Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"The Best Secret Keeper" - L_Zeth


THE BEST SECRET KEEPER

A short story by L. Zeth


"Apa kau takut mati, Henry?"

Itulah pertama kalinya Tori mengajakku berbicara. Aku sudah mengenal gadis itu sejak kelas 8—itu berarti sudah sekitar tiga tahun—tapi tak pernah berbicara dengannya sama sekali. Kalau boleh jujur, sebetulnya aku selalu mencari kesempatan untuk berbicara dengannya, tapi tak pernah memiliki keberanian untuk mencoba.

Jadi, tentu saja aku tak menolak kesempatan emas yang menghampiriku siang ini.

Bahkan meski kesempatan itu datang di waktu yang tidak tepat.

Perutku bergolak mual selagi mataku terpaku pada tubuh tak bernyawa yang kami temukan di halaman belakang sekolah. Pertemuanku dengan Tori di sana hanyalah kebetulan. Sementara aku memang rutin ke sana setiap jam istirahat kedua untuk merokok diam-diam, entahlah dengan gadis itu. Ini pertama kalinya aku melihatnya di sana.

"Apa kau takut mati?" ulang Tori sambil mendongak, menatapku. Mata cokelatnya menuntut jawaban.

"Kurasa... tidak," jawabku, sedikit ragu. Aku tak pernah mendapat pertanyaan semacam itu sebelumnya, apalagi memikirkannya. Maksudku, kami baru berusia tujuh belas tahun. Jalan hidup kami masih sangat panjang.

Atau, begitulah seharusnya.

Mataku beralih pada genangan darah yang menggenang di sekitar kepala Sam, kemudian pada tangannya yang tertekuk dalam posisi tak wajar, dan tubuhku tanpa sadar bergidik. Kini terjawab sudah penyebab Sam menghilang setelah jam istirahat pertama berakhir.

Tori menatapku lama, sebelum mengalihkan pandang dariku. "Seseorang pasti mendorongnya jatuh dari atap," lanjutnya, masih berjongkok di dekat jenazah Sam. Aku tak mengerti bagaimana bisa dia tahan untuk berada pada jarak sedekat itu dengan sesosok jenazah yang berlumuran darah. Selain itu, bagaimana bisa dia berbicara dan terlihat begitu tenang? Padahal dia dan Sam cukup dekat. Kudengar mereka bahkan memiliki semacam hubungan istimewa.

"Apa kau yang pertama kali menemukannya?" tanyaku, setelah akhirnya dapat menemukan suaraku lagi. Aku menyelidiki raut gadis itu dengan cermat—barangkali dia hanya menyembunyikan kesedihannya—tapi tetap saja, aku tak menemukan emosi apa pun yang seharusnya ada di sana. Dia bahkan tak tampak syok atau terkejut. Seakan pemandangan di depannya adalah hal yang biasa baginya.

Tori mengedikkan bahu dengan ketidakpedulian menyapu wajahnya. Ekspresinya membuatku merasa baru saja menanyakan hal yang tak penting. "Kelihatannya begitu."

Otakku berpikir sejenak. Apa yang biasa dilakukan seseorang saat berhadapan dengan situasi semacam ini? Tentu saja, jawabannya hanya ada satu. "Kita harus melaporkan ini."

Begitu mendengarnya, Tori melompat bangkit—dengan sangat tiba-tiba—hingga aku tersentak kaget. "Tidak—maksudku, nanti dulu. Kalau kita melaporkannya, bagaimana jika malah kita yang dicurigai sebagai pelakunya? Apalagi, ini bukan kejadian pertama."

Alisku berkerut. Awalnya, aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Kemudian aku teringat akan peristiwa yang terjadi dua bulan silam.

"Maksudmu, kasus Marissa Robin?" Aku memastikan. Tori mengangguk. "Tapi, Marissa bunuh diri."

"Hanya karena polisi menemukan surat bunuh dirinya, bukan berarti itu fakta," bantah Tori, mata cokelatnya berkilat-kilat. "Kenyataannya, tak ada saksi mata yang menyaksikan kejadian tersebut. Dan seseorang barangkali memalsukan surat bunuh dirinya."

Seseorang pasti mendorongnya jatuh dari atap.

Keningku sontak berkerut sewaktu teringat akan ucapan Tori barusan. Dari mana dia bisa memastikan kalau Sam dibunuh? Bisa saja pemuda itu bunuh diri.

"Bunuh diri atau dibunuh, itu bukan urusan kita," tukasku, mendadak merasa tidak nyaman tanpa alasan yang jelas. Mungkin lantaran aku terlalu lama berada di sini. Jenazah Sam bukanlah pemandangan yang baik untuk dilihat. "Kalau kau tidak mau ikut melaporkannya, tidak masalah. Aku akan melaporkannya sendiri."

Gadis itu terdiam. Namun, alih-alih pergi, dia malah berjalan menuju bangku taman yang terletak tak jauh dari kami—tapi cukup untuk menjauhkan diri dari lokasi jatuhnya Sam. Aku pun terombang-ambing sejenak, di antara keinginan untuk pergi atau menghabiskan waktu istirahat bersamanya. Bagaimanapun, ini kesempatan langka sebab akhirnya kami memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Bahkan jika topik itu bukanlah hal yang menyenangkan untuk dibahas.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil pilihan kedua. Tidak setiap hari aku mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Tori.

Selain itu, reaksinya terhadap kematian Sam cukup membuatku penasaran.

Hanya dalam selang waktu dua bulan, dia kehilangan dua teman dekatnya. Itu pasti menyedihkan. Aku sendiri belum pernah menghadapi kematian orang-orang terdekatku, jadi aku tak yakin apa yang akan kurasakan. Sedih atau kehilangan, barangkali? Kurasa itulah hal-hal yang umum dirasakan oleh orang yang ditinggalkan.

Tapi, entah kenapa, aku tak melihatnya pada Tori.

Aku beranjak duduk di sebelahnya sambil mengamati raut wajah gadis itu. Anehnya, dia tampak sangat tenang. Seakan tak ada apa-apa yang terjadi. "Apa yang membuatmu berpikir kalau Sam dibunuh?" tanyaku, penasaran. Pasti ada alasannya kenapa dia menyimpulkan begitu.

"Sebab dia takut mati. Orang yang takut mati tidak akan mengakhiri hidupnya sendiri."

"Sam... takut mati?" ulangku.

"Yeah. Marissa juga."

Aku diam sejenak. Pemikirannya masuk akal. Jika Sam dan Marissa memang takut mati, mustahil mereka bunuh diri. Namun, jika mereka dibunuh, teori tersebut akan memunculkan banyak pertanyaan. Siapa pelakunya? Apakah pembunuh Sam dan Marissa adalah orang yang sama? Serta, apa motif di baliknya?

"Kita tidak seharusnya ikut campur," ujarku pelan, setelah memikirkannya baik-baik. "Kita tidak punya bukti, dan dugaanmu hanya akan menambah luka bagi keluarga yang ditinggalkan."

Tori tidak menyahut. Gadis itu hanya diam membisu dengan tatapan lurus ke depan, keningnya berkerut dalam-dalam, dan aku jadi bertanya-tanya apakah dia berniat menemukan pembunuhnya demi mencari keadilan atas kematian dua sahabatnya?

"Apa kau bisa menyimpan rahasia?"

Alisku kembali berkerut begitu menghadapi perubahan topik yang sangat tiba-tiba ini. Perasaanku mengatakan kalau ada yang aneh, tapi aku mengabaikan instingku, dan dengan sukarela mengikuti alur pembicaraan Tori. Bagaimanapun, aku pasti sudah gila kalau menolak menjadi tempat berbagi rahasianya.

Aku mengangguk. "Yeah, tentu saja."

Tori tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik pelan di telingaku, "Sam membunuh Marissa."

Mataku terbeliak begitu mendengarnya. "K-kau yakin?" tanyaku, menarik kepalaku menjauh dan menatap matanya lekat-lekat. Aku berusaha mencari tatapan aku-hanya-bercanda di sana. Tapi, sialnya, mata cokelatnya tampak serius.

"Ini rahasia." Tori menegakkan tubuh, masih menatapku. "Aku melihat mereka menuju atap sekolah bersama-sama. Sepuluh menit sebelum Marissa ditemukan tewas. Dan, satu hal lagi, Sam pandai menirukan tulisan tangan Marissa. Dia sering mengerjakan PR Marissa, dan guru kita tak pernah tahu kalau itu sebenarnya tulisan Sam."

Aku kehilangan kata-kata untuk sejenak. "Tapi... kenapa dia membunuh Marissa?"

"Itu kecelakaan. Sam tak bermaksud untuk melakukannya." Tori menunduk dan mengeluarkan desahan frustrasi. "Marissa menolak pernyataan cintanya, Sam kehilangan akalnya, dan tanpa sadar mendorong Marissa terjatuh. Begitulah yang dia ceritakan."

"Tunggu—maksudmu, dia menceritakan semua itu padamu?" tanyaku tak percaya. Menurutku, pengakuan semacam itu bukan hal yang mudah untuk diungkapkan. Bahkan meski pada teman dekatmu sendiri. Bagaimanapun, Tori juga berteman baik dengan Marissa.

Tori mengangkat bahu. "Aku sedikit mendesaknya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi," akunya.

Aku menelan ludah kuat-kuat. Otakku berusaha mencerna pernyataan yang keluar dari mulut Tori barusan. Sam membunuh Marissa secara tidak sengaja, kemudian memalsukan kematiannya sebagai bunuh diri? Luar biasa—sekaligus hal paling gila yang pernah kudengar seumur hidupku. Siapa sangka kapten sepak bola sekolah kami dapat melakukan hal mengerikan seperti itu?

"Lantas, siapa yang membunuh Sam?"

Alih-alih menjawab, Tori mengangkat kedua tangan dan mengikat rambutnya, memperlihatkan telinganya. Sebuah anting berbentuk kucing putih tersemat di sana. Anehnya, aku merasa seolah sudah pernah melihat anting itu sebelumnya. Tapi di mana?

Bel tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di antara kami, sekaligus memberitahuku bahwa waktu kami sudah habis. Aku pun bangkit dengan enggan. Entah kapan aku bisa mendapat kesempatan untuk berbicara lagi dengan Tori.

"Kau akan tetap melaporkannya ke guru?" tanya Tori, mendongak memandangku.

Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatku ragu untuk menolak. Dan lagi, kalau dipikir-pikir, memang bukan hal yang bagus untuk menjadi orang pertama yang menemukan jenazah Sam. "Kurasa tidak."

Tori memalingkan wajah, tapi aku merasa sempat melihat seulas senyum terbersit di sudut bibirnya. "Aku akan pergi sebentar lagi," katanya, dan aku mengartikan itu sebagai bentuk halus dari mengusirku.

Aku membalikkan tubuh dan mulai berjalan menjauh. Ketika melewati jenazah Sam, tatapanku tanpa sadar jatuh ke tangannya, kemudian ke benda kecil berwarna putih di sebelah tangannya, dan saat itu aku baru sadar kenapa anting Tori terlihat familier. Bagaimana benda itu bisa berada di sana? Rasa dingin tiba-tiba menjalari punggungku, dan ketertarikanku pada Tori dengan cepat sirna, menjelma menjadi kecurigaan. Atau, mungkin lebih tepatnya, ketakutan.

"Apa kau takut mati, Henry?" bisik Tori, dan aku berbalik secepat kilat. Entah sejak kapan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di belakangku. "Sebab Sam iya. Dan itu sebabnya aku mendorongnya dari atap. Untuk membantunya."

Aku merasa seakan baru saja disambar petir. Tubuhku membeku di tempat, tak sanggup bergerak, meski suara di kepalaku terus meneriakkan untuk pergi. "K-kau yang membunuh Sam?" tanyaku, mengeluarkan suara dengan susah payah. "Tapi kukira kalian—"

"Berkencan?" Tori menggeleng, matanya berkilat-kilat. "Aku memang menyukainya, tapi dia hanya mencintai Marissa. Sejak tak sengaja membunuh Marissa, dia terus merasa bersalah. Berulang kali dia mengungkapkan penyesalannya, serta betapa dia ingin segera menyusul Marissa, namun dia tak kunjung mendapatkan keberanian. Jadi aku memutuskan untuk membantunya."

Bulu kudukku sontak berdiri. Ada sesuatu dalam nada bicara, ekspresi, serta ketenangannya yang membuatku berpikir, Gadis ini sudah gila. Napasku berpacu kencang selagi tatapan kami bertemu. "K-kenapa—untuk apa kau menceritakan semua ini padaku?" tanyaku, sambil berjuang mengendalikan rasa takut, mual, serta kepanikan yang tiba-tiba menyerangku.

"Karena kau sudah terlanjur ada di sini." Bibirnya menyunggingkan seulas senyum, dan untuk sesaat aku teringat bagaimana aku bisa jatuh cinta padanya tiga tahun silam. "Untungnya, kau dapat menyimpan rahasia. Dengan sangat baik."

Sesuatu yang tajam menyentuh perutku, menembus melewati pakaian dan merobek dagingku. Ketika aku menunduk, darah sudah membasahi pakaianku, dan—bersamaan dengan itu—rasa sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya menjalar ke sekujur tubuhku.

"Untunglah kau tidak takut mati, Henry," bisik Tori, menusukkan pisau di tangannya lebih dalam ke tubuhku. "Sebab hanya orang mati yang dapat menyimpan rahasia dengan sangat baik."

TAMAT

L. Zeth adalah seorang penggemar buku-buku—sekaligus drama Korea dan Jepang—bertema misteri/thriller. Jika tidak sedang menulis atau membaca, dia senang bermain dengan kucingnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro