"Tell Me Why" - SitiUmrotun
TELL ME WHY
A Short Story by SitiUmrotun
"Gue mampir, ya? Nggak ada kegiatan habis ini, males pulang."
"Lain kali aja, ya, Ga. Tugasku banyak banget, harus dikumpulin hari Senin."
Cowok yang tengah duduk di bangku kayu panjang itu menghela napas setelah mendapatkan penolakan halus dari kekasihnya. Gagal lagi, seperti yang terjadi di malam Minggu sebelumnya. Kaleng minuman di tangannya diletakkan di bangku, sebelum dia membuka suara untuk menimpali. "Nggak bisa banget, nih? Besok, kan, libur. Lo bisa ngerjain tugas itu besok. Sekarang temenin gue, ya? Gabut banget, nih!"
"Nggak bisa, Ga. Nggak bakalan kelar kalau nggak dimulai dari sekarang. Lain kali aja, ya, mainnya. Masih ada banyak waktu buat kamu main ke sini, tapi nggak sekarang."
"Janji, deh. Gue ke situ nggak bakalan ganggu lo. Gue cuma butuh tempat singgah, sebentar aja. Lo bebas ngerjain tugas sepuas lo dan anggap gue nggak ada. Boleh, ya, gue ke situ?" Masih belum menyerah, cowok itu berusaha melakukan negosiasi.
"Raga, tolong ... kamu paham, kan? Bukannya gimana-gimana, tapi aku butuh waktu buat ngerjain tugas malam ini. Sekali pun kamu nggak ganggu, tetep aja keberadaan kamu pasti bikin aku nggak bisa konsentrasi. Lain kali aja, ya?"
"Gitu, ya? Iya udah, gue tutup dulu teleponnya. Jangan begadang, gue hubungin lo besok. Habis ini mau main sama yang lainnya," beritahunya.
"Oke. Pulang, ya, jangan nginep-nginep. Kalaupun mau nginep, kasih tau orang rumah biar mereka nggak khawatir sama kamu."
Begitu panggilan terputus, cowok itu menyimpan ponselnya di ransel yang tergeletak di sampingnya. Pandangannya menyapu sekitar. Sepi. Hanya ada dirinya seorang diri. Teman-temannya sudah pergi lebih dulu sejak beberapa menit yang lalu. Harusnya tadi dia mengiyakan ajakan nongkrong teman-temannya usai latihan basket. Sayangnya tawaran itu ditolak karena dia lebih berat pada kekasihnya. Walaupun pada akhirnya dia tidak bisa menemui seseorang yang dia prioritaskan. Cowok itu bangkit. Ranselnya diraih sebelum melangkah meninggalkan lapangan basket. Dia belum tahu tempat mana yang akan ditujunya, yang pasti bukan rumahnya sendiri. Sejak dulu, rumah bukan tempat dia pulang. Apalagi setelah orang asing datang menjadi bagiannya, rumah semakin asing untuknya.
* * *
"Hallo. Ada apa lagi, Ga?" tanya seseorang di seberang sana begitu panggilan terhubung. Nada bicara yang digunakan sudah menjelaskan secara gamblang jika cewek itu tidak suka—terganggu—panggilan darinya.
"Lagi di mana?"
"Di mana? Kok aneh pertanyaannya. Tadi, kan, aku udah bilang lagi ngerjain tugas. Ini di rumah, di kamar, masih ngerjain tugas. Ada apa?
"Nggak papa. Cuma gue baru tau aja kalau rumah lo udah pindah ke kafe," balasnya tanpa mengalihkan tatapan dari objek yang berhasil meruntuhkan dinding kebahagian yang baru saja dibangun dengan seseorang. Di sana—tidak jauh darinya—kekasihnya tengah duduk berduaan dengan seorang cowok yang sangat dia kenali. Pemandangan yang dia lihat membuatnya tidak bisa berpikir positif lagi. Jika nantinya salah paham dijadikan alibi, rasa-rasanya dia tidak bisa mempercayainya..
"Ra-raga? Kamu di mana sekarang?"
"Di belakang lo, deket pintu masuk," jawabnya lalu menutup panggilan tanpa salam penutup. Dia tersenyum konyol, menertawakan dirinya sendiri yang sudah dibodohi oleh cewek yang selama ini selalu dia usahakan kebahagiaannya.
"Raga, aku bisa jelasin. Aku sama—"
"Kita putus. Gue nggak butuh penjelasan apapun. Semuanya udah jelas. Thanks," pungkasnya sebelum beranjak meninggalkan tempatnya.
* * *
"Raga!"
Pekikan itu terdengar dari arah tribune penonton saat pemain basket dengan nomor punggung 07 jatuh tersungkur setelah ditubruk lawan dari arah belakang. Wasit tidak tinggal diam. Peluit dibunyikan untuk menghentikan sementara pertandingan final antara SMA Garuda dan SMA Harapan. Wasit dan pemain berlarian menghampiri pemain bernomor punggung 07. Dibantu dua rekannya, cowok bernama Nuraga Tanubrata—Raga—bangkit lalu duduk. Sepanjang pertandingan, Raga mengakui jika dia kehilangan konsentrasinya. Dia tidak bisa fokus ke pertandingan final ini karena isi kepalanya dipenuhi oleh beberapa masalah yang memecah konsentrasi.
"Kalau nggak bisa main suportif, mending pulang!" teriak rekan satu tim Raga yang tidak terima dengan ulah lawan. Tak hanya berteriak, dia juga mendorong dada cowok itu.
"Rizal, sudah! Jangan memperpanjang masalah." Pak Banun selaku wasit mencoba menengahi sebelum buntut masalah semakin panjang. Pria itu berdiri di hadapan Rizal, menjadi benteng agar Rizal tidak menyerang kembali. Lantas beliau menoleh, mengisyaratkan kepada tim basket SMA Garuda untuk menjauh karena situasi memanas.
Umpatan Rizal tertahan di tenggorokan saat tim lawan meninggalkan lapangan tanpa mengatakan maaf pada Raga. Jika tidak ada Pak Banun yang menahannya, mungkin dia sudah memberi pelajaran pada mereka. Cowok itu lantas ikut mengerubungi Raga seperti yang dilakukan rekannya yang lain.
Lengan kanan yang terasa perih diperiksa oleh Raga. Rupanya rasa perih itu dipicu oleh luka lecet yang bersarang di siku. Raga meringis pelan dan menyadari jika dagunya perih juga. "Lecet?" tanyanya seraya mengangkat dagu.
"Lebih parah dari yang di siku. Emang bener-bener, ya, si Pandu! Gue lihat tadi dia emang sengaja dorongnya," geram Rizal dengan emosi yang menggebu.
"PMR datang! Kalian minggir dulu, biar Raga diobatin," titah Pak Banun saat melihat anggota PMR datang memberikan bantuan. Tidak perlu diperintah dua kali, mereka pun menjauh dari Raga, memberi ruang pada anggota PMR yang datang.
Raga langsung memalingkan wajah saat melihat siapa yang kini jongkok di hadapannya. Satu-satunya cewek yang ingin dia hindari—Calya. Dia tahu, anggota PMR tidak hanya satu. Mengapa harus Calya yang datang untuk mengobati lukanya? Untuk apa akhir-akhir ini dia menghindar, jika pada akhirnya seperti ini? Selalu ada kejadian tak terduga yang mempertemukannya kembali dengan cewek itu.
"Permisi," ujar Calya begitu sopan sebelum memeriksa lengan Raga. Dengan gerakan cepat dan tepat, cewek itu membersihkan luka di siku, lutut, dan dagu Raga. Setelahnya cewek itu mengoleskan antibiotik sebelum menutup luka dengan kasa steril yang lembut. Dia melakukannya sehati-hati mungkin untuk meminimalisasi rasa sakit.
"Nggak perlu bilang makasih, kan?" ucap Raga dengan nada sinis saat Calya selesai menutup luka di dagunya. Sebelah alis cowok itu terangkat saat menatap Calya. Caranya menatap sudah berbeda jika dibandingkan dengan yang pernah dia berikan, dulu. Jika dulu dia menatap Calya dengan penuh puja, kali ini hanya ada tatapan penuh kebencian. Rasa benci yang tumbuh dari kekecewaan pada pengkhianatan.
"Nggak perlu kok. Kamu cukup hati-hati biar nggak luka lagi."
"Peduli apa lo sama gue?" tanya Raga meremehkan. Dia sengaja merendahkan suaranya agar teman-temannya tidak mendengar. Tak mendapat respons dari Calya, cowok itu bangkit, lalu berjalan ke arah tepi lapangan.
Calya terus menatap punggung Raga yang semakin menjauh. Helaan napasnya terdengar. Sejak malam itu, Raga semakin dingin padanya. Cowok itu juga terus menghindarinya, tidak memberikan kesempatan untuknya meluruskan kesalahpahaman. Setelah mengemasi kotak P3K-nya Calya pun melangkah menyusul Raga.
Raga melepaskan captain armband-nya lalu membanting itu di dekat ranselnya yang tergeletak di bangku panjang. Ranselnya diraih guna mengambil botol air mineral yang tersimpan di sana. Semua isi ranselnya sudah dikeluarkan, namun Raga tidak menemukan botol air mineralnya. Padahal seingatnya botol dia simpan di sana sebelum bertanding.
"Ini."
Sebuah botol air mineral dingin yang masih tersegel diulurkan ke arahnya. Raga mendongak untuk memastikan siapa pelakunya. Lagi. Orang itu adalah Calya. Cowok itu menghela napas sebelum menepis kuat tangan cewek di hadapannya. Tepisan darinya mampu membuat botol itu lolos dari tangan Calya dan terhempas cukup jauh.
"Raga ... kenapa harus kayak gini?" Nada bicara Calya begitu rendah, tersirat rasa lelah atas perubahan sikap Raga padanya.
"Harusnya gue yang lebih berhak nanya itu ke lo," balas Raga begitu dingin lalu berlari ke tribune penonton. Dia sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi di dekat Calya. Cowok itu menerima botol air mineral dari salah satu penonton yang duduk di tribune depan. Calya yang melihat itu hanya menghela napas sebelum memungut botol mineral yang ditolak oleh Raga.
Dari tempatnya berdiri, Raga menatap punggung Calya yang semakin menjauh darinya. Bukan inginnya bersikap seperti ini pada Calya. Tapi rasa kecewa tidak bisa dibohongi lagi. Calya sendirilah yang membentuk sifatnya yang sekarang. Tidak mau memikirkan Calya lagi, cowok itu pun beranjak. Berlari kembali ke lapangan untuk melanjutkan pertandingan. Luka kecilnya belum cukup untuk menghentikan laganya di pertandingan final ini.
"Nggak papa, Ga, ikut tanding lagi?" tanya Farhan memastikan.
"Santai, lecet gini doang mah masih bisa nyetak banyak poin," balasnya dengan nada jenaka. Lantas cowok itu menghampiri wasit. Memberitahukan agar pertandingan segera dimulai kembali.
* * *
Raga dan keempat temannya berjalan beriringan. Dari raut wajah mereka menunjukkan dengan jelas tentang hasil pertandingan tadi. Mereka berhasil membawa tim basket SMA Harapan keluar sebagai juara pertama setelah mengalahkan SMA Garuda beberapa jam yang lalu. Kelima cowok itu baru saja selesai merayakan kemenangan dengan acara makan-makan di kantin yang disponsori oleh guru olahraga yang mana adalah pelatih mereka.
"Calya, Ga," beritahu Farhan saat melihat cewek yang berdiri sendirian di ujung koridor. Meskipun posisi berdirinya memunggungi, namun Farhan masih bisa mengenali sosok Calya dari belakang.
"Iya biarin aja, sih? Kenapa bilang ke gue, emang gue peduli?" balas Raga.
"Bukannya dia cewek lo? Ya lo harus peduli lah. Biasanya juga nganterin pulang," celetuk Rizal.
"Ralat. Mantan."
"Serius lo?! Kapan putus? Kalian baik-baik aja, kan?" Janu yang sedari tadi diam pun angkat suara.
"Menurut lo? Kalau gue sama dia baik-baik aja, ending-nya bakal tetep kayak gini?"
"Jadi, lo sama Calya kenapa bisa putus?" tanya Leo penasaran. Sebelumnya hubungan Raga dan Calya baik-baik saja. Sejauh yang Farhan dan lainnya kenal, Raga bukan tipe cowok nakal yang suka macam-macam. Gaya pacarannya selalu sehat, tidak mengarah ke hal-hal yang merusak. Raga benar-benar menjaga itu dengan baik. Lalu soal Calya, walaupun tidak mengenal banyak hal tentangnya, tapi mereka yakin jika Calya cewek baik-baik. Penampilannya sederhana, tutur katanya lembut, serta perilakunya juga baik.
"Gue males bahasnya," jawab Raga membuat teman-temannya kecewa. Rasa penasaran mereka sudah meronta ingin dipuaskan dengan jawaban.
"Ceritain dikit lah," bujuk Farhan belum menyerah.
"Calya di sana! Lo semua bisa samperin terus tanya sendiri ke dia kenapa di belakang gue dia ada main sama Bastian."
"HAH?!" Farhan, Janu, Rizal, dan Tama kompak terkejut.
"Bastian?!"
"Kakak lo?"
"Gimana ceritanya?"
"Gue cabut duluan," pamit Raga meninggalkan keempat temannya yang dipenuhi tanda tanya besar atas informasi yang belum dijelaskan secara detail olehnya. Raga memang sengaja meninggalkan tanda tanya, dia belum berminat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Ga, Raga! Woy! Jangan main cabut!" teriak Rizal yang dibalas dengan gelak tawa Raga.
"Sialan lo, Nuraga Tanubrata!" Rizal kembali berteriak lalu memukul dinding.
Mendengar keributan dari arah belakang, Calya memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Cewek itu tersenyum menyambut Raga yang datang dari arah berlawanan dengannya. Merasa Raga perlu mendengarkan penjelasannya, Calya pun berlari memangkas jarak. "Raga, gue mau jelasin soal malam itu."
"Kayaknya bukan gue yang butuh penjelasan soal malam itu. Tapi lo. Apa perlu gue ulangin kalimat waktu gue mutusin lo? Atau—"
"Raga, cukup!"
"Okay gue diem dan sebagai bentuk timbal baliknya, lo juga harus diem. Kita udah selesai, Cal. Selesai. Gue tau, lo nggak sebodoh itu buat nggak paham apa artinya selesai."
"Raga, ada baiknya lo dengerin gue dulu."
"Gue permisi," pamit Raga melewati Calya.
Saat Calya menahan lengan Raga, dengan tenaga penuh cowok itu menghempas tangan Calya agar lepas dari lengannya. Apa yang Raga lakukan membuat Calya tersungkur karena tidak bisa menjaga keseimbangan. Meskipun tahu jika Calya jatuh, Raga mencoba untuk tidak peduli lagi. Cowok itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Lo nggak papa, Cal?" tanya Janu begitu khawatir. Tadi saat melihat Calya yang tersungkur, keempat teman Raga langsung berlari menghampiri cewek itu.
"Gue nggak papa kok. Makasih," ucap Calya begitu tulus pada Janu dan Farhan yang membantunya berdiri.
"Kita anterin pulang, ya?" tawar Tama.
"Kak Bastian!" teriak Calya begitu melihat cowok berhoodie abu-abu muncul.
Mendengar dengan jelas nama siapa yang dipanggil, keempat cowok itu pun menoleh ke arah belakang untuk memastikan. Tidak jauh dari posisi mereka, berdiri seorang cowok jangkung berkacamata yang sangat mereka kenali, Bastian—kakak dari Raga.
"Apa?" respons Bastian begitu minim. Dia menatap tanpa minat ke arah Calya dan teman adiknya.
"Boleh minta tolong anterin pulang nggak, Kak? Rumah kita, kan, searah."
"Nggak," jawab Bastian cepat.
"Aku minta tolong banget, nih, Kak. Masa nggak mau nolongin, sih? Kali ini aja, anterin sampe ke rumah."
Paling tidak bisa menolak, Bastian akhirnya mengangguk setuju untuk memberikan tumpangan pada Calya. Tentu saja persetujuan darinya membuat Calya bersorak senang.
Melihat dan mendengar semua itu, Rizal dan ketiga temannya tidak mengerti dengan jalan pikiran Calya. Baru beberapa menit yang lalu dia bersikap seolah ingin memperbaiki hubungannya dengan Raga. Tapi apa yang baru saja terjadi? Cewek itu malah meminta Bastian untuk mengantarkannya pulang. Padahal semua orang tahu bagaimana hubungan kakak adik beda satu tahun itu—sangat buruk. Orang yang tidak mengenal mereka pasti akan menilai jika Raga dan Bastian bermusuhan.
"Cal," panggil Rizal memperingati.
"Gue duluan, ya?" pamit Calya tidak terpengaruh dengan peringatan Rizal.
"Mereka sampe cengo, Kak," ujar Calya saat dia dan Bastian cukup jauh dengan mereka. Kalimatnya tidak mungkin sampai ke telinga mereka.
* * *
Gerimis yang turun membuat Raga mengumpat dalam hati. Cowok itu mempercepat laju motornya untuk segera menemukan tempat berteduh sebelum hujan deras turun. Di depan sebuah coffee shop Raga memutuskan untuk singgah. Jarak rumahnya yang masih jauh membuatnya harus menunda kepulangan. Begitu turun dari motor, Raga berlari ke arah teras. Di teras dia mengacaknya rambutnya yang sedikit basah dan mengibaskan kaos. Dirasa sudah cukup dia pun melangkah masuk.
"Caramel macchiato satu," ucapnya pada waitress yang menghampirinya.
"Ada lagi yang mau dipesan?"
"Itu aja."
"Baik, ditunggu sebentar. Kalau begitu saya permisi."
Raga mengeluarkan ponsel untuk mengusir jenuh. Cowok itu langsung memainkan game online yang biasa dia mainkan sembari menunggu minumannya datang. Kesendirian tidak dirasakan olehnya selama game online masih mampu diandalkan untuk membunuh sepi. Tak lama terdengar dengkusan. Raga kalah dalam permainan karena lengah hingga berakhir terkena headshot mematikan dari musuh. Sedikit kesal dengan kekalahannya, dia pun meletakkan ponsel di meja.
Kepalanya menoleh ke arah luar coffee shop. Hingga pemandangan yang tidak ingin dia lihat tertangkap sepasang matanya. Raga tidak mungkin salah melihat. Cowok yang tengah mengusap puncak kepala seorang cewek, adalah Bastian dan cewek itu adalah Calya. Dalam hati Raga mengumpat. Pemandangan yang dia lihat menggerus habis sisa kepercayaan yang Raga berikan pada Calya. Kini Raga yakin tanpa keraguan sedikit pun jika Calya memang ada main dengan Bastian. Malam itu bukan sebuah kesalahpahaman. Apa yang didengar saat itu memang fakta. Selama ini dia dibodohi keluguan Calya.
"Raga?" Calya yang baru masuk dan menyadari keberadaan Raga, langsung memanggil nama cowok itu. Genggamannya di tangan Bastian dilepas begitu saja.
Mencoba tidak terpengaruh dengan suara yang memanggilnya, Raga memasukkan ponsel ke dalam ransel sebelum bangkit dari kursi yang diduduki. Sebelum pergi, dia meninggalkan uang di meja untuk membayar minuman yang dipesan.
"Ga!" Calya menahan lengan cowok itu.
"Lepas," titah Raga begitu dingin.
"Raga, dengerin Calya. Gue sama—" Belum menyelesaikan kalimatnya, ucapan Bastian sudah dipotong oleh Raga.
"Lo mending diem. Mau cuma temenan atau apapun itu, gue nggak peduli. Sama sekali nggak," ucap Raga. Pandangan cowok itu beralih ke Calya, menatap tanpa ekspresi ke arah cewek yang ada di hadapannya lalu berkata, " kita udah nggak ada hubungan, kan, Cal? Bisa lepasin gue sekarang? Jangan bikin semuanya rumit, semua udah selesai."
Calya pun mengalah dan melepaskan lengan Raga. Membiarkan Raga pergi dengan terus membawa kesalahpahaman. Sepertinya akan sulit meluruskan semuanya, mengingat ini melibatkan Bastian. Calya tahu bagaimana rasa benci Raga terhadap kakaknya. Tidak sedikit cerita yang sudah cowok itu bagi padanya. Harusnya dari awal Calya menyadari dan tidak menginjak zona yang sudah ditandai sebagai zona berbahaya oleh Raga.
* * *
Hubungan Raga dan Calya belum kunjung membaik. Keduanya justru semakin memburuk saja. Dari sikap yang ditunjukkan, Raga seperti sudah melepaskan Calya sepenuhnya. Memberikan kebebasan pada Calya untuk bersama Bastian. Tidak ada harapan ataupun usaha untuk menyatukan kembali kepingan rasa yang tersisa. Semuanya benar-benar berakhir. Langkah Raga terhenti. Di ujung koridor dari arah yang berlawanan dengannya, Bastian dan Calya berjalan beriringan. Tanpa sadar kedua telapak tangan Raga mengepal kuat melihat pemandangan itu. Enggan berpapasan dengan mereka, dia mengambil jalan lain. Langkahnya dibelokkan. Dia berjalan ke kantin lewat belakang gedung kelas.
"Menghindar nggak akan nyelesein apapun, Ga."
Raga yang baru saja duduk di bangku kantin, mengangkat kepala untuk memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik. Ternyata dia tidak salah mengenali, seseorang yang menginterupsinya memang Bastian.
"Jauh-jauh, gue lagi males ribut," ujar Raga lalu kembali bangkit. Cowok itu melangkah menuju lemari pendingin. Mengambil satu botol minuman lalu kembali ke tempat duduknya. Cowok itu kembali mendongak, menatap tidak suka pada Bastian yang tidak juga pergi.
"Kenapa masih di sini?!" tanyanya membentak.
Mengabaikan tatapan tidak suka dari Raga, Bastian memberanikan diri untuk duduk di hadapan Raga tanpa izin dari cowok itu. "Gue mau ngomong soal Calya."
"Gue nggak punya waktu buat dengerin soal itu," balasnya cepat lalu meneguk minumannya. Menunjukkan betapa tidak tertariknya dia dengan topik yang Bastian angkat.
"Tapi lo harus tahu—"
"Kalau lo nggak ada bedanya sama nyokap lo?" Raga sengaja meninggikan suaranya hingga berhasil menyita perhatian seluruh penghuni kantin. Senyum tipisnya terbit saat banyak orang tertarik dengan apa yang akan dia katakan.
"Jangan bawa-bawa nyokap gue!"
"Tapi bener, kan, kalau lo nggak ada bedanya sama nyokap lo? Sama-sama suka ngambil punya orang lain. Emang bener, sih, kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Nyokapnya nggak bener, anaknya lebih nggak bener lagi."
Brak.
Bastian menggebrak meja dengan tenaga penuh hingga tercipta bunyi yang keras. Dia benar-benar marah dengan apa yang diucapkan oleh Raga. Mungkin jika Raga hanya mengolok-oloknya, Bastian akan tetap diam dan menerima semuanya dengan lapang. Tapi, ini sudah sangat kelewatan. Raga melibatkan ibunya. Secara tidak langsung juga merendahkan ibunya di hadapan banyak orang. Itu sudah melewati batas kesabarannya.
"Lo boleh ngomong apapun tentang gue, tapi jangan bawa-bawa ibu gue," peringat Bastian.
"Kenapa? Yang gue omongin bener kok. Nyokap lo emang kayak gitu dan lo anaknya juga nggak jauh beda kelakuannya. Oh gue tau, ini yang nyokap lo ajarin ke lo, kan?"
Muak dengan semua omong kosong Raga, Bastian melangkah menghampiri cowok itu. Kerah seragam Raga ditarik kuat sebelum pukulan kerasnya menghantam pipi cowok itu. Tubuh Raga yang tidak siap dengan serangan Bastian, oleng hingga berakhir ambruk di lantai. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar yang langsung diseka kasar. Raga menyeringai menatap darah di punggung tangannya yang baru saja menyeka sudut bibirnya.
Cowok itu bangkit dengan gerakan cepat hendak menyerang balik. Tangannya yang terkepal di udara siap memukul, tertahan. Ada Calya yang berdiri di hadapannya menjadi tameng untuk Bastian. Keberadaan cewek itu membuat Raga tidak punya pilihan lain selain menahan diri.
"Kenapa nggak jadi? Ayo pukul!" pinta Calya saat Raga menarik kembali tangannya.
"Gue nggak ada urusan sama lo, urusan gue sama Bastian. Mending lo minggir," usir Raga.
"Urusan Bastian urusanku juga karena aku pacarnya."
Ekspresi wajah Raga berubah saat Calya menyebut jika Bastian adalah pacarnya. Penyataan yang membuat perasaannya tidak baik-baik saja. "Oh udah ngakuin pacarnya. Bagus! Ngomong-ngomong sejak kapan, ya? Wah! Pasti seru banget, tuh, pas selingkuh di belakang gue."
"Harusnya dari awal—"
"Calya, udah. Jangan ngomong apapun," sela Bastian untuk menghentikan kebeneran yang akan dibeberkan oleh Calya.
"Cukup, Kak. Raga harus tahu kalau kita udah pacaran jauh sebelum aku kenal dia. Kamu nggak perlu mikirin perasaan dia lagi, karena sedikit pun dia nggak pernah mikirin perasaanmu."
"Maksud lo apa, Cal?" tanya Raga sedikit tidak paham dengan apa yang Calya katakan barusan.
"Aku sama Bastian udah pacaran satu tahun sebelum kita jadian. Karena Bastian tahu kamu suka aku, makanya Bastian mundur tanpa kamu minta. Bastian yang maksa aku buat nerima dan jaga perasaanmu. Selama ini aku baik semata-mata karena aku nurutin kemauan Bastian yang sesayang itu sama adik tirinya. Tapi apa yang Bastian dapet dari kamu, Ga?!"
"Omong kosong apa lagi, Cal. Nggak lucu, sumpah!" sinis Raga.
"Kamu yang banyak omong kosong, Ga! Kamu harus terima kenyataan kalau nyokapmu pergi bukan karena nyokap Bastian. Tapi emang nyokapmu lebih milih karir daripada kamu sama bokap. Jangan jadiin nyokap Bastian kambing hitam, karena nyatanya nyokap Bastian nggak seburuk yang kamu pikirkan. Apa kamu nggak bisa ngerasain kasih sayang tulus dari orang yang kamu benci?"
Raga bungkam. Telinganya mulai mendengar bisik-bisik penghuni kantin yang tengah membicarakannya. Tentu tentang hal buruknya. Semua menaruh simpati dan membela Bastian seperti yang biasa terjadi.
"Cal, lo keterlaluan!" tukas Bastian.
"Biarin aja, Kak. Biar Raga tahu yang sebenarnya. Aku juga udah capek sama sifat Raga ke kamu. Apa yang udah kamu korbanin buat dia itu nggak ada harganya. Ngapain kamu masih sebaik ini sama orang yang selalu jahatin kamu?"
Tanpa mengatakan apapun, Raga meninggalkan tempatnya. Membawa rasa marahnya pergi sejauh mungkin dari keramaian.
"Woy, Ga! Mau kemana? Kita-kita baru dateng," celetuk Rizal yang kebetulan berpapasan dengan Raga di pintu keluar.
"Eh Raga kenapa?" tanya Tama yang menyadari suasana hati Raga lewat ekspresi yang dia lihat.
"Pasti ribut lagi sama itu," balas Janu seraya menunjuk ke arah Bastian dan Calya.
"Nggak ada kelar-kelarnya."
* * *
"Raga kamu udah pulang? Mau Mama siapin sesuatu? Kamu pasti laper, kan? Mama masakin—"
"Tante apa-apaan, sih? Jangan bikin saya makin nggak betah di rumah sendiri," sela Raga lalu duduk di sofa ruang tamu. Cowok itu melepaskan sepatunya sebelum membaringkan tubuh lelahnya di sofa. Ponsel yang berada di saku, dikeluarkan. Mengabaikan tawaran baik dari ibu tirinya, dia sibuk dengan game online-nya.
"Mama buatin jus alpukat kesukaan kamu."
Raga membuang napas, kesal dengan tingkah wanita paruh baya yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatiannya sejak dia kecil sampai sebesar sekarang. Tanpa mengatakan apapun, Raga beranjak dari tempatnya. Melangkah cepat menuju kamarnya.
* * *
"Raga?"
Raga memutar bola matanya saat suara Kinara—ibu tirinya—menyambut kemunculannya di ruang makan. Ikut makan bersama keluarga memang menjadi momen langka untuknya. Dia lebih suka makan sendirian saat semuanya sudah makan atau makan di di luar. Semua dilakukan semata-mata untuk menghindari orang-orang asing di rumahnya itu.
Kinara menarik satu kursi khusus untuk putranya. Senyumnya lenyap saat putranya memilih kursi lain. Mencoba untuk tidak terpengaruh dengan segala wujud rasa tidak suka yang terus Raga tunjukan padanya, Kinara mencoba melakukan pendekatan lain. Dia pun mengisi piring kosong dengan nasi dan lauk yang terhidang di meja makan.
"Tidak perlu repot-repot, saya bisa sendiri," ujar Raga seraya menyingkirkan piring nasi yang sudah disiapkan khusus untuknya. Dia meraih piring kosong dan mengisinya sendiri.
"Raga ... udah berapa kali Papa ngasih tau? Kapan, sih, kamu mau berubah?" ujar pria yang merupakan ayah kandung Raga.
"Raga mau makan, Pa. Ngobrolnya nanti aja," balas cowok itu.
"RAGA!"
Kinara mengusap lengan suaminya, meminta suaminya untuk bersabar lagi menghadapi putranya. "Mas, udah. Nggak papa, kamu makan aja, ya? Aku bantu siapin."
Bastian yang sedari tadi hanya menjadi penonton, tak melepas tatapan dari Raga yang sudah mulai menyantap makan malamnya. Dalam hati cowok itu mengumpati Raga yang belum juga merubah sikap pada ibunya. Masih seenaknya sendiri dan belum tahu bagaimana cara menghargai. Dia pikir setelah hubungan Raga dan Calya berakhir ditambah dijauhi orang-orang, Raga bisa merenung untuk introspeksi diri. Nyatanya semua itu belum cukup untuk menyadarkan cowok itu.
* * *
"Kamu yang banyak omong kosong, Ga! Kamu harus terima kenyataan kalau nyokapmu pergi bukan karena nyokap Bastian. Tapi emang nyokapmu lebih milih karir daripada kamu sama bokap."
Penggalan kalimat Calya terus mengusik ketenangan Raga selama beberapa hari ini. Ingatannya berpetualang jauh ke masa saat ibunya tiba-tiba pergi meninggalkannya. Selama ini dia tidak sepenuhnya mengerti tentang alasan di balik kepergian ibunya. Dia begitu egois dengan asumsinya jika ibu kandung Bastian yang sekarang adalah ibu sambungnya merupakan bibit masalah yang menyebabkan ibunya pergi. Asumsi itulah yang terus memupuk kebenciannya hingga tumbuh subur untuk Bastian dan ibunya. Raga tentu ingat bagaimana dia berusaha membuat Bastian selalu dalam kesulitan, ketakutan, dan menjadi pihak yang selalu salah. Beberapa cara yang bisa dibilang keterlaluan sudah dia tempuh untuk memuaskan dendamnya.
Raga meremas kuat kaleng minumannya yang sudah kosong. Remasan kuatnya cukup mewakili kemarahan yang tengah dia rasakan belakangan ini. Tentu saja kemarahan itu untuk dirinya sendiri. Kalimat Calya adalah pukulan hebat yang menyadarkan betapa salahnya dia. "Gue sama Calya udah putus di hari lo nembak dia. Jangan khawatir, Calya bakal balik ke lo."
Raga tersentak kaget. Dia tidak menyadari kedatangan Bastian yang kini duduk di sampingnya. Dia pikir rooftop menjadi satu-satunya tempat yang bebas dari orang lain sehingga dia bisa berdamai dengan kesendirian. Ternyata tidak, Bastian datang menghapus kesendiriannya. Raga menatap ke arah Bastian yang tersenyum tipis padanya.
"Lo pasti lagi ngetawain gue, kan? Gue tahu kok. Lo nggak perlu sok baik gini. Dari dulu gue emang semenyedihkan ini, nggak butuh simpati lo."
"Gue bener-bener peduli sama lo, Ga. Wujud rasa peduli seorang kakak sama adiknya."
"Gue bukan adik lo."
"Gue bakal bikin Calya balik ke lo, apapun caranya. Lo pasti bisa kayak dulu lagi sama Calya."
"Nggak perlu. Emang seharusnya gini, kan?"
"Lo masih punya kesempatan buat dapetin Calya lagi."
"Gue nggak butuh itu."
"Beneran?"
Mendengar suara dari cewek yang sangat dia kenali, Raga menoleh ke samping kirinya. Wajah Calya dengan senyum menggembang sempurna hingga memamerkan kedua lesung di pipi, menyambutnya. Sebelah alis Raga terangkat, tidak mengerti dengan situasi apa yang terjadi saat ini. Keberadaan Bastian dan Calya di sisinya terlalu membingungkan.
"Kenapa lo ada di sini juga?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Calya mau minta maaf, Ga. Emm gue juga, sih." Bukan Calya yang menjawab melainkan Bastian. Sedari tadi Calya hanya sibuk tersenyum melihat ekspresi bingung Raga.
"Maksudnya?"
"Semuanya udah beda, Ga. Pada akhirnya Calya kemakan omongannya sendiri," jawab Bastian ambigu.
"Gue ini tolol, lo kalau jelasinnya kayak gitu otak gue nggak nyampe," kesal Raga.
"Calya pernah sebenci itu sama lo karena gue putusin dia ditambah gue minta dia buat cinta ke lo. Calya pernah pura-pura di awal-awal nerima lo. Tapi apa yang terjadi sekarang? Calya beneran jatuh cinta setelah apa yang udah kalian lewatin. Apa yang udah lo kasih ke Calya, ngerubah semuanya."
Raga tergelak hambar setelah mendengar kalimat panjang Bastian. Dalam hati dia berkata omong kosong apa lagi ini?
"Kalian berdua maunya apa, sih? Jangan bikin gue kejebak di situasi nggak jelas kayak gini," tukas Raga. Baru saja hendak bangkit dan berniat meninggal Bastian yang penuh omong kosong, pundaknya ditahan oleh Calya. Cewek itu memintanya untuk tetap di tempat.
"Soal omonganku waktu itu, aku mau minta maaf," ucap Calya penuh sesal.
"Nggak perlu minta maaf, lo udah bener. Gue lupa ngomong makasih ke lo yang udah bantuin ngasih tau seberapa buruknya gue."
"Kayaknya kalian butuh waktu, gue cabut duluan. Raga, gue harap lo kasih kesempatan Calya buat jelasin. Gue berharap banyak sama hubungan kalian," pamit Bastian sebelum meninggalkan mereka yang membutuhkan banyak ruang dan waktu untuk berbicara hanya berdua.
"Raga, aku bener-bener minta maaf. Aku sadar, kata-kataku waktu itu keterlaluan. Nggak seharusnya aku ngomong kayak gitu ke kamu waktu itu. Aku minta maaf bukan cumaa buat aku sendiri, tapi juga buat bastian. Kita salah, kejadian di kantin bener-bener di luar skenario yang kita atur. Sekali lagi aku minta maaf karena bikin kamu jadi omongan banyak orang," sesal Calya begitu Bastian meninggalkannya.
Raga tersenyum tipis menatap Calya. "Nggak perlu minta maaf karena itu bukan sebuah kesalahan. Lo udah bener, gue emang perlu dikasarin. Tanpa lo mungkin gue bakalan terus-terusan nyalahin orang lain atas hal buruk yang gue terima. Sepenuhnya gue sadar sama kesalahan gue selama ini. Kedepannya mungkin gue bisa lebih nerima apapun itu, baik ataupun buruk."
Telapak tangan Calya mendarat di pundak Raga. Menepuk-nepuk pelan di sana. Senyumnya mengembang saat cowok itu menatap ke arahnya. "Akhir-akhir ini aku liat kamu banyak berubah. Aku suka kamu yang dewasa kayak gini," ujarnya dengan maksud memuji secara terselubung.
Raga merespons dengan senyum khasnya. "Berarti dulu gue kekanak-kanakan, ya? Makanya lo nggak suka."
"Nggak cuma kekanak-kanakan. Kamu juga semena-mena, kasar, dan emosian kalau sama orang yang nggak deket sama kamu. Jadi, orang-orang segan kalau nyoba deket sama kamu. Padahal aslinya kamu, kan, nggak sengeri yang mereka bayangin."
"Sengaja. Biar nggak ada yang berani deketin, ada hati yang harus gue jaga waktu itu. Ngomong-ngomong gimana hubungan lo sama Bastian?"
"Tadi Bastian ngomong nggak kamu dengerin? Dia, kan, bilang ...." Calya memainkan jemarinya. Tidak berani untuk melanjutkan kalimatnya.
"Denger."
"Terus kenapa nanyain hubungan aku sama dia?"
"Iya gue pengin tau. Lo nggak mau ngasih tau?"
"Raga ... aku sama Bastian udah nggak ada hubungan apa-apa. Dulu emang pernah pacaran tapi sekarang temenan."
"Berarti lo jomlo?"
"Hm. Abis diputusin sama pacar aku gara-gara ketahuan jalan sama cowok lain. Padahal itu emang sengaja banget. Pengin bikin pacar insaf."
"Bisa pas gitu, ya? Bisa-bisanya lo tau gue mau ke situ."
"Iya lah. Itu, kan, kafe langganan kita. Kamu pasti ke situ kalau nggak dibolehin ke rumahku."
"Pacarnya siapa, sih, kok pinter banget?" gemas Raga seraya mengusap puncak kepala Calya.
"Nggak inget pas mutusin?"
"Putus, kan, bisa balikan," bisik Raga membuat Calya memukul lengan Raga lalu terbahak. Cowok itu terdiam, sibuk menikmati tawa cewek yang ada di sampingnya. Efek tawa itu masih sama, meniupkan kesejukan di hatinya. Raga tersenyum. Sekarang dia percaya, di balik hal-hal buruk yang menimpanya, ada sebuah hikmah yang bisa dia dapat.
* * *
"Kok berhenti?" heran Calya saat mobil yang Raga kendarai berhenti di tepi jalan.
"Bastian ikut sama kita nggak papa, kan? Dia nggak bawa kendaraan," balas Raga sekaligus meminta persetujuan.
Calya terkejut dengan kalimat Raga. Dia pun mengikuti arah pandang Raga. Nampak Bastian tengah duduk di halte sendirian. Ngomong-ngomong Calya ketinggalan informasi. Dia tidak tahu sejak kapan Raga peduli pada Bastian. "Kok pake nanya, sih? Malah aku seneng kalau kalian akur."
"Gue samperin Bastian dulu, tunggu sebentar," pamit Raga lalu melepas sabuk pengamannya sebelum turun. Cowok itu melangkah cepat menuju halte.
"Bas," panggilnya yang langsung berhasil membuat Bastian mengangkat kepala.
"Raga? Ngapain lo di sini?"
Raga terdiam sesaat. Dia sedikit bingung memilih kosakata untuk mengajak Bastian pulang bersamanya. Pasalnya dia belum pernah melakukan ini sebelumnya. Wajar jika dia bingung dan terlihat sangat kaku. "Lo mau pulang?" tanyanya.
"Iya lah. Kenapa emangnya?"
"Nggak papa."
"Lo ngapain di sini? Nggak mungkin nunggu angkutan, kan? Lo, kan, bawa mobil."
"Iya."
"Oh iya udah."
"Kalau lama nunggu angkutan, mending lo pulang sama gue," ucap Raga tiba-tiba.
"Lo ngajak pulang bareng?"
"Nggak. Cuma nawarin salah satu solusi. Kalau mau, ayo! Nggak juga nggak maksa."
Bastian dengan cepat langsung berdiri dan menyusul Raga yang sudah berjalan meninggalkannya. "Gue ikut lo aja, kelamaan nunggu angkutan. Nggak masalah, kan?"
"Nggak," jawab Raga begitu canggung lalu masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi.
Calya menoleh ke belakang dan tersenyum menyambut Bastian. Senyumnya pun dibalas senyuman oleh cowok itu.
"Gue ngasih lo tumpangan bukan buat ngasih kesempatan lo caper ke cewek gue, ya!" pesan Raga saat menyadari Bastian dan Calya saling melempar senyuman.
"Baru juga akur, udah mau ngajak ribut lagi," cemooh Calya.
"Raga tuh yang ngajak ribut!" celetuk Bastian.
"Diem kamu, Bas! Mending telepon mama. Bilang gue mau makan siang di rumah. Sama Calya juga. Biar mama bisa siapin," titahnya.
TAMAT
Siti Umrotun, kelahiran Cilacap 07 Maret. Anak kedua dari tiga bersaudara. Pertama kali menulis di Wattpad pada tahun 2016. Di tahun 2017 karya pertamanya berhasil dibukukan. Sampai saat ini sudah ada 13 karyanya yang dibukukan. Awalnya menulis di Wattpad hanya keisengan untuk mengisi waktu luang setelah pulang sekolah. Namun, sekarang ini menulis di Wattpad menjadi hobi yang dia tekuni. Sedang berusaha untuk lebih produktif lagi dalam menghasilkan karya di Wattpad. Dia ingin terus berkarya. Selain hobi menulis, Siti juga hobi menonton drama romansa yang dibumbui komedi. Drama China adalah drama yang paling sering ditonton. Suka EXO dan NCT. Biasnya di EXO adalah Park Chanyeol dan biasnya di NCT adalah Haechan. Moodbooster-nya adalah video kerandoman member EXO atau NCT. Kamu bisa menyapa Siti lewat akun Wattpad-nya SitiUmrotun atau langsung DM ke Instagram-nya @sitiumrotun0703
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro