Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"(Un)truth" - pinetreeforest


(UN)TRUTH

A Short Story by pinetreeforest 


Ketika mengobrol dengan orang asing yang baru kita kenal, akan ada dua pilihan. Seseorang bisa menjadi jujur dan memperlihatkan sifat aslinya atau sebaliknya, akan berbohong dan berpura-pura terlihat seperti orang lain. Setidaknya, itulah yang kupikirkan. Mengobrol dengan orang yang baru kita kenal ketika naik kereta antar provinsi menurutku adalah hal yang menyenangkan. Bayangkan saja, kita bisa membicarakan apa saja tanpa takut bagaimana orang lain akan menghakimi setelahnya. Mau jadi diri sendiri atau berpura-pura menjadi orang lain, tak ada yang akan mengambil pusing karena setelahnya aku dan orang itu akan berpisah. Lalu seperti buih-buih ombak di lautan, semuanya akan menghilang.

Ketika naik kereta seperti sekarang ini, momen-momen itulah yang selalu ku tunggu-tunggu. Bercerita, mendengarkan cerita orang lain, mendapat pelajaran baru, bukankah itu menyenangkan?

Aku berjalan menyusuri aisle kereta, menyeret kopernya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri sibuk memegangi benda paling berharga yang pernah kumiliki saat ini. Kubenarkan posisi tas di pundak kiri sambil tetap berhati-hati untuk tidak merusak benda berharga yang tak lain dan tak bukan adalah gulungan poster idolaku lengkap dengan tanda tangan yang aku dapatkan dari acara Lucky Draw di konser yang ku datangi semalam. Bertanda tangan! Khusus, eksklusif hanya milikku. Tidak boleh tertekuk, tidak boleh robek. Aku harus bisa mempertahankannya agar tetap sempurna sampai rumah walaupun tidak sempat membeli pipa untuk menyimpan poster. Dari ribuan orang yang hadir tadi malam, hanya dirinya yang mendapatkan poster ini. Membuat seisi gedung semalam menatap iri padaku, bukankah ini luar biasa?

"9D," gumamku berulang-ulang hingga menemukan nomor kursi milikku, persis seperti sedang merapalkan mantra.

Aku mendesah lega ketika menemukan tiga kursi di sekitarku masih belum terisi. Kunaikkan koperku ke kompartemen atas, kemudian duduk sambil memangku poster dan tas jinjing. Memandangi seluruh isi gerbong yang masih separuh terisi ini membuatku berharap bahwa kereta hari ini tidak akan terlalu ramai.

Namun, mengharapkan kereta kosong ketika liburan sekolah baru saja akan dimulai? Ini seperti mengharapkan pohon beringin akan tumbuh di padang pasir alias tentu saja tidak mungkin. Ketika kereta tiba di pemberhentian berikutnya, ketiga kursi itu langsung terisi oleh sepasang suami istri dengan seorang bayi rewel dan balita. Aku tersenyum ramah pada keduanya, tetapi sayangnya tak terbalas. Keduanya terlalu sibuk mengurus urusan mereka sendiri, membuatku sangsi akan mendapatkan teman ngobrol yang menyenangkan.

Dan benar saja. Harapanku untuk mendapat teman ngobrol yang menyenangkan langsung pupus seiring dengan terdengarnya suara tangisan kedua bayi yang memekakkan telinga. Hingga waktu berlalu, beberapa kali aku hanya mendapati pasangan itu menghela napas berat satu sama lain, sambil saling bertukar pandang dan menggeleng lelah. Tak bisa diajak mengobrol. Terlebih, ketika si ibu berusaha beristirahat sambil menggendong bayinya yang tertidur, tentunya dengan posisi yang tak nyaman. Melihatnya, malah membuatku jadi ikut lelah.

Aku menyerah. Selain karena perutku lapar, sepertinya aku ingin mencari angin segar saja di bagian restorasi kereta.

"Bu..." panggil perlahan agar tidak membuatnya terkejut. Wanita itu membuka matanya dan menatap ku dengan pandangan bertanya. Aduh, melihat kantung matanya yang menghitam saja membuatku semakin tak tega. "Pakai aja tempat duduk saya, saya mau makan di restorasi."

Wanita itu menggumamkan ucapan terima kasih, kemudian sedikit bergeser memberikanku jalan keluar.

Dengan kembali membawa poster dan tas di pundak, aku kembali menyusuri aisle untuk menuju ke gerbong khusus restorasi. Namun, ternyata kursi-kursi di sana juga hampir penuh. Hanya tersisa satu kursi yang berhadapan dengan seorang anak laki-laki dengan rambut berpotongan 1 cm di segala sisi, hampir plontos seperti biksu.

"Apa kursi ini ada orangnya?" Ucapanku sepertinya mengejutkan laki-laki yang sedang sibuk menyeruput Pop Mie itu.

Ia mendongak, kemudian memandang sekeliling sebelum kembali padaku. "Nggak, duduk aja." Ia mungkin menyadari bahwa satu-satunya kursi yang masih belum berpenghuni adalah kursi di depannya.

"Saya titip sebentar," ucapku seraya meninggalkan poster dan tas di kursi untuk memesan nasi kotak dan segelas cokelat panas. Karena masih menunggu pesananku dihangatkan, aku memutuskan untuk kembali ke kursi itu.

"Kamu bawa apa?" tanyanya, menunjuk poster yang ku bawa dengan ujung hidung.

Aku refleks mendongak mendengar suara laki-laki itu, memastikan bahwa ia memang mengajakku mengobrol. Seketika aku tak bisa menyembunyikan senyum senangku. Ada kembang api yang saat ini meledak di sekitar kepalaku. Ugh! Akhirnya! Ini dia yang ku tunggu-tunggu. Aku terdiam beberapa detik sebelum menjawab, menimbang-nimbang apakah ia menceritakan cerita palsu? Atau menjadi diri sendiri dalam versi paling jujur? Namun karena dia telah melihatku membawa gulungan poster ini, aku memutuskan untuk memilih pilihan kedua.

Sedikit malu ketahuan menenteng-nenteng poster boyband, aku meringis, "poster boyband."

Dia itu mengerutkan alisnya, memandangku seolah aku adalah orang paling aneh di muka bumi yang pernah ia temui. Ia kemudian bertanya dengan nada bingung, "Kenapa bawa-bawa poster?"

"Ini hadiah menang undian waktu konser semalem." Tentu saja aku menjawabnya dengan bangga.

"Konser? Kamu ke Jakarta habis nonton konser?" tanyanya lagi dengan alis masih mengerut. Ingin kusapukan jemariku di dahinya agar ia berhenti mengerutkan alis.

Aku mengangguk. "Mau liat posternya, nggak? Ini eksklusif bertanda tangan," tawarku sambil membuka posternya dengan hari-hati. Tidak, aku tidak menunggu jawabannya, sengaja ingin pamer. Yah, kapan lagi bisa pamer begini, kan? Aku tak mungkin pamer ke teman-teman di sekolah dan membuka kedokku sendiri. Setelah puas, aku menggulungnya seperti semula dengan perlahan.

"Sejak kapan kamu di Jakarta?"

"Hari Kamis."

"Tapi konsernya baru semalam? Lama banget kamu di Jakarta?"

"Personilnya datang hari Kamis malam, jadi mau ikut menyambut kedatangan di bandara." Aku menjawabnya dengan nada ringan, seolah itu bukan apa-apa. Tapi memang bukan apa-apa, kan? Memang ada yang aneh?

Laki-laki di depanku itu tiba-tiba terbatuk, sepertinya tersedak kuah Pop Mie yang ia seruput, kemudian memandangku dengan pandangan tak percaya. "Emang kamu nggak sekolah? Bukannya liburannya baru mulai besok Senin?"

Aku menaikkan alis. Memang mukaku memang terlihat seperti tampang anak sekolah yang sering bolos, ya? Bagaimana dia bisa menanyakan hal itu. Mau tak mau aku meringis lagi, "bolos."

Laki-laki plontos itu masih menatapku dengan pandangan menuntut, mau tak mau aku melanjutkan jawabanku.

"UAS udah selesai, waktunya class meeting. Sebenernya wajib masuk, tapi aku pakai free pass surat sakit. Kalau ketahuan bolos, tamat riwayatku." Aku menjawabnya sambil terkekeh. Tapi ya memang begitulah ceritanya. Aku bolos sekolah dengan alasan sakit dan menolak membantu kelasku untuk berpartisipasi dalam lomba antar kelas yang diadakan sekolah. Biasanya aku akan ikut serta di cabang English news anchor, tapi kali ini tak bisa. Begitu mendapati Boyband favoritku memasukkan Kota Jakarta sebagai daftar lokasi tur untuk pertama kalinya setelah empat tahun menunggu, aku langsung bertekad akan hadir di momen bersejarah itu.

"Dihukum? Apa hukumannya?"

Aku mengedikkan bahu, "nggak tau. Mungkin tugas, pengurangan poin, atau dipajang di lapangan?"

Obrolanku dan laki-laki plontos ini sempat terhenti ketiga petugas restorasi membawakan pesananku. Kemudian sepeninggal petugas itu, aku kembali melempar pertanyaan. Jujur saja, si plontos ini sepertinya teman ngobrol yang menyenangkan. Jadi sayang untuk dilewatkan.

"Kamu sendiri mau ke mana?" tanyaku.

"Surabaya."

"Mau liburan ke Surabaya?" Dari penampilannya, juga nada bicaranya, aku tahu si plontos ini pasti bukan asli Kota Pahlawan itu. Logatnya sama sekali tidak ada medok khas Surabaya.

Laki-laki itu menggeleng. "Papa pindah tugas ke sana, jadi sekeluarga pindah."

BINGO!

"Wow... aku nggak pernah tau gimana rasanya pindah rumah," seruku.

Tiga jam berlalu mengobrol dengan si plontos terasa sangat cepat. Obrolannya cukup menarik dan kadang-kadang ia cukup sukses melucu dan membuatku tertawa. Sama sekali tidak terasa lama sampai-sampai petugas-petugas kereta meminta kami kembali ke tempat duduk masing-masih setelah selesai makan. Dengan berat hati, aku berpisah dengan si plontos. Menyimpan memori obrolan menyenangkan ini baik-baik di dalam memoriku.

***

Setelah melalui libur panjang yang lumayan membosankan, aku bahagia akhirnya bisa masuk sekolah. Kelas baru, teman baru karena isi kelas XI kali ini tak sama dengan kelas X, dan beruntungnya, Lily, sahabatku sejak SMP itu ternyata masih satu kelas denganku. Senangnya!

Namun, kesenanganku nyatanya tak berlangsung lama. Tubuhku terasa membeku seperti tiba-tiba disiram dengan air es ketika mendapati sosok yang tinggi menjulang di barisan anak kelas X. Sosok yang tentu saja belum ia lupakan karena ia berjanji dengan dirinya sendiri untuk menyimpan memori tentangnya.

Sosok si plontos terlihat mencolok diantara teman-teman kebanyakan. Seragamnya masih putih bersih, licin bekas disetrika dengan suhu panas dan menggunakan pelembut.

Tapi tentu saja laki-laki itu tidak menyadari keberadaannya yang kali ini menyatu dengan siswa-siswi lain. Apalagi penampilanku tak terlalu mencolok dan aku hanya popular di kalangan guru karena memang aku adalah siswa yang rajin. Hey, bukannya sombong. Tapi memang itulah kenyataannya.

Aku berusaha untuk berpikir demikian. Tidak, pasti tidak apa-apa. Rahasia tentang bolos-membolos beberapa minggu lalu pasti tidak akan terbongkar. Hanya ada Lily yang tahu dan si plontos tak mengetahui keberadaanku. Pasti aman.

Sejak hari itu aku selalu berjaga-jaga untuk menyembunyikan diri dari pandangan si plontos, mengusahakan bagaimana caranya agar laki-laki itu tidak melihatku.

Namun sekali lagi, hal itu tak berlangsung lama. Pada hari kedua, aku berbagi tugas dengan Lily. Lily akan ke kantin untuk membeli makanan untuk kami berdua, dan aku akan meminjam buku di perpustakaan. Tentu menurutku ini akan aman. Sejak kemarin aku sudah berusaha menghindari kantin agar meminimalisir kemungkinanku bertemu dengannya.

Sial sepertinya tetaplah sial. Jantungku hampir melompat keluar dari rusuk ketika mendapati si plontos berdiri di depan pintu perpustakaan ketika aku masih melepas sepatuku untuk bisa masuk ke perpus. Dan sialnya lagi, laki-laki itu malah duduk di sebelahku untuk melepas sepatunya. Aku berusaha mati-matian untuk tidak menoleh, tapi dengan bodohnya sepatu yang jadi susah di lepas karena aku terlalu gugup itu malah terlepas dari tanganku dan terlempar ke arahnya.

Sial. Sial. Sial.

"Aduh!" pekiknya sambil mengusap dahinya yang terkena sepatuku.

Lagi pula kenapa juga sepatu sialanku ini bisa sampai ke dahinya!?

"Maaf, maaf! Aku nggak sengaja!" Setelah mengucapkannya, aku langsung berlari ke rak sepatu dan meninggalkannya, juga mencari buku yang harus aku dan Lily pinjam secepatnya, dan berlari ke kelas secepat yang aku bisa demi tidak bertemu lagi dengan si plontos itu.

* * *

Kalau kemarin aku berangkat sekolah dengan lesu, hari ini aku sama sekali tidak ada niat untuk pergi ke sekolah. Kalau bukan karena belajar itu penting bagiku, aku pasti tidak akan berangkat. Sungguh. Bahkan saat istirahat seperti ini, aku akhirnya hanya membiarkan Lily pergi ke kantin dengan Putra, teman yang duduk di bangku depanku agar aku bisa duduk berdiam diri sambil meratapi nasib.

Rian, yang kelas X lalu dapat peringkat 1 di angkatanku dan kini menjabat sebagai ketua kelas itu tiba-tiba menghampiriku. Ia datang dan menjatuhkan bom atom seolah-olah aku ini Hiroshima dan Nagasaki. Katanya Bu Endang, wali kelasku itu, memanggilku ke ruangannya. Keringat dingin langsung membasahi sekujur tubuhku.

Dan tepat dugaanku. Bu Endang memanggilku (atau memenggalku?) karena alasan bolos yang kulakukan akhir semester lalu demi menonton konser. Aku ditegur habis-habisan karena memalsukan kondisiku yang sebenarnya tak sakit. Dan yang sesuatu yang paling kutakutkan itu benar-benar terjadi, karena aturan di sekolah memang harus ditegakkan, membuatku ingin menangis habis-habisan di tembok ratapan. Selama 3 hari aku harus belajar mandiri di depan ruang guru, yang notabene selalu dilewati banyak orang dan terlihat dari segala penjuru. Mau ditaruh mana mukaku ?!

Ini pasti gara-gara si plontos itu! Berani-beraninya si anak bau bawang itu melaporkanku ke wali kelasku.

Melihat waktu istirahat masih ada 10 menit, aku menghampiri kelasnya (ya, aku tahu di mana kelasnya karena aku sudah mencari tahu sebelumnya karena harus berjalan memutar agar bisa menghindari kelas itu). Masih sampai di ujung koridor, aku melihatnya duduk bergerombol di depan kelas dengan teman-temannya.

Entah dapat keberanian dari mana, aku menembus kerumunan itu dan memintanya untuk mengikutiku pergi.

"Saya butuh ngomong sama kamu." Aku mengucapkannya sambil menahan amarah, karena si Plontos yang ternyata bernama Praya (aku baru berhasil melirik name tag di dada kirinya) itu masih bisa menatapnya dengan tatapan bingung seolah-olah dia tidak tahu apa-apa.

Tak kupedulikan koor 'Cie-cie' yang menggema di sepanjang koridor, tapi untung saja Praya mau berjalan di belakangnya dan mengikutinya untuk menyingkir.

Begitu mencapai sisi gedung yang lebih sepi, aku mendengus marah. Bagai banteng yang habis melihat bendera merah berkibar, aku bersiap menumpahkan lava panas yang akan keluar dari mulutku.

"Kamu yang laporin saya ke Bu Endang ya? Berani-beraninya kamu ngaduin saya?"

"Apa?" Tampang bingung di wajah Praya itu rasanya seperti kayu bakar yang semakin membakar amarahku. Bisa-bisanya dia pura-pura nggak tau.

"Saya tau kamu yang lapor ke Bu Endang karena saya bolos classmeeting semester lalu. Nggak ada orang lain yang tahu selain Lily dan kamu kalau saya bolos untuk pergi nonton konser. Karena Lily nggak mungkin tega aduin saya, satu-satunya kemungkinan cuma kamu."

"Oh!" Praya sepertinya mulai tercerahkan. Baru ingat kalau mengadu ke guru? Ia kemudian melanjutkan, "kamu yang di kereta waktu itu, pantesan keliatan familiar dan nggak asing dengan wajah kamu."

"Nggak usah sok-sokan nggak tau, deh!"

Praya berdecih, tertawa remeh kemudian balas menatapku tepat di manik mata. Entah kenapa perbuatannya ini tiba-tiba membuat nyali ingin berperangku yang tadinya tak kalah dengan Mulan dan amarahku yang berkobar bagai api neraka ini tiba-tiba saja menciut.

"Bukan sok-sokan, tapi emang nggak tau. Saya aja baru ingat kamu siapa sekarang, kamu malah nuduh saya yang nggak-nggak. Kamu tuh nggak sespesial itu sampai saya harus ingat semua wajah orang yang saya temui di tempat umum."

Aku membelalak, tak bisa berkedip merasakan sebilah kata-kata berhasil menusukku sampai ke ulu hati.

"Lagian ngaduin kamu ke Bu siapa tadi? Saya aja belum kenal nama-nama guru di sini, gimana bisa saya lapor kebohongan kamu ke guru? Lagipula saya bukan tukang ngadu."

Lemparan kata-kata kedua ini bagaikan taburan garam di atas luka tusukanku yang tadi.

"Kalaupun saya yang ngadu, coba kamu pikir apa untungnya buat saya? Bisa bikin saya tiba-tiba jago bahasa jawa dan nggak roaming ketika ngobrol sama temen? Kalau bisa, saya mau ngaduin kamu. Tapi nyatanya apa? Nggak bisa, kan? Nggak ada untungnya, kan?"

Lukanya yang tadi baru saja disiram dengan semangkuk air jeruk nipis.

"Alibiku nggak cocok sama tuduhan kamu, kan? Hanya karena rencana kamu nggak berjalan mulus dan kesalahan kamu ketahuan, jangan halu jadi orang. Dunia ini nggak hanya berputar di kamu aja. Jangan merasa spesial."

The last blow... terasa seperti air dingin yang baru disiramkan di atas kepalaku, membuat amarahku yang tadinya menggebu-gebu habis tak bersisa. Bahkan asapnya pun tak ada. Yang muncul hanya rasa malu luar biasa yang membuatku menggigil.

Praya berjalan pergi tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, meninggalkanku terpaku seperti pasak bumi di parkiran sekolah yang sepi. Bahkan ketika bel masuk berbunyi, rasanya aku tak sanggup untuk melangkah kembali ke kelas. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan saat ini adalah kembali ke kasurku dan menangis sepuasnya, menangisi kesialan yang rasa-rasanya datang bertubi-tubi seolah ingin menenggelamkanku ke laut tak berdasar.

***

Hari pertama hukumanku, aku merasa seperti berada di neraka. Yah, walaupun aku belum pernah di neraka, tapi aku benar-benar tersiksa oleh rasa malu. Satu sekolah tahu kalau aku bolos selama tiga hari demi menonton konser, beberapa melihatku ingin tahu, beberapa melihatku dengan pandangan mencemooh, dan sisanya melihatku sebagai fans freak penggemar boyband. Reputasi anak rajinku di SMA ini kini tercemar sudah!

Beberapa kali aku berpapasan dengan Praya dan teman-temannya ketika mereka lewat untuk pergi ke kantin dan melewati mejaku. Aku sama sekali tak bisa mengangkat mukaku untuk menatapnya. Setiap lagi melihat bayangan Praya, rasanya aku ingin tenggelam ke inti bumi. Tapi kalau bukan Praya, siapa lagi?

Setelah curhat berjam-jam pada Lily sepulang sekolah di hari aku bertemu dengan Praya, Lily berjanji padaku akan membantu mencari tahu orang yang mengadu pada Bu Endang. Ia dan Putra akan melakukannya untukku selama aku menjalani masa hukuman.

Beruntung, yang paling berat hanya hari pertama. Hari kedua dan ketiga, rasanya aku sudah mulai terbiasa dengan pandangan orang-orang kepadaku, yah walaupun tetap saja aku malu setengah mati. Tapi bagaimana lagi? Aku harus belajar menerimanya. Pengecualian pada Praya karena aku masih merasa lebih baik menghilang daripada harus menerima tatapan si plontos yang tak lagi plontos itu.

Pada hari terakhir, tepatnya hari Sabtu, setelah Bu Endang memberikan ceramah tambahan tentang betapa buruknya perbuatanku dan betapa aku tidak takut karma karena aku membohongi banyak orang, Lily dan Putra dengan baik hati menyambutku keluar dari kantor guru. Mereka bahkan berpatungan mentraktirku dengan makanan enak untuk mengembalikan mood-ku yang selalu berantakan akhir-akhir ini.

"Kita udah tau siapa yang ngelaporin kamu ke Bu Endang!" Putra tiba-tiba mengatakannya dengan jumawa, membuatku hampir mengeluarkan es krimku dari hidung karena terkejut.

"Siapa?" tanyaku hampir berteriak setelah batukku karena hampir tersedak mereda.

"Kamu tau, kan yang ngefans boyband kesayangan kamu itu di kelas kita nggak cuma kamu aja?" tanya Lily membuat dahiku berkerut.

"Merita?" tanyaku tak yakin. Namun, kemudian aku teringat seseorang yang pernah bertukar photocard denganku saat kelas X dulu. "Sesil?"

Putra menjentikkan jarinya tepat di depan mataku. "Tepat!"

"Dia iri sama kamu karena kamu bisa lihat konsernya, apalagi dapet poster bertanda tangan dari idol lo itu, sedangkan dia di sini jadi panitia classmeeting dan nggak bisa bolos karena dia yang jadi MC waktu pembukaan acara."

Aku membelalak tak percaya mendengar penuturan dari Lily. Seketika aku merasa kesal bukan main. Ya seharusnya bukan salahku kalau Sesil tidak bisa menonton, kenapa jadi aku yang salah?

Well, tapi aku memang salah. Mengingat hal itu seketika aku tak jadi marah. Aku memang pantas mendapatkannya karena telah berbohong ke pihak sekolah.

"Kamu mau labrak Sesil?" tanya Putra dengan nada memancing peperangan, tapi kemudian ia mendesah malas ketika melihatku menggeleng lelah.

"Nggak, lah. Biarin aja. Lagian aku emang salah kok. Dan hukumannya udah lewat, udah aku jalanin. Labrak juga nggak ngubah apa-apa."

"Uh! Dewasa bangeeettt!!!" pekik Lily dengan nada manja. "Tapi untuk melengkapi sikap kedewasaan kamu ini, sepertinya kamu harus minta maaf deh ke orang yang kamu tuduh."

"Siapa? Prau Layar" tanya Putra, yang kemudian dihadiahi tatapan bingung dariku dan Lily. Ia kemudian menegaskan, "Praya—Prau Layar?"

"J*ncik, jayus!" Lily melempari Putra dengan tisu-tisu bekas di depan mejanya.

Benar juga. Mengingat bagaimana ia membabi buta menuduh Praya yang tidak-tidak demi membenarkan kecurigaanku membuatku seperti pengecut. Aku ingin mengelak, tapi keputusan akhir hatiku ujung-ujungnya berakhir agar aku segera meminta maaf padanya. Tapi aku malu. Setengah mati. Bagaimana ini?

Hari Seninnya, dimana matahari bersinar dengan cerah di antara langit biru, aku akhirnya membulatkan tekad. Aku membelikan Praya minuman, makanan, dan apapun yang sanggup kubeli hari itu untuk menyampaikan permintaan maaf dalam bentuk sticky notes. Beruntung Putra dan Lily mau untuk mengantarkanku ke kelas Praya. Dan beruntungnya lagi, kelas itu hanya dihuni oleh dua orang karena semuanya sedang ngacir ke kantin.

"Bangku Praya yang mana?" tanyaku pada salah satu dari kedua orang itu.

Aku kemudian meletakkan bungkusan yang kubawa di salah satu meja yang ditunjuk. Setelahnya, aku langsung menyeret Lily dan Putra untuk segera meninggalkan kelas itu karena sungguh aku tidak ingin bertemu dengan Praya. Kalau bisa selamanya.

Namun, entah kenapa rencanaku untuk tidak bertemu dengan Praya itu sepertinya tidak di-asese oleh Yang Mahakuasa. Sepulang sekolah, laki-laki itu malah berdiri menjulang di depan kelasku, membuatku yang biasanya membenci kelas Biologi ini untuk pertama kalinya berharap bahwa kelas akan berlangsung lebih lama. Guruku satu ini memang selalu lama ketika mengajar sehingga selalu membuat siswanya terlambat keluar kelas, tapi sungguh aku berharap akan lebih lama lagi. Kalau teman-temanku bisa membaca isi pikiranku, mungkin aku akan didepak ke lubang buaya saat itu juga. Bukan buaya darat, tapi benar-benar buaya.

Tapi sudah kubilang Tuhan sepertinya lupa padaku, mungkin karena aku keseringan berbohong. Kelasnya berakhir selama biasanya. Tak selama yang kuharapkan. Aku menahan tangan Lily dan Putra, mencegah mereka meninggalkanku sendiri.

"Kamu sembunyi aja di belakang kita," usul Putra yang entah bagaimana akhirnya kusetujui.

Usul yang kukira itu bagus karena aku bisa bersembunyi di balik badan Putra dan Lily, tapi sepertinya terlihat super bodoh di mata Praya karena begitu lewat di depannya dan aku sudah menyembunyikan wajahku serapat mungkin di balik Putra, laki-laki itu berhasil menahan tas ranselku sehingga aku tak bisa melanjutkan langkahku.

Praya kemudian melangkah ke depanku sambil mengacungkan sticky notes yang ku kirimkan padanya tadi siang. Apa tulisanku tidak cukup bagus untuk mencerminkan kesungguhanku untuk minta maaf? Yah, walaupun seperti jejak kaki ayam begitu, aku yakin aku sudah menuliskannya dengan sungguh-sungguh.

"Kamu cuma minta maaf pakai begini aja?" tanya Praya dengan nada remeh.

Hey! Aku sudah menuangkan kesungguhanku di sana! Lagi pula aku ini kakak kelasnya, berani sekali dia mengatakan hal itu padaku.

"Nggak ada itikad baik untuk datang dan minta maaf langsung? Atau paling nggak ngasih saya penjelasan?"

Aku akhirnya menggertakkan gigiku dan memejamkan mata, menimbun keberanian untuk melakukan aksi masokis demi mendeklarasikan permohonan maaf pada seorang Praya. Aku menghabiskan sesorean itu untuk menjelaskan semuanya, termasuk bagaimana aku yang akhirnya mengetahui orang yang melaporkanku pada Bu Endang.

Bahkan kedua orang yang tadinya kuanggap temanku itu ternyata adalah pengkhianat karena meninggalkanku dengan Praya yang menatapku seolah dia ini kaca pembesar yang ditimpa cahaya matahari dan aku adalah kertas yang terbakar di bawahnya. Membuatku mau tak mau harus rela melakukan aksi penebusan dosa pada Praya dan menghadapi laki-laki itu seorang diri.

Walaupun ternyata tak semudah yang ku bayangkan, Praya akhirnya memutuskan untuk menerima permintaan maafku. 


TAMAT


Hello, pinecones! My name is Ilafi (some called me ily, and that's cheesy I know), a fangirl and a romance book reader. Majority writes in Chicklit and romance genre. Currently busy being a burden and wanna be an independent really soon! Check out my other works on my profile pinetreeforest!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro