"Takdir Yang Tertukar" - Rain-Jay
TAKDIR YANG TERTUKAR
A Short Story by Rain-Jay
"Ayah bilang tidak, Kayshila! Apapun alasannya, sekalipun bocah urakan itu ingin pergi ke kutub utara untuk 100 tahun aku tidak akan mengizinkanmu menemuinya!"
"4 Tahun, Ayah. Aku tidak akan menemuinya lagi untuk empat tahun kedepan hingga ia menyelesaikan studi musiknya disana. Apa Ayah tidak ingin melihatku bahagia sebentar saja?"
"Tidak!" Ayahnya membanting pintu utama lalu gadis itu bisa mendengar ayahnya meninggalkan rumah menggunakan mobil. Ia pun tidak tahu kemana ayahnya akan pergi, karena pria itu sebelumnya sudah bersiap siap untuk menemui seseorang.
Kayshila Ajeng Wijaya mengeratkan cardigan putih yang membalut tubuh mungilnya ketika kakinya melangkah memasuki kamar. Tangan kanannya memegang segelas susu hangat yang sengaja ia buat untuk memperbaiki suasana hatinya yang dihancurkan oleh ayahnya sendiri.
Kamar adalah lokasi favoritnya, begitu sunyi dan menenangkan.
Dan untuk pertama kalinya ia melangkah kesini dengan hati yang sendu, diliriknya kaca kamarnya. Percikan air hujan mulai menabrakkan diri disana seakan mengetahui keadaan hatinya yang tidak baik-baik saja.
Kayshila melangkah masuk. Menarik kursi meja belajar dan menaruh mug-nya di atas sana.
Tangannya terulur untuk menghidupkan laptop sebelum perhatiannya teralihkan pada tumpukan buku. Buku merah muda yang berada di tumpukan paling bawah terlihat paling cantik di sana.
Ditariknya buku itu secara perlahan, Kayshila mulai membaca lembaran pertamanya.
* * *
Lembar pertama.
"Hai."
Seorang gadis manis memberanikan diri untuk menyapa seorang remaja laki-laki yang sejauh ini belum pernah sedikitpun berbincang dengannya.
Ia pun melakukan ini karena terdesak, hanya karena satu soal matematika yang setelah setengah jam tidak kunjung ia temui jawabannya.
Ia sudah menanyakan Fira—salah satu gadis sekelasnya yang juga terkenal pintar dalam hal hitung menghitung. Tetapi sayangnya Fira juga belum menemukan jalan keluar.
Harapan terakhirnya adalah laki-laki ini.
Remaja itu membuka earphone kirinya ketika Kayshila mendekatinya.
Alisnya naik sebentar—bertanya ada apa urusan gadis itu hingga menganggunya.
"Kamu sibuk?" Kayshila mendudukan badannya di bangku kosong. "Aku mau tanya satu soal ini, boleh?"
Diliriknya sedikit soal matematika sbmptn saintek dengan materi limit trigonometri itu sebentar.
"Aku ngerti dasarnya. Kamu cukup kasih tau mecahin di awalnya saja."
Tidak menjawab. Tangan kanan laki-laki itu kembali mengambil earphone-nya yang semula terjatuh di bahu kemudian memasangkannya kembali. "Buat permisalan," jawabnya singkat.
Kayshila tampak berpikir sebentar sebelum menuruti perintah remaja itu. Sebelum mulutnya ingin kembali menanyakan langkah selanjutnya, suara guru BK wanita di bibir pintu membuat gadis itu menghentikan tindakannya.
Seluruh perhatian murid teralihkan ketika sang guru wanita mulai berbicara—atau lebih tepatnya memanggil satu nama untuk menghadapnya segera.
"Shawn Arangga." Guru itu menjeda. "Ada disini?"
Kemudian seluruh perhatian teralihkan kepada remaja laki-laki yang duduk tenang dengan alunan musik menghiasi gendang telinganya.
Shawn mendengarnya. Kemudian ia melepaskan earphone, bangkit, dan melangkah kearah guru tersebut.
"Shawn nanti ajarin lagi, boleh?" tanya Kayshila ketika laki-laki itu berjalan melewatinya.
Dan ia dilewati begitu saja.
Gadis itu berdiri sebelum akhirnya kembali melangkah ke arah tempat duduknya. Teman sebangkunya berada disana.
"Sudah?" tanya Sofi.
Kayshila menggeleng. "Dia sudah lebih dulu dipanggil BK."
"Seperti Shawn ingin menjelaskan saja," kekehnya.
Kayshila mendudukan badan di bangku. "Tapi setidaknya bisa mengerti sedikit." Kayshila menoleh. "Shawn ada masalah apa?"
Sofi menyipitkan matanya. "Tawuran, Kay. Kamu gatau?"
Alis Kayshila terangkat. "Tawuran yang diperbincangkan beberapa hari terakhir?"
Sofi mengangguk. "Dan Shawn berada di barisan paling depan."
* * *
Lembar ke tujuh.
Kota Jakarta diselaputi awan pagi itu, tampak ingin membasahi kota namun tidak tega dengan banyaknya manusia yang baru saja memulai aktivitasnya pada hari selasa ini.
Tatapan Kayshila menerawang jauh. Mobil hening, supir pribadinya mengendarai dengan tenang.
Pikiran gadis itu ditarik ke peristiwa kemarin malam, dimana seorang Raden Mas Adiwijaya menjodohkan putrinya yang masih duduk di bangku SMA. Kay ingin meringis jika membayangkannya lagi.
Malik—pria muda calon dokter yang sekarang sedang menjalankan koas itu memang manis. Tapi bukan berarti ayahnya bisa memaksa Kay untuk menyukai laki-laki itu dalam sekejap.
Kay meringis lagi. Faktor terbesar ayahnya menyukai Malik adalah karena sosok itu bernama belakang Kusuma. Salah satu keluarga terpandang yang bisa menjanjikan masa depan cerah.
Kay mengambil tas kemudian disusul dengan botol minum birunya. Lalu kakinya mulai melangkah keluar dari mobil untuk memasuki gerbang sekolah.
Dilihatnya remaja laki-laki berbalut jaket jeans itu lagi hari ini. Setelah kemarin Kay bertanya mengenai soal matematika dan berakhir tidak mendapatkan respon.
Laki-laki berparas separuh barat itu memarkirkan motor japstyle hitamnya sebelum bergerak turun.
"Pagi, Shawn," sapa Kay ramah. Untuk pertama kalinya Kay memberi sapaan selamat pagi pada Shawn.
Shawn menoleh sedikit sembari tangannya membuka kancing jaket hingga seragam yang membalut tubuh kokohnya bisa terlihat. "Pagi," balasnya.
Keduanya berjalan beriringan kearah kelas. Kay nyaris terkejut ketika laki-laki itu buka suara untuk bertanya padanya—sesuatu yang jarang sekali ia dengar.
"Sudah dapat jawabannya?"
Kay mengerjap. "Apa?"
Shawn melirik sedikit. "Soal kemarin."
Kay mengangguk. "Sudah. Kakakku membantuku mengerjakannya."
Shawn tidak membalas, hanya memberikan anggukan kecil.
Hari selasa itu berjalan seperti biasa, dibuka dengan pelajaran matematika peminatan kemudian ditutup dengan pelajaran bahasa indonesia. Tidak ada kelas yang melaksanakan pelajaran olahraga hari ini, Jakarta diguyur hujan terhitung dua puluh menit setelah Kay melangkahkan kaki memasuki kelas.
Menyisakan lapangan upacara yang di hiasi genangan air.
Kay masih duduk di sana, menggigit kecil ujung pensil mekaniknya seraya berpikir. Masih tentang Malik.
"Kay."
Gadis itu mendongak, menemukan Raka—teman sekelasnya sedang menatap bingung pada dirinya yang hari ini terlihat kurang serius memperhatikan pelajaran sejak pagi.
"Sudah mulai sepi," tambah Raka lagi.
Pandangan Kay mengitari kelas yang hanya menyisakan dua orang. Gadis itu menunduk kemudian mulai merapikan alat tulisnya.
"Kamu baik-baik aja?" Raka buka suara lagi.
Kay mengangguk.
"Biar aku antar kamu pulang."
Kay mengambil tasnya sebelum menyampirkan ke bahu. "Aku bisa sendiri."
"Akan lama kalau kamu harus tunggu supir kamu jemput, kan?" Alis Raka terangkat. Ia sudah mengenal Kayshila cukup lama hingga hafal dengan pola gadis itu.
Kay menghela napas sebelum akhirnya mengangguk—menyetujui ajakan pulang Raka.
* * *
Mereka menyusuri jalan jakarta yang cukup ramai. Raka mengendarai motornya dengan tenang—tidak ingin terburu buru untuk menghindari resiko terciprat genangan air kotor.
"Shawn suka nongkrong ya, Raka?" Entah kenapa Kay menanyakannya. Beberapa saat yang lalu sebelum Raka berbelok ke arah kanan, Kay bisa melihat sosok Shawn di salah satu tempat makan sederhana.
Raka melirik Kay sekilas melalui kaca spion. Kemudian menggeleng. "Tidak begitu, sih. Sesekali saja."
"Tadi aku lihat dia."
Raka tersenyum. "Di warung Bu Aini?"
Kay cepat-cepat mengangguk.
"Dia memang selalu kesana untuk beli beberapa bungkus nasi. Nanti dibagikan ke beberapa orang." Raka terkekeh kecil melirik ekspresi Kay yang tampak bingung. "Ga bisa bayangin ya?"
Kay mengangguk cepat.
"Semua orang ga bisa lihat siapa itu Shawn, Kay." Raka tampak terfokus ke jalanan sejenak. "Shawn itu unik. Dan ga seburuk yang sekolah katakan tentangnya selama ini."
Shawn itu unik. Hanya itu yang saat ini bisa di tangkap di benak Kay.
* * *
Lembar kesembilan.
"Kamu bawa dua bekal?"
Kay menoleh ketika menemukan Arendra Wijaya—kakak laki lakinya terlihat bingung saat adiknya memasukan dua kotak makan kedalam tas.
"Iya," jawab Kay seadanya.
Arendra menyipitkan mata. "Bukannya kamu diet ya, Dek?"
Kay membelalakan matanya. "Katanya aku kurus, jadi ga butuh diet! Kok sekarang nyuruh aku diet?" Gadis itu mengerucutkan bibirnya.
Arendra mengerjap. "Mas kan ga bilang kamu gendut..." ucapnya pelan. Jaga-jaga jika ada salah kata yang ia ucapkan berdampak menghancurkan suasana hati adiknya yang satu ini.
"Tapi nyuruh aku diet."
Arendra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum mengambil kunci mobil yang tergantung di gantungan kayu jati. "Mas anter kamu sekolah ya." Laki laki itu mulai berjalan keluar.
"Aku gendut ya?!" teriak Kay lagi.
"Engga, Kay."
"Aku gendut?"
Arendra melotot. "Kamu telat!"
"Tuh kan aku gendut!"
Arendra menganga. Hamba salah apa?
Dua belas menit perjalanan di isi oleh iringan lagu yang terhubung dengan bluetooth dari ponsel Kay. Gadis itu tidak bernyanyi—hanya bersedekap dada sembari memperhatikan jalanan.
"Sudah sampai, Raden Ajeng Kayshila Wijaya," ucap Arendra dengan suara di buat buat.
Kay menyipitkan mata. "Dadah!"
Arendra tersenyum. "Dadah."
Gadis itu menyampirkan tasnya sebelum melangkah turun.
Kali ini, yang ia perhatikan adalah parkiran motor. Kemudian satu senyum terukir ketika melihat motor japstyle hitam itu terparkir disana.
Dan Shawn memang sudah berada di kelas lebih dulu, dengan jaket jeans favoritnya dilengkapi earphone putih yang tidak pernah Kay lihat kotor sejak dulu.
Kay melangkah gugup. Ia hanya ingin menyapa laki-laki itu, walau sejak awal Kay sudah tahu Shawn tidak begitu responsif terhadap perempuan yang mendekatinya. Tapi Kay tidak ingin mendekatinya! Itu yang Kay tanamkan—sehingga ia merasa berbeda.
"Pagi," sapa Kay pelan.
Shawn mendongak kecil sebelum kembali melihat ponselnya. "Pagi."
"Sudah sarapan?" tanya Kay lagi.
Shawn tampak menyipitkan matanya sedetik. "Kenapa?"
"Aku bawakan roti," ujar Kay. Sebelum tangannya bergerak ingin membuka tas dan mengeluarkan kotak makan merah mudanya, gerakan gadis itu terhenti ketika mendengarkan kalimat penolakan dari remaja laki-laki di depannya ini.
"Aku tidak lapar."
"Kamu bisa memakannya nanti."
"Tidak."
Kay tersenyum manis. "Baiklah." Kakinya melangkah ke arah bangku dimana ia duduk.
Ada sedikit kecewa. Kay hanya ingin mengetahui tentang sosok itu, tidak lebih. Walau wajah Shawn terbilang layak untuk dikejar dan di jadikan seorang kekasih—tetapi Kay tidak terlintas mengenai hal seperti itu. Gadis itu hanya ingin mengenalnya. Hanya sampai sana tujuanya.
* * *
Kay mengambil botol air mineral yang semula berada di genggaman Sofi sebelum akhirnya menegak air itu. Pandangannya teralihkan dengan anak laki-laki kelasnya yang sedang bermain basket.
Kay meniup poninya yang basah terkena keringat hasil permainan basketnya.
"Shawn adem banget ya." Sofi melirik Kay sebentar sebelum terkekeh. "Ya, Kan?"
"Tidak ada keturunan barat yang berparas buruk, Sofi," balas Kay seadanya.
"Tapi berbeda, Kay." Tatapan Sofi jatuh pada Shawn yang masih berada di dalam lapangan—karena pelajaran olahraga terbilang cukup panjang.
"Badboy tapi jenius itu biasanya hanya aku temui di Novel saja." Bahu Sofi terangkat. "Tapi sekarang beneran ada di depan mukaku."
Kay ikut tertawa rendah. "Dia se-badboy itu, kah?"
Kay melirik tasnya yang berada di samping Sofi sebelum tangannya terulur untuk mengambil kotak makan berwarna merah muda. Gadis itu membukanya—dua lapis roti tawar berselai cokelat masih tersusun rapi di dalamnya.
Kay nyaris meloncat terkejut ketika sosok Shawn menjulang tinggi di sampingnya. "Maaf."
Kay mengeryit. "Kenapa?"
"Aku menolaknya tadi." Tangan remaja laki-laki itu terulur untuk mengambil kotak makan yang berada di tangan Kay. "Aku akan mengantarkanmu pulang nanti sebagai gantinya, Kayshila."
Shawn menarik senyum tipis sebelum melangkah pergi dengan keringat bercucuran di dahinya.
Kay bergeming disana.
Raka benar.
Shawn itu unik.
* * *
Lembar ke tiga puluh tujuh.
Dan Shawn memang akan selamanya unik.
Setelah 6 bulan kejadian kotak makan itu, Kay masih tidak mengubah pandangannya terhadap Shawn.
Kayshila duduk bergeming di bangku taman. Memori itu bergulir di kepala cantiknya—mengingat kembali bagaimana dulu awal ia bisa melihat sisi lain dari sosok itu.
Jika sore itu Raka tidak mengantarnya pulang maka mungkin semua sekedar cerita kecil yang tidak pernah terjadi.
Kay menyesap minuman dingin yang berada di genggamannya.
Pandangannya teralihkan pada anak kecil perempuan cantik yang bermain perosotan dengan senyum secerah cahaya pagi. Disusul dengan seorang wanita muda berambut pendek yang datang padanya dengan tempat makan merah muda berisikan roti.
Kay tersenyum. Satu ingatan kembali menyusup ke pikirannya.
Potongan kecil tentang bagaimana hari itu untuk pertama kalinya ia memberikan Shawn roti dengan kotak makan berwarna pink favoritnya. Dan sore itu di akhiri dengan senyum laki-laki itu ketika mengantarkan Kay ke depan gerbang rumah.
Kay masih bisa merasakan sentuhan Shawn dirambutnya, gadis itu masih mengingat seberapa manis senyum lelaki itu di matanya.
Enam bulannya yang dipenuhi dengan semua kenangan manis itu mulai runtuh sekarang.
"Kay?"
Kay mengerjap kemudian menolehkan kepala. Menemukan sosok Malik Kusuma dengan kemeja rapihnya berjalan mendekati Kay yang masih duduk.
Kay mengulas senyum tipis. "Hai." Kemudian pandangan itu kembali ke arah depan. Ia sudah tau Malik akan menjemputnya, seperti biasa yang terjadi selama dua minggu terakhir.
Malik mengelus singkat rambut Kay yang tergerai sebahu. "Sudah menunggu lama?" tanyanya ramah.
Kay menggeleng singkat. "Tidak begitu."
"Sedang apa dari tadi?"
"Napas."
Pria calon dokter itu tertawa menanggapi Kay. "Aku tahu itu."
Kay tidak menjawab.
"Ayo pulang. Ayahmu sudah menunggu di rumah," ajak Malik lagi. Badannya yang semula duduk perlahan bangkit.
Kay mengangguk sebelum ikut menegakkan badan. Kemudian mengikuti pergerakan Malik yang berjalan kearah mobil sedan hitamnya.
Pria itu membukakan Kay pintu sebelum melangkah mengitari mobil untuk duduk di kursi kemudi.
Malik menarik sabuk pengaman sembari bertanya, "ada sesuatu yang ingin kamu beli sebelum pulang, Kayshila?"
Kay menggeleng.
Malik tersenyum. Mulai menyalakan mobil dan melaju membelah jalanan Jakarta yang ramai lancar sore ini. Diliriknya gadis manis yang terbungkus keheningan itu. "Kamu baik-baik saja, bukan?"
Kay menoleh sedikit. "Aku baik-baik saja."
"Baiklah."
Membutuhkan waktu sekitar dua belas menit sebelum akhirnya mobil Malik memperlambat kecepatan ketika tiba di pekarangan salah satu rumah yang berada pada kawasan elit.
Kay melangkahkan kaki untuk turun terlebih dulu sedangkan Malik tampak mengambil sekotak makanan untuk di berikan kepada keluarga Wijaya.
"Assalamualaikum," ucap Kay ketika memasuki rumah.
Raden Mas Adiwijaya—ayah Kay menjawab salam putrinya sebelum mengangkat senyum melihat dengan siapa putrinya pulang.
Malik—calon yang Adiwijaya pikir akan sangat sempurna untuk anak keras kepalanya itu.
"Sore, Om Adi."
Adiwijaya tersenyum. "Sore, Malik."
Malik mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Adiwijaya sebelum memberikan makanan yang ia bawa sebelumnya. Disusul dengan ucapan terima kasih oleh Adiwijaya.
"Aku tidak lama, Om." Malik ingin pamit dengan sopan.
"Bagaimana dia, Malik?"
Malik tersenyum. "Dingin." Pria itu menggeleng. "Tapi itulah yang membuatku semakin menyukainya. Jangan terlalu dipikirkan, Om. Biarkan kita berjalan secara perlahan."
Disisi lain, Kay mengunci pintu kamarnya lalu duduk di hadapan cermin. Tangannya bergerak membuka cardigan yang membalut kaos polosnya kemudian menghela napas lemah.
Suasana hatinya memang tidak baik sekarang, ditimpa dengan nyeri haid yang ia rasakan sejak pagi.
Kay mengalihkan perhatian ketika satu notifikasi masuk ke ponselnya.
Shawn A. : Aku membawakan sesuatu, boleh turun sebentar?
Mata Kay berbinar, terlebih ia sudah mendengar mobil sedan hitam milik Malik sudah lama keluar dari gerbang utama.
Kay menuruni tangga rumahnya, memakai sandal pink-nya sebelum melangkah ke arah gerbang.
Security tidak membukakan gerbang untuk Shawn—seperti biasa. Terlebih ketika banyak pekerja yang tahu bahwa seorang Raden Mas Adiwijaya tidak mengizinkan putrinya dekat dengan laki-laki manapun kecuali Malik.
Kay tersenyum. Mendorong gerbang dengan tangannya sebelum melangkah ke arah Shawn yang menyenderkan badan di motor japstyle-nya.
"Hai."
"Hai," balas Shawn. Laki-laki itu tersenyum kemudian tangan kirinya bergerak mengambil satu kantong plastik lalu memberikannya pada Kay.
"Apa ini?"
"Kebab favoritmu dan minuman manis. Suasana hatimu sedang tidak baik, bukan?"
Kay tersenyum lagi. "Apa aku semudah itu untuk ditebak?" tanya Kay pada remaja berwajah campuran barat di depannya ini.
"Tidak." Shawn menggeleng. "Akulah yang sudah terbiasa."
Kay merindukan senyumannya. Senyuman yang begitu manis itu, hanya saja Shawn adalah sesuatu yang terlalu jauh dan mustahil untuk tergapai dengan tangannya.
"Aku pulang." Tangan Shawn bergerak mengenakan kembali helmnya.
"Terima kasih." Kay menunduk sedikit. "Aku menyayangimu."
Kay baru saja ingin berbalik badan ketika menemukan Adiwijaya berjalan ke arahnya dengan derapan marah. "Ayah?"
"Kau menemuinya lagi, Kayshila?" Adiwijaya setengah berteriak kesal.
Kay menoleh kebelakang—melihat Shawn membuka kembali helmnya dan bergerak turun untuk berdiri dengan gagah.
"Dia hanya memberikanku makanan." Tangan Kay berada di dada Adiwijaya—menahan ayahnya untuk mendekati Shawn dan melakukan sesuatu yang kasar.
Adiwijaya menatap putrinya sejenak. "Berapa kali Ayah katakan padamu untuk tidak menemui anak urakan ini?!"
"Maaf, Om. Saya yang ingin menemuinya tanpa memberi tahu terlebih dahulu." Shawn maju satu langkah. Menundukan sedikit badannya lalu memberikan senyuman hormat sekaligus permintaan maaf.
"Kau lagi." Adiwijaya menyingkirkan badan Kay yang menghalangi penglihatan. "Pergi!"
Shawn bergeming ketika Adiwijaya menyentaknya.
"SAYA BILANG PERGI!" Adiwijaya berteriak hingga Kay ikut turun tangan mendekati dan menahan badan ayahnya yang bergerak maju.
Adiwijaya melihat sekali lagi mata hitam berkilauan milik remaja laki-laki berbadan tinggi di hadapannya.
Rambutnya terlihat cukup urakan, dengan badan berbalut denim. Namun netranya tidak goyah—menampilkan kondisi mentalnya yang tidak terjatuh sekalipun seorang Raden Mas membentaknya.
"Perlu kau ketahui. Putriku adalah sosok yang terlalu jauh untuk tergapai olehmu. Tidakkah kau sadari itu sejak awal, Nak?!" tegasnya.
Remaja itu tidak membalas ucapannya. Masih berdiri di sana—membiarkan Adiwijaya menyelesaikan ucapan.
"Jadi sudah tau posisimu, bukan?" Pria berdarah bangsawan itu menghela napas. "Sekarang keluar sebelum saya memanggil penjaga untuk menyeretmu keluar!"
Seorang penjaga mendekatinya, sebelum anak remaja itu sedikit mengangkat tangannya dengan sopan. Kemudian bergumam, "saya bisa melangkah keluar sendiri."
Kepalanya tertunduk sedikit—tetap memberi hormat kepada pria didepannya sekalipun sosok itu telah memporak porandakan harga dirinya tanpa ampun sejak pertama kali Shawn menyatakan rasa sayangnya kepada Kayshila.
"Saya pamit, Om. Terima kasih."
* * *
Empat bulan kemudian.
Seorang pelayan wanita menghampiri Kay yang duduk di salah satu kursi kafe. Pelayan itu menaruhkan es teh tarik di atas meja kaca.
Dilihatnya seorang laki-laki berbadan gagah sedang bermain gitar di atas panggung. Badannya berbalut jaket jeans biru—itu sepertinya jaket baru. Rambut hitamnya tertata cukup rapih, hanya saja satu helaian terjatuh di keningnya menambahkan kesan seksi.
Laki-laki itu sesekali menggigit bibirnya mengikuti beat lagu yang dimainkan. Kakinya menghentak ke lantai panggung sesuai dengan irama.
Kay tersenyum. Shawn akan selamanya menjadi sosok yang unik dan tidak pernah bisa ia prediksi.
Termasuk kemarin. Ketika rumor tersebar tentang Shawn Arangga yang mendapatkan beasiswa musik ke salah satu universitas di Singapura.
Kay bahkan tidak bisa sekedar mengucapkan selamat. Tidak bisa ketika terakhir kali mereka berbicara adalah empat bulan yang lalu. Ketika akhirnya ayah Kay mengusir kasar laki-laki itu.
Gadis itu mengerjap—memandang seberapa tampan sosok itu disana. Tidak sedikit juga remaja perempuan yang menatap kagum Shawn tanpa ragu.
Kay menyesap minumannya.
Tapi gadis itu nyaris menyemburkannya kembali ketika menoleh dan menemukan netra hitam itu menatapnya dengan tenang. Kay kembali membuang wajahnya yang memerah.
Sepuluh menit kemudian Kay memberanikan diri untuk kembali melihat Shawn dan ternyata laki-laki itu sudah terfokus dengan hal lain.
Kay melirik jam tangannya yang sudah menunjukan waktu sepuluh malam. Kedua orang tuanya akan segera mencarinya hingga Kay memutuskan untuk mengangkat kaki untuk pergi.
Ia hanya ingin menikmati masa-masa terakhir sebelum sosok itu tidak lagi bisa ia lihat. Sebelum keduanya harus mengubur dalam semua memori.
Banyak hal mereka lalui bersama. Malam mengelilingi kota Jakarta, menikmati makanan pinggir jalan, hingga hanya duduk di taman—melihat gemerlap bintang.
Shawn lebih dari yang Kay pikir. Sosok itu begitu lembut dibalik sikap dinginnya.
Jika hari itu Kay tidak memberikan roti kepada Shawn dan mereka tidak berakhir pulang bersama, mungkin semuanya akan berbeda.
Tidak ada cerita indah yang pernah mereka lalui bersama, tidak ada ukiran S & K di gantungan kunci motor milik Shawn.
Tidak akan ada cerita manis di warung kopi sudut kota.
Semua tempat yang Kay lalui sekarang akan selalu mengingatkannya dengan Shawn.
Mereka pernah melalui banyak tawa bersama di waktu yang singkat hingga Malik datang dan meluluhlantahkan banyak hal.
Kay tahu benar, Malik adalah sosok yang baik. Hanya saja, Kay berharap Malik bukan untuknya.
Kay menghela napas, ini terasa cukup menyesakkan. Gadis itu nyaris kehilangan keseimbangan ketika merasakan tangan dingin menahan lengannya.
"Hujan."
Kay mengerjap, melihat jalanan hujan deras yang selangkah lagi ingin ia terabas begitu saja. Ia nyaris jalan dan basah kuyup jika tidak ada yang menahannya.
"Kau melamun cukup lama."
Kay menoleh. Shawn Arangga berdiri di belakangnya. Tanpa senyum.
"Shawn?"
"Iya, Kayshila?"
Kay mengerjap lagi. "Kau berbicara denganku..."
Shawn tersenyum. "Sudah lama ya?"
Kay mendongak. "Menurutmu?"
"Seperti separuh abad." Shawn mengalihkan perhatiannya dari manik hitam milik Kay.
Bergeming lama.
"Kau akan pergi jauh."
"Iya."
"Kau menerima beasiswa itu."
Shawn menghela napas. Menunduk sejenak. "Itu seharusnya bukan pertanyaan."
Kay mengangguk lalu menorehkan senyuman setipis kertas. "Retorik, ya?"
Shawn mengangguk. Air hujan sudah mengenai sepatunya. "Iya."
"Jadi?"
"Apa?"
"Kita akan jadi apa?"
"Jadi kenangan."
Sesuatu menembus hati Kay begitu dalam tanpa ampun.
"Kuantar pulang?"
Kay mengangguk.
Malam itu sendu dan terlihat rapuh. Hujan mulai reda, menyisakan tetesan kecil dan genangan air.
Kay menyandarkkan sudut wajahnya di punggung Shawn yang berlapiskan denim. Menutup matanya perlahan—membiarkan angin malam yang dingin berhembus di wajahnya.
"Mama apa kabar?" Kay bertanya pelan.
Menanyakan Ibunda dari Shawn yang dulu sering ia temui. Wanita paruh baya itu memiliki senyuman sehangat senja.
"Baik." Shawn memberi jeda. "Ia sering menanyakanmu."
"Titipkan salamku."
Shawn mengangguk. "Kemana?"
"Apa?"
"Pendidikanmu."
Kay memberanikan diri untuk menumpukan dagu di bahu Shawn yang kokoh. "Di Jakarta. Tapi Amsterdam akan tetap menjadi kota impianku."
Shawn mengulas senyum, beberapa bulan dekat dengan Kay sudah membuatnya tahu banyak hal tentang gadis itu. Termasuk tentang Amsterdam, ibukota Belanda yang Kay impikan sejak lama untuk tinggal disana.
"Sejak awal kamu memang tidak bisa diremehkan."
"Apa?" Laki-laki itu bertanya tentang maksud ucapan Kay padanya.
"Kamu unik, Shawn. Terlalu samar hingga semua orang di sekitarmu hanya bisa melihat hal buruk yang kamu lakukan. Tawuran contohnya."
Kay tersenyum. "Dan diantara semua siswa, hanya pengajuan beasiswamu yang lolos. Apa itu memang rencanamu?"
"Aku tidak pernah membuat rencana apapun." Shawn menggantung kalimatnya sejenak. "Jatuh cinta padamu contohnya."
Jantung Kay terasa seperti melewatkan satu detakan yang berharga. "Apa?"
"Aku tidak pernah membuat rencana," ulang Shawn.
"Setelah itu."
Shawn menggeleng. "Seingatku aku hanya mengatakan itu."
Kay tidak menjawab. Masih ragu apa yang harus ia tanyakan lagi. Sekalipun benar, itu hanya sebuah kalimat yang sudah tidak berarti.
"Aku turun disini, Shawn. Khawatir ayahku menunggu didepan dan kejadian lama terulang kembali."
"Tidak apa. Mungkin akan menjadi salam perpisahanku dengan ayahmu juga."
Kay tidak menolak ketika Shawn menurunkannya di depan gerbang, tidak ada Raden Mas Adiwijaya disana sehingga tidak terjadi keributan.
"Selalu jaga dirimu, Kay."
Kay bergeming sejenak, menatap netra cokelat terang milik laki-laki di depannya. "Iya," balasnya parau. "Kamu juga," timpa Kay lagi.
Shawn mengangguk. "Aku pamit."
Hanya selang beberapa detik sebelum akhirnya punggung sosok itu berlalu kemudian hilang di gelapnya malam.
Kay termenung sebelum melirik ponselnya yang menunjukan satu notifikasi.
Malik Kusuma :
Maaf aku akan telat menjemputmu, aku mendapatkan masalah.
Seketika Kay teringat bahwa ia sudah sudah membuat janji bahwa Malik yang akan menjemputnya pulang malam ini walau seketika ia lupa di detik Shawn menawarkan tumpangan.
* * *
Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua malam ketika laki-laki bernama lengkap Shawn Arangga itu masih duduk diatas japstyle hitamnya.
Mengelilingi kota yang dihiasi lampu malam dengan sejuknya angin.
Tidak pernah ia sangka sebelumnya bahwa ia akan memiliki rasa pada seorang putri Raden Mas Adiwijaya yang sejak awal sudah terpandang di sekolahnya.
Gadis manis itu baru hadir di akhir tahun SMA-nya. Setelah dua tahun terakhir kesehariannya tidak pernah diisi dengan sosok wanita selain ibunya.
Kayshila hadir begitu dengan begitu halus sampai ia tidak menyadari kehadiran sosok itu, hingga Kay tidak bisa lagi ia raih.
Malam dimana ia mengajak gadis itu bertemu dengan ibundanya. Malam dimana untuk pertama kali ia tersenyum melihat betapa bahagia wajah Kay ketika Shawn membelikannya gulali merah muda.
Semuanya karena kotak makan pink milik Kay.
Shawn memperlambat gerakan motornya ketika menyadari sesuatu yang janggal di sudut jalan sepi.
Diliriknya mobil sedan hitam yang terparkir di sana. Pada Detik berikutnya Shawn menyadari bahwa itu adalah mobil milik Malik Kusuma.
Tujuh orang pria berbadan kokoh berada disana, siap menghantam badan Malik yang kalah saing dengan jumlah mereka semua.
Shawn membuka helm dan bergerak turun. Ia mengenal ketujuh dari mereka, semuanya adalah lawan sekolahnya sejak awal. Terakhir kali Shawn berada di barisan paling depan tawuran untuk menyelamatkan salah satu temannya yang terluka. Berada di paling depan membuat ketujuh dari mereka tidak asing dengan wajah Shawn. Terlebih wajahnya identik dengan campuran darah barat yang kental.
"Kau lagi," seru salah satu dari mereka ketika melihat Shawn hadir disana.
Alis Shawn terangkat. "Kau mengenalku," balas Shawn dengan tenang.
Pria itu melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Malik kemudian melangkah kearah Shawn yang berdiri disana.
Malik melihat kearah Shawn—jelas ia mengenal sosok tampan dengan rambut urakan dihadapannya. Hanya saja ia tidak menduga pertemuan mereka akan berada di situasi seperti ini.
"Kau nyaris membunuh temanku bajingan!" teriaknya.
Shawn tersenyum. Maju satu langkah sembari memasukan tangan ke saku celana. "Temanmu membuat sahabatku koma. Bukankah itu terdengar adil?"
"Tidak ada kata adil di permainan kita."
"Kita sudah sepakat untuk tidak menggunakan senjata tajam, bukan? Kelompokmu melanggarnya."
Pria yang berada di hadapan Shawn ini memang mempunyai lingkaran pertemanan yang sering cari masalah dengan berbagai pihak.
Pria itu maju dan mengambil ancang-ancang untuk mengambil kerah Shawn ketika Shawn menangkis dan memutar tangannya dengan kasar.
Pria itu meringis kasar ketika beberapa derajat putaran lagi tulangnya akan patah.
Shawn mendorong dadanya, menahan kerah, sebelum menghujamkan satu pukulan dalam ke arah dada hingga pria itu nyaris terduduk.
Melihat temannya terlibat perkelahian kelima pria yang lain ikut mendekati. Shawn sadar ia akan mendapatkan lebam kecil setelah ini.
Seorang pria berbalut baju biru melayangkan tinjuan di wajah walau gagal ketika Shawn menunduk dan menarik pakaiannya lalu melayangkan pukulan di perut. Disusul dengan pria lain yang menendang kakinya, ketika Shawn sedang menyelesaikan satu orang maka yang lain mulai menyerangnya.
Terdengar licik untuk lima orang melawan satu orang.
Malik berdiri disana dengan satu orang pria memegangi tangannya, melihat sosok bocah laki-laki itu menghabisi lima orang pria dengan tenang dan tidak terburu buru. Perlu disadari Shawn lebih muda daripada dirinya sendiri.
Shawn berdiri. Merapikan denimnya sebelum melirik kearah pria yang memegangi Malik. "Kau ingin berakhir seperti teman-temanmu?" tanyanya.
* * *
Sandra bersandar perlahan di sandaran kursi kafe yang sepi.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Tanya sosok pria di depannya setelah menyesap vanilla latte pesanannya. Minuman favorit pria itu masih sama—Sandra masih dapat mengingatnya.
"Kau tahu apa yang ingin aku bicarakan," ucap Sandra.
Pria itu menaikkan bahu. "Aku tidak tahu."
"Kita sudah berakhir cukup lama." Sandra memberi jeda. Bernapas sejenak. "Kita melalui banyak hal dengan jalan masing-masing. Kamu dengan jalanmu, dan aku dengan pilihanku."
"Jadi kamu menyuruhku kesini untuk sekedar mengingatkan betapa menyedihkan aku dulu setelah keputusan yang kamu ambil?" Pria itu menyela angkuh.
Sandra menatap matanya dalam. "Setelah belasan tahun, dan kamu masih sosok yang sama. Tidakkah kamu sadar seberapa hancur kita jika memaksakan diri untuk bersama saat itu?"
"Aku selalu berusaha untuk mengerti tentangmu, Sandra," selanya.
"Sudah tidak ada harapan untuk kita sekarang. Seharusnya kamu tahu, detik ini kita hanya bisa menerima segalanya dengan hati yang lapang."
"Kamu mengatakan ini setelah kamu sadar pria kelahiran Amerika itu mengecewakanmu, bukan? Setelah akhirnya kamu sadar bahwa pilihanmu salah. Setelah gagalnya hubunganmu dengan pria yang kamu harap bisa lebih baik dariku, Sandra."
Pria itu menatapnya beberapa detik dalam diam. "Setelah banyak kehancuran yang kamu sebabkan padaku, sekarang kamu memintaku untuk tidak membenci putra hasil pernikahanmu dengan pria bajingan itu?!"
"Raden Mas Adiwijaya!" Napas Sandra tersengal. Detik itu juga ia tersadar watak Adiwijaya adalah sesuatu yang tidak bisa ia ubah sedari dulu.
"Ini!" ucap Sandra. "Ini yang aku benci darimu, Adi!" Tangan wanita itu terangkat, menunjuk dada Adiwijaya yang berada di hadapannya. "Sejak awal..."
"Aku sudah cukup terseok seok bertahun tahun menjalin hubungan denganmu. Beban untuk memantaskan diri guna menyeimbangi margamu itu di hadapan keluarga besar Wijaya!" Sandra menggeleng. "Kemudian kamu menyuruhku untuk lebih bersabar lagi menghadapi sikap angkuhmu yang mendarah daging."
Sandra mengambil napas dalam. "Perlu kau tahu aku hanya gadis yang terlahir sederhana, Adi."
"Seharusnya kamu biarkan semuanya berlalu. Seharusnya kamu tidak menaruh dendam pada Shawn." Sandra tersenyum. "Karena kamu tidak pernah tahu seberapa bahagia netra Kayshila ketika melihat putra tunggalku itu."
Sandra mengambil tasnya. "Selamat malam." Ia beranjak keluar.
* * *
"Ma."
Sandra mendongak—melihat Shawn Arangga. Putra tunggalnya yang tampak tampan karena darah campuran yang dari ayah kandungnya. Seorang pria kelahiran Amerika yang saat itu ia harapkan tidak mengecewakannya.
"Anak Mama sudah pulang." Sandra tersenyum lalu melangkah mendekati Shawn.
"Mama habis dari mana?" tanyanya ketika menyadari pakaian yang membalut tubuh Sandra adalah baju berpergian.
Sandra belum sempat menjawab ketika perhatiannya teralihkan pada luka di pelipis putranya.
"Shawn. Kamu baik-baik saja?!"
Shawn melirik barang dan perlengkapannya yang sudah tersusun rapi di ruang tamu. Ditambah lagi beberapa koper pakaian. Ia benar-benar akan pergi.
Shawn melangkah mendekati ibunya sebelum memeluk wanita itu erat.
"Aku akan merindukan Mama..."
Shawn memejamkan matanya sejenak. "Aku juga akan merindukan Kay, Ma."
Disisi lain,
Malik berdiri dari duduknya ketika melihat mobil Adiwijaya memasuki pekarangan rumah--ia sudah menunggu pria itu lebih dari setengah jam.
"Kau menungguku, Nak?"
Malik mengangguk. "Ada yang ingin saya bicarakan tentang Kay, Om. Maaf jika ini waktu yang kurang pantas untuk mendiskusikan hal seperti ini."
Adiwijaya mendudukan badannya di kursi. "Ada apa, Malik?"
Calon dokter muda itu menghela napas. "Saya akan menarik diri dari hubungan ini, setelah melihat dengan siapa saya bersaing sebenarnya selama ini."
* * *
Kayshila tersenyum tipis.
Setelah menghabiskan puluhan menit untuk membaca yang tertulis di buku merah muda itu. Itu adalah diary-nya, buku catatan bagaimana ceritanya dengan laki-laki berdenim itu dimulai.
Setelah beberapa puluh lembar, Kay menghela napas. Membuka kembali lembaran pertama buku itu membuatnya kembali pada suasana hati yang tidak tentu.
Getaran ponselnya di atas meja membuat Kay melirik untuk membaca notifikasi yang masuk.
Shawn Arangga :
Aku akan boarding besok pagi, pukul 09:30.
Selamat Malam, Kayshila.
Ia tidak bisa menemui Shawn, setelah izinnya di tolak oleh Adiwijaya.
Ayah bilang tidak, Kayshila! Apapun alasannya, sekalipun bocah urakan itu ingin pergi ke kutub utara untuk 100 tahun aku tidak akan mengizinkanmu!
Entah apa yang Shawn pernah lakukan hingga seorang Adiwijaya membencinya begitu dalam.
* * *
Untuk terakhir kalinya, kepala itu bersandar di dada Shawn. Menyalurkan ketenangannya sejenak ketika merasakan lelaki itu merungkuhnya ke dalam pelukan untuk beberapa detik.
Kay melerainya secara perlahan. Mengangkat senyum setipis kertasnya. "Jaga dirimu baik-baik."
Suasana bandara pagi itu cukup ramai—dipenuhi orang lalu lalang yang keduanya tidak hiraukan.
"Jaga dirimu juga, Kay."
Kay mengangguk. "Aku akan."
"Selamat tinggal." Tangan kokoh itu terangkat untuk mengelus singkat rambut gadis manis dihadapannya.
"Aku akan kembali."
Kay tidak menjawab.
"Untuk kita."
Yang mereka tidak sadari adalah seorang Raden Mas Adiwijaya bersandar di pintu mobilnya. Memandang dari jauh putrinya.
Sandra berada disana. Sosok wanita yang bertahun tahun pernah mengisi hatinya. Kemudian menjadi patah hati terberatnya ketika wanita kesayangannya itu memilih lelaki lain untuk di ajak menghabiskan banyak waktu bersama.
Kemudian pernikahan mereka mendapatkan Shawn, remaja tampan yang sekarang mendapatkan hati putrinya.
Adiwijaya tersenyum.
Kisah ia dan Sandra sudah berakhir, tetapi ia tidak ingin putriya merasakan rasa kecewa yang sama. Ketika seharusnya Kayshila bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Mungkin ia tidak ditakdirkan untuk Sandra, karena Tuhan merencanakan sesuatu yang indah di kehidupan selanjutnya.
Ceritanya dan Sandra tidak bisa berakhir indah, karena Tuhan menukar takdir itu untuk putri kecilnya.
* * *
Amsterdam, Belanda.
Rijkmuseum—14:30
Wanita berumur dua puluh lima tahun menyunggingkan senyum ketika melihat sosok dengan kacamata hitam itu melangkah mendekatinya.
Pria muda berbalut mantel cokelat itu tampak menawan dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. Matanya berbinar melihat siapa yang ia temui.
Bidadarinya.
"Selamat siang, dr. Kayshila Ajeng Wijaya."
"Selamat siang juga Musisi sukses, Shawn Arangga."
TAMAT
Hallo, Aku Rain Jay atau biasa disapa Rain oleh pembaca. Penulis novel Heart Stealing, Night In Chicago, dan Skyfall. Ini adalah cerita pendek pertamaku bertema High School. Karena karya-karyaku sebelumnya kebanyakan bertema Romance. Dan aku sendiri adalah penulis yang hobi membaca novel ber-genre Romance. Semoga kalian menyukai cerpen kali ini ya! Sampai jumpa dan terima kasih banyak! With Love, Hujan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro