Dimas yang berjalan mundur sambil melambarkan tangan dan berbalik pergi menuju teman-teman cowok itu. Tadi kan dia bilang ogah.
Saat menoleh dia mendapati Adrian sedang menatapnya dengan ekspresi marah. Kiara menghela napas panjang. Dia belum sempat bicara lagi dengan cowok itu. Semua masih belum terkendali. Mungkin nanti saja, dan dia harap Adrian pun tidak mengambil tindakan yang semena-mena lagi.
☁️☁️☁️
Semua tenda sudah dibereskan. Barang-barang pun sudah diangkut ke bus. Kiara berjalan dengan teman-temannya. Ada Nazwa yang sekarang sudah kembali akrab bahkan saat ini mereka menjadi lebih dekat.
"Adrian marah sama lo?" tanya Nazwa.
Kiara menganggukan kepalanya. Sepertinya memang begitu, mungkin Adrian kecewa karena dia justru membela Dimas. Kalau dipikir-pikir harusnya dia senang dong kalau cowok tengil itu dihajar. Kenapa dia justru membela Dimas dan merasa marah sekali pada Adrian. Apa jiwa kepahlawanan yang tidak suka melihat orang ditindas itu sedang menyeruak.
"Gue takut mereka bakal ribut lagi," bisik Nazwa.
Kiara terdiam, iya benar juga. Bagaimana kalau nanti Adrian menghajar Dimas lagi. Ada rasa takut di hati Kiara. Ohh benar-benar jiwa kepahlawanan yang tidak tahu waktu. Kenapa munculnya harus pada Dimas yang super menyebalkan.
"Terus menurut lo gue harus gimana?" tanya Kiara.
Sasya, Luna dan Mita jadi tertarik mendengar obrolan bisik-bisik itu. Mereka merapatkan tubuh. Mendengarkan dengan saksama jawaban dari Nazwa yang mengenal Adrian lebih dari Kiara dan yang lainnya.
"Saran gue jauhin Dimas," jawab Nazwa yakin. "Itu kalau lo mau Dimas nggak dihajar Adrian. Karna sekarang Adrian lagi kacau, dia nggak bisa berpikir jernih."
Kiara mengerjapkan mata, lagi-lagi dia merasakan perasaan yang asing. Harusnya dia senang kan. Iya kan harusnya begitu. Tapi kenapa menjauh dari Dimas terasa berat. "Ohh oke, gue rasa lo bener."
"Raa," bisik Luna.
"Nazwa bener Lun, lagian Dimas kan cuma iseng. Gue rasa ngejauh dari gue bukan masalah." Kiara berjalan duluan untuk menyembunyikan wajah sedihnya. Jelas saja, apa penjelasan yang tepat untuk ekspresi sedihnya saat ini. Karena Dimas? oh yang benar saja.
Kiara masuk ke dalam bus. Para pengurus OSIS sudah duduk di kursi masing-masing. Mengambil posisi untuk siap-siap tidur karena kelelahan. Maklum banyak sekali kegiatan selama beberapa hari ini.
Posisi dekat jendela menjadi pilihan Kiara saat ini. Dia membutuhkan suasana untuk menenangkan diri. Matanya menatap keluar jendela. Ada beberapa murid yang memilih nongkrong di luar menunggu supir menaiki bus.
"Kia," bisik suara yang membuat Kiara menoleh kaget.
"Elo???!!!" teriak Kiara karena yakin beberapa menit lalu masih Sasya yang menduduki kursi di sampingnya ini. Kenapa sekarang berganti dengan Dimas.
"Biasa aja dong Ki, girang amat," jawab Dimas.
"Kenapa lo disini?" bisik Kiara padahal tidak berguna karena sekarang mereka menjadi pusat perhatian.
"Kan gue bilang sampai ketemu di bus. Lo nggak mau ke bus gue berarti gue yang ke sini. Clear?" jawab Dimas dengan santai. Kiara membuka mulutnya masih kaget. Dimas ini benar-benar berani mati.
☁️☁️☁️
See you in the next chapter ❤❤❤
KIARA
DIMAS
ADRIAN
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro