Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"The Story of December" - ItsLuvi_


THE STORY OF DECEMBER

A Short Story by ItsLuvi_ 


"Halo, selamat pagi!"

"Selamat pagi, Gina."

"Pagi-pagi ada gerimis yang mengundang nih, Ta."

"Mengundang rindu, Gin. Kayaknya ada yang lagi kangen seseorang nih."

"Siapa nih?"

"Pacar paling."

"Gebetan mungkin."

"Atau mantan?"

Ibel terkekeh mendengar tektokan dua penyiar yang suaranya nyaris selalu dirinya dengarkan setiap pagi di perjalanan menuju tempat kerjanya, yaitu sekolah SMA Yadika. Salah satu sekolah swasta yang ada di kota Bandung.

Bandung sedang menangis. Sejak semalam rinai hujan tidak pernah meninggalkan Kota Kembang. Beberapa daerah bahkan sudah tergenang banjir akibat hujan yang terus-menerus mengguyur dengan deras. Hujan pagi ini menghambat perjalanan Ibel menuju sekolah, karena kemacetan sudah mulai terjadi. Beberapa kali dia terpaksa harus menghentikan laju mobil.

Mengembuskan napas, Ibel kemudian bersenandung lagu I Surrender milik penyanyi Celine Dion yang sedang diputar di radio untuk mengusir kebosanan yang saat ini dia rasakan.

Butuh waktu yang lebih lama dari biasanya agar Ibel sampai ke sekolah. Begitu masuk ke ruangan bimbingan konseling, dia melihat Bu Maya sedang merapikan meja kerjanya dalam posisi berdiri dan membelakangi pintu. 

"Good morning!" Ibel menyapa penuh semangat.

"Morning, Bu Ibel!" Bu Maya melongokkan kepala ke belakang sebentar sebelum fokus membereskan berkas-berkasnya.

Ibel berjalan menuju meja kerja, menyimpan tas dan mengambil ponsel yang ditaruhnya di dalam tas berukuran mini tersebut. Lalu mengecek tanggal yang tertera di layar, 01 Desember yang entah di tahun ke berapa. Senyumnya terukir, tipis namun syarat akan kegamangan. Sebuah janji di masa lalu membuatnya terjebak pada angan-angan jika seseorang akan kembali, dia dan orang yang dimaksud itu akan bertemu di tanggal 01 Desember. Nyatanya nihil. Orang itu tidak pernah datang dan membuat Ibel terus menunggu. Janji siswa SMA memang tidak bisa dipercaya.

"Bu Ibel?"

"Iya, Bu?" Bola mata Ibel yang semula sibuk membaca status Facebook orang lain, beralih menatap Bu Maya. 

"Saya dapat laporan dari Pak Yono, selaku guru seni. Kemarin ketika ekskul drum band latihan, seorang murid perempuan tidak sengaja menjauhkan tespek dari saku celananya."

Mata Ibel hampir saja keluar saking kagetnya. Lagi, kasus yang sama. Entah harus dengan cara bagaimana lagi, dia dan Bu Maya menanamkan sex education kepada semua murid khususnya kelas XII. Setiap ada pembelajaran BK, dia tidak pernah absen menyampaikan motivasi dan hal-hal yang akan membuat murid-muridnya menyesal. Tapi dia merasa semua itu sia-sia setelah kasus ini terjadi bukan hanya sekali.

"Tespek, Bu?"

"Iya. Positif."

"Ya ampun..." Ibel mendesah. Dalam setahun terakhir, setidaknya ada dua kasus serupa namun terbongkar dengan cara yang berbeda. Untuk kasus pertama terbongkar karena murid perempuannya jatuh pingsan ketika pelajaran olahraga dan dibawa ke puskesmas.

"Oalah... Saya suka sedih tiap dengar kasus seperti ini, jadi ingat masa lalu teman saya juga ada yang terjerumus ke pergaulan bebas sampai hamil. Tapi pacarnya bersedia buat tanggung jawab."

"Iya, Bu. Remaja sekarang kurang bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bikin anak kok coba-coba." Bu Maya menyeletuk. "Saya juga jadi was-was punya anak perempuan. Pergaulannya harus dipantau terus."

Mengangguk setuju. Ibel ingat betul waktu sang ibu terus menceramahinya dulu setelah melihat teman dekat Ibel yang gagal menyelesaikan pendidikan dan terpaksa untuk menikah karena accident. Ibu bilang perempuan itu bukan barang elektronik yang kalau rusak masih bisa diperbaiki. Sementara perempuan sekalinya rusak, tidak bisa diperbaiki.

"Nama siswanya siapa, Bu?"

"Mega sama Andre."

Ibel kembali dibuat terkejut. "Lho, anak laki-lakinya sekolah di sini juga, Bu?"

"Iya. Mereka satu angkatan." Bu Maya menghampiri meja Ibel. Sudah ada beberapa buku digenggamannya yang siap dia bawa untuk mengajar di kelas. "Saya sudah cari profilnya, Mega kelas XI IPA 3 dan Andre kelas XI IPS 2. Kasihan mereka. Saya mau Ibu Ibel yang tangani, soalnya saya ada kelas."

Ibel mengangguk. "Saya akan berusaha semampu saya, Bu."

"Nanti saya yang panggil anak-anaknya sekalian ke kelas." Bu Maya berbalik badan, belum juga sampai di pintu Bu Maya kembali memutar balik badannya.

"Kenapa, Bu?"

"Ini tespeknya." Bu Maya menaruh alat uji kehamilan itu di meja Ibel. Ibel menatap pilu dua garis merah yang tertera di dalam tespek, jantungnya terasa diremas. Kenangan di masa silam terbayang kembali.

"Saya akan memanggil Mega dan Andre."

"Baik, Bu."

Sebelum dua murid yang dimaksud datang. Ibel menyeduh tiga gelas teh manis hangat lebih dulu. Kasus seperti ini mengingatkannya pada kejadian di masa lalu, tepatnya ketika dia duduk di kelas 3 SMA.

Namanya Arman, tiga tahun lebih tua dari Ibel. Satu tahun terakhir keduanya rutin menjalin komunikasi. Gawai kecilnya rajin berdering semenjak kedekatan dirinya dan Arman. Arman rajin melakukan komunikasi via telepon atau SMS. Ibel menyukai Arman, begitupun sebaliknya. Namun Ibel punya prinsip yang kuat. Dia tidak ingin berpacaran. Entah berapa banyak laki-laki yang mendekatinya dan tidak pernah sampai pacaran. Bagi Ibel, pacaran hanya akan membuat nilai-nilainya jelek. Pacaran hanya akan membuat orang tuanya marah. Namun Ibel tidak bisa memutuskan komunikasi dengan Arman. Ibel sudah nyaman dengan Arman. Untung saja, Arman tidak keberatan untuk menunggunya lulus SMA karena dia pun sedang menyelesaikan studi di perguruan tinggi juga.

Suatu sore, Arman mengajak Ibel jalan ke sekitaran Cikapundung River Spot yang berada di kawasan jalan Asia Afrika. Keduanya berjalan beriringan menikmati senja hari sore itu, bak sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

"Setelah lulus SMA, kamu mau 'kan nikah sama Aa?"

Pertanyaannya sontak membuat Ibel tercengang. Dia menghentikan langkah demi menatap Arman. Ibel merasa heran dengan sikap Arman akhir-akhir ini. Agak posesif dan memaksakan kehendaknya sendiri.

"Nikah?" Ibel mengulang pertanyaan. Barang kali telinganya salah mendengar.

"Iya, setelah lulus sekolah nikah sama Aa, ya?"

Ibel menggigit bibir bawah cukup kuat. Dia bingung harus menjawab apa. Sebab, Ibel sudah bercita-cita ingin melanjutkan studi di akademi keperawatan. Lagi pula orang tuanya pasti akan melarang dia menikah di usia muda. Sayangnya, persepsi orang-orang di daerahnya waktu itu masih terkesan kolot. Perempuan dianggap tidak penting untuk sekolah tinggi-tinggi sampai menghabiskan biaya ujung-ujungnya tetap saja melayani suami di dapur dan di ranjang.

Ibel menentang persepsi itu. Baginya, justru kalau istri kerja, penghasilan akan semakin bertambah. Tabungan pun demikian. Pada akhirnya tabungan itu akan keduanya gunakan untuk kebutuhan di masa depan.

"Maaf, A. Kayaknya nggak bisa. Ayah sama Ibu pasti nggak akan kasih izin. Mereka minta aku buat kuliah dan aku pun belum siap secara lahir ataupun batin."

Arman menatap Ibel lekat. Saat sadar, tatapannya lebih mengarah pada rasa kecewa. Arman meraih tangan Ibel, mengusapnya hangat, sebelum keduanya saling genggam dengan erat. 

"Aa sudah nunggu kamu dari tahun lalu, Bel."

"Bukannya setiap kali Aa menyinggung masalah ini aku selalu bilang, aku mau ngejar cita-citaku dulu, A. Banggain orang tua dulu karena selama ini aku sadar belum bisa jadi anak yang banggain orang tua."

"Terus ngapain Aa nunggu kamu kalau akhirnya nolak juga?"

Sebagai lelaki, Arman merasa hatinya terluka.

Memejamkan mata, Ibel membuang napas kesal. "Ibel nggak bermaksud nolak Aa. Ibel hanya belum mampu, A. Belum mampu untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih serius. Dari awal Ibel juga bilang, nggak mau dituntut apalagi itu soal menikah. Menikah bukan perihal usia, A. Bukan sesuatu yang harus dipaksakan juga, karena menikah bukan ajang perlombaan."

"Iya, jadi intinya kamu tetap nolak aku?"

"Ya." Ibel menjawab lugas. Karena jika terus dipaksakan, hubungan ini akan berjalan tidak baik.

Arman masih menatap Ibel, marah, kecewa, atau sakit hati tampak jelas dari sorot matanya.

"Kalau misalnya Aa ngerasa seperti itu nggak papa. Aa bisa cari perempuan yang siap untuk diajak menikah. Dan perempuan itu bukan aku, maaf."

Arman benar-benar pergi.

Tiga bulan dari kejadian itu, berita mengejutkan datang. Gita, salah satu teman dekat Ibel dikabarkan hamil setelah ada seorang siswa yang menemukan ponselnya. Dalam ponselnya itu, Gita melakukan percakapan dengan pacarnya. Pembahasannya mengenai kehamilan. Orang ini langsung melaporkannya ke guru BK. Gita mengakui kalau dia tengah hamil.

Setelah kasusnya diusut, dunia Ibel seakan runtuh ketika tahu jika lelaki yang menghamili teman dekatnya itu adalah Arman. Padahal Gita salah satu teman terbaik Ibel, segala tentang Arman selalu Ibel ceritakan pada Gita. Satu sisi dia kecewa karena Gita yang tidak jujur padanya. Satu sisi dia bersyukur, Tuhan menjauhkannya dari lelaki yang berani merusak perempuan seperti Arman.

Melihat Gita yang menangis di ruang BK membuat Ibel goyah dan terenyuh. Dia tidak tega melihat temannya meraung seperti itu. Guru BK tidak pernah berhenti memberi semangat pada Gita. Sejak kejadian itu, Ibel meninggalkan cita-citanya menjadi perawat dan memilih program studi Bimbingan Konseling.

"Assalamualaikum, Bu Isabella manggil Mega?"

Lamunan Ibel buyar. Murid perempuan bernama Mega itu akhirnya muncul dari balik pintu ruang BK yang terbuka. Ibel menatap Mega, sedangkan kepala mega langsung tertunduk untuk menghindari tatapan Ibel. Ibel menggerakkan bola matanya ke perut Mega. Tidak ada tonjolan yang berarti dari balik seragam putih itu. Jemari Mega memainkan ujung seragamnya. Anak ini sedang merasa cemas, Ibel bisa membaca ekspresinya.

Selesai mengucek teh, Ibel menghampiri remaja itu. Merangkul bahu Mega yang tampak rapuh. Menuntunnya untuk duduk.

"Iya, Ga. Yuk sini duduk!"

Dia duduk tanpa melontarkan protes apa pun. Bibirnya masih terkatup rapat sementara kedua tangannya setia memainkan ujung baju putihnya.

Ibel mengembuskan napas pelan dan mengambil teh manis yang sudah aku seduh tadi.

"Ibu bikin teh manis. Coba deh biar tenang."

Kepala Mega sedikit terangkat, menatap Ibel sekilas sebelum mengangguk kecil. Tangan kanan Mega meraih cangkir teh manis yang sudah Ibel simpan di atas meja.

"Iya, Bu. Terima kasih."

Ibel tersenyum tipis memperhatikan betapa lugu dan polosnya wajah remaja perempuan yang sedang meniup pelan teh manis yang asapnya masih mengepul, kemudian dia cecap sedikit. Siapa sangka wajah lugu ini melakukan kesalahan seperti yang dilakukan temannya dulu.

"Assalamualaikum, Bu. Ibu manggil saya?" Kedatangan murid laki-laki mengalihkan perhatian Ibel dan Mega. Demikian dengan murid laki-laki itu tercengang melihat kehadiran Mega di ruang BK. Mega tidak kalah terkejut. Keduanya saling tatap, Ibel bisa melihat ekspresi yang kian sendu dari wajah Mega.

"Oh, Andre ya?"

"I-iya, Bu." Andre menjawab gugup.

"Ayo masuk, Ndre!"

Andre mengangguk sopan dan duduk tepat di sebelah Mega yang tertunduk.

Ibel kembali berdiri untuk mengambil cangkir teh manis yang lain. Lalu dirinya simpan pada bagian meja di depan Andre.

"Teh manis, Ndre."

"Makasih, Bu." Andre memperhatikan secangkir teh manis tersebut namun terlihat enggan untuk meminumnya.

Kedua remaja di hadapan Ibel saling diam, dia pun diam. Menyimak situasi dan keadaan sekarang. Baik Andre ataupun Mega hanya menunduk dalam. Mega masih cemas, dia meremas kedua tangannya di atas paha.

"Ada yang ingin ditanyakan?" Setelah mengambil jeda, akhirnya Ibel bertanya untuk mengorek peristiwa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua.

Keduanya kompak menggeleng. Baik, sepertinya Ibel yang harus memulai obrolan.

"Kalian pacaran?"

Kembali, mereka kompak mengangguk.

"Andre ini kelas XI IPS 2, betul?"

"Iya, Bu."

"Kalau Mega kelas XI IPA 3, betul?"

"Betul."

Miris sekali rasanya melihat remaja-remaja ini harus gagal. Yang kecewa bukan hanya teman-temannya, guru-gurunya, lebih dari itu orang tualah yang paling kecewa dan harus menanggung malu.

"Mega, Andre, lihat Ibu."

Mereka merespons dengan lambat, pada akhirnya kepala mereka tidak lagi menunduk. Perlahan bola mata mereka terarah pada Ibel. Perempuan cantik dan berhijab itu berusaha membaca kegelisahan dari sorot mata kedua muridnya.

"Ibu di sini teman curhat kalian. Ibu tidak akan memberikan secuil informasi apa pun kepada orang lain tentang Mega dan Andre. Ibu hanya ingin kalian jujur sama Ibu. Tidak usah takut, apa pun yang ingin kalian ceritakan ke Ibu. Ibu akan menjadi pendengar yang baik."

Mereka masih mengunci mulutnya rapat-rapat. Ibel harus sedikit bersabar agar dua remaja ini mau terbuka. Membuang napas pelan, Ibel berdiri untuk mengambil tespek yang tergeletak di atas meja kerja. Kemudian kembali duduk dan menyimpan tespek tersebut di depan Mega. Mega tersentak, Andre pun demikian. Keduanya saling menatap lagi. Tidak lama setelah itu, aku mendengar isak tangis dari Mega. Remaja ini sebetulnya berjiwa rapuh, namun keingintahuan mereka yang besar menjadikan mereka terjerumus ke dalam lingkaran hitam.

Ibel bangkit dan duduk di sebelah Mega, berusaha menenangkannya tanpa berbicara apa-apa. Dia usap punggung rapuh Mega dengan pelan dan teratur. Setelah dirasa tenang, Ibel mengambil beberapa helai tisu.

"Tisu," katanya, memberikan helaian tisu itu pada Mega. Mega mulai menghentikan tangisannya dan menghapus air mata.

"Itu tespek punya kamu?" tanya Ibel pelan.

Dengan ragu Mega mengangguk.

"Kamu tahu garis dua merah itu artinya apa?"

Mega kembali mengangguk.

"Siapa ayahnya?" Ibel melirik Andre yang tampak sangat terpukul. Bahkan dia hanya membuang wajahnya, tidak pernah sekalipun Andre berani menatap Ibel.

Mega melirik Andre.

"Andre, iya?"

Mega mengangguk.

Pada tahap ini, Ibel bersyukur karena Mega memilih untuk jujur. Walaupun dia tidak sedikitpun membenarkan perbuatan mereka.

"Ga, Ibu tidak akan menghakimi kalian. Tapi yang harus kalian tahu, bahwa apa yang kalian lakukan itu sebuah kesalahan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kalian sebagai pelakunya, tapi kepada kedua orang tua kalian. Mereka bisa saja kecewa. Kenapa kalian melakukan itu?"

"Penasaran, Bu. Karena anak-anak cowok di tongkrongan suka nonton itu," jawab Andre.

Dada Ibel terasa sesak mendengar jawaban Andre. Jawaban yang sering kali dilontarkan oleh para pelaku di usia remaja.

"Kamu nggak memikirkan dampaknya akan seperti apa?"

Andre menggeleng.

"Mega, kenapa mau?"

"Enak, Bu."

Ibel langsung mengucap istigfar berkali-kali di dalam hati. Kepalanya pening. Ibel mengurut keningnya sebentar, dia tetap harus menjaga emosi agar tidak meledak dan menghakimi kedua muridnya.

"Ga, sesuatu yang negatif itu memang mengakibatkan kecanduan."

"Cuma empat kali kok, Bu." Mega berbisik. Lagi-lagi sukses membuat Ibel beristighfar.

"Aku pikir Mega nggak akan hamil, Bu." Andre ikut menimpali.

Sekarang, Ibel rasanya ingin melambaikan tangannya ke arah kamera.

Oh, My God!

"Kamu sudah baligh, Ndre. Mega juga sudah. Kalian sudah mempelajari pelajaran reproduksi. Seharusnya kalian lebih peka lagi. Jangan hanya karena penasaran, kalian melakukan hubungan itu berkali-kali."

"Maaf, Bu." Andre semakin terlihat gusar.

"Dulu, ada teman Ibu yang bernasib sama seperti Mega. Orang-orang membicarakan aibnya, teman-teman dia mulai menjauhi, dia digunjing dan diledek setiap hari. Orang tuanya selalu menangis. Dampak dari perbuatan kalian ini sangat besar, siap tidak siap kalian harus bisa melewatinya."

Kedua murid Ibel betul-betul bungkam.

"Ndre, berani berbuat berani bertanggung jawab!"

Andre tercengang, lalu mengangguk dengan ragu.

"Ibu akan menghubungi orang tua kalian!"

"Jangan, Bu!" Ekspresi keduanya tampak panik. Mereka mungkin takut menghadapi orang tua masing-masing ketika kasus ini sampai ke tangan mereka. Tapi dua remaja ini milik orang tuanya, orang tua yang memiliki hak untuk mengambil keputusan apa yang harus diambil.

"Orang tua kalian berhak tahu." Keputusan Ibel sudah final untuk memberitahu orang tua Mega dan Andre. Ibel mendapatkan nomor handphone orang tua mereka dari data pribadi yang ada di dokumen sekolah.

* * *

Mengambil napas sebanyak mungkin. Tubuh Ibel yang lemas langsung bersandar di lengan sofa ruang BK setelah berdiskusi dengan kedua orang tua Mega dan Andre juga ikut menghadap kepala sekolah. Keputusan kepala sekolah tidak bisa diganggu gugat, Mega dan Andre secara resmi dikeluarkan dari sekolah. Bukan sekali ini saja Ibel mendengar ponis kepala sekolah bagi siswa yang memiliki kasus serupa, namun hal itu tetap saja membuatnya sedih.

Ponsel Ibel yang tergeletak di meja berdering, sederet nomor asing muncul di layar. Dia mengangkat telepon tersebut dengan ragu dan tidak mengatakan apa-apa.

"Sibuk?"

Dahi Ibel sontak mengernyit. Lalu dia menjauhkan ponsel dari telinga. Dia menatap sederet nomor itu, mulai menerka-nerka apakah sebelumnya nomor ini pernah menghubunginya atau tidak. Seingatnya, baru kali ini nomor itu menghubungi dia.

"Isabella Anjani 'kan?"

"Ya. Ini siapa?"

"Ganda."

Tubuh Ibel seolah terkubur dalam bongkahan es, sampai mengakibatkan kebekuan yang luar biasa. Jantung yang berdebar maraton tidak bisa dia kendalikan.

"Ganda siapa?" Ibel bertanya gugup.

"Ganda Abimanyu, Bel. Masa lupa."

Oh My God! Harmoni masa lalunya mulai terngiang kembali setelah tahun-tahun kekeringan.

Dia, Ganda Abimanyu. Pria yang mendekati Ibel setelah Arman. Kisah mereka lumayan panjang untuk diceritakan. Akan tetapi intinya seperti ini...

Ganda Abimanyu adalah kompetitor Ibel di sekolah. Dari kelas 1, keduanya selalu dipertemukan dan selalu rebutan tempat di posisi teratas baik itu soal ranking atau pun kompetisi lain. Hampir setiap ada ajang perlombaan yang ingin Ibel ikuti, selalu direcoki oleh kehadiran Ganda yang punya misi visi serupa.

Hari itu, Ibel masih galau karena masalah Gita dan Arman. Bagaimana pun dia sudah sangat berharap pada Arman, namun ternyata Arman bobrok. Tidak ada akhlak. Nilai-nilai Ibel mulai turun, prestasi juga demikian. Dia yang biasa selalu semangat bersaing dengan Ganda mendadak tidak punya semangat. Patah hati menjadi pemicunya.

Ganda itu iseng. Dia menggoda Ibel terus-menerus karena merasa Ibel berubah dan sudah menyerah menjadi kompetitornya. Setiap hari dia mengecimus, puncaknya ketika Ibel tidak bisa mengalahkannya ketika sekolah mengadakan tes untuk siswa pandai yang akan diikut sertakan dalam kompetisi sains nasional.

Poin Ibel kalah telak dari Ganda. Dan itu menjadi objek Ganda menyombongkan diri. Saat itu Ibel marah pada Ganda, marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa fokus selama berbulan-bulan cuma karena perkara cinta monyet. Ibel membentak Ganda di depan semua murid yang ikut seleksi. Mereka terperangah, dan Ganda pun demikian. Ganda hanya mengatupkan bibirnya.

Sejak saat itu Ganda mulai mengajak Ibel berdamai, berteman. Dia ingin kembali bersaing dengan Ibel. Ibel sempat curiga, namun interaksi mereka sudah mulai mencair.

"Kamu kenapa? Akhir-akhir ini nggak fokus gini, Bel. Ada masalah ya?" tebak Ganda.

Ganda tiba-tiba datang ke perpustakaan saat Ibel berusaha menyibukkan diri untuk mempelajari buku-buku sains yang sebelumnya dia lupakan.

"Apa gara-gara Gita hamil?"

Ibel menatapnya nyalang. Namun tidak memberinya jawaban.

Ganda meringis. "Tadi nggak sengaja denger waktu di kantin, ada yang bilang cowok yang ngehamilin Gita itu mantan kamu ya, Bel?"

"Bukan mantan," koreksi Ibel. 

"Terus?"

Ibel berdecak. "Gebetan. Deketnya lumayan lama lah, cuma dia nembak nggak aku terima dulu."

"Kenapa nggak diterima?"

"Aku nggak mau orang tuaku marah, nggak mau nilaiku turun, mau fokus ke pendidikan. Eh ternyata, dia berulah yang bikin aku ngerasa bego banget jadi cewek, Gan."

Ganda mengernyit. Atensinya tidak lepas dari wajah cantik Ibel. Sebagai remaja yang sedang puber, Ganda tidak menampik jika fisik Ibel tidak menarik. Selain cerdas, Ibel juga didukung dengan penampilan fisik yang menarik. Senyumnya sungguh menawan. Secara tidak sadar, isengnya Ganda pada Ibel sebagian besar bertujuan untuk menarik perhatian Ibel agar melirik ke arahnya, menganggapnya ada.

"Kenapa kamu anggap dirimu bego?" Ganda bertanya setelah cukup lama memandangi wajah Ibel yang sedang fokus membaca. Sesekali gadis itu meletakkan tangannya di bagian dagu.

"Ya karena dia bisa bikin aku uring-uringan gini. Aku nggak tahu kalau dia seberengsek itu. Apa lagi dia ngelakuin itu ke temenku sendiri."

Ganda mengulum senyumnya. "Itu artinya Tuhan sayang sama kamu. Kamu dijauhkan dari cowok-cowok kayak Arman."

"Iya. Aku juga bersyukur. Coba kalau aku maksa tetap lanjutin deket sama dia. Bukan hal yang mustahil kalau aku akan berakhir seperti Gita."

"Hush! Sembarangan kalau ngomong. Perempuan itu memang harus pandai menjaga kehormatannya, Bel."

Ibel langsung menyetujui pertanyaan Ganda.

"Ya. Aku tahu. Makanya aku lepasin Arman karena untuk saat ini aku mau ngejar cita-cita dulu. Punya pacar urusan belakangan."

Ekspresi Ganda berubah. Lebih serius, walaupun tidak terlalu signifikan. Dia bergeming sejenak, memilah kosa kata apa yang akan dia utarakan pada kompetitornya untuk menjawab rasa penasaran akibat ucapan Ibel barusan.

"Dan itu termasuk ke dalam prinsip hidup kamu?"

Ibel mengangguk tanpa keraguan. Dia melipat ujung kanan buku yang sedang dibaca, kemudian menutupnya. Buku catatan yang dia anggurkan di atas meja kemudian dia buka. Dia mulai membuat mind map di salah satu bagian kertas yang kosong.

"Aku punya semacam impian. Pertama, aku harus lulus dengan nilai terbaik dan masuk universitas negeri. Syukur-syukur dapat beasiswa pertukaran pelajar itu."

"Kamu ngajuin juga?" tanya Ganda, sempat kaget namun pada akhirnya sadar kalau jika kompetisi Ibel tidak pernah main-main.

"Ya. Itu kesempatan emas. Gak mungkin aku relain gitu aja."

"Aku juga ikut."

"Udah bisa aku tebak," jawab Ibel santai. Akan terdengar aneh kalau Ganda tidak ikut kompetisi untuk memperebutkan beasiswa ke luar negeri tersebut.

Ganda tertawa. Terlihat lebih tulus dari biasanya. Karena sebelumnya Ganda selalu menampilkan jenis tawa ejekan yang selalu membuat Ibel naik pitam.

"Terus yang berikutnya apa?"

Ibel terkesiap. Salahkan pikirannya yang terkesima karena suara tawa Ganda.

"Berikutnya, aku mau dapat pekerjaan yang layak. Bikin orang tua bangga."

"Terus?"

Mega kembali menggambar bulatan di bukunya.

"Nikah, punya anak, dan hidup bahagia sampai tua."

Ganda memandang takjub mind map yang Ibel lukis.

"Mau nikah usia berapa?"

"Maksimal 27 tahun."

Sejak hari itu, intensitas kedekatan Ganda dan Ibel semakin terlihat jelas. Ganda secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Ibel, namun Ibel merespons sebaliknya. Ibel bersikap defensif dengan segala prinsip dan impiannya yang ingin dicapai. Ibel tidak-pura-pura tidak peka saja. Namun Ibel tidak menolak kehadiran Ganda di sampingnya, menjadikan rivalnya itu teman berdiskusi. Ganda juga selalu direpotkan dengan antar jemput Ibel setiap hari sekolah, dan mereka selalu meluangkan waktu untuk jalan berdua di hari libur.

Lagi-lagi Ganda lebih beruntung dari Ibel. Cowok berlesung pipi itu dapat beasiswa pertukaran belajar ke Jepang. Itu artinya, dia akan segera berpisah dengan Ganda. Tapi anehnya, biarpun kalah, Ibel sama sekali tidak keberatan dan malah mendukung Ganda.

Sore itu keduanya duduk di ayunan kayu, halaman samping rumah Ibel. Awal Desember menjadikan langit Bandung mendung sore itu. Sapuan warna biru pada langit perlahan mulai menggelap. Namun keduanya enggan beranjak dari sana biarpun tetesan hujan mulai menunjukkan eksistensinya.

"Ini tanggal 1 Desember ya?" tanya Ganda.

"Iya."

"Bel?"

"Hm?"

"Pacaran yuk!"

Ibel menyemburkan seteguk jus mangga dingin yang hampir masuk ke kerongkongannya. Matanya beralih menatap Ganda, aura horor mulai terpancar.

"Kamu ngomong apa, Gan?"

"Pacaran sama aku, mau?"

"Ngaco!" Ibel mengibaskan tangannya. Dia tertawa, padahal jelas-jelas jantungnya sedang cenat-cenut. Dia merasakan euforia dalam hatinya.

"Serius, Bel."

Ibel menatap gemas Ganda yang tiba-tiba kaku.

"Kenapa nembaknya baru sekarang?"

"Karena kita udah mau lulus. Karena tahun depan aku ke Jepang. Karena aku sebenarnya nggak mau ninggalin Indo." Ganda mengulas senyum hangat. Memangkas jarak lebih dekat pada Ibel. Meraih jemari kanan Ibel, menggenggamnya lembut.

"Aku jatuh cinta, Bel."

"Aku nggak bisa, Gan. Cukup kayak gini aja. Kalau emang takdir kita ada di garis yang sama, kita pasti ketemu lagi kapan pun, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun."

"Oke kalau begitu. Karena hari ini 1 Desember, ayo kita ketemuan di tanggal itu. Entah kapan, di mana, dan dalam keadaan apa. Deal?"

"Mana bisa, Gan?"

"Bisa aja kok."

"Gan, satu atau empat tahun ke depan itu akan banyak kejadian yang pasti nggak akan bisa kita prediksi. Aku nggak mau nunggu sesuatu yang semu."

"Kalaupun nanti kamu punya pacar dan mau serius sama pacar kamu, it's okay. Nggak jadi masalah, Bel. Ini mah cuma mau uji keberuntungan aja."

Ibel mendengkus keras.

"Kita ketemu di tanggal 1 Desember ya, Bel? Siapa tahu pas kita ketemu kamu udah gendong bayi."

"GANDA!!!"

Kelopak mata Ibel perlahan terbuka setelah mengingat kejadian beberapa tahun silam. Sebetulnya Ibel antara berharap dan tidak berharap, karena terlalu naif kalau dia harus terus-menerus berharap di tanggal 1 Desember ini akan dipertemukan lagi dengan si pembuat janji. Akan tetapi, ketika dering telepon yang kembali memekakkan telinga disertai nomor asing yang mendadak jadi familier di matanya, Ibel tahu kalau ini nyata.

"Halo?" Ibel ragu untuk menyapa.

"Kenapa dimatiin? Sibuk ya?"

"Nggak. Dapat nomorku dari siapa?"

"Dari mama kamu. Tadi aku ke rumah kamu dulu, kata Mama kamu jadi guru BK di sekolah. Are you sure, Bel? Bukannya kamu mau jadi perawat?"

"Panjang ceritanya. Berarti kamu di Bandung?" Ibel menggigit bibir bawahnya.

"Ya."

"Dalam rangka apa?"

"Pulang kampung dan..." Ganda menggantungkan kalimatnya, sedangkan Ibel sudah deg-degan dibuatnya. "... ada seseorang yang ingin aku temui di sini."

Ibel meneguk liurnya tanpa berani menyimpulkan, takutnya dia saja yang terlalu gede rasa.

"Ruangan kamu di mana? Aku ke sana, ya?"

"Eh, jangan!"

Ibel mendadak lututnya lemas. Dia coba berdiri, mondar-mandir di ruangan untuk mengusir rasa cemasnya apalagi ketika Ganda tiba-tiba memutus sambungan.

"Selamat siang!"

Itu jelas bukan suara pantulan orang dari sambungan telepon. Suara itu nyata, berasal dari pintu ruang BK yang terbuka.

Ibel benar-benar membeku di tempatnya. Jangan pernah menanyakan bagaimana kondisi jantung dan hatinya saat ini, yang pasti semua berkecamuk hingga dia tidak sadar pelupuknya sudah mengeluarkan bulir air mata. Dia yang Ibel tunggu berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari Ibel. Dia yang dulu cungkring kini tampak berwibawa, otot-otot bisepsnya menambah kesan gagah. Dan wajahnya yang rupawan tentu saja tidak berubah, hanya tampak lebih dewasa dari pertemuan terakhir mereka di acara kelulusan SMA dulu.

"Bu Ibel, boleh saya masuk?"

Ibel terkesiap, dia merasakan pipinya panas dan mendadak salah tingkah.

"Boleh."

Bisa-bisanya Ibel canggung dalam situasi seperti ini. Mungkin karena faktor mereka tidak pernah bertemu setelah sekian lama.

"Mau minum apa? Di sini hanya ada kopi, teh, sama air putih. Kalau misalnya mau jus, bisa aku pesankan di kantin."

"Air putih aja," jawab Ganda, tersenyum geli melihat tingkah Ibel.

Ibel berjalan cepat ke belakang. Meraih gelas lalu ia tuangkan air putih dari dispenser. Dia merutuk dalam hati karena tangannya yang mendadak gemetaran. Dia menarik napas sejenak sebelum beranjak ke depan lagi, menyimpan segelas air putih di tangannya di depan Ganda. Lalu dia memilih duduk menjauh, di sofa tunggal yang dia duduki tadi.

"Seru jadi guru BK?"

"Seru kadang juga cape. Bisa mengenal banyak karakter siswa terutama yang sering bikin kasus." Ibel berusaha memanipulasi ekspresinya agar terlihat santai.

"Lama banget kita nggak ketemu ya, Bel?"

"Kamu udah ngalahin rekor Bang Toyib, Gan." Ibel berkelakar, siapa tahu bisa menghilangkan kecanggungan yang menjerat.

Keduanya saling melempar tawa.

"Kerja di mana sekarang?"

"Di Jakarta. Baru sekitar tiga bulanan aku pindah ke Jakarta. Sebelumnya tetap di Jepang."

Ibel mengangguk paham.

"Jadi, sudah menikah?" tanya Ganda dengan lontaran senyum menggoda Ibel.

"Belum. Kamu?"

"Belum juga. Tapi udah ada rencana sih."

Pasokan oksigen sepertinya menipis. Rasanya menyesakkan mendengar berita itu, walaupun Ibel seharusnya membuang jauh-jauh harapan itu. Agar ketika dia mendengar kabar Ganda akan atau telah menikah itu hatinya tidak akan kecewa

"Calonnya orang mana?" tanya Ibel.

"Orang Bandung."

"Oh. Selamat ya!" Baru saja Ibel secara spontan mengulurkan tangannya, tapi Ganda justru tergelak hingga matanya tenggelam.

"Ada yang salah?"

Ganda meringis. Dia berdeham sebelum memandang Ibel lembut.

"Tadi ngobrol sama mama kamu, Mama bilang kamu masih belum mengenalkan pasangan. Kenapa?"

Ibel membuang wajah. Dia risih ditatap seperti itu oleh Ganda. Lebih tepatnya takut salah menempatkan rasa teruntuk dia yang sudah memiliki wanita.

"Belum nemu aja yang cocok."

"Kalau sama aku cocok gak?"

"Hah?" Ibel merasa jantungnya kian meledak.

Ganda tersenyum. Dia masih bersikap dengan tenang. Sesungguhnya dia ingin memeluk atau sekadar menggenggam tangan Ibel, namun dia sadar tempat. Sekolah bukan tempat untuk mengumbar keromantisan. Jadi yang bisa Ganda lakukan adalah menyentuh lengan Ibel sekejap sebelum menarik tangannya kembali, dia hanya berani memandang cahaya pada bola mata Ibel dengan intensitas yang lama. Ibel pun membalas tatapannya.

"Aku belum punya calon istri, Bel. Kalaupun udah punya calon, berarti kamu calonnya. Itu juga kalau kamu mau sama adiknya Bang Toyib ini."

"Kenapa baru datang sekarang?"

"Karena aku dalam proses memantaskan diri dan memantapkan hati, Bel. Dan dalam proses itu, selalu ada kamu yang aku semogakan."

Ibel menggigit bibirnya. Dia tidak tahu harus beraksi bagaimana di depan Ganda. Ini bagian yang Ibel inginkan, tapi Ibel pun sedikit menyangkal. Menganggap semua yang tersaji sekarang masih angan semu.

"Gimana, Bel?"

Ibel kembali menatap Ganda. Menanyakan keseriusan lelaki itu lewat kedua bola matanya.

"Kamu yakin melamarku di ruang BK?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Ada rekomendasi tempat yang romantis dan cocok buat ngelamar anak gadis orang gak di Bandung?"

"Kamu tuh! Masa iya nanya sama aku."

"Ya udah di sini aja lebih praktis."

"Lebih praktis tapi nggak romantis."

Ganda tertawa lepas. Melihat tawanya seperti embusan angin di gurun Sahara.

"Nanti aku cari tempat romantis. Terus ngelamar kamu lagi. Ya udah, tahan dulu jawabannya. Biar nanti aja di tempat yang kamu bilang..."

"Aku mau, Gan."

"Mau apa?" Ganda mendadak cengo.

"Jadi istri kamu."

TAMAT


Halo... Namaku Luvi. Orang dewasa yang masih ingin diperlakukan sebagai anak remaja. Aku 22 tahun. Hobiku banyak, salah satunya menulis fiksi, membaca novel, dan pastinya menonton drama Korea atau drama Thailand. Aku salah satu dari jutaan penulis yang telah bergabung di Wattpad. Bisa kunjungi profilku dengan mengetik username ItsLuvi_ di situ adalah tempatku berimajinasi dan sudah ada beberapa cerita yang sudah rampung dan sudah diterbitkan juga. Genre yang biasa aku tulis itu Young Adult, General Fiction dan ChickLit juga. Buku pertama yang aku berhasil aku terbitkan adalah Stetoskop Hati yang aku terbitkan secara self published dan More Than Friends yang terbit mayor. So, siapa tahu kalian membutuhkan cerita yang seringan kapas tanpa konflik yang menghentak-hentak dada, kalian bisa mencoba menikmati hasil imajinasiku yang sederhana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro