"Tumbal" - LightKuro
TUMBAL
A Short Story by LightKuro
"Kenapa?"
Zata sempat tersentak kaget ketika mendapat tepukan di bahu sekaligus pertanyaan yang mengusik keasyikannya. "Tidak apa-apa," gumamnya seakan menolak menjelaskan, tapi matanya kembali mengarah kepada gadis yang sedari tadi dia perhatikan dengan saksama.
"Apanya yang tidak apa-apa? Dari tadi kuamati kau terus memperhatikan dia." Daniv tidak percaya dengan jawaban Zata, pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil.
"Memangnya tidak boleh?" ketus Zata, akhirnya berhenti mengamati gadis yang Daniv maksudkan. Berusaha kembali fokus menghabiskan camilan miliknya.
Daniv terkekeh. Dia merasa lucu melihat sikap Zata yang sok tidak tertarik, tapi nyatanya selalu menunjukkan sikap yang sebaliknya. "Boleh saja, tapi nanti jangan heboh kalau rumor yang beredar ternyata benar."
Zata berdecak malas. "Rumor apa lagi, sih?"
"Rumor kalau ayahnya adalah pengikut sekte yang menggunakan tumbal manusia. Sebagai timbal balik ilmunya dalam mencapai kesuksesan."
Zata mengernyit heran. "Bukankah ayahnya ada di penjara?"
"Katanya memang begitu. Akibat ketahuan sudah menumbalkan salah satu keluarganya sendiri," jawab Daniv, merebut bungkus camilan Zata dan ikut memakan tanpa izin pemiliknya.
Zata kembali terpancing untuk menatap gadis yang sedang mereka bicarakan. Dia bahkan tidak peduli ketika camilannya dihabiskan oleh Daniv.
Keduanya memang sedang menikmati waktu istirahat dengan duduk santai di bawah pohon sambil memakan camilan yang dibeli di kantin sekolah. Posisi mereka duduk berseberangan dengan jendela kelas mereka, di mana ada seorang gadis duduk di kursinya yang bersebelahan dengan jendela yang terbuka.
Gadis itu terus menunduk tanpa peduli dengan sekitar. Entah apa yang dia baca dari buku-buku bersampul aneh yang selalu dia bawa kemana pun.
Sebenarnya bukan hanya Zata yang menaruh perhatian kepada gadis tersebut. Mungkin hampir semua penghuni sekolah—salah, semua penduduk desa mereka.
Wajar saja. Gadis itu dan ibunya baru saja pindah ke desa mereka, diiringi beberapa kabar yang tidak biasa. Dikatakan gadis itu dan ibunya terpaksa pindah dari tempat asal mereka di kota untuk bersembunyi dan menghindari orang-orang yang mereka kenal. Diakibatkan ayahnya yang mendekam di penjara karena kasus pembunuhan berencana.
Sebab lainnya adalah karena memang gadis itu sangat mudah menarik perhatian dengan fisik dan juga sikapnya. Wajahnya sangat cantik dengan mata besar yang indah dan juga kulit putih bersih. Rambut panjang sepinggang miliknya berwarna hitam pekat, hingga tampak berkilau di bawah sinar matahari. Hampir bisa dikatakan gadis itu tampak seperti boneka hidup yang sangat cantik.
Belum lagi sikapnya sangat aneh karena tidak pernah mau bicara kecuali diminta oleh para guru. Beberapa teman sekelas yang mencoba mendekat dan mengajak bicara, selalu berakhir kecewa karena tidak pernah dihiraukan olehnya. Bahkan ditatap balik pun tidak.
Kebanyakan dari mereka yang awalnya sangat kagum dan tertarik kepada si gadis, berbalik menjadi kesal dan mengatainya si sombong yang aneh. Terlebih karena rumor terkait ayahnya yang semakin menyebar ke seluruh desa kecil mereka. Juga karena sikap misterius si gadis yang selalu berpakaian atau mengenakan atribut berwarna hitam, serta membaca buku-buku bersampul aneh dengan judul bertema mistis.
Karena semua sebab itulah, Zata menjadi salah satu orang yang tanpa sadar selalu menaruh perhatian kepada si gadis. Bukan karena tertarik seperti pemuda kepada seorang gadis. Namun, karena si gadis memang sangat mudah memancing rasa penasarannya.
"Kalau memang dia anak seorang pengikut sekte, bukannya sangat riskan untuk desa kita?" tanya Zata, setelah beberapa waktu memikirkan banyak hal yang mengusik pikirannya. "Nanti desa-desa lain akan membicarakan desa kita, kalau sampai kabar seperti itu sampai ke mereka. Bahkan mungkin orang-orang kota yang mengenal keluarganya akan mencari sampai ke sini."
Terdengar embusan napas kasar dari Daniv. Pemuda bertubuh agak gempal tersebut membuang bungkus camilan ke tempat sampah di dekat mereka sambil berdiri dari duduknya. "Benarkan aku bilang tadi? Belum tahu kebenarannya saja kau sudah heboh begini."
"Darimananya aku heboh?" protes Zata, ikut berdiri. Mereka harus kembali ke kelas. Lonceng tanda istirahat berakhir sudah dibunyikan. Sekolah di desa mereka memang masih mengenakan lonceng yang suaranya akan terdengar bahkan hingga keluar lingkungan sekolah.
Karena Daniv tidak membalas protesannya, Zata kembali melanjutkan sanggahan, "Aku sangat mencintai desa ini. Aku tidak akan membiarkan desa kita terusik akibat kehadiran dia dan ibunya. Kedatangan orang-orang dari luar desa hanya akan mengusik ketentraman desa kita."
"Tapi kan belum tentu juga kabar itu benar. Mungkin saja ayahnya masuk penjara karena terlibat tindak kriminal biasa. Bukan karena pembunuhan tumbal," sahut Daniv, tampak tenang saja menghadapi sikap Zata yang kadang mudah meledak-ledak dan antusias berlebihan.
"Apa sudah ada yang mencari tahu secara langsung? Maksudku," ralat Zata, mengikuti langkah Daniv yang tadinya berjalan duluan menyeberangi halaman menuju kelas mereka, "Apa sudah ada yang bertanya langsung kepadanya atau ibunya terkait rumor keluarga mereka?"
Daniv kembali terkekeh pelan, tampak geli sendiri mendengar pertanyaan Zata. "Penduduk desa kita sepertinya terlalu malas untuk mencari tahu langsung. Kau tahu sendiri, bagaimana kita semua tidak begitu suka ikut campur urusan orang lain. Kecuali dirimu, mungkin," sindir Daniv dengan nada canda kepada temannya itu.
"Sialan, kau mengejekku?!" sergah Zata sambil meninju lengan Daniv meski hanya seadanya. Kekehan Daniv semakin membuatnya kesal, tapi tidak benar-benar marah.
"Aku akan melakukannya."
Daniv yang sudah duduk manis di kursinya bersama Zata, menaikkan alis akibat penasaran mendengar teman semejanya itu berucap pelan dengan nada penuh tekad.
"Aku akan bertanya langsung kepadanya," terang Zata, menjawab tatapan pertanyaan Daniv. "Biar semuanya jelas dan kita tidak perlu lagi berpikir yang macam-macam, kalau memang semua itu tidak benar. Dan kau akan menemaniku melakukannya."
Daniv mendengkus. Pasti ujung-ujungnya dia akan diikutsertakan. Selalu begitu. "Itu kalau dia mau kau ajak bicara. Kalau diabaikan seperti yang lain, bagaimana?" pancing Daniv, tampak mulai menunjukkan raut enggan atas topik tentang si gadis. "Belum tentu juga dia akan jujur saat berhasil kau tanyai."
"Aku tidak peduli kalau dia mengabaikanku. Sampai dia mau bicara, aku akan terus menanyainya," sahut Zata, keras kepala. Dia memang belum pernah mengajak si gadis berbicara, jadi belum tahu apakah akan diabaikan atau bagaimana.
"Terserah kau saja," sahut Daniv, semakin malas meladeni. "Asal nanti jangan terlalu merepotkanku."
Zata menyeringai kecil mendengar keengganan Daniv. Dia menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, tanda kalau dia tidak menjamin atas permintaan terakhir Daniv.
* * *
Nasia meyipitkan mata ketika melihat pemandangan beberapa meter di depannya. Lagi-lagi, Zata dan teman-temannya mengusili Miana. Kasihan sekali gadis itu, tampak sangat tidak nyaman saat Zata terus menyudutkannya di dinding belakang sekolah sambil terus berbicara.
"Bukankah aku sudah pernah memintamu untuk tidak lagi mendekati Miana?" tegur Nasia dengan suara tenang, tapi cukup efektif membuat Zata dan teman-temannya memundurkan tubuh dari depan Miana.
"Memangnya kau siapa, terus melarangku?" tantang Zata, menatap kesal ke arah gadis yang tadi mengganggunya dalam melakukan misi berbicara dengan si gadis sombong yang aneh—Miana.
"Aku ketua kelas dan ini masih area sekolah. Semua teman sekelas akan menjadi tanggung jawabku, terutama Miana yang akhir-akhir ini selalu kau usili." Nasia masih berucap tenang tanpa terpengaruh dengan tatapan Zata yang seakan mengejek sekaligus menantangnya.
"Sudah kubilang, aku tidak mengusilinya!" protes Zata, menatap kesal kepada Nasia, gadis berbadan mungil dengan rambut terikat buntut kuda dan berwarna cokelat gelap. "Aku malah ingin mengajaknya berbicara agar nanti mudah berbaur dengan teman yang lain."
Nasia melihat Daniv membuang napas kasar sambil membuang tatapan, menandakan kalau apa yang diucapkan Zata tadi hanyalah omong kosong. Mengabaikan protes Zata, Nasia memandang satu orang lagi di dekat Daniv. Seorang gadis, adik kelas sekaligus adik David.
"Kau tidak harus ikut melakukan hal tidak penting seperti mereka, Eria. Pulanglah bersamaku," ajak Nasia kepada gadis bernama Eria tersebut. "Kita bisa sekalian mengantarkan Miana sampai rumahnya."
Zata berdecak kesal. Nasia memang berbadan kecil, tapi dia bukan tipe gadis yang bisa diintimidasi Zata dengan mudah. Kalau gadis itu sudah mulai tidak menghiraukannya, maka apa pun yang Zata lakukan hanya akan sia-sia. Tanpa bicara lagi, dia melangkah pergi menuju gerbang sekolah, diikuti Daniv yang selalu tampak santai kapan pun dan di mana pun berada.
"Maaf, Kak Nasia. Aku akan makan siang dengan mereka. Lain kali saja kita pulang bersamanya, ya," ucap Eria dengan suara manis, kontradiktif dengan wajah datarnya. Sekilas dia menyempatkan diri menatap Miana dengan tatapan tak terbaca, sebelum berlalu menyusul kakaknya dan Zata.
Setelah kepergian Eria, Nasia kembali menatap Miana. Gadis cantik berambut panjang terurai tersebut menunduk menghindari tatapan Nasia. Nasia membuang napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Ayo, kuantar pulang."
Dengan gerak pelan yang terlihat sangat anggun dan mempesona, Miana mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Nasia. Nasia yang sesama gadis saja sempat berdecak kagum di dalam hati, apalagi para pria. Sayangnya, raut datar serta tatapan kosong Miana membuat gadis itu terlihat sedikit menakutkan.
"Aku cukup mengenal Zata dengan baik. Dia bukan tipe yang mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia mau," lanjut Nasia, menjawab penolakan Miana yang tadinya hanya berupa tatapan. "Kau sudah merasakannya sendiri beberapa hari belakangan, kan? Tidak ada yang tahu kalau ternyata dia masih menunggumu di ujung jalan sana."
Nasia melihat kalau Miana tampak menggerakan matanya ke arah lain. Dia menduga gadis itu sedang mempertimbangkan perkataannya tadi terkait Zata. Beberapa waktu terdiam tanpa ada respons, diartikan Nasia sebagai persetujuan Miana untuk pulang bersamanya. Dia tersenyum maklum lalu melangkah lebih dulu.
"Lain kali, jangan lagi pulang lewat pintu belakang," ujar Nasia, berjalan pelan di depan Miana. Posisi mereka berjarak tiga langkah. Nasia paham dengan sikap Miana yang masih menolak untuk terlalu akrab dengannya, meski Nasia adalah sosok yang paling sering menyapa dan memberi senyum tanpa peduli dengan sikap tak acuh Miana.
Karena terlanjur sudah berada di dekat area pintu belakang sekolah, jadi Nasia memilih untuk melewati jalan tersebut dibanding memutar ke gerbang depan. Dia mengerti kenapa Miana sering memilih jalan ini. Miana terlalu enggan bergabung dan berdekatan dengan siswa lain saat pulang sekolah. Sikap anti sosialnya semakin parah dari hari ke hari.
"Kadang, keramaian malah jauh lebih aman dibanding tempat sepi." Nasia berucap lagi demi memberi saran kepada Miana yang masih melangkah tenang di belakangnya. Langkah gadis itu terus terdengar olehnya.
Namun, beberapa waktu kemudian Nasia menyadari kalau Miana berhenti berjalan. Dia berbalik untuk memeriksa. Nasia mengikuti arah tatapan Miana. Gadis itu berhenti untuk memperhatikan sebuah bangunan kecil di belakang sekolah. Kalau dari dalam sekolah, tempat tersebut memang tampak tidak begitu menarik perhatian karena kondisinya yang seperti gudang lama. Namun, dari posisi mereka saat ini yang sudah berada di luar pagar sekolah, tempat yang tepat berada di ujung halaman sekolah serta dinding sampingnya hampir menempel pada pagar sekolah, tampak terlihat sangat menyeramkan dengan jendela-jendela di posisi tinggi yang tertutup kain hitam.
"Miana?" panggil Nasia, ketika mendapati gadis itu melangkah pelan mendekati pagar kawat setinggi dua meter yang menghalangi mereka dari dinding bangunan tersebut.
Nasia memperhatikan bagaimana Miana tampak sangat tertarik dengan sesuatu di dinding bangunan. "Ada apa?" tanyanya, mendekati gadis itu untuk ikut mencari tahu.
Miana masih tidak bersuara, tapi tangannya terangkat untuk menunjuk di beberapa bagian dinding samping bangunan dengan gerak pelan.
Nasia mengikuti arah jari Miana bergerak di dekat pagar kawat. Ketika sangat dekat seperti ini, dia bisa melihat beberapa coretan di dinding bangunan. Seperti lambang atau simbol aneh yang tidak biasa terlihat di tempat umum atau buku-buku pelajaran. Ada yang menggunakan tinta hitam, ada juga merah. Simbol tersebut berukuran kecil-kecil hingga wajar saja hanya orang yang mendekati dinding baru bisa melihat jelas semuanya.
Tanpa sadar, Nasia ikut terdiam memperhatikan simbol-simbol tersebut. Miana bahkan tampak lebih mendekati pagar dan mencengkeramkan kedua jemarinya di kawat, seakan ingin menembus pagar dan menyentuh langsung dinding bangunan.
Nasia mengernyit melihat sikap Miana. Perasaannya langsung terasa kurang nyaman. "Pasti ini ulah siswa-siswa nakal yang suka bermain di belakang sekolah," ujarnya, berpikir logis seperti biasa.
Gelengan pelan Miana yang membelakanginya membuat Nasia semakin mengernyit. Gelengan tersebut adalah sanggahan. Hal itu langsung mengganggu pikiran Nasia. "Memangnya ada apa dengan coretan-coretan ini?" tanyanya, mulai semakin bingung dengan respons Miana yang dianggapnya agak berlebihan hanya karena coretan-coretan aneh tersebut.
Nasia sempat beberapa kali membuang napas panjang, menunggu Miana merespons atau menyudahi kegiatannya memandangi coretan di dinding. Sampai akhirnya Miana memalingkan kepala untuk menatap Nasia sambil berucap pelan namun tetap terdengar jelas di telinga Nasia, "Ini simbol sihir."
Kalau yang mengucapkannya adalah Zata atau Daniv, maka Nasia hanya akan mendengkus atau terkekeh geli. Lelucon. Tapi ketika Miana yang berbicara kepadanya untuk pertama kalinya dengan suara seperti berbisik di tengah kesunyian area belakang sekolah, diiringi senyum dingin dan tatapan tajam yang aneh, Nasia langsung dapat merasakan kegelisahan dan sedikit ketakutan merayapi dirinya.
"Kumohon," sahut Nasia dengan suara pelan dan sedikit bergetar, tanpa bisa dia kontrol. "Ayo, kita pulang."
* * *
"Sialan!"
Miana menghempaskan tas sekolahnya di atas meja makan tua di dapur. Dia mengambil gelas untuk menuang air, lalu meminumnya seperti sangat kehausan.
"Ada apa, Sayang?"
Sapaan ibunya tidak membuat Miana kaget meski wanita itu muncul secara tiba-tiba. Rumah tua yang tidak lebih besar dibanding ruang tamu rumahnya saat di kota, memudahkan mereka menemukan keberadaan satu sama lain.
"Aku muak dengan desa ini! Mereka semua para berengsek yang suka mengurusi hidup orang lain! Kampungan!"
Arora, ibu Miana tersenyum tipis. Mulut anak gadisnya memang sangat berbanding terbalik dengan paras rupawannya. Arora sudah biasa menghadapinya.
Dulu Miana memang sangat dimanja oleh ayahnya dengan segala kemewahan, hingga menjadikan dirinya bersikap seperti putri besar yang agak seenaknya dan bermulut sinis.
"Bersabarlah. Hanya di sini kita bisa memulai semuanya tanpa terusik dengan masa lalu," bujuk Arora, membelai kepala putrinya yang kini duduk di kursi dapur dengan wajah luar biasa kesal.
"Apanya tidak terusik?! Mereka semua tahu alasan kita pindah ke sini! Mereka bahkan mulai berbisik dengan menyebut anak pengikut sekte sambil menatapku!" pekik Miana, mulai kembali lepas kendali. Segelas air putih tampaknya tidak berhasil mengendalikan kemarahannya.
"Apa sebenarnya yang telah ayah lakukan?! Kenapa semuanya jadi seperti ini?!" tuntutnya kepada sang ibu untuk kesekian kalinya, sejak kejadian mengejutkan menimpa keluarga mereka beberapa bulan lalu.
Arora tersenyum sendu. "Sudahlah, jangan dibahas lagi. Ibu selalu merasa sakit saat mengingatnya. Ayahmu...." Dia terdengar berusaha menahan diri, enggan memperjelas apa yang selalu menjadi momok untuknya.
Beberapa bulan lalu, mereka terbangun pada subuh hari akibat mendengar teriakan salah satu pelayan yang menggemparkan seluruh penghuni rumah. Pelayan wanita tersebut terduduk di dekat pintu gudang belakang rumah, sambil menangis dan tampak ketakutan dengan apa yang dia lihat dari dalam gudang.
Hal yang Miana dan Arora ingat saat itu adalah ayah Miana yang tampak tidak sadarkan diri di dekat pintu gudang. Sumber ketakutan dan kekagetan terbesar mereka adalah sosok tante Miana yang juga terbaring di tengah ruangan, tepat di atas lantai yang bergambarkan sebuah simbol aneh berukuran besar. Adik kandung ayahnya tersebut sudah tidak bernyawa dengan kulit pucat seperti kehabisan darah.
Miana dan Arora terlalu kaget untuk mengerti situasi saat itu. Terlebih rasa malu karena pembicaraan banyak orang mengatakan kalau ayah Miana adalah penganut sekte yang melakukan sihir dan ritual tumbal demi semua kekayaan serta kejayaan yang dia miliki. Lebih parah lagi karena telah menumbalkan adiknya sendiri yang masih perawan.
Tidak ada penjelasan rinci karena kondisi ayah Miana sendiri seperti orang linglung yang melupakan banyak hal ketika diinterogasi. Bicaranya kacau dan seakan mengiakan saja ketika semua tuduhan ditujukan kepadanya. Apalagi keluarga mereka langsung mengalami kebangkrutan pasca tertangkapnya pria tersebut, tanpa sebab yang bisa dimengerti oleh Miana.
"Ayah tidak mungkin melakukan hal sinting seperti itu. Semua harta dan kesuksesan yang dia peroleh adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Bukan hasil melakukan tindak sihir seperti yang mereka tuduhkan!" Miana berusaha terus meyakinkan dirinya. Logikanya menolak segala hal yang menimpa sang ayah.
"Aku yakin, pasti ada yang menjebaknya! Harusnya kita tidak meninggalkan kota. Aku akan membuktikan kalau ayah sama sekali tidak terlibat dengan hal mistis sialan itu!" sergah Miana, memukul meja dapur dengan tangannya, menunjukkan betapa marah dan frustrasinya dia dengan keadaan keluarga mereka saat ini.
"Sudahlah, Sayang," pinta Arora dengan suara lirih, menahan tangis. "Kita masih perlu menenangkan diri. Jangan lagi mengungkit hal tersebut sebelum kita benar-benar siap. Akan ada waktunya kebenaran terungkap. Kita hanya perlu sabar menunggu."
Miana berdecak, mengabaikan perkataan ibunya yang rasanya sudah sering dia dengar. Dia dan wanita itu memang teramat berbeda. Fisik mereka saja tidak mirip, begitu juga sikap dan cara berpikir. Miana mewarisi semua yang ada pada ayahnya. Sedangkan Arora mungkin hanya mewariskan iris mata berwarna cokelat terang kepadanya, meski nenek dari pihak ayah Miana juga memiliki mata yang serupa.
Malas melanjutkan pembicaraan dengan sang ibu, Miana bangkit dari duduknya dan langsung menuju kamar tidur kecil yang terasa menyesakkan untuknya. Dia kembali melempar tasnya dengan kasar ke atas tempat tidur, lalu bergumam dengan penuh dendam, "Aku akan memberi pelajaran kepada mereka."
***
Demi mencari tahu apa yang menimpa ayahnya, Miana memang sengaja membaca buku-buku tentang hal mistis yang berkaitan dengan sekte atau semacamnya. Buku dengan info seperti itu memang sangat terbatas dan terlarang untuk dibahas. Dia pun hanya berhasil menemukan buku dengan informasi umum saja. Tidak benar-benar menjelaskan secara gamblang terkait apa dan bagaimana sebuah sekte bekerja.
Meski begitu, ada beberapa hal kecil yang dia pahami dan patut untuk dicoba demi memuaskan hasrat penasaran dan rasa kesalnya.
Awalnya Miana masih bisa menoleransi segala tatap dan bisik-bisik banyak orang terkait dirinya dan apa yang menimpa keluarganya. Namun, ketika Zata dan teman-temannya nekat melakukan tindakan yang mengarah pada perundungan secara terang-terangan, maka Miana tidak lagi dapat menahan dirinya untuk tetap diam dan tenang seperti yang diminta sang ibu.
Terasa sangat mudah. Setelah lonceng pulang sekolah berbunyi, Miana hanya perlu memancing Zata dan teman-temannya untuk mengikutinya sampai ke bangunan tua di belakang sekolah. Bangunan yang beberapa hari lalu dilewatinya bersama Nasia. Ternyata bangunan itu hanya memiliki satu ruangan yang cukup lenggang untuk melakukan aktivitas di dalamnya. Tempat tersebut sepertinya juga bebas dimasuki siapa saja, karena kuncinya tergantung begitu saja di lubang bagian luar pintu.
Zata dan teman-temannya terlalu penasaran, hingga tidak menyadari bagaimana cara Miana mengulur waktu demi bisa keluar ruangan tanpa membawa serta mereka. Dengan gerak cepat, Miana mengunci mereka di dalam bangunan tersebut. Dia mencabut kunci dari lubang dan melempar asal di dekat pintu.
"Berteriak saja sekuatnya. Semoga akan ada yang mendengar kalian sebelum malam," sergah Miana kepada Zata dan teman-temannya yang terdengar memanggilnya dari balik pintu.
Seraya menyeringai dan sesekali terkekeh geli, Miana meninggalkan bangunan tua tersebut dengan langkah ringan dan hati puas. Kalau Zata bisa membuatnya sangat terganggu, maka Miana bisa mulai membalasnya dari tindakan pengurungan seperti hari ini. Sebagai peringatan agar mereka tidak lagi berusa menganggunya di kemudian hari.
Miana berjalan menuju gedung sekolah. Hari ini dia ingin pulang lewat gerbang depan saja. Mengikuti saran Nasia yang terdengar logis baginya. Namun, langkah ringannya langsung terhenti ketika mendapati Nasia sudah menghadangnya di dekat belokan koridor.
"Kau apakan mereka?" tanya Nasia langsung dengan kening mengernyit.
"Tidak ada," sahut Miana dengan tenang. Nasia adalah satu-satunya teman satu sekolah yang berhasil membuatnya berbicara. Nasia selalu baik kepadanya dan tidak pernah memandangnya dengan cara aneh seperti yang lain, hingga membuat Miana lumayan merasa nyaman ketika harus berinteraksi dengan gadis itu.
Nasia membuang napas kasar, tampak menggeleng pelan. Tanpa bicara, dia melangkah menuju bangunan di belakang sekolah yang biasa mereka sebut sebagai gudang.
"Biarkan saja," cegah Miana, refleks memegang lengan Nasia yang melewatinya. "Sesekali, mereka perlu diajarkan untuk tahu batasan."
"Dengan cara mengurung mereka?" tanya Nasia dengan nada tak percaya. "Tindakanmu kelewatan! Kau hanya perlu berbicara agar mereka tahu batasan mana yang tidak boleh mereka langgar. Bukan melakukan tindakan jahat seperti ini. Bahkan Eria ada bersama mereka. Dia cuma gadis polos yang tidak tahu apa-apa!"
"Ada apa ini?"
Suara bariton seorang pria dewasa mengagetkan mereka. Keduanya berpaling untuk mendapati kepala sekolah yang mungkin sudah berusia lebih dari setengah abad, menatap mereka di dekat belokan koridor di mana Nasia tadi muncul.
"Waktu pulang sekolah sudah lama, kenapa kalian masih berkeliaran di sini?" tanya kepala sekolah dengan kening mengernyit heran dan sedikit curiga ketika melihat gelagat kedua siswinya tersebut.
Kali ini, Nasia tidak mau membela Miana. Dia malah menatap Miana agar gadis itu sendiri yang menjelaskan situasinya.
Miana mengumpat dalam hati. Nasia mungkin masih bisa dia lawan, tapi kepala sekolah bukan orang yang pantas dia kibuli. Sejak awal kenal, dia sangat segan kepada pria tua tersebut.
"Maaf, saya hanya ingin bercanda saja. Tapi, sepertinya terlalu berlebihan," terang Miana dengan suara pelan, menunduk dari tatapan kepala sekolah.
Nasia mendesah pelan, tidak tega. Dia akhirnya membantu Miana menjelaskan masalahnya kepada kepala sekolah. Kepala sekolah mereka yang terkenal bijak dan tidak penah galak, hanya tersenyum simpul ketika telah mengerti.
"Ayo, kita jemput mereka," ajak kepala sekolah, memimpin kedua gadis tersebut menuju gudang sekolah.
Miana memang mengaku salah, tapi dia merasa kesal karena gagal memberi pelajaran lebih lama kepada Zata dan teman-temannya. Mungkin lain kali dia akan mengerjai mereka dengan lebih hati-hati lagi agar tidak diketahui Nasia atau orang lain.
Nasia mengajukan diri membuka kunci pintu. Ketika pintu terbuka, Miana akhirnya sadar kalau ternyata kondisi sekitar sangat sunyi. Suara Zata dan teman-temannya yang awalnya minta dibukakan pintu kepada Miana, tidak terdengar bahkan ketika mereka masih berjalan menuju gudang.
Ada apa dengan mereka? Apa sudah keluar sendiri atau bagaimana? Miana mengernyit heran dan mulai waswas. Apa jangan-jangan keusilannya benar-benar menimbulkan petaka di dalam sana?
"Apa mereka benar-benar di dalam?" tanya kepala sekolah, terdengar heran ketika mendapati kondisi ruangan yang tampak sepi dan tak berpenghuni.
Miana yang semakin waswas, tanpa sadar lebih dulu memasuki ruangan dengan tergesa. Keningnya mengernyit heran. Zata dan teman-temannya tidak terlihat. Hal yang membuatnya kaget adalah gambar simbol besar di lantai.
Sebelumnya, Miana memang menggambar sebuah simbol yang ditemukannya secara asal di buku yang telah dia baca. Hanya sebagai bahan lelucon tambahan untuk rasa penasaran Zata selama ini. Dia berniat menakut-nakuti dengan mengurung mereka bersama simbol yang dia buat.
Tapi anehnya, simbol yang sekarang terlihat di lantai ruangan sudah bukan simbol yang dia buat sebelumnya. Berwarna merah, tidak seperti miliknya yang menggunakan kapur putih.
Miana mulai geram, meski juga sedikit ketakutan. Sepertinya Zata dan teman-temannya ingin langsung membalas perbuatan Miana. Tunggu, Miana seperti pernah melihat simbol tersebut. Bukan di buku-buku yang dia baca, tapi di suatu tempat.
Suara pintu yang ditutup membuat Miana kaget. Dia langsung menoleh ke arah Nasia dan kepala sekolah yang berdiri menghalangi pintu. Miana mengernyit heran di antara rasa takut yang mulai membesar. Senyum manis Nasia bahkan membuat bulu tengkuknya meremang. Sedangkan kepala sekolah hanya berwajah datar tanpa mengalihkan tatapan dari simbol di lantai.
"Nasia, ada apa ini?" lirih Miana dengan nada ketakutan, ketika Nasia berjalan tenang menuju dirinya.
"Tidak perlu khawatir, Zata dan yang lainnya sedang bersiap," ucap Nasia, semakin tersenyum manis kepada Miana. Dia sudah berdiri tepat di depan Miana yang memiliki tinggi melebihi dirinya.
Miana membulatkan mata ketika merasakan tubuhnya seperti membatu, bertepatan ketika salah satu tangan Nasia menyentuh kulit pipinya. Jemari gadis itu membelai lembut kulitnya seperti sedang memuja.
"Kau cantik sekali," desah Nasia dengan nada aneh yang rasanya baru kali ini didengar Miana. "Benar-benar seperti boneka hidup yang sangat mempesona. Pasti akan sangat menyenangkan bisa menjadi dirimu."
"Ck! Aku tidak menyukainya. Sikapnya buruk, sangat bertolak belakang dengan fisiknya."
Miana bisa mendengar suara Zata dari belakang tubuhnya, tapi dia masih berdiri kaku tanpa bisa menggerakkan tubuhnya sendiri. Entah ke mana tadi Zata dan bagaimana mereka bisa menghilang, lalu muncul kembali di ruangan tersebut.
"Tenang saja, mereka bukan hantu yang menembus dinding. Ada pintu lain di sisi ruangan ini agar mereka bisa keluar dan menjemput ibumu."
Miana terbelalak. Ibunya? Maksudnya?
Di tengah ketakutan dan kekagetannya, ingatan Miana berhasil mengingat di mana dia pernah melihat simbol yang ada di lantai tepat di belakangnya. Di dinding samping bangunan ini. Sesuatu yang dia amati bersama Nasia beberapa hari lalu.
"Cepatlah, Nasia! Aku kesal kalau harus terus melihat caranya menatap kita." Lagi-lagi Zata bersuara dengan ketus dan terdengar jengkel.
Nasia terkekeh pelan. Dia meninggalkan Miana dan mendekati Zata demi bisa mencium salah satu pipi pria tersebut dengan sayang. "Aku akan membuatmu menyayanginya nanti."
"Yeah, pasti," sahut Zata dengan suara melunak. "Kalau itu kau, pasti aku akan sangat memujamu walau bagaimanapun fisikmu."
Miana melihat kepala sekolah mendekat kepadanya dan segera membantunya berbalik. Miana mulai menangis ketika melihat ibunya ada di antara beberapa orang yang mengelilingi simbol besar di lantai, bersebelahan dengan Eria.
Arora menatap datar kepada putrinya sendiri. Bahkan ketika Miana di baringnya di tengah simbol dalam kondisi terus menangis, tepat di depannya dengan mata mereka yang bisa saling bertatapan.
"Seandainya tantemu tidak berbohong atas keperawanannya, kau mungkin bisa menjadi salah satu dari kami. Tapi dia mengacaukan semuanya dengan kebohongannya, hingga membuat ritualku gagal. Ayahmu terlanjur memergokiku, jadi mau tidak mau kalian harus membayar kegagalanku."
Miana tidak sepenuhnya mengerti. Dia hanya bisa menangkap beberapa hal dari penjelasan singkat ibunya yang tampak tidak berbelas kasihan kepadanya.
"Jangan menangis," ucap Nasia, membuyarkan tatapan Miana kepada Arora. Nasia duduk bersimpuh di atas kepalanya. Sedangkan yang lain sudah duduk mengelilingi Miana dengan menggunakan jubah hitam bertudung.
Miana merasakan bibirnya bergetar hebat ketika Nasia menunduk dan menyatukan kening mereka dalam posisi berlawanan. Terdengar semua orang mulai bergumam bersamaan dalam bahasa yang tidak Miana mengerti. Seperti membaca mantra.
"Pejamkan matamu," bisik Nasia dengan suara yang lembut namun sangat menakutkan. "Milikku. Kau milikku, Miana."
Tepat setelah Nasia membisikkan kata-kata tersebut, Miana seperti dipaksa memejamkan matanya. Tidak lama. Kegelapan membuat kesadarannya melemah, lalu perlahan menghilang.
* * *
Beberapa tahun kemudian
Seorang wanita muda meletakkan buket bunga di atas sebuah nisan. Sejenak dia membelai nisan tersebut sambil tersenyum tipis, lalu berbalik untuk menyambut sodoran tangan seorang pria yang menunggu tidak jauh darinya.
"Aku suka tubuh mungil Nasia. Sayang sekali jantungnya tidak mendukung," ujar si wanita sambil memeluk lengan sang pria.
"Omong kosong. Kau bahkan lebih memuja rambut hitammu yang sekarang," ucap Zata, pria yang berucap penuh ejekan, tapi sambil mengelus sayang kulit tangan wanita yang memeluk lengannya.
"Yeah, siapa yang tidak memuja Miana? Kau bahkan menggilainya sekarang," ujar wanita tersebut, menyebut dirinya sendiri sambil terkekeh pelan.
Zata mendengkus. Malas berdebat dengan sang kekasih yang kini berwujud Miana. Mereka melangkah ringan, meninggalkan area pemakaman di mana jasad Nasia dan jiwa Miana tertinggal.
TAMAT
LightKuro, lahir pada 16 Mei. Bergabung dengan Wattpad sejak April 2015. Menyelesaikan novel pertama pada tahun 2017. Sangat menikmati membaca dan menulis cerita bergenre romance. Masih menyukai sensasi menulis di media Wattpad. Email : [email protected]. Instagram: yantyahya. Facebook : Yanti Yahya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro