BAB 15 - Scary Night
Holaaa malem minggu nanti kalian sibuk apa nih??
Hehe Kiara dkk bakal temenin malem minggu kalian. Selamat berbaper ria ^^
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys 😘😘😘
☁️☁️☁️
Pagi-pagi sekali semua kembali sibuk. Kiara benar-benar tidak enak badan. Hidungnya memerah, kadang berair. Dia hanya duduk di depan tenda sambil terus mengusap hidungnya dengan tissu. Hachimm.
Ohh sakit diwaktu yang tidak tepat. Kalau di rumah dia bisa bermanja-manja pada mamanya. Minta dibelikan ini itu pada Lion. Atau setidaknya tiduran saja di ranjang.
"Mau dibuatin jahe anget?" tanya Mita.
"Nggak usah deh, gue istirahat bentar aja," jawab Kiara.
Mita memeriksa suhu tubuh Kiara, demam. Padahal hari ini ada games dan nanti malam mencari jejak. Tidak tahu anak ini bisa ikut atau tidak. "Lo bawa obat kan? nanti abis makan langsung minum obat."
"Hemm, thanks Mit."
"Ck lo tuh yaa, bisa ngomel Bang Lion kalau tau lo tumbang begini," jawab Mita.
Kiara tertawa sambil kembali mengusap hidungnya. Mau bagaimana lagi, dia memang tidak kuat. Masih untung tidak sampai mimisan. Biasanya kalau terlalu lelah dia akan mimisan.
"Kita udah dibagi untuk jadi panitia di masing-masing games," kata Putra. "Nah Kiara karena lo lagi nggak enak badan, lo jadi panitia games di sini aja. Nggak usah ke pantai. Lo bisa di sini sama Nazwa dan Luna."
Kiara melebarkan matanya, dia melirik Nazwa. Aduh Putra ini, apa tidak ada nama lain selain Nazwa. Cowok itu kan tahu kalau Nazwa sensi padanya. Kalau sampai nanti ribut, dia sudah tidak punya tenaga.
Setelah semua siap, Kiara langsung ke tempat dimana dia harus menunggu bersama Luna dan Nazwa. Yaa untung masih ada Luna jadi mereka tidak terlalu canggung. "Ini kita siapin dulu aja ya."
"Sini gue bantu," kata Nazwa. "Lo duduk aja Ra, badan lo lagi nggak enak banget kan?"
Kiara melirik Luna dengan pandangan bertanya. Dia kira, Nazwa tidak mau bicara padanya. "Thanks Naz, nggak kok gue masih kuat."
Mereka bertiga menyiapkan perlengkapan games. Setelah itu baru beberapa kelompok bisa kemari dan bermain games untuk mendapat satu point. Bagi kelompok yang berhasil mengumpulkan banyak point, akan mendapat hadiah dari panitia.
"Lo udah nggak marah sama gue?" tanya Kiara ragu.
"Nggak, kalau dipikir-pikir namanya perasaan nggak bisa kan dipaksa? gue sekarang ngerti," jawab Nazwa. "Tapi lo beneran nggak ada rasa sama Adrian gitu? sama sekali? lo kan selalu sama Adrian sebelum ini."
Kiara diam, memikirkan perasaannya. "Nggak sih, yaa gue nyaman sama dia. Lo tau kan? dia itu asik, suka bercanda. Tapi kalau perasaan kayak yang gue rasain ke Kak Kahfi itu sama sekali nggak ada."
"Adrian sayang banget sama lo Ra," kata Nazwa pelan.
"Kenapa lo bilang gitu ke gue?"
"Gue nggak bisa maksa dia buat terus pacaran sama gue. Dari awal dia emang nggak pernah suka sama gue, meskipun dia emang baik banget," jawab Nazwa sambil tersenyum tipis. Tangannya terulur pada Kiara. "Sorry kemarin gue musuhin lo, gue juga nggak mau musuhan lama-lama."
"Naz.." Kiara tersenyum lebar dan menjabat tangan Nazwa. "Tenang aja, gue nggak marah sama lo. Malah gue yang minta maaf, meskipun gue nggak niat begitu tapi gue tau perasaan lo gimana. Percaya deh, gue juga pernah ngerasain itu."
Games sudah dimulai, Kiara duduk di bawah pohon karena sudah kuat untuk berdiri. Dia membantu menilai permainan kekompakan tiap kelompok. Sampai akhirnya ada kelompok Dimas yang lagi-lagi membuat Kiara cemberut kesal. Masih dengan sisa-sisa kekesalannya semalam.
Dimas sekelompok dengan Siska, Angga dan gerombolannya. Yaa ini memang bebas memikih asal ada sepuluh orang. Di kelompok itu juga ada beberapa cewek, mungkin teman Siska.
"Ciye dari kemaren nempel terus, yang abis jadian sih beda," ledek Luna.
Dimas tertawa dan merangkul bahu Siska. "Biar dunia berasa milik berdua, terus yang lain cuma numpang!" sindirnya pada Kiara yang kemarin marah-marah sendiri di tenda.
Kiara mendengus geli dan justru mencatat penilaian. Tidak peduli dengan sindiran Dimas tadi. "Eh Angga, jaket lo masih di tenda nanti gue balikin yaa. Thanks."
"Sipp Kak, disimpen dulu juga nggak apa-apa." Angga tersenyum lebar. "Wajah lo pucet amat Kak, nggak istirahat aja?"
Kiara tersenyum tipis, mungkin anak satu ini sudah tobat. "Ini gue juga cuma duduk." Senyum itu langsung hilang waktu dia harus menoleh pada Dimas. "Siapa ketuanya?"
Dimas mengangkat tangan.
"Kalau gitu cepet mulai," jawab Kiara.
Dimas ingin membalas suara ketus itu, tapi tangannya ditahan Luna dan Nazwa. "Jangan sekarang deh, si Kiara lagi nggak bisa disenggol." Luna itu tahu banget, kalau sedang sakit begini Kiara mudah sekali marah dan menangis. Jadi jangan sampai ada keributan karena masih ada banyak acara.
"Siska, lo duduk aja di sana. Masih sakit kan?" tanya Dimas.
"Nggak, mau main games aja sama lo. Kan daritadi udah istirahat," jawab Siska semangat.
Kiara menggelengkan kepala, heran. Wajah segar begitu dimana letak sakitnya. Mungkin yang sakit itu jari-jarinya. Atau mungkin otaknya yang sakit sampai begitunya cari perhatian. Dimas juga, mau saja dibodohi.
Kelompok Dimas mulai bermain games. Mereka tampak serius, dan beberapa kali tertawa karena tepung berantakan ke wajah masing-masing. Kecuali Dimas yang masih cemberut kesal.
"Kiara," panggil Kahfi yang baru saja datang.
"Yaa?" tanya Kiara sambil mendongak.
Kahfi tersenyum dan duduk di samping Kiara. "Minum obat dulu nih tadi gue dititipin sama Sasya, lo tadi udah makan?"
"Hemm udah Kak," jawab Kiara sambil menerima obat dan minuman itu. "Makasih yaa Kak."
"Istirahat kalau nggak kuat, jangan dipaksain," kata Kahfi lagi.
Kiara menganggukan kepala. "Sipp! Makasih."
Kali ini dia benar-benar tidak canggung dan biasa saja menghadapi Kahfi. Iya biasa, seperti menanggapi yang lainnya. Sesuai dengan perkataannya kemarin.
"Dim," panggil Luna pelan.
Dimas menoleh dengan alis terangkat.
"Itu cowok yang Kiara suka, kece kan?" tanya Luna.
Dimas menoleh, memperhatikan penampilan cowok itu. Kemudian dia mencibir pelan. "Masih kerenan gue kemana-mana." Luna tertawa, dan Nazwa geleng-geleng kepala. Tingkat kenarsisannya sudah tidak diragukan.
"Yaudah gue balik ke sana." Kahfi memandang Kiara sebentar dan berbalik pergi.
"Apa lo liat-liat?!" tanya Kiara galak pada Dimas. Benar-benar berbanding terbalik dengan senyum ramah yang diberikannya pada Kahfi tadi.
Angga dan teman-teman Dimas lainnya cuma tertawa. Kali ini mereka tidak ikutan karena tidak tega melihat wajah Kiara yang pucat. Sudah cukup kemarin menjaili kakak kelasnya itu.
☁️☁️☁️
"Beneran mau ikut?" tanya Sasya ragu melihat Kiara belum sembuh.
Kiara merapatkan jaketnya dan mengikat tali sepatu dengan kencang. Senyumnya mengembang. "Yakin, gue nggak mau ditinggal di tenda sendiri."
"Yaa ampun, gue temenin deh," kata Luna.
"Issh jangan, gue tau kalau lo pada nggak sabar buat ni acara kan?"
Akhirnya setelah berhasil meyakinkan sahabat-sahabatnya, Kiara bisa ikut mencari jejak. Tentunya mereka sekelompok. Kiara berjalan sambil memperhatikan sekitar. Gelap sekali, hanya ada senter untuk penerangan.
Benar-benar bukan hal yang dia sukai. Oke kalau ada hal-hal aneh apapun yang muncul, dia akan langsung melempar apa saja yang ada di dekatnya. Siapa tahu ada yang jail dan menyamar untuk menakut-nakuti.
Kiara mengusap hidungnya dengan tissu lagi. "Gue bilang juga apa, jangan cari jejak malem-malem. Kalau gini kan makin susah ngumpulin benderanya."
"Hehe tapi seru juga sih," jawab Mita sambil menyenter setiap pohon memastikan mereka masih ada di jalur yang benar.
Di sekitar hanya ada suara langkah. Kelompok yang lain sudah ada di depan, karena kelompok Kiara memang yang terakhir berangkat. "Duh!" keluhnya karena tersandung tali sepatu.
"Ck ada aja lagi." Kiara membenarkan tali sepatunya. Saat mendongak, rombongannya sudah tidak ada. Padahal tadi jaraknya tidak jauh meskipun memang dia berjalan paling belakang.
Buru-buru Kiara menyalakan senternya. Berlari menyusul dengan panik. Sumpah, dia takut sekali. Dia tidak suka gelap, rasanya benar-benar mencekam. "Syaa.. Luna, Mitaaa!" panggilnya.
Setelah berlari jauh kelompoknya tidak juga ditemukan. Dia yakin betul harusnya mereka belum jauh. Kecuali kalau dia salah belok. Astaga saking paniknya dia sampai tidak melihat tanda. Ada berapa belokan yang tadi dia lewati.
Kiara makin panik, dia mulai mengatur napasnya dan kembali berlari sambil memanggil teman-temannya. Akar-akar pohon yang besar membuatnya terjatuh beberapa kali. Oh benar-benar buruk sekali.
Tubuhnya sudah sakit semua, ditambah kaki yang terluka. Sekarang pun dia masih harus berlari. Kiara kembali tersandung, kali ini wajahnya membentur akar pohon.
"Aww," ringisnya. Kiara mencoba bangun, tapi tidak bisa. Dia kehabisan tenaga. "Hiks, Luna, Sasya, Mita. Tolongin gue."
Suara-suara di sekitarnya makin membuatnya takut. Kiara mencoba untuk duduk. Entah seberapa kacau penampilannya sekarang. Sambil menangis, dia memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya. Merapalkan semua doa agar bisa tenang.
"Bang Lion," panggilnya pelan. "Kiara takut."
☁️☁️☁️
Sebagian murid sudah bersantai di dekat api unggun. Ada yang berbaring di rumput karena lelah. Ada juga yang memilih untuk makan cemilan karena lapar habis berjalan lumayan jauh sedangkan makan malam masih harus menunggu seluruh kelompok selesai. Tapi belum semua kelompok menyelesaikan tugasnya.
Dimas memetik gitar milik Danu. Sambil bernyanyi santai, ditonton beberapa murid cewek yang menobatkan diri sebagai penggemarnya. Suara Dimas memang bagus, suara khas yang berat dan membuat para cewek makin histeris.
Makin lama yang menonton Dimas makin banyak. Padahal cuma iseng, bernyanyi pun sedikit. Lebih banyak bercanda dengan teman-temannya.
"Perut gue laper banget asli," keluh Dirga.
"Tau nih, lama amat kelompok lain," kata Danu.
Angga menggaruk kepalanya. "Asli yaa sinyal di sini parah banget!" Ternyata anak ini lagi sibuk mencari sinyal. Pastinya untuk mengabari doi yang pdkt lama tapi enggak jadi-jadi itu.
Cakra menghampiri Dimas dan duduk di samping cowok itu. Tanpa melihat ada banyak orang di sini, cowok itu menyalakan rokok. Toh guru-guru sedang sibuk sekarang. "Rokok nggak lo?"
"Lo aja," jawab Dimas yang memang bukan pecandu rokok. Hanya coba-coba saja kalau sedang kumpul. "Kagak takut kena sita?"
"Nggak lah, lagi pada sibuk mereka," jawab Cakra santai.
"Sibuk apaan?" tanya Danu.
"Si Kiara ilang katanya," jawab Cakra.
Dimas mengerutkan keningnya sebentar, sampai dia sadar kata-kata Cakra. "Apa?!"
Cakra tersedak asap rokok karena kaget. "Apaan sih lo bikin kaget!" Omelnya setelah batuknya mereda.
Dimas bukannya menjawab justru langsung pergi dan memberikan gitar itu pada Cakra. Kiara hilang, astaga memangnya berapa umur cewek itu sampai bisa hilang. Langkahnya cepat menghampiri lingkaran itu. Pantas tadi ada keributan.
"Coba tenang dulu," kata Pak Bambang.
Ketiga teman Kiara kelihatan benar-benar cemas. "Tadi kita kira Kiara balik ke tenda Pak soalnya dia nggak enak badan, tapi ternyata enggak."
"Terakhir kalian pisah dimana?" tanya Pak Bambang lagi.
Mita akhirnya menunjukan jalannya. Sedangkan Sasya dan Luna masih menangis dan berusaha ditenangkan. Dimas langsung menghampiri kedua orang itu. "Kenapa dia bisa ilang?"
"Gue nggak tau Dim," isak Sasya.
"Syaa! Kiara ilang?" tanya Adrian dengan napas berkejaran. "Posisi lo dimana terakhir?"
"Pita ke empat," kata Luna.
"Shit!" Adrian mengacak rambutnya sendiri.
Dimas langsung berbalik untuk mencari tapi ditahan Adrian. "Jangan buat masalah, biar gue yang cari dia," kata Adrian.
"Lo cari dia, gue cari dia. Makin banyak yang cari dia, makin cepet dia ditemuin." Dimas malas berdebat. Dia ingin buru-buru mencari cewek itu.
"Lo bisa apa selain bikin dia marah?" tanya Adrian.
Dimas menyipitkan matanya. Kalau saja sekarang dia sedang tidak buru-buru. "Lo cuma buang-buang waktu. Kita nggak tau Kiara disana gimana."
"Bener kata Dimas, Adrian jangan ribut sekarang. Mending kalian buru-buru ikut cari dia, kasian dia lagi sakit." Luna membuka suara. "Kak Kahfi juga udah duluan cari dia."
Dimas tersenyum sinis dan langsung pergi karena malas membuang waktu. Dia berlari sambil memanggil nama Kiara keras-keras. Berharap cewek itu menjawab panggilannya. Hutan ini cukup luas. Mencari saat siang saja sulit, apalagi malam.
Pencahayaan minim, jalurnya yang menyulitkan untuk berlari. Dimas berkali-kali terkena ranting pohon dan jatuh. "Sialan!" desisnya kesal.
Malam makin larut, membuat kepanikannya makin bertambah. Perempuan, di tengah hutan, malam-malam dan sendirian. "Kiaraa!"
Kepalanya terbentur pohon. "Arrggh."
Dimas mengusap kepalanya sendiri. Ingin memaki keras-keras. Dia juga sudah mulai kelelahan karena sejak tadi berlari. Napasnya juga sudah tersengal. Apa mungkin Adrian atau siapa lah namanya sudah menemukan Kiara.
Kali ini Dimas memelankan larinya. Sampai samar-samar dia mendengar suara menangis. Langkah kakinya memelan. Dimas mengarahkan senternya ke arah sumber suara.
"Kia?" panggilnya.
Cewek yang sejak tadi menangis sambil memeluk lutut itu mendongak. Matanya sembab menatap cahaya yang mengarah padanya. "Dimas?"
Dimas menghela napas lega dan tersenyum. Dia langsung menghampiri cewek itu. "Lo nggak apa-apa?"
"Lo liat gue gimana?" omel Kiara sambil terisak.
Dimas terkekeh geli dan duduk di samping Kiara. Mengusap puncak kepala cewek itu. "Please lain kali sekesel apapun lo sama gue, lo harus jawab kalau gue panggil."
Kiara menangis dan menutup wajahnya dengan tangan. "Gue takut banget Dim!"
Dimas memeluk Kiara, mencoba menenangkan cewek ini. Dia juga takut tadi, benar-benar khawatir. Untung dia berhasil menemukan cewek ini. "Udah nggak usah nangis, tumben cengeng."
"Bodo amat," isaknya. Kiara melepaskan pelukannya. Tangannya masih gemetar. Wajahnya juga memerah karena terus menangis. Ditambah mata sembab dan luka-luka di wajah itu.
"Kia," panggil Dimas.
"Hemm?"
Dimas tersenyum, tumben responnya tidak galak. Dia menunjuk pipi Kiara yang memar. "Wajah lo luka-luka, jadi keren Ki kayak tatto."
"Jahat banget sih Dim!" rengek Kiara.
Dimas tertawa geli dan menepuk-nepuk kepala Kiara. Seperti menenangkan anak kecil yang menangis minta jajan. "Udah nggak usah nangis, kan udah ada gue."
"Dim, kenapa lo bisa nemuin gue?" tanya Kiara.
"Sinyal," jawab Dimas. Dia menyentuh kepala Kiara. "Dari sini, gue bisa denger kalau si galak lagi manggil-manggil gue. Lo lagi butuh bantuan. Lagi butuh temen buat bentuk tatto wajah."
Kiara jadi tersenyum mendengar lelucon jayus dari Dimas. Dia melepaskan tangan Dimas dari kepalanya. "Enak aja, gue nggak manggil lo tau."
"Nahh gitu! senyum!" Dimas menghela napas lega. "Sekarang anak-anak lagi pada nyari lo Kia. Temen-temen lo juga, mereka khawatir." Tangannya terulur pada Kiara. "Ayo balik, kita cari jalan sama-sama."
Kiara menatap tangan itu, senyum yang tadi sudah mengembang kini hilang lagi. Matanya berkaca-kaca, dia menggelengkan kepala. Bahkan berdiri saja dia tidak bisa. Bagaimana mau berjalan. "Dim, ini udah malem banget. Lo cari jalan balik aja sendiri. Gue di sini sendiri nggak apa-apa."
"Kenapa?" tanya Dimas.
Kiara mencoba meluruskan kakinya yang sudah mengeluarkan darah. Entah tadi terkena apa sampai berdarah dan membuat celana jeansnya robek. "Gue nggak bisa jalan."
"Astaga Kia!" Dimas memeriksa kaki Kiara dengan hati-hati. Pantas cewek ini diam saja di sini. Kenapa dari tadi tidak bilang. "Ini lo harus buru-buru diobatin."
Kiara tersenyum kecil, wajahnya berkeringat karena menahan sakit. "Gue beneran nggak apa-apa Dimas. Lo balik aja, minta bantuan anak-anak. Lo bisa kedinginan kalau terus di sini."
"Yah baper deh gue lo perhatian gini," kata Dimas dengan cengirannya.
"Gue serius Dim," jawab Kiara.
Dimas menghadap Kiara. Duduk dengan santai sambil memegang kedua bahu cewek itu. "Inget obrolan di bis tadi? lo mau gue dimakan hewan buas terus gue jadi hantu gentayangan. Kalau ada yang harus ditinggal, berati itu gue."
"Apaan sih Dim! nggak lucu tau, kata lo nggak ada hewan buas," jawab Kiara takut-takut.
"Nggak ada yang tau Kia, gue tadi cuma jawab asal. Lo tau sendiri di sini jauh dari pemukiman penduduk." Dimas merapihkan rambut Kiara. Menyelipkan rambut itu ke belakang telinga. Gerakan yang sama sekali tidak dia mengerti. "Kalau gue beneran jadi hantu, lo harus tanggung jawab Ki."
Kiara memukul tangan Dimas. Dasar, di saat meneganggkan seperti sekarang ini, masih saja bercanda. "Dim gue bener-bener serius."
"Apa? please Kia kalau sekarang ini gue belom siap lamar lo. Asli deh, gue masih mau kuliah terus kerja baru kita nikah," oceh Dimas membuat Kiara makin kesal dan memukuli lengannya.
Dimas tertawa geli, tujuannya memang membuat Kiara melupakan sakit di kakinya. Dia tahu sekali cewek ini menahan sakit. Dia pun sedang mengumpulkan tenaga karena tadi kelelahan berlari.
"Seenggaknya harus ada yang selamat dulu, lo harus balik Dimas. Lo masih kuat buat jalan." Kiara menepuk bahu Dimas. "Jangan sampai kita jadi masuk berita ditemuin mayatnya doang."
"Yaa ampun Kia, lo tuh yaa horor amat." Dimas berdiri dan membelakangi Kiara. Menawarkan punggungnya. "Naik, kita balik ke sana sama-sama. Kalau gue balik sendiri ngapain gue capek nyariin lo tadi."
"Dim jaraknya jauh, gelap juga. Lo tau kan di sana banyak akar pohon. Kalau jatoh gimana?" tanya Kiara.
Dimas menoleh. "Sekarang yang penting kita selamat dulu. Lo juga harus cepet diobatin."
☁️☁️☁️
Kiara akhirnya mau menerima bantuan dari Dimas. Dia benar-benar bersyukur saat tadi melihat cowok ini datang. Dia pikir tidak akan ada yang menemukannya dan dia harus kesakitan semalaman. Entah selamat atau tidak.
"Kakinya sakit banget?" tanya Dimas.
Kiara menganggukan kepala. "Dim, capek nggak?"
"Lumayan, ternyata lo kecil-kecil berat yaa? kebanyakan dosa kali," kata Dimas yang dihadiahi pukulan di punggungnya. "Lo bikin gue panik Ki."
Kiara terdiam mendengar ucapan Dimas barusan. Dia tidak tahu kalau cowok ini mau susah payah mencarinya. Setelah ucapan ketus cenderung kasarnya kemarin. Kadang dia bingung dengan tingkah Dimas.
"Dim, kenapa sih lo selalu jailin gue?"
Dimas menoleh sedikit. "Gue seneng aja, reaksi lo itu sama kayak Kakak gue. Dia sekarang lagi kuliah di Bandung."
"Lo kangen sama Kakak lo?" tanya Kiara.
"Yoi, gue sama dia itu dari kecil deket banget. Gue sering ngerjain dia, dan marahnya itu persis kayak lo."
Kiara membulatkan mulutnya. Dia baru tahu alasan itu. "Berarti lo nolong gue karena inget Kakak lo juga ya?"
Kali ini Dimas yang diam, memikirkan pertanyaan Kiara. Mungkin jawabannya iya, atau bisa jadi tidak. Dia hanya ingin berlari mencari Kiara saat mendengar cewek ini hilang tadi. Tidak ada yang dia pikirkan selain harus menemukan Kiara.
"Dim kalau capek istirahat dulu aja," kata Kiara.
Dimas tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Lo tidur aja, siapa tau sakit kaki lo berkurang."
"Terus siapa yang pegang senter?" tanya Kiara.
"Ehh iya ya, yaudah lo jangan tidur. Temenin gue ngobrol. Jangan pingsan, nanti gue takut," kata Dimas.
Kiara terkekeh pelan dan merangkul bahu Dimas. "Dasar lo! thanks yaa Dim."
"Buat?"
"Nolongin gue," jawab Kiara pelan.
Mereka sama-sama memilih diam selama berjalan. Sudah cukup lama sampai kepala Kiara mulai pusing dan pandangannya memburam. "Dim."
"Hemm?"
"Sorry gue nggak bisa nemenin lo ngobrol," kata Kiara seperti bisikan. Kali ini bisa dirasakan badan Kiara melemas. Kepalanya bersandar pada bahu Dimas.
"Kia? Ki?!" panggil Dimas panik. "Shit, tahan bentar Ki. Bentar lagi kita sampai tenda." Dimas mempercepat langkahnya. Dalam hati dia berdoa agar Kiara baik-baik saja.
☁️☁️☁️
See you in the next chapter 😘😘😘
Sampai sini kalian team mana hayooo
Untuk yang nunggu Mr. Cold Billionaire mohon maaf karna nulisnya belum selesai karena feel nya beneran ilang. Harus nyusun feel lagi.
Kiara
Dimas
Kahfi & Fiona
Adrian & Nazwa
Kiara & Adrian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro