BAB 10 - Broken Heart
Selamat malam semuaaaa
Siapa yang besok liburr? Asik yaa hehe aku nggak libur tapi aku temenin kalian yaa. Hari ini yang bertugas nemenin kalian adalah Kiara, Dimas, Kahfi dan Adrian
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys!
☁️☁️☁️
Kiara tersenyum lebar, langkah kakinya menelusuri koridor sekolah dengan pasti. Akhirnya acara MOS selesai dan tugasnya sebagai bagian kedisiplinan pun berakhir. Seminggu yang berat karena harus berhadapan dengan anak baru macam Dimas. Tapi sudah lah, toh sekarang dia tidak perlu lagi berurusan dengan anak itu.
Kegiatan belajar mulai berjalan seperti biasa. Anak-anak kelas satu juga sudah mulai mengenakan seragam putih abu-abu. Ternyata kehadiran Dimas juga membuat kehebohan di kelas sebelas dan dua belas. Membuat anak itu menjadi idola baru di sekolah.
Lagi-lagi Kiara tidak perduli. Itu bukan urusannya. Langkahnya makin cepat saat tiba di gedung tempat kelasnya berada. Dia ingin segera duduk dan ada PR fisika yang harus dia tanyakan pada Julian, si pintar di kelas.
"Abis liburan lagi?" tanya suara heboh itu.
Kiara menghentikan langkahnya. Dia menoleh, keningnya mengerut dalam. Di tangga ada Fiona dan teman-temannya sedang duduk. Selalu begitu, geng yang suka mengganggu jalanan.
"Iya dong, gue sama Kak Kahfi abis jalan ke Singapore," jawab Fiona.
Jalan ke Singapore, Kak Kahfi. Kiara langsung menyembunyikan diri di balik pilar. Ingin lebih mendengar percakapan itu. Jadi mereka liburan berdua.
"Serius? ih gilaaa beruntung banget sih lo! Kak Kahfi ganteng banget sih sayang udah lulus," jawab Widia.
Fiona mengibaskan rambut panjangnya. Wajah itu tampak bangga karena dipuji teman-temannya. "Gue kan sering liburan sama dia. Seminggu kemarin dia ngajakin gue ke Singapore. Bulan depan rencana kita mau jalan ke Jogja."
Mendengar jawaban Fiona, Kiara hanya bisa menunduk. Kenapa rasanya sakit. Matanya mulai berkaca-kaca. Kahfi yang dia sukai sebegitunya. Ternyata selama seminggu hilang, cowok itu sedang liburan dengan Fiona.
"Terus yang katanya Kak Kahfi deket sama Kiara?"
"Kiara?" tanya Fiona dengan tawa geli. "Itu main-main doang. Abis tuh anak kalau diajak ngomong sama Kak Kahfi wajahnya merah banget, yaudah dia jailin aja."
Isak Kiara makin terdengar, cukup. Dia sudah cukup mendengarnya. Buru-buru dia melanjutkan jalannya dengan kepala tertunduk. Benar, dia saja yang bodoh sampai berharap Kahfi mendekat. Siapa dia sampai berani berpikir begitu. Cantik tidak, pintar juga tidak, populer apalagi. Memalukan sekali.
"Raa lo kenapa?" tanya Mita melihat wajah Kiara yang memerah.
Kiara menggelengkan kepala, dia meletakan tasnya dan melihat jam tangan. Masih ada setengah jam lagi. Dia segera keluar dari kelas dan pergi ke taman belakang sekolah. Jarang ada yang kesana karena jauh dari kantin dan kelas.
Di bawah pohon yang rindang. Kiara duduk sambil bersandar, tangannya saling meremas. Isak tangis yang awalnya pelan menjadi kencang. Dia menutup wajah masih sambil menangis.
"Kenapa harus suka Kak Kahfi sih?!" tanya Kiara.
"Astaga kenapa sakit," keluhnya sendiri. Dia kembali menangis. Dua tahun lebih menyukai cowok itu membuatnya jadi lemah. Bahkan hanya dengar kata-kata itu saja dia bisa menangis.
Lagi-lagi Kiara mengusap airmatanya. Dia mendongak untuk meredam tangis. Benar-benar memalukan. Pasti wajahnya jadi bahan candaan Kahfi dan teman-temannya.
"Lo anak kecil?" tanya suara itu.
Kiara mendongak, menatap Adrian yang berdiri di depannya. Kepalanya kembali menunduk, melanjutkan tangis yang belum tuntas. Biar saja, cowok itu juga sudah melihat tadi.
Adrian menghela napas dan duduk di samping Kiara. Tadinya dia ingin tidur di sini, sayangnya yang ditemukan justru Kiara yang sedang menangis sambil bicara sendiri. Tangannya menepuk-nepuk kepala Kiara.
"Kenapa harus suka sama Kak Kahfi?" tanya Kiara lagi. "Adrian, gue bener-bener kesel."
"Hmm," jawab Adrian.
Kiara mengusap pipinya yang basah. Matanya sudah membengkak karena tangis. Dia mengatur napasnya yang sesak. "Gue bego yaa?"
Adrian tersenyum geli dan menganggukan kepala. "Lo bego, pake banget."
Kiara mengigit bibirnya sendiri, airmatanya kembali menetes tapi Adrian mengusapnya. Kenapa dia tidak bisa suka pada Adrian saja. Orang yang jelas sangat baik padanya. Pandangannya beralih ke depan, dihapus airmata yang kembali mengalir. Perlahan ketenangannya kembali.
"Gue laper," gumam Kiara.
"Hah?" tanya Adrian. Tawanya muncul, dia memberikan cokelat yang tadinya mau dia berikan pada Nazwa. "Makanya jangan nangis mulu, tenaga lo abis nanti."
"Thanks yaa," jawab Kiara. Dia makan dalam diam. Menatap taman di sekitarnya. Menyedihkan sekali dirinya. Bisa menangis karena hal sesepele ini. Tapi ucapan Fiona tadi benar-benar menamparnya. Membuat dia sadar kalau harapannya selama ini tidak akan bisa terwujud. Kahfi hanya mempermainkannya.
"Kenapa lo sampai nangis begini?" tanya Adrian.
Kiara menggelengkan kepala. "Tiba-tiba gue sadar aja kalau selama ini gue ngarep tinggi tanpa sadar gue ini siapa. Jatohnya kayak nggak tau diri gitu deh, makanya gue nangis. Gue malu."
"Lo nggak usah mikirin Fiona, lo tau sendiri tuh anak gimana," kata Adrian.
Senyum Kiara mengembang tipis dan miris. Bukan salah Fiona kalau Kahfi lebih suka dengan cewek itu. Toh Fiona memang cantik dan populer. "Gue mau ke kelas deh udah mau bel."
"Cuci muka dulu," kata Adrian.
Kiara menganggukan kepalanya. "Lo nggak ke kelas?"
"Mau tidur, gue lagi males belajar," jawab Adrian cuek.
Lagi-lagi begitu, Kiara tahu itu. Sudah sering dia melihat Adrian mendapat hukuman karena bolos pelajaran. Tangannya menarik tangan Adrian. Wajah Kiara tampak kesal.
"Lo harus ikut belajar, kita kan udah kelas tiga. Lo mau bolos terus? nggak mikirin nanti orang tua lo gimana?" Kiara mengajak Adrian ke kelas. Mengabaikan orang-orang yang memperhatikan mereka.
"Nggak usah bawa-bawa ortu gue." Suara itu terdengar ketus.
Kiara menoleh sekilas, memperhatikan wajah kesal itu. Namun dia kembali fokus ke depan. Dia tidak tahu masalah keluarga Adrian. Ada beberapa kabar tentang orangtua cowok ini sering bertengkar. Tapi dia sama sekali tidak pernah bertanya pada cowok ini, itu seperti melanggar privasi.
"Gue balik ke kelas dulu," kata Kiara. Dehaman Adrian membalas ucapannya. Kiara menghela napas panjang, dia tersenyum tipis. "Thanks cokelatnya." Tubuhnya berbalik meninggalkan kelas Adrian untuk pergi ke kelasnya sendiri.
☁️☁️☁️
Guru matematika memberikan penjelasan untuk tugas kelompok hari ini. Kiara memperhatikan dengan serius. Sesekali dia mencatat hal yang perlu. Sudah berapa pertanyaan dari tiga sahabatnya yang berusaha dia abaikan. Dia tidak ingin membahas masalah pagi tadi.
"Oke sekarang waktunya diskusi, silahkan ke kelompok masing-masing," kata Bu Ningsih.
Kiara duduk dengan Sasya, Justin dan Damian. Mereka mulai mendiskusikan soal matematika yang nantinya akan dibahas oleh bu Ningsih. Damian duduk di samping Kiara dan mengarahkan kertas ujiannya. "Kiara, lo bisa jelasin soal nomor satu?"
"Ohh? bisa sih, Justin nggak mau jelasin? dia kan lebih pinter," kata Kiara.
Justin mengambil kertas dan mulai mencoret beberapa rumus. "Lo ajarin dulu, gue mau cari rumus buat nomor empat."
"Oh sipp," jawab Kiara. Dia juga sudah sering mendapatkan tugas untuk memgajari teman-temannya. Jika itu pelajaran matematika, dia bisa karena memang itu pelajaran favoritnya. Kalau fisika, dia angkat tangan.
"Pertama kita harus cari tau variabel x itu berapa," jelasnya sambil menulis cara-caranya dengan detail. "Kalau variabel x udah ketemu baru kita cari variabel y. Nah kalau udah baru deh ketemu hasilnya."
Damian bertopang dagu sambil memperhatikan kertas di depannya. Kepalanya mengangguk beberapa kali. Ini yang dia suka kalau bertanya pada Kiara. Penjelasannya jelas dan mudah dimengerti. Kalau yang menjelaskan si Justin, alamat makin bingung.
Lama mereka berdiskusi sampai akhirnya Damian dan Sasya merasa bosan. Sasya bahkan sejak tadi sudah berkipas-kipas ria. "Sumpah ya gue bosen."
"Yaudah, udah cukup juga diskusinya." Justin mengambil tasnya dan mengeluarkan laptopnya. Cengiran lebar ditujukan pada Damian. "Lanjut main Men!" Steak PS juga sudah disiapkan.
Kiara memutar bola matanya. Dia beranjak kembali ke kursinya sendiri dan merapihkan meja. Sasya menarik buku yang awalnya akan Kiara masukan ke tas. Membuat siempunya buku menoleh dengan wajah kesal.
"Lo kenapa sih?" Sasya bertanya sambil mengipas buku itu di dekat wajahnya.
"Nggak, gue cuma lagi males ngomong," jawab Kiara.
Sasya bertopang dagu, poni sejajar di dahinya sudah berantakan karena keringat. Hari ini luar biasa panas. "Lo bisa bohong sama sohib lo ini?"
Kiara mengigit bibirnya. Dia jadi ingin menangis lagi sekarang. Itu alasan kenapa dia tidak mau membahas masalah pagi tadi. Buru-buru dia melipat tangan di atas meja dan menenggelamkan wajahnya.
"Ihh ko malah molor?!" protes Sasya.
Kiara terisak kecil dan suara lirihnya terdengar. "Bentar, gue ngantuk."
Suara hingar bingar kelas semakin samar, Kiara benar-benar tertidur sampai tepukan pelan di bahunya membuatnya kembali ke alam sadar. Kepalanya mendongak, dengan kepala yang sedikit pusing karena tidur yang sebentar. "Udah jam istirahat?"
"Hmm, lo mau jajan ke kantin apa nitip aja?" tanya Sasya.
"Nggak bisa, lo ikut aja. Bosen kali di kelas terus," kata Luna.
Kiara cemberut kesal dan bangkit dari kursi kayu yang saat ini menjadi tempat paling nyaman. "Yaudah iya." Tidak ada yang perlu dihindari. Kakinya melangkah keluar kelas lebih dulu. Disusul Mita yang merangkul bahunya.
Di kantin, suasana sudah ramai. Beberapa antrian terbentuk di setiap stand makanan. Mita mengajak keempatnya ke meja yang tidak terlalu berada di tengah. Kiara langsung duduk dan memikirkan makanan apa yang jadi menunya siang ini.
"Biar gue yang pesen," kata Sasya.
Mita mengangguk setuju. "Gue ikut, sekalian mau beli yang seger-seger."
Suara sound di kantin memperdengarkan musik yang membuat kantin semakin nyaman. Radio sekolah, pasti hari ini yang jaga si Putra. Luna menyenggol tangan Kiara.
"Apa?" Kiara mengerutkan kening.
Luna memberi isyarat agar Kiara juga melirik ke samping. Kiara yang paham langsung melirik, mendapati dirinya sedang dipelototi Nazwa. Kenapa lagi dengan anak itu.
"Gue salah apa sih? kan dia udah pacaran sama Adrian," tanya Kiara kesal. Percayalah dia sudah cukup bad mood hari ini.
Luna mengangkat bahunya dan menelusuri pandangannya ke penjuru kantin. Mencari yang menarik untuk dilihat dibandingkan pelototan Nazwa. Senyumnya langsung mengembang melihat Dimas datang dengan Angga dan Siska.
Dimas bergabung dengan teman-temannya dan kelihatan cuek meski jadi pusat perhatian. Cowok tinggi itu tampak mencari seseorang dan akhirnya pandangannya bertemu dengan Luna yang langsung melambaikan tangan.
Kiara menoleh ke arah Luna menatap. Dia membuka mulutnya sedikit. Jangan sampai bocah itu cari gara-gara sekarang. Kakinya menendang sedikit ujung sepatu Luna. "Jangan macem-macem." Desisan pelan itu terdengar oleh Luna.
Kikikan gelinya membuat Kiara makin cemberut. "Santai, tuh anak hiburan banget tau kalau udah ribut sama lo."
"Woy apa kabar Kak?" tanya Dimas setelah duduk di kursi samping Kiara. Pertanyaan itu diajukan untuk Luna yang dikenal Dimas karena selalu ada di dekat Kiara. Tangannya jahil memainkan rambut Kiara yang dikuncir asal.
"Baik," jawab Luna.
Kiara tetap diam dan memilih mengacuhkan Dimas. Dia hanya bertopang dagu sambil menggulirkan layar ponselnya ke kanan dan kiri. Tampak tidak berminat dengan benda kotak itu.
Dimas sadar kalau hari ini Kiara sedang jadi pendiam dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Buktinya cewek ini tidak marah saat rambutnya dimainkan. Keningnya berkerut dalam. "Kenapa ni anak? abis patah hati?"
"Hem gitu deh," ringis Luna. Kiara hanya melirik, kemudian kembali fokus pada ponselnya.
Dimas ikut bertopang dagu, dan menunggu Kiara membuka suara. Sasya dan Mita yang datang dengan pesanan makanan hanya bisa menatap bingung. Mita duduk di samping Luna dan Sasya mengambil bangku kosong lalu duduk merapat pada Luna.
"Udah makan Dim?" tanya Sasya.
Dimas menggelengkan kepala. "Belum, pada makan aja."
"Oke, makan-makan," kata Sasya.
Kiara mengambil mangkuknya tapi ditahan Dimas. Decakan kesal keluar dari bibirnya yang sejak tadi mengatup rapat. Dia menoleh sampai akhirnya Dimas bisa melihat mata sembab itu.
"Balik sana ke temen lo, gue lagi males ribut!" ketus Kiara.
Dimas tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Sipp, gue balik."
Mata Kiara menatap Dimas yang kembali pada teman-teman. Dia hanya menggelengkan kepala dengan wajah bingung. "Dasar nggak jelas!"
"Nggak tega tuh dia mau godain lo," kekeh Sasya.
"Bagus deh," jawab Kiara.
Acara makan siang hanya berjalan lancar selama kurang lebih 10 menit. Setelahnya, meja itu dihampiri Nazwa yang wajahnya kelihatan sangat marah. Cewek itu langsung menghampiri Kiara.
Kiara sudah tahu itu, ini juga yang mengganggu pikirannya. Ketiga temannya tampak bingung. "Jangan ngomong di sini, nggak enak banyak orang."
"Kenapa? lo malu?" Wajah Nazwa tampak sengit.
"Gue nggak mau jadi tontonan, kita selesain aja sekalian. Kalau perlu lo ajak Adrian," kata Kiara langsung.
Mita membulatkan mulutnya, masih tentang Adrian. Matanya melirik Sasya dan Luna yang juga kelihatan penasaran. Apa yang sebenarnya menimpa Kiara pagi tadi. Bukannya itu karena Kahfi, kenapa sampai menyeret Adrian dan Nazwa.
"Nazwa!" panggil Adrian.
Beberapa orang menoleh ke arah suara itu. Termasuk Kiara dan Nazwa yang awalnya sudah jadi tontonan khususnya anak kelas tiga yang tahu cerita mereka. Adrian langsung menghampiri dua cewek itu. Ditariknya lengan Nazwa sampai berdiri di belakangnya.
"Sorry, lo bisa lanjutin makan siang lo," kata Adrian.
Kiara menggelengkan kepala. Dia ingin masalah ini selesai hari ini juga. Tidak ingin ada musuh di sekolah, Kiara juga tidak mau lama-lama musuhan dengan Nazwa. "Kita ngobrol bentar, nggak di sini."
Melihat tidak ada respon dari dua orang ini, Kiara langsung melangkah duluan. "Gue tunggu di taman belakang." Dia melewati Dimas yang sejak tadi tertarik untuk melihat drama itu. Jadi cowok itu yang membuat mata Kiara sembab hari ini.
☁️☁️☁️
"Gue nggak ada hubungan apapun sama Adrian, lo bisa tanya langsung sama dia," kata Kiara setelah Adrian datang sambil menggenggam tangan Nazwa.
Adrian memalingkan wajah, menyembunyikan kekecewaannya atas ucapan Kiara tadi. Meski semua ucapan itu benar. Dia memang bukan siapa-siapa. Tapi jika boleh jujur, dia hanya ingin melindungi cewek ini. Membuat Kiara tertawa seperti hari-harinya kemarin.
"Terus kenapa tadi pagi lo gandeng tangan Adrian ke kelasnya dia. Lo pikir dia nggak tau dimana kelasnya sendiri. Munafik kalau lo bilang nggak ada apa-apa sama Adrian!" balas Nazwa sengit.
"Nazwa!" geram Adrian. Dia merasa ini sudah keterlaluan. "Aku sama Kiara nggak sengaja ketemu di taman, dia cuma nyeret aku ke kelas."
Nazwa menangis dan melepaskan genggaman tangan Adrian. "Sebenernya kamu itu nganggep aku apa?"
"Ngomong apa si? aku udah jelasin di depan Kiara. Kamu masih nggak percaya?" tanya Adrian kesal. Dia tidak suka terlalu dikekang. Inilah yang membuatnya malas berpacaran. Dia merasa kebebasannya akan direnggut paksa.
"Nazwa," panggil Kiara. "Gue bener-bener nganggep Adrian temen. Lo nggak perlu takut gue bakal rebut dia. Gue nggak suka kita musuhan gini, nggak enak sama yang lain apalagi kita satu organisasi."
Kiara menepuk bahu Nazwa. "Gue balik ke kelas dulu, kalian bisa lanjut ngomong."
Itu bukan zona dimana Kiara mampu ikut campur. Jika dia ikut, maka hanya akan memperkeruh suasana. Lagipula, Adrian pasti bisa meyakinkan Nazwa. Bukannya cowok itu pandai merayu.
Di kelasnya, Sasya sedang menunggu di depan pintu saking tidak sabarnya. "Ada apaan si?"
"Salah paham," jawab Kiara singkat.
Mita meminum air mineral yang tadi dibeli di kantin. "Jadi bener kata Fani kalau pagi tadi lo sama Adrian gandengan tangan?"
"Gue cuma maksa dia ke kelas," jawab Kiara sambil mengusap seluruh wajahnya. "Terserah orang mau nganggep gue gimana. Tapi asli, gue nggak niat ngerusak hubungan Adrian sama Nazwa."
Sasya tersenyum kecil. Dia menepuk-nepuk pelan bahu Kiara. Luna juga merangkul bahu sohibnya. "Iya kita percaya. Lo mana mungkin begitu."
"Thanks," jawab Kiara dengan senyum dipaksakan.
Dari tempatnya berdiri, Dimas bisa mendengar percakapan itu dengan jelas. Dihela napas panjang-panjang. Obrolan di sekitarnya jadi tidak terlalu menarik. Padahal dia memang sedang ada kepentingan sampai datang di area kelas duabelas.
"Jadiin kagak nih?" tanya kakak kelasnya yang terkenal sebagai biang onar.
Dimas menoleh dan tersenyum miring. Dengan wajah santai dia duduk di kursi sambil menenggak minumannya. "Jadiin, nantang tuh!"
Angga yang juga ikut dengan Dimas jadi makin bersemangat. "Sipp lah, entar malem kita cabut!"
"Oke, sono lo balik ke kelas! dasar badung kelas sepuluh main ke sini," kata Cakra dengan wajah sok berkuasa yang dibuat-buat.
Membuat Dimas dan Angga mendengus geli dan mengabaikan tingkah kakak kelas sekaligus teman nongkrong di club malam yang biasa mereka kunjungi. Dengan entengnya Angga menunjuk Dimas. "Jangan salah, ni anak sekalian mau ngapel."
"Hah ke siapa?" tanya Cakra.
Angga menunjuk Kiara dengan lirikan. Diikuti pandangan Cakra. Langsung cekikikan keluar dari dua anak itu. Membuat Dimas cemberut kesal pada dua temannya ini.
"Si Kiara? berat saingan lo. Noh si Adrian, salah satu jagoan sekolah juga," kata Cakra.
"Siapa yang bilang gue suka woy!" balas Dimas sewot. Sayangnya Cakra dan Angga makin tertawa geli. Artinya, ucapannya tidak dipercaya
☁️☁️☁️
See you in the next chapter ❤❤❤
Kiara
Dimas
Adrian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro