BAB 14 - Bad Day
Holaaa aku balik
Kiara dkk akan nemenin jumat kalian hehe thank you yang udah nunggu cerita ini
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading ❤❤😘
☁️☁️☁️
Kiara merapihkan isi tasnya. Setelah susah payah bekerja sama membangun tenda, akhirnya tenda itu berdiri dengan tegak dan dapat ditempati. Tas-tas tersusun rapih. Satu tenda bisa menampung banyak orang.
Sasya, Luna, dan Mita sudah merapihkan ransel masing-masing dan main di luar. Bersiap untuk pergi ke pantai karena sore ini tidak ada jadwal kegiatan. Mereka bebas bermain sampai nanti malam akan dimulai semua kegiatannya.
"Kiaraa," panggil Sasya dari luar tenda.
Kiara yang asik ngobrol dengan Fani langsung menoleh. Dia tersenyum tipis. "Fan gue keluar dulu yaa."
"Sipp," jawab Fani.
Di luar tenda ada Kahfi yang sudah menunggu. Cowok itu tersenyum lebar dan mengangkat tangannya saat melihat Kiara keluar tenda. "Hey, masih beres-beres yaa?"
"Oh nggak Kak, tadi abis ngobrol di dalem. Mau berangkat sekarang?" tanya Kiara.
"Kalau lo mau," jawab Kahfi.
Kiara tersenyum malu dan menganggukan kepala. Dia langsung mengambil jaket dan mengenakannya. Kapan lagi bisa jalan dengan Kahfi. Mungkin ini impiannya selama dua tahun lebih. Kira-kira apa yaa reaksi bang Lion kalau dengar ini. Pasti mengira kalau dia mengarang.
"Ayo Kak," ajak Kiara. "Syaa, Lun, Ta ayo! kalian juga mau ke pantai kan?"
"Yoi tapi lo duluan aja, kita masih nunggu yang lain," jawab Sasya dengan cengiran lebar.
Kiara membulatkan mulutnya dan mengangguk. "Oke, gue tunggu di sana yaa!"
Keduanya berjalan santai sambil menikmati pemandangan di sekitar. Hijau segar dan langit biru cerah. Sangat cantik, dipadu dengan udara yang masih bersih. Suara burung juga ramai di sekitar. Kiara tersenyum, yah setidaknya dia bisa liburan sebelum fokus belajar untuk menghadapi ujian nasional dan ujian-ujian lainnya.
"Suka?" tanya Kahfi.
Kiara menoleh dan tersenyum. "Iya, seenggaknya ada program sekolah yang bikin kita cinta sama alam."
"Yapp gue juga suka acara ini, dulu sempet males. Soalnya gue harus ninggalin game favorit gue, terus pas sekali ikut gue rasa dunia gue terlalu sempit sampai nggak tau ternyata main di alam itu seseru itu," jawab Kahfi antusias. "Bulan depan gue mau naik gunung sama temen-temen."
"Kakak enggak jadi daftar kuliah pilot?" tanya Kiara.
Kahfi tersenyum sambil memandang ke depan. "Gue nggak bisa masuk sekolah sana. Bokap nyuruh gue ambil hukum. Yaa abis itu ada perdebatan yang panjang, sampai akhirnya gue nggak mau kuliah."
"Loh kan sayang Kak," kata Kiara.
"Gue mau hidup sesuai sama apa yang gue mau Kiara, gue tau kesannya egois. Tapi ini hidup gue, dan gue nggak bisa diatur selamanya," jawab Kahfi lagi.
Kiara hanya diam, dia tidak tahu ingin menjawab apa. Masalah seperti ini memang sering terjadi, dia benar-benar sering mendengar itu. Sangat umum tapi rumit.
"Kadang seorang anak harus berani ngungkapin pendapatnya. Apa yang dia mau, apa yang buat dia tertarik. Kalau cuma diam, nurut dan memberontak pas udah di ujung itu justru buat semua makin parah."
Kiara menghela napas panjang dan menepuk pelan tangan Kahfi. "Terus Kakak mau begini aja? atau mau kerja?"
"Gue mau pindah," jawab Kahfi pelan.
"Hemm?" tanya Kiara.
Kahfi tersenyum sedih, lalu menoleh pada Kiara yang memasang wajah bingung. "Gue bakal pindah ke Pekanbaru. Di sana ada Tante gue, dan gue akan bantu kerja di sana. Ngumpulin uang, dan mungkin gue akan kuliah bisnis."
Mata Kiara melebar, pindah ke Pekanbaru. Apa jaraknya dan Kahfi akan jadi sejauh itu. Bagaimana dengan perasaannya pada cowok ini. Apa dia tidak bisa bertemu lagi dengan Kahfi. "Oh," jawabnya sambil mengalihkan pandangan.
Setelah lama berjalan, akhirnya mereka sampai. Ternyata sudah banyak yang di sini. Sedang asik main air atau hanya duduk menikmati angin di pinggir pantai. Pantai dengan pasir putih dan air yang bersih membuat semua antusias.
"Ayo," ajak Kahfi sambil mengulurkan tangan.
Kiara tersenyum dan menerima uluran tangan itu. Mereka berjalan ke dekat bibir pantai. Membiarkan air mengenai kaki. Berjalan pelan sambil ngobrol dan menikmati suara ombak.
"Seger juga, jadi mau renang," kata Kiara.
"Emang bisa?" tanya Kahfi.
"Hemm enggak sih," kekeh Kiara.
Kahfi ikut tertawa dan mengacak rambut Kiara. Membuat Kiara hanya diam sambil memandang cowok di hadapannya ini dengan pandangan terpesona. Gila, yang diacak-acak rambut, tapi yang berantakan hati.
"Sini," kata Kahfi.
"Ngapain Kak?"
Kahfi memutar bola matanya. "Sini deketan, kita kayak orang lagi musuhan."
Kiara meringis kecil dan melangkah mendekat. "Udah nggak kayak orang musuhan kan?"
"Sipp," jawab Kahfi sambil mengangkat jempolnya. Tangannya terulur, menyelipkan rambut Kiara ke belakang telinga. "Sedeket apa lo sama Dimas?"
Kiara mengerjapkan mata, kepalanya menggeleng. "Nggak deket Kak, kita cuma sering berantem." Saat hatinya melambung sangat tinggi, dia kembali teringat ucapan Fiona yang tidak sengaja dia dengar. "Kak Kahfi, apa wajah gugup aku itu lucu?"
"Hemm iya," jawab Kahfi.
"Apa Kakak deketin aku cuma untuk lucu-lucuan?" tanya Kiara.
Kahfi mengerutkan keningnya. "Kenapa lo tanya gitu?"
Kiara tersenyum, tapi kali ini wajahnya sedih. Kahfi tidak menyangkal. Berarti benar kalau Kahfi hanya iseng karena wajahnya yang selalu konyol saat didekati cowok ini. "Kak, apa aku jadi bahan bercandaan Kakak sama temen-temen Kakak?"
"Temen-temen gue emang kadang cerita tentang wajah lo yang langsung gugup kalau liat gue, tapi-"
Kiara melangkah mundur. Hancur sudah semua harapan yang memang tinggal sisa-sisanya sejak kemarin. Tapi kali ini dia tidak menangis, dia justru mencoba untuk tersenyum dan bersikap biasa. "Kalau begitu mulai sekarang aku nggak akan begitu."
"Maksudnya?" tanya Kahfi bingung karena nada bicara Kiara yang berubah.
Kiara menghadap pantai dan merentangkan tangannya. "Rasanya lega banget." Kepalanya menoleh pada Kahfi. "Tau nggak kenapa?"
Kahfi menggelengkan kepala.
"Soalnya aku bisa ngelepas semua," jawab Kiara. "Selama dua tahun lebih, sekarang aku bisa denger jawaban langsung. Thanks yaa Kak." Cengiran di wajah Kiara membuat Kahfi makin bingung. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melepaskan perasaannya pada Kahfi.
Cowok pertama yang mampu membuat jantungnya bekerja dengan sangat cepat. Cowok yang mampu membuatnya salah tingkah padahal Kahfi tidak meliriknya sama sekali. Kahfi yang membuatnya percaya kalau yang namanya love at the first sight itu ada, bukan suatu karangan konyol dari dunia fiksi.
"Kak Kahfi!!" teriak Fiona sambil melambaikan tangan dan berlari mendekat.
Kiara dan Kahfi menoleh dan menunggu cewek itu. "Hey Fio," sapa Kiara.
Fiona tersenyum dan mengangguk. Dia lalu merangkul tangan Kahfi. "Ayoo Kak, temenin aku jalan-jalan."
"Tapi," jawab Kahfi sambil melirik Kiara.
"Nggak apa-apa, Kakak bisa jalan sama Fiona. Aku mau nyusul Sasya sama yang lain," jawab Kiara cepat. Dia melambaikan tangan. "Daa Kak, have fun yaa!"
Meski rasanya sangat sakit, Kiara tetap berusaha terlihat biasa saja. Kali ini dia benar-benar serius untuk berusaha melepaskan perasaannya. Kahfi, untuk hari-hari penuh harapan selama dua tahun lebih, Kiara ingin berterima kasih.
☁️☁️☁️
Semua asik bermain dan bersantai. Beberapa ada yang memilih berenang. Memang moment yang pas untuk melepas penat. Kiara memilih untuk jalan sendirian karena butuh waktu yang tenang. Tadi dia juga melihat sahabat-sahabatnya yang asik bermain.
Di pantai juga ada Adrian yang sedang santai dengan Nazwa. Membuat Kiara lega karena dua orang itu tidak ribut lagi. Adrian juga kelihatan senang. Dia hanya ingin bisa kembali berteman dengan cowok itu. Mempelajari tentang fotografi.
"Kiaraa!" panggil Sasya.
Kiara tersenyum sambil melambaikan tangan. "Main aja, gue mau duduk bentar!" teriaknya. Dia duduk di atas pasir putih. Tidak terlalu dekat dengan bibir pantai karena di sana banyak yang sibuk bermain.
Pandangannya juga bertemu dengan Dimas yang sedang jalan dengan cewek yang tadi katanya sakit. Kenapa tidak disuruh istirahat saja kalau sakit. Apa tidak makin masuk angin karena di sini dingin. Tapi itu bukan urusannya.
Suara gaduh di pinggir pantai membuat Kiara menatap penasaran. Ada yang tenggelam, Kiara langsung berlari untuk melihat. Semoga sudah ada yang menolong. Jangan sampai liburan ini membuat orang celaka.
"Itu siapa?" tanya Kiara pada Sasya yang juga menonton.
"Nggak tau, anak kelas sepuluh kayaknya," jawab Sasya yang ikut panik.
Kiara menonton cewek yang saat ini sedang ditolong. Dia menyipitkan mata, cowok yang menolong itu Adrian. Tampak kesusahan menarik si cewek karena ombak yang lumayan kencang.
"Bantuin bego!" teriak Zidan sambil melepas kausnya disusul Putra. Mereka membantu Adrian menolong cewek itu.
Adrian berhasil menarik cewek berambut pendek itu ke pinggir pantai. Keduanya sama-sama terbatuk. Menumpahkan air yang tidak sengaja ditelan. Karena terlalu takut, dengan gemetar cewek itu terus memeluk Adrian.
Kiara langsung menghampiri Adrian. "Lo nggak apa-apa?"
"Hem?" balas Adrian dengan wajah kaget. Kepalanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak, gue cuma engap."
Kiara menghela napas lega, dia tadi juga panik. Takut Adrian ikut tenggelam, dia sendiri pernah hampir tenggelam di laut. Benar-benar menyeramkan. "Lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa Kak," jawab cewek itu pelan. "Thanks yaaa Kakak semua udah bantu."
Adrian tersenyum dan mengusap kepala cewek itu. "Lain kali hati-hati, lo bisa mati kalau nggak ada yang lihat tadi."
Semua masih diselimuti ketegangan. Hampir saja ada peristiwa yang menyeramkan. Bisa panjang urusannya kalau tadi Adrian terlambat menolong. Kiara membantu Adrian, sedangkan cewek itu diajak teman-temannya untuk istirahat di bawah pohon.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Kiara lagi.
"Nggak Ra beneran," jawab Adrian sambil kembali memakai bajunya. Angin membuatnya sedikit menggigil karena seluruh tubuhnya basah. "Gue balik ke tenda deh."
"Hemm, iya lo balik aja. Oh iya Nazwa mana?" tanya Kiara.
"Balik duluan tadi, katanya laper," jawab Adrian.
Senyum Kiara mengembang tipis, melihat reaksi Adrian yang agak canggung. Tidak seperti kemarin-kemarin. Segera dia buka jaketnya dan memberikan jaket itu pada Adrian. "Ini punya Bang Lion, jadi nggak kayak cewek. Pake aja."
"Nggak usah, di sini dingin. Lo aja yang pake." Adrian menggosok kedua telapak tangannya. "Lo nggak apa-apa di sini? itu Kak Kahfi ngeliatin lo."
Dari jauh, beberapa orang memang melihat ke arah sini. Mungkin karena penasaran kondisi Adrian yang baru saja menolong orang dan ikut hampir tenggelam. Kiara melihat Kahfi yang berdiri di samping Fiona.
"Mungkin dia penasaran kondisi lo gimana," jawab Kiara asal. Pandangannya terhenti melihat Dimas juga ada di sana. Cowok itu sedang melipat kedua tangan, sambil menonton dengan pandangan yang tidak Kiara suka.
"Lagi ada masalah sama Kahfi?" tanya Adrian pelan.
Kiara menoleh kaget. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak, lo mau balik ke tenda? gue ikut deh, capek."
Selama berjalan, Kiara lebih banyak menundukan kepala. Adrian tahu kalau cewek ini sedang ada masalah. Jadi lebih baik dia juga diam dan membiarkan Kiara sedikit tenang. Jangan sampai membuat Kiara makin tidak nyaman.
Adrian menahan bahu Kiara. "Bukan ke sana Ra, belok kanan."
"Hemm?" tanya Kiara menatap sekitar. Dia hampir saja mengambil jalan yang salah. "Sorry, gue nggak liat."
Adrian menghela napas panjang dan mengangguk. Kali ini dia menggandeng tangan Kiara agar cewek itu tidak salah belok lagi. Tangan itu hangat, berbanding terbalik dengan tangannya yang saat ini sangat dingin.
"Kalau ada masalah, lo bisa cerita ke gue," kata Adrian tanpa menoleh pada Kiara.
"Nggak ada sih, gue cuma lagi-"
"Bohong, lo cemburu kan liat Kahfi sama si Fio?" Adrian menghentikan langkahnya dan menghadap Kiara. "Tadi gue liat lo sama Kahfi masih baik-baik aja."
Mata Kiara mulai memanas. "Gue mau berhenti."
"Hemm?"
"Gue mau berhenti berharap sama Kak Kahfi, gue nggak mau jadi bahan bercandaan lagi," jawab Kiara pelan. Akhirnya airmatanya menetes. "Toh makin lama berharap, gue bakal makin sakit."
Adrian terdiam, tangannya mengusap bahu Kiara. Menunggu tangisnya mereda. Dia mengerti maksud Kiara. Kadang berhenti memang adalah pilihan yang paling tepat. Sebelum jatuh semakin dalam, dan terluka semakin parah.
"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Adrian.
"Bohong kalau gue nggak sakit. Bayangin aja suka sama orang selama dua tahun lebih, tapi gue juga ngerasa lega pas denger jawaban langsung tentang pertanyaan gue." Kiara menghela napas panjang dan mengusap kembali airmatanya. "Thanks yaa, sorry gue jadi curhat."
Adrian mengangkat bahu dengan senyum tipis. "Lo bisa cerita apa aja."
"Lo tau nggak? waktu gue harus minta lo ngejauh gue juga sedih," kata Kiara. "Gue ngerasa harus ngelepas sahabat gue. Dan rasanya nggak nyaman banget."
"Sahabat?" tanya Adrian.
Kiara mengangguk. "Gue harap kita bisa kayak dulu."
☁️☁️☁️
Malam ini acara api unggun sekaligus pembuka kegiatan. Semua mengelilingi pusat api yang menyala. Pengurus OSIS sibuk menyiapkan beberapa hal. Seorang guru juga sudah mulai membuka acara.
Kiara mendata semua perlengkapan masak di tempat yang akan dijadikan dapur selama tiga hari ini. Saat semua sudah lengkap dan sudah disusun dengan rapih, dia pun ikut bantu memasak. Bersama Sasya, Luna dan beberapa anak lain.
"Hoy pahlawan dateng nih," kata Mita sambil membawa keripik favoritnya.
"Wah mantap, Mit potongin cabe gih! Gue mau bukain mie!" suruh Luna.
Kiara sendiri masih fokus dengan nasi yang sedang dimasak. Dia beberapa kali membuka wadah besar itu untuk memeriksa. Masak banyak seperti ini memang bukan hal baru. Toh dia selalu ikut acara ini sejak kelas sepuluh.
"Eh pada mau denger gosip nggak?" tanya Sasya.
"Jangan gosip mulu! ntar telor yang lo masak gosong Sya," jawab Kiara.
Sasya meringis kecil melihat semua tertawa mendengar celetukan Kiara. "Seru nih, lagi hot! nanti kalau ditunda keburu basi!"
"Emang apaan sih?" tanya Okta.
"Si Dimas, tadi kata anak-anak dia ditembak si Siska. Lo tau kan? cewek paling cantik kelas sepuluh," cerita Sasya.
Semua reflek menoleh pada Kiara yang justru masih asik mengipas api. Mendengar tidak ada keributan di sekitar, Kiara baru mendongak. "Apa? kenapa ngeliat ke gue?"
"Hehe lo nggak kepo?" tanya Luna.
"Ngapain?" tanya Kiara kesal.
"Eh tapi itu si Siska yang nembak? bukan Dimasnya? gila yaa berani banget," tanya Mita.
Sasya menganggukan kepala. "Yaa mungkin menurutnya emansipasi wanita. Jadi wajar aja sih, tapi urat malunya itu loh! gila nembak di depan banyak orang, pake cium pipi pula!"
Kiara mengerutkan keningnya, Siska kan yang tadi jalan dengan Dimas di pantai. Katanya Siska tadi juga sakit. Senyumnya mengembang geli, jangan-jangan tadi Siska pura-pura sakit. Tapi kasihan juga, kalau sampai pura-pura, berarti sia-sia Dimas membawa tas cewek itu.
"Yaa nggak apa-apa sih, toh Dimasnya juga suka," jawab Kiara.
"Hah lo tau darimana?" tanya Luna.
"Hemm nebak aja, kalau nggak suka dia nggak bakal mau bawain tas si Siska kan? gue juga nggak bakal kena damprat sama dia cuma gara-gara nyuruh Siska bawain jaketnya." Kiara menjawab sambil mengipas api di dekatnya.
"Lo kena omel si Dimas?" tanya Sasya.
"Iya, tuh anak kan emang nggak sopan. Masa dia ngomelin gue cuma gara-gara mau ngasih jaketnya dia ke si Siska itu. Padahal kan Siska nggak bawa apa-apa, yah jaketnya si Dimas seberat apa sih?" tanya Kiara.
"Ohh pantes kuping gue panas." Suara itu membuat semua menoleh kaget. Kiara bahkan sampai menjatuhkan kipasnya. Gila, Dimas ini kenapa selalu muncul tiba-tiba.
Dimas cuek saja, dia langsung mengambil satu piring. "Nasi udah mateng?"
"Hemm? nggak tau, itu si Kiara yang urus," jawab Sasya.
Dimas menghela napas panjang dan menghampiri Kiara. "Nasi udah mateng belom? si Siska harus buru-buru makan."
"Belom! kalau lo mau ambil yaudah sana! makan sana nasi belom mateng," jawab Kiara dengan ketus.
"Makanya jangan ngegosip terus lo, gimana sih! tu anak lagi sakit," jawab Dimas kesal.
Kiara berdiri dari duduknya, dia langsung memberikan kipas itu ke Dimas. "Masak aja sendiri! mau cepet kan? lo pikir gue babu lo?!" dia langsung pergi meninggalkan area dapur. Wajahnya benar-benar kesal, masih untung dia bersedia membantu masak-masak untuk semua.
Sudah kesal masalah dengan Kahfi, sekarang mood nya makin jelek karena Dimas. Kiara benar-benar menyesal ikut acara ini. Benar kan, lebih baik malas-malasan di rumah. Langsung saja dia kembali ke tenda.
"Dasar ngeselin! dunia emang kayak milik lo berdua, tapi bukan berarti yang lain numpang!" omelnya sendiri. Enak saja seenaknya menyuruh begitu. Memang kalau Siska sakit, itu tanggung jawabnya. Dia bahkan tidak kenal Siska.
Matanya menatap jaket Dimas yang terlipat rapih. Rasanya dia ingin mencabik jaket itu sampai jadi serpihan. Dehaman membuat Kiara menoleh. Matanya menyipit kesal. "Apa?! lo mau ngajak ribut lagi?!"
Dimas memutar bolamatanya. "Mau ambil jaket! gue kedinginan."
Kiara langsung melempar jaket itu. "Sana! gue males liat lo!"
"Yaelah sensitif banget sih lo, sini bentar gue mau ngomong!" suruh Dimas.
"Ogah!"
Dimas membulatkan mulutnya. "Oke berarti gue yang masuk."
"Ehh jangan! ngapain sih lo! ini tenda cewek!" buru-buru Kiara keluar sebelum Dimas masuk karena cowok itu sudah ingin melepas sepatu. Dasar pemaksa.
Kiara hanya berdiri di hadapan Dimas, menunggu apa yang bakal cowok ini bicarakan. Pastinya akan membuat dia makin kesal. Oke, mungkin sebentar lagi emosinya akan meledak.
"Sorry," kata Dimas.
"Hemm?" tanya Kiara bingung. Oke baru kali ini anak itu minta maaf.
Dimas mengusap kepalanya sendiri. "Sorry, gue keterlaluan tadi."
"Ada angin apaan lo minta maaf? oh jangan-jangan lo minta maaf biar gue tetep masak nasi ya? sorry yaa gue nggak mau. Kalau pun gue mau, tuh nasi nggak boleh lo ambil. Lo masak aja sendiri buat lo sama cewek lo!"
"Buset Ki panjang amat ngomelnya," jawab Dimas.
"Bodo amat!" Napas Kiara naik turun.
"Sumpah gue nggak maksud nyuruh lo masak nasi lagi, gue cuma mau minta maaf beneran." Dimas mengulurkan tangannya.
Jelas Kiara tidak menanggapi, jusru membuang muka. Memilih memperhatikan sekitar. "Sana lo balik aja, makin kesel gue liat lo."
Kali ini Dimas terkekeh geli. "Lo tau nggak sih? marahnya lo tuh udah kayak orang cemburu!"
"Iiiiiuuuhh, cemburu sama lo? maaf-maaf aja ya! udah sana! gue tendang lo!" Kiara mendorong bahu Dimas agar pergi daru tenda. "Inget yaa jangan deket-deket tenda gue, alergi gue deket lo!"
☁️☁️☁️
Makan malam bersama di dekat api unggun. Kiara duduk di samping teman-temannya. Memakan makanan yang sangat sederhana, tapi bisa terasa enak kalau dimakan bersama.
Api menyala membuat semua merasa hangat. Cukup membantu karena disekitar udaranya memang dingin. Kiara menggosok kedua tangannya sambil menatap ke arah dekat api unggun dimana ada Fiona dan Kahfi.
"Nggak usa diliat lagi," kata Sasya.
Kiara tersenyum kecil. "Nggak, gue sekarang nggak terlalu ngerasa sakit ngeliatnya."
"Tadinya gue pikir hubungan lo sama Kak Kahfi makin baik loh," kata Sasya.
"Hemm mungkin gue emang harusnya jadi penggemarnya aja. Kayak yang lain gitu, iya kan?"
"Hehe yoi, kayak gue aja yang suka sama Exo. Cuma jadi penggemar tapi nggak mungkin bisa milikin." Sasya coba menghibur.
Kiara mendengus geli dan merangkul bahu sohibnya ini. "Balik dari sini kita ke toko buku yuk! ada novel baru nih."
"Sipp deh, sekalian nonton yaa!"
Luna dan Mita mengangguk setuju dan bersorak riang. Tidak sabar untuk pulang, menikmati fasilitas rumah yang nyaman tidak seperti di sini. Meski seru, mereka juga lebih suka bermain ponsel di ranjang yang nyaman.
Mereka masih betah di dekat api unggun karena hangat. Meski makin malam dan beberapa orang memilih untuk ke tenda bersiap untuk tidur. Kiara sendiri belum mengantuk padahal biasanya dia selalu tidur tepat waktu.
Dimas datang dengan Siska, Angga dan teman-temannya. Sama-sama duduk di dekat api unggun. Membuat Kiara jadi tidak nyaman. Pokoknya kalau ada Dimas, dia harus siaga satu.
"Wah ada Kak Kiara," kata Angga.
Kiara mengabaikan sapaan Angga dan memilih untuk fokus pada api di depannya.
Hachim. Bersin lagi setelah tadi dia juga sudah bersin-bersin. Tidak cocok dengan udara dingin di sini.
Dia menoleh saat melihat cewek yang tadi ditolong Adrian. Wajah itu masih tampak pucat. "Eh sini, di sini anget," kata Kiara.
Cewek itu tersenyum dan duduk di sana dengan temannya. "Kakak yang tadi yaa? gimana Kak Adrian?"
"Ohh baik sih, tadi dia langsung ganti baju. Sekarang mungkin lagi sama Nazwa pacarnya. Lo sendiri gimana?"
"Baik Kak, cuma agak demam aja. Kakak juga kayaknya mau flu," kata cewek itu.
Kiara tersenyum dan mengusap hidungnya sendiri. "Iya nggak biasa udara dingin. Oh iya nama lo siapa?"
"Zola Kak," jawabnya.
"Aduh tadi gue deg-degan loh pas liat lo tenggelam," kata Sasya.
Mereka jadi ngobrol cukup lama sampai semua obrolan terhenti karena Kiara dilempar jaket. Kiara ingin mengomel pada si empunya. Siapa lagi kalau bukan Dimas. "Dim apaan sih?"
"Balik ke tenda sono! udah menggigil gitu," omel Dimas.
Kiara cemberut kesal dan kembali melempar jaket itu. "Dasar bego! justru gue disini biar anget!"
"Elo yang bego! gue kasih jaket buat lo pake, itu jaket lo nggak cukup. Bentar lagi apinya mati, makin dingin," jawab Dimas sambil melempar lagi jaketnya pada Kiara.
"Ogah! mending gue kedinginan daripada pake jaket lo!" jawab Kiara melempar lagi pada Dimas.
Terus begitu, dan semuanya hanya menonton. Sampai akhirnya Siska menghentikan tangan Dimas dan mengambil jaket itu. "Buat gue aja, kalau Kak Kiara nggak mau jangan dipaksa."
Angga jadi garuk-garuk kepala, bingung dengan situasi ini. Dia langsung membuka jaketnya. "Pake punya gue aja Kak, sumpah si Dimas nggak pernah nyentuh jaket gue. Aman deh, gue juga nggak punya penyakit kulit." Dia tahu kalau Dimas cuma khawatir.
Kiara mengambil jaket itu. "Thanks, seenggaknya lo nggak senyebelin tuh orang." Dia berdiri dan mengajak sahabatnya kembali ke tenda untuk tidur. Tentunya dengan kekesalan yang kembali memuncak.
Angga menepuk bahu Dimas yang tampak kesal. "Sorry Dim, tu anak nggak akan mau kalau lo yang ngasih. Lo juga sih! jadi Anti Dimas kan dia."
Dimas mendengus pelan. "Jangan modusin tu anak."
"Hehe tenang, gue setia sama doi gue." Angga tertawa disusul yang lain. Kecuali Siska yang makin kesal meski mendapat jaket Dimas.
☁️☁️☁️
See you in the next chapter ❤❤❤
Kiara
Dimas
Kahfi
Adrian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro