Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"SEKOLAH SAMPAH" - cinkiaewys

SEKOLAH SAMPAH

A Short Story by  cinkiaewys


Terakhir kali Devina melihat kalender yang tergantung di kamar, kertas bergambar logo partai besar di tengahnya itu masih bertuliskan Juli, dan tahu-tahu saja sudah berganti menjadi September pagi ini. Sepertinya, mama sempat mampir ke kamar sebelum berangkat kerja pagi buta. Menyadarkan Devina bahwa hidupnya masih berjalan seperti biasa.

Ya. Seperti biasa. Bangun. Mandi. Bersiap ke sekolah.

Ada pertanyaan yang sering terlintas di kepala yang pemiliknya saja tidak tahu apa yang dipikirkan tiap sarapan. Apakah kehidupan yang terasa kosong penyebab lidahnya tidak berfungsi tiap menelan masakan mama, atau karena memang masakan mama yang hambar dan justru membuat kehidupan Devina membosankan?

Entahlah.

Setelah sendok terakhir sarapan paginya yang hambar melewati tenggorokan, Devina beranjak. Pergi ke sekolah tanpa terburu. Meskipun sebenarnya ia sudah terlambat sejak lima belas menit yang lalu.

***

Sekolah sampah.

Daripada disebut grafiti, coretan di tembok samping gerbang sekolah yang sudah karatan itu, justru terlihat seperti pelampiasan seorang murid yang kesal karena diusir sang guru. Sama sekali tidak berseni, tidak berbentuk apa pun. Hanya tulisan sekolah sampah yang dibuat dengan cat semprot berwarna merah. Dan tiap Devina pergi sekolah, coretan itu selalu berhasil mengintimidasi. Seakan sedang menyambutnya untuk masuk ke dalam neraka.

Buru-buru Devina merapatkan kardigan begitu ia melewati gerbang. Tersenyum canggung pada satpam kurus yang hanya menatap datar. Berjalan cepat, setengah berlari. Langsung menunduk begitu ia melihat beberapa murid lain yang sedang duduk di depan kelas dari kejauhan.

"Siapa, nih, yang baru dateng?"

Devina menggigit bibir, semakin merapatkan kardigan, memastikan seluruh tubuh bagian atasnya sudah tertutupi. Mengaduh dalam hati saat seseorang menabrak pundak kanannya dari belakang, dan suara tawa bercampur sumpah serapah itu langsung menyerbu telinga Devina seperti duri-duri tajam. Membuat bergidik seperti ada tangan-tangan yang mulai menggerayangi. Dan Devina bersiap lari menuju UKS, hendak mengurung diri di sana begitu sadar, bukan dia targetnya hari ini.

"Nyari apa, Ru? Nyari kodok, ya?"

Devina sempat menoleh begitu ia berhasil masuk ke dalam kelas tanpa terjungkal. Menatap murid dari kelas sebelah yang tadi menabraknya sedang berusaha bangkit, dan terjatuh kembali karena hilang keseimbangan. Devina dan murid itu sempat adu pandang, sebelum tawa beserta sumpah serapah kembali bergema, dan Devina langsung membuang wajah, buru-buru menuju tempat duduknya.

Setidaknya bukan dia yang menjadi target hari ini, kan?

"Devina?"

Devina terlonjak. Kakinya mundur selangkah tanpa perintah. Tidak menyangka akan melihat perempuan yang sedang melambaikan tangan dengan semangat, dan senyum lebar itu ada di sini. Duduk manis di deretan kursi paling belakang. Berselang satu meja dengan tempat duduk Devina.

Sama seperti ketika mereka berada di sekolah menengah pertama.

"Iya, Wi." Devina tersenyum canggung. Buru-buru duduk di kursinya.

***

"Dev, liat gue dapet apa?"

Sejauh yang Devina ingat, dia tidak begitu dekat dengan Dewi untuk bisa saling menyapa dan menceritakan tentang apa yang didapat atau dimiliki satu sama lain. Melihat bagaimana Dewi memilih tinggal di kelas daripada pergi ke kantin seperti siswa lain dan justru mendatanginya, pastilah Dewi sudah menganggapnya menjadi seorang teman secara ajaib.

Meskipun ada perasaan enggan yang terus mendesak, mau tak mau Devina menoleh. Menyadari, meskipun suara Dewi tadi terdengar santai, raut wajah itu justru menunjukkan sebaliknya. Tegang dan ketakutan. Devina segera meraih kertas yang sepertinya tadi sempat dibuang, dan kemudian dipungut kembali untuk ditunjukkan kepadanya.

"Ini bercanda, kan? Iseng banget sih anak-anak di sini." Dewi melanjutkan, sambil tertawa. Mengusap peluh yang mulai muncul di dahi.

Pembuangan sampah berikutnya: DEWI CANTIKA ASTUTI

Waktu tersisa: 7 hari

Salam,

M.S

Devina sempat terpaku beberapa saat, memandangi inisial pengirim yang sudah terkenal hingga luar sekolah itu cukup lama. Kemudian, menoleh ke arah Dewi yang masih menunggu jawaban. Wajah perempuan itu terlihat makin tegang.

"Ka-kapan lo dapet ini?"

"Ta-tadi pagi ... apaan, sih, Dev. Ngeliatnya jangan gitu, dong. Bercanda kalian nggak lucu tau!" Dewi mulai merengek, mengusap-usap kedua lengannya yang mulai bergidik.

Devina yakin, Dewi juga sudah tahu, apa maksud tulisan tersebut. Sambil menggigit bibir, Devina melirik ke seluruh penjuru ruang kelas yang kosong seolah memastikan tidak ada yang mengawasi. Membaca tulisan di kertas yang diambil dari tengah buku tulis itu sekali lagi. Sepertinya, ada yang aneh. Hingga Devina membaca untuk kali kelima, dan menyadari. "Tapi, biasanya Maha Suci selalu ngasih waktu minimal sebulan sebelum pembersihan."

"Sebentar ... jadi lo mau bilang kalo rumor tentang sekolah sampah ini bener?"

Devina mengangguk takut-takut, meletakkan kembali kertas tersebut ke atas meja yang langsung Dewi raih, melemparnya ke sembarang arah dengan sekuat tenaga.

Ada alasan mengapa sekolah yang lokasinya jauh dari tengah kota itu dijuluki dengan sekolah sampah. Salah satunya adalah, karena sekolah ini menjadi tempat penampungan murid-murid bermasalah yang ditendang dari sekolah asalnya.

Jelas, pembuangan sampah yang dimaksud adalah untuk menyingkirkan siswa bermasalah—membuat mereka pergi dari sekolah entah bagaimana caranya. Dan, Dewi yang dikeluarkan karena menjadi seorang perundung yang videonya viral beberapa waktu belakangan itu, sudah dipastikan akan menjadi target selanjutnya.

"Terus, gue harus apa sekarang?" tanya Dewi lagi. Terdengar frustasi.

Devina hanya menggeleng. Benar-benar tidak tahu harus memberikan saran apa.

"Oke, Dewi tenang. Dewi tenang." Dewi menarik napas, mengembuskannya lewat mulut, mengulangi hal yang sama berulang kali, terus bergumam menenangkan diri sendiri. "Oke, jadi kelompok Maha Suci itu beneran ada? Bener-bener ada siswa yang mati bunuh diri sekolah ini karena mereka?"

Banyak rumor aneh yang berkembang di luar sekolah tentang sekolah sampah. Rumor paling terkenal adalah tentang kelompok Maha Suci yang selalu melakukan pembersihan tiap ada siswa bermasalah yang baru pindah, menjadikan mereka seperti sampah sungguhan yang harus segera disingkirkan. Ada juga yang mengatakan, kelompok Maha Suci hanya melakukan pembersihan jika korban sebelumnya memberikan permintaan dan bayaran. Namun, versi lain mengatakan, mereka hanya melakukannya untuk bersenang-senang atas nama keadilan.

Selain rumor-rumor yang beredar, banyak juga teori konspirasi yang diciptakan siswa dari sekolah lain tentang eksistensi Maha Suci, yang bahkan tidak pernah diketahui siapa saja anggotanya. Mulai dari sebenarnya kelompok tersebut tidak pernah ada, hingga mereka sebenarnya adalah jajaran anak-anak para petinggi yayasan yang sedang bosan.

"Jadi, kelompok Maha Suci itu beneran ada? Bener-bener ada siswa yang mati bunuh diri ini karena mereka?" Dewi mengulangi pertanyaannya, mulai kesal karena Devina tak kunjung menjawab.

Devina mengangguk ragu. Lidahnya kelu untuk beberapa saat. Melirik ke arah pintu dan jendela kelas, kemudian menjawab, "Gue ... gue kenal murid pindahan yang meninggal bunuh diri di toilet sekolah. Dia juga dapet surat yang sama kayak lo, dari Maha Suci."

***

Devina menepuk pelan tangan Dewi agar berhenti menggigiti kuku ibu jari. Dua hari sudah berlalu sejak perempuan berambut ikal itu mendapatkan surat pemberitahuan pembersihan dari Maha Suci. Sedangkan, Dewi belum mendapatkan petunjuk apa pun. Lebih tepatnya, dia bahkan tidak tahu petunjuk apa yang harus dicari.

Detik berubah menjadi menit, dan sebelum menit berubah menjadi jam, Devina berdeham. Berbicara dengan suara pelan, sangat hati-hati, "Wi, gimana kalo sebenernya waktu tujuh hari itu, batas waktu yang mereka kasih untuk nebus kesalahan lo? Kesempatan untuk—"

"Kesempatan apa?" Dewi memotong cepat tidak, sabar.

"Ne-nebus kesalahan lo," jawab Devina takut-takut. Mengulangi jawabannya.

Dewi yang tahu apa artinya itu langsung memandang Devina dengan dahi berkerut, setengah kecewa. "Jadi, lo juga percaya dengan apa yang ada di berita? Apa yang disebarin media-media?

Devina masih ingat kasus yang membuat Dewi ditendang ke sekolah ini. Sebuah video perundungan yang dilakukannya terhadap adik kelas di sekolah yang sama itu menjadi viral. Di video tersebut, Dewi menyumpahinya dengan kata-kata kasar, mendorongnya hingga terjerembap di jalan. Pada keterangan korban yang dimuat oleh seluruh media, dikatakan bahwa setelah video itu berakhir, Dewi menendang kepala dan kemaluan siswi tersebut hingga terluka, membuatnya harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit ternama, dengan seluruh biaya ditanggung oleh salah satu artis papan atas Indonesia.

Semuanya sudah jelas. Simpati dan dukungan tumpah ruah untuk sang korban. Penggalangan dana, hingga petisi keadilan ditandatangani oleh puluhan ribu orang. Sedangkan Dewi, mendatangkan neraka kepadanya.

"Gue nggak pernah ngelakuin apa yang media-media beritain! Cewek itu bohong! Cewek jalang itu bohong!"

Devina terdiam. Entah mengapa, ada perasaan aneh yang mulai memenuhi rongga dadanya, seolah mengisi kekosongan yang selama ini dirasa. Begitu menatap punggung Dewi berguncang, menghilang di balik pintu kelas.

***

Setelah kesadaran Dewi sudah terkumpul sepenuhnya, perempuan yang rambutnya panjang hingga pinggang itu melirik ke arah kalender. Kertas itu masih menunjukkan bulan yang sama dari yang terakhir kali diingatnya. September. Sepertinya, beberapa waktu belakangan hari-hari yang Devina lalui cukup berarti. Tidak lagi terasa kosong dan membosankan. Meskipun tidak ada hal yang berubah.

Sambil bersenandung pelan, Devina mulai menjalani harinya seperti biasa. Bangun. Mandi. Bersiap ke sekolah. Sarapan.

Setelah dipikir-pikir, sepertinya Devina tahu apa jawaban dari pertanyaan yang sering muncul di kepalanya tiap sarapan. Ternyata mama memang tidak bisa memasak. Masakannya memang hambar meskipun hidup Devina terasa menarik belakangan.

Maka, setelah suapan terakhir berhasil melewati tenggorokan, Devina langsung bangkit. Pergi ke sekolah meskipun masih ada waktu satu jam lagi sebelum bel masuk berbunyi.

***

Besok adalah hari ketujuh sejak Dewi mendapatkan surat pembersihan dari Maha Suci.

Devina menoleh ke arah Dewi, yang juga sedang memperhatikannya sedari tadi. Tatapannya tajam penuh kebencian. Sejak Devina menyarankan perempuan itu untuk menebus kesalahan, Dewi menjauhinya, memusuhinya sama seperti memusuhi semua orang.

Dari tempat duduknya, Devina bisa melihat kantung mata Dewi yang menghitam. Pastilah perempuan itu terlalu sibuk mencari tahu, tentang rumor-rumor yang beredar hingga kecantikan perempuan itu memudar. Bahkan dia terlihat tirus dalam waktu beberapa hari saja. Pasti kepalanya itu terlalu pusing memikirkan tentang sekolah sampah, tentang Maha Suci, tentang perempuan yang gantung diri di toilet sekolah, tentang waktunya yang tersisa, dan mungkin tentang Devina. Atau justru, Dewi tidak bisa tidur karena ketakutan.

Entahlah. Devina segera membuang muka. Kembali memperhatikan guru matematikanya di depan sana.

***

Setiap jam istirahat, tidak ada satu pun murid sekelas Devina yang mau bertahan di kelas. Jika bukan ke kantin, mereka pasti asyik bermain di lapangan. Selalu meninggalkan dirinya sendirian. Oh, tidak. Hari ini berdua. Karena Dewi yang tadinya Devina pikir akan keluar kelas, justru menutup pintu. Mengunci dari dalam.

"Lo pikir lo siapa mau mempermainkan gue kayak gini?" Dewi menggertakkan gigi, berjalan mendekati Devina yang masih diam memperhatikan.

"Lo pikir gue nggak tau, kalo lo lagi ngerjain gue?" lanjut Dewi lagi.

"Maha Suci itu nggak ada. Kelompok itu nggak pernah ada. Lo sengaja pakek nama mereka karena lo mau balas dendam kan ke gue? Jawab! Apa perlu, gue ngelakuin hal yang sama ke lo dulu, pas kita masih SMP?"

Devina tidak pernah suka jika ingatannya harus kembali memutar ingatan saat dia masih duduk di bangku SMP. Saat dia menjadi bahan perundungan Dewi.

"Berani lo ya sekarang sama gue. Perempuan yang bunuh diri di toilet itu juga nggak ada, kan? Dasar jalang!"

Devina tidak berusaha menghindari tamparan tersebut. Mendarat dengan mulus di pipi kirinya. Meninggalkan jejak kemerahan, dengan rasa perih dan panas yang perlahan menjalar. Mengisi rongga dadanya hingga penuh, seperti ingin meledak. Detik berikutnya, tawa menyembur keras. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali pernah tertawa seperti ini.

Sambil menggeleng-geleng seakan geli, Devina bangkit.

"Gue kira lo udah cari tahu tentang perempuan yang pernah bunuh diri di toilet. Atau tentang gue. Ternyata beberapa hari ini, lo cuma sibuk membenarkan asumsi lo kalo gue yang ngerjain lo?"

Devina menggigit bibir, kali ini menahan mulutnya agar tidak tersenyum lebar. Menatap ke arah Dewi dengan pandangan aneh, sekaligus kasihan. Sebelum akhirnya ia pergi, menuju pintu yang tadi dikunci Dewi. Berbalik sekali lagi.

"Maha Suci itu ... beneran ada." Devina mengeluarkan selembar kertas dengan banyak lipatan dari kantong rok abu-abunya. "Gue juga dapet kayak lo. Bedanya gue langsung dikasih kartu kesempatan. Untuk gabung dengan mereka, dan bayar semua yang udah lo lakuin ke gue pas SMP." Devina membuka kunci pintu kelas, dan kembali menatap Dewi. "Perempuan yang gantung diri di toilet sekolah, gue juga udah pernah bilang ke dia, untuk nebus kesalahannya."

Dewi terduduk di lantai. Berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri dengan kesal. Masih berusaha menolak apa yang baru saja didengar.

Sedangkan Devina, kembali membuka surat pembersihan yang dikirimkan Maha Suci ketika ia baru pindah ke sekolah sampah. Satu tahun yang lalu saat foto telanjangnya tersebar.

***

Devina tersentak. Begitu juga dengan siswa lain dan guru matematika yang sedang menulis soal di depan sana. Menoleh bersamaan ke arah sumber suara, di mana Dewi yang tadi memekik sudah terjongkok di lantai dengan tubuh gemetaran. Ada gumpalan kertas yang teronggok dekat kakinya.

"Apaan, sih!" protes salah satu siswa dari meja tengah yang sedang memegang cermin sambil merapikan rambut dengan tangan yang lain. Diikuti dengan cibiran lainnya.

Devina tidak bisa melepaskan pandangan dari Dewi yang kini sudah bersembunyi di bawah meja. Tidak bisa pula bangkit dan menghampiri untuk sekedar bertanya apa yang terjadi. Sama seperti semua orang di kelas ini, yang melanjutkan kegiatan masing-masing, seolah tidak terjadi apa pun beberapa detik sebelumnya. Termasuk sang guru yang terlihat asik menjelaskan meskipun tidak ada yang mendengar.

Sesaat, Devina yang duduk hanya berselang satu meja dengan Dewi itu sempat adu pandang. Dewi jelas sedang meminta pertolongan. Tetapi, Devina melengos. Perasaan aneh itu, lagi-lagi memenuhi rongga dadanya.

Hari ini, adalah hari tujuh hari setelah Dewi mendapatkan surat pembersihan.

Selesai


Kamu bisa panggil saya Cinkia, atau Cin saja kalau terlalu panjang. Pemilik akun Wattpad dengan username cinkiaewys. Salah satu pemenang Wattys Award 2019 dalam kategori Young Adult, dan karya yang sama, berjudul Putri Pelangi sudah tayang untuk program Paid Stories.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro