"There's No Second Chance" - aku-UMI
THERE'S NO SECOND CHANCE
A Short Story by aku-UMI
"Nabila!"
Mendengar ada yang memanggil namanya, gadis itu berhenti melangkah. Mematung di koridor gedung M1, tempat kelas XI IPA berjejer. Kepalanya ia tolehkan ke kanan-kiri, berusaha mencari pemilik suara. Namun, nihil. Tunggu, haruskah kisah horor menghampirinya bahkan di hari pertama ia menyambar gelar senior? Demi Tuhan, Nabila baru saja pulang dari indahnya kota Bali. Bersenda gurau bersama keluarga setelah kepalanya hampir meledak karena menjalani Ujian Akhir Semester. Dan pagi ini, saat semangatnya sedang membara di hari pertama semester ganjil di kelas XI IPA 3, dia sudah akan mendapatkan hal yang mengerikan?
"Gimana liburan ke Balinya?"
Tak terlalu kentara, tetapi Tuhan tahu, baru saja Nabila mengembuskan napas lega. Matanya mendapati cowok dengan seragam abu-abu berjalan mendahului, dan berdiri di hadapannya. Dia pikir, akan ada makhluk mengerikan yang tiba-tiba melongokkan kepala dari balik pintu kelas. Ternyata imajinya masih sama liar.
"Rizky! Gue kira siapa."
"Setop panggil gue Rizky, Bil. Too good to me."
"Emang lo orang yang baik!" Nabila menyunggingkan senyum asimetris, sedetik kemudian wajahnya berubah sendu. "Dulu," imbuhnya, sangat lirih. Ia sendiri tak yakin lawan bicaranya mampu mendengar satu kata itu dengan baik.
"Gimana liburan ke Balinya?"
Ah! Tadi Gara sudah menanyakan pertanyaan itu, kan? Nabila sampai lupa menjawab saking merasa lega karena ternyata sosok yang memanggilnya bukanlah makhluk astral. "Bali nggak pernah mengecewakan pengunjungnya." Semua orang tahu, kalau Bali akan selalu menjadi kota pertama yang akan Nabila kunjungi di hari libur. Mengalahkan destinasi indah lain.
"Masih selera Nabila, ya, Bil?"
Mengangguk, Nabila berkedip pelan. Mengamati wajah putih mulus milik lelaki yang tak pernah absen mengirim pesan singkat selama ia di Bali. Seandainya pun tak berupa sederet huruf yang tersusun penuh makna di layar ponsel, lelaki itu masih akan mengganggu liburannya dengan mengirim voice note lewat WhatsApp. Hanya berisi sebait lagu memang, tetapi Nabila sudah cukup dengan semua itu. Cukup untuk mengacaukan liburannya.
"Lo sendiri?" Nabila mencoba tak bersikap egois. Jika selama ini Gara yang selalu memulai, maka kali ini tak mengapa jika ia sedikit menurunkan kadar gengsi yang telah ia susun setinggi mungkin. "Gimana liburannya?"
"Biasa aja."
That's it? Nabila sibuk membatin dalam hati. Liburan selama itu, bisa dimanfaatkan untuk berkunjung ke rumah sanak saudara. Atau, memilih kota paling indah sebagai tujuan liburan keluarga. Apa pun itu. Dan Gara lebih memilih mengungkapkannya lewat kata 'biasa aja'?
Di saat Nabila sedang semrawut dengan pikiran-pikiran seputar liburan, Gara tertawa kecil. Dia tahu, mantan gadisnya ini sedang memikirkan ucapannya. Sikap Nabila yang kebetulan sudah diketahuinya selama mereka berhubungan. Satu tahun saja. Namun, Gara yakin dia sudah cukup mengenal Nabila Febriani. "Karena semua rencana gue gagal."
"Rencana apa?"
Tak langsung menjawab. Gara diam sejenak, menelisik ke dalam bola mata gadis itu. Meskipun ia tahu, saat ini Nabila gelisah akibat tatapannya, tetapi ia tak mau repot untuk mengubah jenis tatapan menjadi lebih normal. "Dulu, gue udah rencanain bakal liburan ke Bali untuk kali pertama bareng lo. Pengin tau kenapa seorang Nabila Febriani Permata sampai segitunya sama Bali. Dan-"
"Karena Bali indah. Siapa pun-"
"Gue belum selesai." Merasa Nabila tidak akan memotong kalimatnya lagi, Gara tersenyum kecil, lalu melanjutkan, "Gue pengin belajar buat menuhin Instagram gue dengan nuansa kebalian. Biar feed-nya sekeren punya lo. Ternyata, satu bulan sebelum liburan semuanya harus kandas." Gara memilih memberi jeda dengan mengambil pasokan udara untuk paru-paru. "Kenapa lo milih pergi, sih, Bil?"
Mati kutu.
Dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan posisi Nabila sekarang. Jangankan untuk menjawab pertanyaan retoris itu, membalas tatapan Gara saja dia tak berani. Hey, bagaimana pun, dia bukan sekelas Awkarin yang akan biasa saja saat bertemu dengan mantan kekasihnya atau justru saling uji lewat lagu.
Kalau bisa, sekarang ia ingin berlari sekencang mungkin, menembus dinding di samping mereka berdiri dan bersembunyi di bawah meja.
Namun, tentu saja itu pemikiran bodoh.
Karena selama ia berdiam diri, Gara sama sekali tak melepaskan tatapannya. Tak juga berniat segera mengakhiri momen awkward dan membiarkan gadis itu pergi. Tidak. Gara tak pernah sebaik itu terhadap Nabila. Sejak dulu. "Masih suka Nutriboost?"
Namun, meski begitu, seorang Rizky Anggara akan selalu tahu hal kecil untuk momen-momen tertentu. Seperti sekarang. Apakah ada yang tahu makna sebotol minuman yang berisi perpaduan sari buah dan susu segar itu bagi Nabila? Khususnya di situasi tak nyaman ini. Ya, Nabila butuh penenang. Tak perlu sekelas pelukan hangat dari lawan jenis. Atau pun kata motivasi nan indah. Tenggorokannya hanya butuh dialiri manisnya buah dan susu dari botol minuman yang kini sudah ada di genggaman Gara.
Lelaki itu baru saja mengeluarkan satu botol Nutriboost dan menyodorkan ke hadapan Nabila. Harapannya masih sama, sesederhana dulu; Senyuman tipis tetapi memikat akan didapatkannya dari wajah lembut Nabila.
Semoga saja.
"Thanks."
Gara mengangguk. Mengamati tangan Nabila yang mulai membuka tutup botol dan mendekatkannya pada mulut. Saat tenggorokkan gadis itu bergerak karena menelan isi dari botol yang sudah tak menimbulkan embun-embun kecil, Gara mengulum senyum. Dia masih sama, masih seindah dulu. "Enak?"
Tanpa ragu, Nabila menganggukkan kepala, menyetujui.
"Tau kenapa bisa selezat itu?"
"Karena ada susu dan buah. Gue suka."
"Bener," sahut Gara singkat. Dirinya tahu kesukaan Nabila pada buah dan susu. Apalagi ada jenis minuman yang mencampurkan keduanya. Gara yakin, lemari pendingin di rumah Nabila tak akan luput dari minuman itu. "Nutriboost aja butuh perpaduan dari sari buah dan susu biar jadi minuman lezat. Lo nggak mau bersatu sama gue lagi buat kembali mengulang cerita?"
Boom!
Jadi, inilah inti dari pembicaraan lebar mereka tadi? Awalnya Nabila hampir saja menghilangkan sisi egois dan mulai membuka diri kembali. Berharap, setidaknya mereka bisa bersikap layaknya dua manusia yang kebetulan ditempatkan di satu planet oleh Tuhan, yaitu Sekolah Nusa Dharma.
Namun, mendengar satu kalimat terakhir Gara barusan, Nabila mengurungkan niat, bahkan menyesalinya.
Mereka tak akan bisa menjadi biasa lagi. Mereka tak bisa menjadi dua orang tanpa rasa canggung. Karena bagi Nabila, segala sesuatu yang pernah tergores, tak akan pernah kembali seperti semula. Meski lukanya sudah mengering atau bahkan menghilang.
Berbanding terbalik dengan lelaki yang kini jantungnya bekerja tak keruan. Apa ada yang berpikir kalau saat mengatakan kalimat-kalimatnya tadi ... Gara tampak biasa saja? Maka semuanya keliru. Kalau ingin mengetahui, perhatikan dengan jeli bagian dada. Tepat di area saku yang berlogo OSIS itu, jantungnya berdegup. Ia gugup, tentu saja. Harapannya sangat tinggi saat mengatakan kalimat itu untuk Nabila.
Karena bagi Gara; Dua orang yang pernah gagal dalam sebuah hubungan, merekalah yang akan merasakan sejatinya cinta. Sebab, mereka sudah tahu pilihan-pilihan yang akan membawa ke dalam perpisahan. Dan bukankah mantan tercipta hanya untuk kembali mengulang cerita?
Bagaimana pun, Nabila masih sama di matanya.
Lalu, bagaimana dengan Nabila?
* * *
"Just because I miss you, doesn't mean I should take you back."
Nabila mengucapkan dengan raut dan nada yakin. Yakin sampai dia tidak menyadari kalau lawan bicaranya tengah menahan senyum geli.
"Halaman berapa, Bil?"
"Maksudnya?"
Tawa Gara pecah. Berikutnya ia menggaruk alis padahal semua orang tahu tak ada yang salah dengan alis lelaki berkulit putih itu. "Itu masih buku favorit sampai sekarang?"
Sial.
Pipi Nabila bersemu. Secepat kilat, ia membuang pandangan ke arah lain. Ke mana pun, asal jangan memandang wajah lekaki di depannya sekarang. Tetapi yang memalukan adalah ... selanjutnya, bibir tipis itu menerbitkan senyum. Tipis saja.
Namun ia tidak menyadari kalau senyum itu mampu menarik satu momen di dalam kepala lelaki tampan di depannya; Rizky Anggara.
Hari itu, saat pertama kali Gara bertemu pandang dengan perempuan berambut kepang satu dan diletakkan di bahu kanan. Di sebuah meja makan, di kantin Nusa Dharma pada siang hari. Teriknya sang surya membuat beberapa siswa-siswi tergopoh agar lekas menemukan surga dunia berupa sebotol atau sekaleng soft drink.
Begitu pun dengan Gara, sebagai siswa pindahan di semester genap di kelas X, memilih duduk sendiri di meja keempat, terhitung dari sebelah kanan. Dia belum memiliki teman satu pun. Jadi ia duduk seorang diri, sebelum gadis berambut kepang itu datang dan meminta izin untuk duduk di seberangnya. Sebab sekeliling sudah dipenuhi oleh lelaki atau perempuan ber-geng lain.
"Boleh duduk sini?"
Gara masih sangat mengingat jenis suara, intonasi, dan kosa kata yang digunakan gadis itu. Termasuk senyum tipis yang ikut menambah manisnya momen. Gadis beralis tebal. Itulah penilaian Gara untuk pertemuan perdana mereka.
"Boleh. Silakan."
"Nggak pernah liat di kantin ini?"
Gara menunjuk diri sendiri menggunakan telunjuk. Setelah mendapatkan anggukan kepala lengkap dengan senyuman dari gadis di kursi seberang, detik itu juga Gara tertawa kecil; jenis tawa canggung. "Gue anak baru, by the way. Kantinnya lumayan lebar, ya?" Menggerakkan bola mata, Gara memandangi seisi kantin.
Memang benar, kantin Nusa Dharma terbagi menjadi dua. Barat dan Utara. Utara adalah tempat mereka sekarang. Beberapa stand makanan berjejer dengan makanan beragam. Tradisional sampai internasional.
"Menurut gue sempit, sih," Nabila tersenyum lebar, tangan kanannya bergerak, membenarkan letak rambut di bahu. "buktinya bisa ketemu sama elo. Dari sekian banyaknya orang."
"Percaya takdir?"
Nabila mengangguk.
Dan, keduanya kini mengakui; takdir akan selalu mengiringi setiap langkah. Bahkan mengitari mereka.
Seperti sekarang. Waktu mempertemukan mereka lagi dan lagi, dalam setiap kondisi. Walaupun memang, Nabila sedikit keki karena batinnya menganggap Gara-lah yang patut disalahkan atas keterlibatan takdir dalam cerita mereka.
Andai saja Gara mau berhenti mengusik dirinya. Andai saja Gara mau mengakui, kalau mereka hanya dua orang yang pernah terlibat kerja sama dalam menciptakan romansa sederhana selama satu tahun penuh.
Tetapi ... semua memang hanya berupa pengandaian.
Nyatanya, kini Gara berdiri hanya beberapa inci, menyodorkan topi hitam dengan separuh bagian depan berwarna putih, bertuliskan Cewek Cantik. Sama persis dengan yang ia kenakan. Hanya saja tulisan pada topi milik Gara, membuat alis Nabila mengerut; Cowok Ganteng.
Sebegitukah?
Dulu, itu adalah hal rutin dilakukan oleh Nabila. Selalu membeli benda berpasangan; Sneakers, gelang, jam tangan, kaus, jaket kulit, case ponsel, dan benda semacamnya. Semua itu hanya untuk mendapatkan label relationship goals dan mereka berhasil meraih gelar itu. Terbukti dengan bertambahnya followers di akun Instagram milik keduanya. Yang sebenarnya hal itu mereka yakini tak berguna.
Namun, sekarang tak ada satu pun barang yang tersimpan. Nabila sudah memasukan ke dalam satu kardus, lalu membuangnya bersama sampah lain, satu jam setelah kandasnya hubungan mereka.
Berbeda dengan lelaki berusia 17 tahun ini. Meski terlihat dia yang paling baik-baik saja pasca putusnya hubungan, tetapi tak ada yang tahu kalau di lemari bagian paling bawah di dalam kamar, ia masih menyimpan rapi semua barang yang Nabila beri. Tanpa terkecuali. Jaket kulit berwarna hitam, selalu menutupi tubuhnya sempurna ketika mengendarai Vespa, di bawah langit Jakarta. Bahkan, gelang dan jam tangan selalu ia kenakan di pergelangan tangan kanan dan akan langsung ia masukan ke dalam tas saat bertemu dengan Nabila.
Ya, Rizky Anggara. Masih dengan rasa yang sama dalam memandang, memperlakukan, dan mencintai Gadis Berkumisnya. Tak ada yang berubah. Sama sekali. Kenakalannya hanya merupakan tameng agar ia tak terlihat rapuh. Padahal ... jika ia diizinkan untuk menangis, ia akan melakukannya saat ini. Mengemis di depan gadis yang rambutnya hari ini dibiarkan tergerai indah.
"Berhenti, ya, Gar?"
Gara diam.
Bukankah diam lebih baik daripada salah memberi jawaban? Itu yang dilakukan Gara. Dia paham permintaan Nabila. Hanya hatinya yang berpura-pura tolol dan tak mau mengerti. Ia tak ingin berhenti. Karena berhenti sama dengan menyerah, kan? Dan menyerah berarti kalah. Haruskah ia mengaku kalah sekarang?
"Gue capek harus selalu ada di balik bayang-bayang lo. Aku beneran capek."
"Kenapa nggak lo coba narik gue lebih deket dan bersandar di sini?"
Nabila menggigit bibir bawah, bola matanya bergerak ke samping, demi mencari pengalihan sesaat. Dia paham apa yang dimaksud Gara dengan 'bersandar di sini', di bahunya. Sebab itulah yang selalu Gara tawarkan saat Nabila sedang dalam kondisi tak baik. "Nggak bisa, Gara."
"Apa yang bikin semuanya nggak bisa, Bil?"
Nabila menggeleng pelan, "Karena emang kita udahan. Semua berakhir sampai waktu itu aja."
"Why? Bukankah setiap orang berhak dapet kesempatan kedua?"
Mendengar itu, senyum Nabila terbit. "Enggak buat semua hal, salah satunya adalah perselingkuhan. Meskipun di luar sana ada banyak cewek yang maafin cowoknya, tapi gue nggak bisa. Bagi gue, sekali lo khianatin gue, lo nggak akan keberatan buat ngelakuinnya lagi."
"Gue janji gue nggak a—"
"Jangan pernah janji sesuatu yang yang lo aja belum tahu bakalan gimana. Gue yakin, dua tahun ke belakang, lo nggak pernah kepikiran buat selingkuh, kan? Lo harus bisa berdamai sama diri lo sendiri. Ayo, sama-sama perbaiki diri kita, kejar cita-cita kita. Karena masalah yang harus gue hadapi bukan cuma tentang hati. Dan kalau pun nanti lo bisa jadi orang lebih baik, pasangan lo pasti akan bahagia."
Bagi Nabila, there's no second chance for cheaters.
Sebab Nabila tahu rasanya.
Dia melihat bukti nyata, bahwa lelaki yang berselingkuh, mempunyai kesempatan besar untuk melakukan hal yang sama.
Ia tak mau seperti mamanya. Memaafkan berkali-kali untuk satu kesalahan. Baru berhenti saat sudah benar-benar hancur.
Jadi, meski sayangnya pada Gara masih sama besar, ia tahu ia harus berhenti. Paling tidak, demi dirinya sendiri.
Bukankah hidup penuh dengan hal indah lain selain menyiapkan patah hati?
TAMAT
Halo, namaku Umi, ini adalah projek perdanaku sebagai Wattpad Star dan semoga ke depannya bisa semakin maju lagi. kalau mau membaca cerita-ceritaku yang lain, silakan kunjungi profilku di sini (username Wattpad-ku Aku-UMI)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro