Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Si Merah" - Sirhayani


SI MERAH

A short story oleh Sirhayani


Istirahat kedua berlangsung. Mia dan dua temannya, Rara dan Icha, berjalan saling bersisian sembari memegang mukena menuju musala sekolah. Mia tak banyak bicara hari ini. Dia memberi alasan kepada dua temannya itu bahwa dia sedang sakit gigi. Padahal saat ini perasaannya sedang tak keruan. Dia tidak ingin banyak bicara.

"Denger gosip nggak lo? Katanya sekolah ini angker banget. Serem," kata Rara sangat pelan.

Icha menambahkan dengan suara sama pelannya. "Semua sekolah juga serem kali. Sekolah gue dulu, nih, waktu SD ada anak yang main ayunan sore-sore terus dia yang dorong ayunan itu kenceng banget sampai akhirnya dia kena ayunan dan ikut terlempar. Jatuh. Kepalanya kena batu. Hal serem yang terjadi itu...." Icha menjeda kalimatnya lama.

"Apa? Jangan bikin penasaran, dong!" seru Rara tertahan.

"BOONGAN!" teriak Icha, lalu terbahak melihat ekspresi Rara yang langsung berubah.

Rara langsung memukul lengan Icha keras. "Kalau bercanda jangan hal kayak gini, dong! Tapi gue serius, loh, sekolah ini beneran angker. Bahkan desas-desusnya tiap berapa tahun sekali ada tumbal dari siswa sekolah sendiri."

"Tumbal?"

"Iya, tumbal. Katanya pasti ada yang meninggal di sekolah tiap berapa tahun gitu kalau udah waktunya. Katanya, sih, tapi kalau serius beneran ngeri." Rara bergidik. "Hari ini habis ekskul langsung pulang cepet pokoknya. Lo juga pulang cepet! Jangan nungguin Mario mulu."

"Hem?" Mia menoleh sambil menggumam pelan. Mia tidak begitu fokus pada pembicaraan dua teman kelasnya itu. "Tadi ngomong apa?"

"Masa nggak denger? Itu, loh. Gue kok takut, ya. katanya korbannya bakalan meninggal tepat tengah malam. 00:00...." Rara terus bercerita sampai tiba di depan musala. Sementara Mia kembali sibuk dengan pikirannya sendiri.

Aduh, foundie gue bakalan luntur, batin Mia saat melihat tempat wudu siswi.

Mereka mengambil tempat di dalam musala dengan menyimpan mukena bersisian. Tiba di tempat wudu siswi, Mia hanya memandang lama air yang terus mengalir sementara siswi-siswi mengantre di belakangnya. Mia segera mengambil wudu dan akhirnya membasuh wajahnya hingga alas bedak berbentuk krim itu luntur. Cewek itu tidak menunggu dua temannya dan langsung pergi ke musala mengambil salat sendirian.

Selesai salat, Mia langsung membereskan mukenanya dan langsung pergi dari sana dengan buru-buru. Dia meninggalkan Rara dan Icha. Cewek berambut panjang dan lurus itu sengaja menutupi dua sisi wajahnya dengan rambut hingga wajahnya hampir tak terlihat lagi.

Saat di perjalanan kembali ke kelas, Mia melihat pacarnya yang bernama Mario melihat ke arahnya dengan kernyitan yang dalam. Mia tanpa sadar memelankan langkah hingga nyaris berhenti. Cewek itu gelagapan memeluk mukenanya saat Mario menghampirinya dan menyingkap pelan rambut Mia yang sedang menyembunyikan beberapa lebam bekas pukulan.

"Aku udah bilang lebih baik tutup pakai obat, bukan make up." Mario berdecak, lalu menarik Mia hati-hati dan membawanya ke UKS. Tiba di ruangan serba putih itu, Mia didudukkan di kursi sementara Mario langsung mengambil alat-alat yang diperlukan. Mia tak banyak bicara dan hanya memandang Mario yang cekatan menutupi lebam di wajahnya dengan penutup luka.

"Pulang sekolah nanti aku mau pergi bentar, tapi kamu tunggu aku di sekolah, ya?" ujar Mario memandang lekat manik mata Mia yang sendu.

Mia mengangguk.

"Kamu langsung balik ke kelas," kata Mario sambil mengusap pipi Mia. "Kalau ada yang bilang muka kamu kenapa, bilang aja habis jatuh dari kamar mandi. Atau apa, kek." Mario berdiri dan mengusap rambut Mia pelan. "Aku mau langsung ke kelas."

Mia lagi-lagi mengangguk. Perlakuan Mario bisa selembut ini hanya di situasi-situasi tertentu. Tidak jika Mario sedang marah. Jika Mario marah, maka Mia akan habis di tangan pacarnya sendiri.

***

Kata Mario, dia hanya pergi sebentar dan akan kembali ke sekolah untuk menjemput Mia pulang.

Namun, hingga menjelang magrib Mario tidak juga datang. Mia sudah setia menunggu Mario selama berjam-jam. Mia tak berani menghubungi duluan karena Mario sudah melarangnya untuk tidak menghubungi jika bukan Mario yang menghubunginya lebih dulu. 

Beberapa siswa masih ada di sekolah, tetapi sudah bersiap-siap untuk pulang. Mia menyusuri lorong demi lorong sekolah yang berbelok-belok. Hal itu dilakukan Mia untuk menghilangkan rasa bosannya. Langkahnya sengaja pelan untuk melihat pemandangan tiap sudut sekolah. Tiba di dekat sebuah sumur tak terpakai, langkah Mia terhenti. Sumur itu tepat berada di depan laboratorium Bahasa. Ada dua pohon palem yang tak terlalu tinggi di dekatnya.

Ada banyak cerita horor yang sempat Mia dengar saat masih kelas X. Awal-awal dia menjadi siswi baru, ada banyak cerita tentang sekolah ini. Mulai dari guru perempuan yang diperkosa lalu dimutilasi oleh siswanya sendiri, lembar jawaban bertinta merah yang nama siswinya tak ada dalam daftar kelas, rekaman video di mana beberapa siswa memasuki sebuah kelas di malam hari dan melihat kursi bergerak-gerak sendiri. Mungkin saja ada benarnya, mungkin saja sebagian cerita itu hanya dibuat-buat.

Satu cerita panjang yang Mia ingat saat melihat sumur tua itu adalah cerita dari penjual roti yang datang di sore hari untuk membawa jualannya kepada pemilik kantin. Si penjual roti lewat di lorong laboratorium Bahasa dan melihat ada perempuan berbaju merah yang duduk di atas sumur. Saat penjual roti bertanya kepada pemilik kantin mengenai siapa perempuan berbaju merah yang ada di atas sumur, pemilik kantin mengatakan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Hari setelah itu penjual roti tak pernah ke sekolah lagi saat sekolah sedang sepi.

Sumur yang saat ini Mia terus pandangi.

Mia berjalan pelan ke depan dan bergeming saat melihat di antara dua pohon palem terdapat sajen. Entah bunga apa yang di atasnya dan juga terdapat telur ayam.

"Sejak kapan ada di situ?" gumamnya, memandang aneh sajen di sana.

Mia kembali melangkah dan berjalan ke koridor kelas XII IPS. Dia duduk di tepi korodir sambil memandang beberapa cowok di lapangan takraw yang sedang siap-siap untuk pulang.

Ponsel Mia berdering. Dia pikir yang menghubunginya adalah Mario, tetapi ternyata Rara. Mia jadi tak enak karena sempat menyueki Rara dan Icha saat mereka terus bertanya tentang luka di wajahnya.

"Iih, gue lihat cowok lo lagi jalan bareng si Gege!" cerocos Rara.

"Oh, ya?" Mia sempat curiga Mario selingkuh, tetapi Mia menepis itu. Mario bukan tipe tukang selingkuh meski dia kasar. Lagipula Gege adalah teman kelas Mario, mungkin saja mereka sedang ada kerja kelompok yang masih perlu dikerjakan.

Mia memejamkan matanya. Iya, pasti kayak gitu....

"Mia. Ada apa-apa pasti, ya, kan?" tanya Rara pelan. "Lebam itu dia yang buat, ya?"

"Bukan, kok...."

"Jangan nutupin apa pun dari gue dan Icha. Maksud gue, ya kalau lo ada apa-apa cerita, oke?" Rara menghela napas panjang. "Dari dulu kan gue bilang dia itu bukan cowok baik-baik? Lagian ... heran, iya tahu dia keren, iya tahu dia ganteng, tapi semua orang tahu kali dia kasar, Ya. Awal-awal pacaran sama lo emang kelihatan bucin sampe orang-orang bilang muka sangar hati Hello Kitty, tapi kalau dasar sifatnya emang kasar—"

Mia memejamkan matanya. "Udah dulu, ya," kata Mia, lalu memutus sambungan itu. Mia mengusap wajahnya lelah.

Sebenarnya, kenapa semua bisa berubah tidak seperti dulu lagi?

"Ngapain maghrib sendirian di sini?"

Mia mengangkat wajahnya. Seorang cowok berpakaian basket sambil menenteng basket oranye berdiri di hadapannya. Pasha, teman sekelas Mia.

"Nungguin Mario," balas Mia pelan.

"Harusnya lo pulang cepet," kata Pasha sambil melirik sekeliling. "Takutnya ada apa-apa."

"Jangan ganggu cewek orang, dong!" teriak Mario, tiba-tiba muncul dan membuat Mia terkejut. Mia berdiri dan dilihatnya tatapan murka Mario mengarah kepada Pasha.

Pasha menaikkan alisnya heran. "Apa sih lo? Gue cuma datengin dia lagi sendirian. Ini udah hampir malem."

"Dia bukan anak lima tahun yang harus pulang sebelum magrib," kata Mario, menggerakkan kepalanya. "Jauh-jauh dari sini."

Pasha memandangnya tertawa miris. Cowok dengan baju basket nomor punggung 7 itu langsung pergi.

Mia lega melihat kehadiran Mario. "Aku khawatir kamu nggak—"

"Ngapain kamu deket-deket dia?" tanya Mario, memotong perkataan Mia yang belum selesai.

Mia memegang lengan Mario yang langsung ditepis cowok itu. "Dia itu cuma— Rio!" Mia berkata tertahan. Mario menariknya dan hampir menyeretnya karena langkah cowok itu yang buru-buru. Mia takut Mario sedang marah. Dia berusaha lepas dari cowok itu, tetapi tak berhasil dan Mario membuka pintu laboratorium Bahasa entah mendapatkan kunci dari mana.

Didorongnya Mia dengan tak berperasaan hingga jatuh ke karpet merah laboratorium itu. Mia tanpa sadar sudah menangis dan memandang Mario tanpa bisa berkata-kata.

Apa yang terjadi?

"Hukuman buat kamu. Kalau ada cowok yang deketin ya lari! Pergi jauh-jauh! Jangan sok kegenitan!" teriak Mario. "Jangan berusaha hubungi orang lain atau kita putus!"

Mia hanya bisa menangis di lantai. Pintu dikunci dari luar. Mia berdiri lunglai dan memukul-mukul pintu lab dari dalam sambil menangis.

"Aku bakalan dateng nanti malam jemput kamu, tapi kamu harus nerima hukuman dulu!" teriak Mario dari luar.

Mia memandang ruangan sekelilingnya yang mulai menggelap. "Mario, jangan di sini aku mohon...."

 ***

Mia bersandar di belakang pintu, memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya di atas lutut sambil menangis. Hari sudah malam. Mia tak bisa menghubungi seseorang lewat ponselnya. Tak ada jaringan sama sekali di ruangan ini. Mia sudah mencari sakelar lampu sejak beberapa saat setelah dia dikunci di ruangan itu, tetapi tak ada lampu di sana. Mia takut memakai senter ponselnya dan tak ingin ke mana-mana selain tetap berdiam diri di pintu itu.

Alasannya karena hawa di ruangan itu sangat berbeda. Mia pikir mungkin rasa takutnya yang semakin membesar karena hanya ada dia di ruangan itu. Sendirian.

Ah, dia tidak sendirian. Ada suara beberapa anak kecil yang seperti berlarian ke sana kemari seolah mengejek Mia. Tubuh Mia gemetar. Dia berusaha membaca ayat kursi, tetapi beberapa bagian tak bisa dia lanjutkan karena lupa. Mia semakin takut dan berusaha menahan tangisnya.

Lemari di ruangan itu terus berbunyi, berdecit, terbuka, lalu tertutup. Mia semakin memeluk dirinya. Seperti ada embusan angin yang tertiup ke telinga Mia, langsung membuat cewek itu merinding.

"Kakak ngapain di sini?"

Mia mengeratkan pelukannya ke lutut. Tawa anak-anak kembali terdengar. Mia semakin takut saat mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, lalu tiba-tiba semakin menjauh.

Mia tak tahu sedang ada di dunia mana, tetapi satu hal yang berusaha Mia lakukan adalah tidak akan melihat sekelilingnya yang mulai terasa ramai.

Mia tanpa sadar terisak saat merasakan seperti ada yang memegang rambutnya.

Suara jeritan seorang perempuan dari jauh menyentakkan Mia. Lalu ada suara tawa perempuan yang Mia pikir adalah kuntilanak.

Mia meneguk salivanya. Tiba-tiba tak ada lagi suara-suara aneh itu. Mia pelan-pelan mengangkat wajah. Cahaya bulan menembus kaca laboratorium dan hanya ada pencahayaan dari sana yang menerangi ruangan itu.

Di sudut ruangan yang jauh dari tempat Mia duduk, terlihat kain merah yang ada di antara dinding dan lemari. Mia kembali memejamkan mata, menangis, dan merasakan dentuman jantungnya semakin kencang.

Tak ada lagi suara anak-anak, tak ada lagi suara jeritan, tak ada lagi suara tawa perempuan, tetapi suara langkah kaki terdengar, disertai dengan ketukan meja.

TOK TOK TOK

Mia membuka mata dan berbalik tanpa ingin melihat sekitar. Dibukanya pintu ruangan itu dengan buru-buru. Mario muncul di hadapannya, memandangnya dingin.

"Mario!" seru Mia, tertahan.

Mario langsung berbalik tanpa mengatakan apa pun. Mia berjalan di belakang cowok itu dan tak berani menoleh ke laboratorium Bahasa.

"Kita harus cepetan pulang...." Mia menghapus air matanya yang kembali turun ke pipi. Sementara di depannya, Mario terus berjalan melewati belakang sekolah.

***

Mario sedang berada di rumah salah satu temannya untuk mengerjakan tugas prakarya kelompoknya. Dia tahu waktu terus berjalan dan sudah tengah malam. Beberapa kali dia sadar bahwa Mia masih terkurung dalam salah satu ruangan di sekolah, tetapi setiap kali mengingat itu dia akan berusaha lupa atau menolak untuk segera menjemput Mia yang pasti sudah sangat ketakutan karena sendirian.

"Lo ninggalin cewek lo sendirian di sekolah?" tanya salah satu teman Mario, Dito, saat Mario berjalan ke ruang tamu untuk bersiap-siap menjemput Mia. "Kok lo lama-lama jadi orang gila, sih? Kerasukan iblis? Gila banget lo sekarang, Yo."

"Bacot, ah." Mario memandang temannya kesal. "Udah sepantasnya dia nerima hukuman. Lo juga nggak usah ikut campur dalam permasalahan gue."

"Gue nggak salah denger? Ck, ck, ck. Siapa ya dulu yang ngejar-ngejar Mia dan muji-muji terus. Ugh pacar gue cantik banget nggak ada yang ngalahin. Bosen lo, ya?" tanya Dito. Mario memakai sepatunya sambil memutar bola mata. "Sekolah itu angker. Bahaya banget sih lo ninggalin dia sendirian."

"Gue nggak percaya yang gituan. Gue malah takutnya Mia diapa-apain sama orang jahat. Ck. Dari tadi lo bacot mulu. Diem napa?" Kalimat Mario berhasil menghentikan Dito yang kembali ingin bicara. Mario segera ke motornya dan sebelum menjalankan mesin, dia menghubungi Mia tetapi panggilannya tidak masuk. Kemudian beralih ke pesan setelah memikirkan banyak hal.

Mario berdecak dan memandang Dito yang bersedekap di beranda rumah. "Apa?" tanya Dito sembari mengangkat dagu.

"Jaringan lagi masalah, ya?" tanya Mario.

"Nggak denger tadi anak-anak pada heboh soal jaringan? Tadi mikirin apa aja?" tanya Dito, agak sinis. "Udah sana pergi. Jangan cemburu sama gue karena khawatirin cewek lo. Emang lo aja yang punya sifat nggak ngotak. Heran. Masalah sepele aja dibesar-besarin. Otak lo nyangkut di tali jemuran?"

Mario kembali berdecak dengan perasaan berkecamuk, lalu membawa motornya dengan kecepatan tinggi menuju sekolah.

Mario terus berpikir. Dia terkadang merasa bahwa apa yang dia lakukan kepada Mia sungguh keterlaluan, tetapi di sisi lain Mario melakukan semua itu karena marahnya sudah di luar kendali. Dia terlalu berpikiran negatif, cemburu berlebihan karena banyak yang mendekati Mia, tidak senang Mia tersenyum kepada cowok lain selain dirinya, takut Mia tidak menyukainya lagi karena cowok-cowok yang jauh lebih menarik.

Mario selalu berpikir seperti ini dan sudah berkali-kali berusaha untuk berubah, tetapi setiap kali dia marah tangannya tak segan-segan untuk melukai Mia secara fisik atau mengancam Mia dengan cara apa pun agar Mia menarik kata-katanya setiap kali Mia ingin putus.

Mario berhenti di depan gerbang dan melihat sekeliling. Tak ada tanda-tanda kehadiran satpam. Cowok itu mengambil kunci gembok cadangan yang pernah dia curi dari satpam sekolah. Setelah membuka satu gerbang, dia kembali naik ke motor dan membawa motornya untuk berhenti di lapangan takraw yang dekat dengan laboratorium Bahasa.

Tak ada lampu yang menyala, tetapi Mario bisa melihat jalan karena bulan yang menerangi. Pintu laboratorium yang terbuka membuat Mario terkejut dan refleks berlari menghampiri ruangan itu. Dia memasuki ruangan yang kosong sambil terus berteriak memanggil-manggil nama Mia yang tak pernah terjawab.

"Mia?" Mario terus berlari melewati meja-meja yang ada dalam laboratorium sembari melihat ke kanan dan kiri dengan khawatir.

Dia keluar dari ruangan itu dan kembali berlari ke koridor saat melihat siswi berseragam SMA berjalan memasuki salah satu ruangan sekretariat ekstrakurikuler.

"MIA!" teriak Mario panik sekaligus heran, mengapa Mia berani masuk ke ruangan yang gelap itu? Tak ada siapa-siapa kan di sana? Mia tidak sedang mengikuti seorang cowok, kan? Seketika perasaan Mario terpecah belah.

Mario membuka pintu ruangan itu kasar dan terkejut melihat kaki Mia sudah tak menginjak lantai. "MIA!" Mario berteriak menghampiri, tak sadar menangis dan memeluk kaki Mia yang dingin. Dia menurunkan Mia dari tali itu dan memeluknya sambil menangis.

"Mia, kamu ngapain barusan? Kamu...." Mario tak kuasa meneruskan kalimatnya dan hanya bisa memeluk Mia dengan perasaan penuh rasa bersalah.

Mario merasakan hawa dingin menyelimutinya. Bisikan pelan di telinga seolah menghipnotisnya untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang terjadi pada sosok yang dia pikir adalah Mia.

Dia terjebak oleh si merah, yang kemudian berhasil membawa Mario ke dunia berbeda.

***

Mia memeluk dirinya sendiri sambil melihat sekeliling saat berjalan di belakang sekolah. Suasana sekolah di malam hari sangat mencekam. Beberapa kali terdengar suara di keheningan itu. Seharusnya tidak sehening sekarang. Sekolahnya tidak terpencil.

"Kenapa dari tadi cuma ngelilingin sekolah? Udah be—berapa kali? Tiga kali?" gumam Mia sambil mengusap kemejanya mencoba mencari kehangatan sekaligus ketenangan. Ditatapnya Mario di depannya yang tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun.

"Yo, aku takut...," gumam Mia hati-hati. Takut Mario marah, tetapi yang dilihatnya saat ini adalah Mario tiba-tiba menghilang. Mia mundur selangkah dan melihat sekelilingnya dengan panik. "Jangan nakutin, Yo," gumam Mia berusaha menahan tangis. "Kamu tahu kan aku takut sendirian...." 

Mia menutup mulutnya. Sesosok yang Mia yakin berasal dari dunia yang berbeda dengan dirinya sedang berdiri beberapa meter dari posisi Mia sekarang. Mia tak bisa berteriak. Hanya menutup mulut dengan tubuh gemetar dan jantung berdegup kencang.

Pakaiannya merah, berambut panjang kusut, wajahnya sangat terlihat jelas dan seringai yang memperlihatkan taringnya, mata berwarna merah, satu tangannya buntung karena sebelah tangannya menentang tangannya yang lain. Sosok itu berlumuran darah.

Mia mengambil arah berbalik dan berlari tak tentu arah, asal jauh dari sosok menyeramkan itu. Beberapa kali dia terjatuh dan tak kuasa menangis.

Mia tak ingin menoleh. Ada suara tawa dari dekat yang seolah-olah sedang menertawakannya saat melewati koridor menuju gerbang. Sekolah itu bukan hanya ada sosok merah, tetapi ada banyak makhluk tak kasat mata. Mia menutup telinganya sambil terisak.

Sambil menghapus air mata dia merasa lega melihat satpam sedang berdiri di dekat gerbang. Ada mobil yang mesinnya masih menyala dan lampu mobil yang memberi cahaya di luar gerbang.

Mia berlari hingga terjatuh. Beberapa orang keluar dari mobil dan mendekatinya, menariknya ke dalam pelukan sambil berusaha menenangkan. Mata Mia sudah mengabur karena air mata. Hanya suara dan bau khas mereka yang membuat Mia percaya bahwa orang-orang itu adalah manusia.

Mama, papa, dan pamannya.

"Kamu ke mana aja sayang?" tanya mama sambil mengusap wajah Mia yang penuh air mata. "Mama cariin kamu dari semalaman nggak ketemu-ketemu, Mia...." Mama memeluk Mia yang masih gemetaran. Mia hanya menggeleng tak mampu untuk berkata-kata.

"Bapak bilang anak saya nggak ada di sekolah?" tanya papa, menuntut penjelasan lebih satpam sekolah yang beberapa saat lalu memberi keterangan bahwa tak ada siapa pun di sekolah. Keluarga Mia hampir saja pulang. Beruntung Mia datang tepat waktu.

Satpam itu menyenter bagian dalam sekolah, lalu menggeleng-geleng. "Maaf, Pak. Saya tadi malam memang sudah cek nggak ada siapa-siapa. Tadi habis makan, terus baru aja balik. Samaan sama Bapak yang datang nyariin anak Bapak." Satpam itu memegang gembok gerbang dengan perasaan heran.

 "Lihat anak saya kenapa ketakutan begini?" tanya papa, mendesak satpam itu untuk jujur padahal tak tahu apa-apa.

Mama mengusap punggung Mia yang masih gemetaran. "Udah. Sekarang kita pulang dulu, oke?"

"Pa, Ma, udah, ya. Nanti aku cerita di ... di rumah...," kata Mia semakin pelan. Tak sadar sudah mengatakan hal itu.

Bagaimana jika makhluk-makhluk itu mendengar ucapannya?

Mia berdiri dibantu oleh mama. Papa dan paman Mia bicara sebentar kepada satpam sekolah. Mia berhenti di sisi mobil dan melihat ke dalam sekolah tak sengaja menangkap sosok Mario memandangnya jauh di koridor. Seperti ada kesedihan dari raut wajah Mario. Seperti ada sesuatu yang ingin tersampaikan, tetapi sosok itu tak bisa ke mana-mana seolah ada yang menahannya dari belakang.

"Mama, Mario ada di sana kita harus jemput! RIO!" seru Mia, berusaha lari dan langsung ditahan oleh mama. Papa, paman, dan satpam saling pandang.

"Kamu ngomong apa? Di sana nggak ada Mario. Nggak ada siapa-siapa...," kata mama. Mia segera tersadar dan memejamkan mata takut.

"Lebih baik cepet pulang. Jangan lupa saran saya juga, Pak," kata satpam itu kepada papanya Mia.

Mia masuk ke mobil. Mobil itu semakin melaju. Mama memeluknya erat dan Mia menghela napas lega bisa keluar dari dunia mereka.

Apa kabar Mario sekarang? Mario tidak boleh ke sekolah. Mia menggigit kukunya, gelisah. Dia ingin segera menghubungi Mario, tetapi teralih oleh pesan Mario di ponselnya yang belum terbaca.

Sayang, aku mau jemput kamu dan nggak sabar pengin ngechat kamu sekarang juga, utarain apa yang aku rasain. Kamu nggak bisa dihubungi, aku habis merenung dan makin sadar dengan apa yang aku lakuin selama ini. Aku terlalu kasar dan aku ngerasa takut karena banyak yang deketin kamu. Maafin aku udah jahat sama kamu selama kita pacaran. Aku janji nggak akan jahat lagi, nggak akan kasar lagi. Aku nyesel banget rasanya pengin sampai ke sana sekarang juga. Ah aku bego banget.

Tunggu aku.

I love you. 

Mia menangis terharu. Baru kali ini Mario meminta maaf setelah melakukan sekian banyak kesalahan yang selalu membuat Mia menyerah dalam hubungan mereka, tetapi ujung-ujungnya Mia juga akan selalu tetap berakhir bersama Mario. Mia sampai berpikir mengapa sulit lepas dari cowok itu.

Biasanya Mario tak pernah mengaku salah, merasa apa yang dia lakukan sudah benar. Tak pernah mengucap kata maaf. Mia menghubungi Mario, tetapi tidak diangkat cowok itu.

Mia mengirimkan sebuah pesan kepada Mario.

Jangan ke sekolah. Yo, aku pulang dulu, ya. aku shock banget dengan apa yang aku alami barusan. Maaf karena aku udah keburu takut. Besok aku ceritain semuanya. Kamu jangan ke sekolah. Aku udah di jalan pulang bareng mama, papa, dan om. Kamu juga jangan khawatir sampai berniat ke rumah. Kita ketemu besok, ya! Kamu pulang aja, istirahat.

I love you too. 

Mia menghapus air mata harunya di pipinya dan menoleh ke jendela. Senyumnya hilang. Bumi mulai terang. Matahari mulai terbit. Mia melihat jam di ponselnya.

05:40 WIB

Sementara pesan Mario masuk pukul 23:35 WIB.

TAMAT

Sirhayani (username wattpad: sirhayani). Biasanya dipanggil Ani atau Sir. Lahir 26 Mei di sebuah desa dalam pulau Sulawesi. Terkadang sibuk dengan dunianya sendiri. Menulis cerita pertama karena tugas sekolah (SMP, 2011), mengenal novel sejak 2014 awal, dan mempublikasikan cerita di wattpad sejak akhir 2014 sampai sekarang. Karya-karya saya kebanyakan adalah fiksi remaja dan romansa SMA, tetapi ada juga sedikit cerita yang tokohnya berusia dewasa. Dari cerita remaja yang ringan sampai yang terlalu berat untuk dikonsumsi remaja. Dari tentang cinta, pertemanan/persahabatan, hubungan pahit manis dalam keluarga, sampai cerita mengenai proses pencarian jati diri di masa-masa remaja. Ada juga beberapa cerita yang mengandung humor. Novel ke-11 yang berjudul Game Over: Bull's Eye baru saja terbit di bulan September 2020. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro