Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Sebatas Kulit" - opicepaka


SEBATAS KULIT

A Short Story by opicepaka


"Mel, kita putus aja." Randy menatap Mela dengan serius.

Suara bising tempat parkir mall yang sebelumnya mengganggu, tiba-tiba lenyap dari telinga Mela. Troli berisi kelengkapan kamar, mulai dari seprai sampai lampu meja dan beberapa camilan, menjadi pembatas mereka berdua.

Siang tadi, Mela menawarkan diri untuk membantu Randy, kakak kelas sekaligus pacarnya, membeli perlengkapan untuk kamar indekos. Minggu depan, cowok itu akan resmi jadi mahasiswa di luar kota.

Setelah selesai belanja, Mela berencana mengajak Randy ke kafe yang biasa mereka datangi sepulang sekolah. Mela ingin membahas bagaimana menjalani hubungan jarak jauh.

"Kak Randy bercanda, 'kan?" Mela tertawa sumbang. Gugup dengan tatapan serius mantan ketua Osis yang dulu membuat terpesona ketika ospek siswa baru.

Randy tak juga menjawab, malah bergerak ke bagian belakang mobil, membuka pintu bagasi dan mulai memindahkan isi troli.

"Kenapa, Kak? Mel salah apa?" Gadis itu berlari menyusul. Tangannya mencengkeram tepi troli, ingin menghentikan kegiatan Randy agar mereka bisa bicara. Namun, Mela juga takut. Takut melakukan hal yang lebih salah, takut Randy benar-benar akan memutuskannya jika dia tidak menjadi gadis baik.

Randy berhati-hati meletakkan satu kardus kecil belanjaan Mela. Berbagai sabun muka, serum, masker, hingga obat totol jerawat yang ingin Mela coba. Dia membeli semua barang itu dengan uang sakunya sendiri.

"Aku udah nggak nyaman sama kamu, Mel. Sorry." Randy hanya memandang wajah Mela sekilas lalu menunduk, memandangi isi bagasi.

Mela terus menanyakan 'kenapa', tapi Randy tidak bilang apa-apa. Cowok itu hanya menarik lengan Mela lembut agar mengikutinya, membukakan pintu penumpang lalu meminta Mela duduk.

Air mata Mela hampir tumpah, tapi dia tidak ingin make-up-nya luntur karena air mata. Dia tidak ingin terlihat jelek di depan cowok impiannya. Tidak ingin Randy makin yakin untuk memutuskan hubungan mereka.

Namun, semua ketakutan dan kecemasannya menjadi kenyataan. Mereka berdua diam selama perjalanan. Mela diantar pulang, dan Randy tidak menarik ucapan. 

Randy membukakan pintu mobil setelah berhenti di depan rumah Mela. Kali ini, sikap Randy gentleman-nya tidak terasa manis. Randy hanya ingin cewek itu cepat keluar dari mobil.

"Kita tetap bisa jadi teman, kalau kamu mau."

Kardus kecil belanjaan Mela, Randy letakkan di samping kaki. Tangan Mela hanya bisa lunglai di samping tubuh. Mela menunduk, memandangi kemasan dan botol-botol berwarna-warni. Semuanya menjanjikan hal yang sama: kulit cantik bebas jerawat.

"Apa yang bikin Kak Randy nggak nyaman? Kak Randy bilang, nanti Mela perbaiki." Kali ini air mata Mela benar-benar meleleh keluar. Dia mengusap wajah dengan ujung kardigan, bekas foundation tidak dia pedulikan.

Mela merasa tatapan Randy terfokus pada pipinya, lalu cepat-cepat lelaki itu mengalihkan pandangan.

"Apa...." Mela mendapatkan kesimpulan. Tangannya terangkat, menangkup pipinya yang sangat kasar dan nyeri. "Apa karena jerawat Mela?"

* * * 

"Udah, Mel! Jangan nangis. Cowok kayak gitu jangan dipeduliin!" Cika, sahabat Mela sejak SMP itu menepuk tubuh Mela yang terbungkus selimut.

Setengah jam yang lalu, setelah Randy pergi, Mela langsung chat Cika yang tinggal di blok sebelah. Dan secepat kilat cewek mungil berambut keriting itu menggedor pintu kamar.

"Nggak nyangka, padahal dari luar keliatan cool dan berwibawa. Ternyata...." Cika melampiaskan kekesalannya pada RJ, boneka alpaca putih bersyal merah, anak dari Jin BTS yang jadi bias mereka berdua. "Dulu aja, ngejar-ngejar terus pas kulit mulus. Begitu jelek langsung pergi!"

"Jadi beneran, sekarang aku jelek!" Mela langsung duduk, membuka selimut, memandang sahabatnya dengan mata merah.

Cika terkejut, memukul mulutnya sendiri. Lalu melempar RJ sembarang untuk memeluk Mela yang wajah dan rambutnya sudah berantakan.

"Maaf, bukan kayak gitu." Cika mengusap punggung Mela yang masih terisak. "Kamu nggak jelek, kok. Aku salah ngomong."

"Tapi aku memang jelek banget!" Teriakan Mela memenuhi kamar. Beruntung orang tuanya sedang pergi, jika tidak mungkin ibunya akan berteriak juga untuk menghentikan keributan yang dibuat si anak.

"Kamu nggak jelek...."

"Aku jelek!" Mela membantah, memandang bayangannya sendiri di cermin meja rias. Maskara luntur, rambut berantakan, dan yang paling menyedihkan adalah jerawat yang merah dengan puncak kekuningan yang muncul karena foundation full coverage-nya terhapus oleh sarung bantal.

"Maaf, Mel. Kamu cantik, kok. Pinter, suka menolong, rajin menabung, berbakti kepada orang tua." Cika mulai bicara ngawur untuk menghibur Mela. "Kita cari cara ya, biar jerawat kamu bisa hilang." Cewek keriting itu mulai membuka HP, utak-atik sebentar memasukkan kata kunci di Google. "Eh, tahu Ratna, nggak? Anak kelas XI IPS 1? Sebelum kenaikan kelas dia jerawatnya parah. Ingat, nggak?"

Cika mengguncang tubuh Mela, berharap sahabatnya itu segera merespon. Tidak terpuruk terlalu lama.

"Pas masuk, beda banget loh!"

Mela mulai memperhatikan celoteh Cika. 

"Jerawat hilang, nggak merah-merah lagi."

Jantung Mela mulai berdetak senang.

"Bekasnya juga nggak ada."

Mela mulai memandang Cika yang wajahnya bercahaya oleh sinar layar HP.

"Aku tanya dia, ya. Rahasianya apa?"

* * *

Mela memandang krim dalam putih wadah bulat kecil di tangannya. Tidak ada tulisan apa pun di kemasan, kecuali kertas kecil yang ditempel dengan selotip bening: krim glowing. Sebenarnya Mela tidak terlalu yakin dengan kemasan mengenaskan itu akan ampuh mengusir jerawatnya. Tapi Ratna sudah memastikan kalau itu krim yang sama yang dia pakai dua bulan ini.

Demi kulit putih mulus, licin, dan glowing kemerahan seperti Ratna, Mela memberanikan diri. Tidak peduli dengan wangi menyengat yang membuat pusing, cewek itu mengoles ke pipi. Berhati-hati sekali, karena jerawat yang memenuhi pipi terasa nyeri.

Ketukan pintu terdengar, Mama memanggil untuk makan malam. Mela meletakkan krimnya asal.

* * * 

"Tumben kamu nggak pakai totol-totol?" Mama bertanya penasaran setelah Mela selesai merapikan piring dari bak cuci ke rak. Mela selalu malas mendengarnya celotehan Mama tiap kali membahas kulitnya.

"Nggak Ma, obat totolnya cuma bikin kering, tapi jerawat Mel nggak ilang." Mela cemberut. Obat totol jerawat yang dibeli bersama Randy seminggu lalu tidak ada efek sama sekali. Jerawatnya tetap gendut dan merah, cuma bikin kering kulit yang kena olesan.

"Kamu berhenti coba-coba, muka kamu tambah rusak nanti." Mama bicara ringan sekali, sambil mengelap permukaan kompor.

"Iya, memang muka Mela rusak!" Mela tersinggung berat. "Mela beli skincare pakai jatah bulanan, Mel. Terserah, 'kan!"

"Mel!" seruan Mama bersamaan dengan seruan Tante Fifi yang masuk ke dapur. Mela kaget, sama kagetnya dengan Mama melihat adik bungsunya yang panik.

"Ini apa?" Tante Fifi bertanya histeris. Di tangannya ada krim glowing yang terbuka. Tantei membaui krim itu dan langsung ingin muntah. "Ini apa!" Kali ini dia sudah tak sabar.

"Krimnya Mel, Tan."

Tante Fifi tiap malam Sabtu selalu mampir ke rumah, daripada garing sendiri di indekos sedangkan teman-temannya sibuk kencan. Tadi setelah makan malam, mahasiswa S2 itu ke kamar Mela untuk pinjam charger HP. Mela tidak menyangka, Tantenya akan kepo isi meja riasnya.

"Kamu beli dari mana?"

"Online." Nyali Mela tiba-tiba ciut. Tante Fifi biasanya menyenangkan. Tante gaul yang asyik buat ngobrol, jarang marah. Sekarang wajahnya mirip Bu Farida, guru killer, kalau ada anak yang lupa ngerjain tugas.

"Memangnya kenapa, Fi?"

"Aku curiga ini krim berbahaya, Mbak." Tante Fifi meletakkan pot kecil mengenaskan itu di meja dapur, Mama mendekat untuk menyelidiki. Sedangkan Mela, mundur teratur. "Baunya menyengat gini, teksturnya juga lengket banget. Aku curiga ada merkurinya."

"Kamu dapat ide dari mana beli ini?" Kali ini Mama melotot ke Mela.

"Teman Mela, Mah. Dia pakai itu. Katanya aman, kulitnya juga jadi glowing. Sebelum naik kelas jerawatnya lebih parah dari Mel. Sekarang udah bersih."

"Secepat itu?" Tante Fifi lagi-lagi ngegas.

"Iya." Tangan Mela hampir meraih pot krimnya, tapi kalah cepat.

"Tante sita ini." Genggaman tangan Tante Fifi rapat.

"Uang saku Mel bulan ini habis buat beli krim itu. Mel beli sendiri." Mela merengek. Harga krimnya memang tidak terlalu mahal, tapi gara-gara sebelumnya dia sudah belanja skincare, uang sakunya benar-benar sudah habis.

"Mel," panggilan Mama kali ini lembut, tapi biasanya kalau Mama bicara lembut seperti itu, artinya ada konsekuensi panjang. "Kamu yakin, Fi?"

"Dari tanda-tanda yang aku baca sama sih, Mbak."

"Ya udah, besok kamu bawa ke lab. Di tes dulu, kalau memang berbahaya," Mama memandang Mela, "kamu bilang ke teman kamu, buat dia berhenti pakai krim ini. Kalau ternyata aman, minta ganti krimnya ke Tantemu."

Mela dan Tante Fifi bungkam. Kalau Mama mulai serius, aura dinginnya bikin orang tidak berkutik.

"Kamu sudah pakai berapa kali?" Mama melipat lap kompor, lalu cuci tangan. Kegiatan bersih-bersih dapur sudah selesai.

"Baru sekali, tadi sebelum makan."

"Cuci muka sana!"

* * *

"Kamu udah bilang ke temanmu, kalau krimnya bahaya?"

"Udah, tapi dia nggak percaya. Malah dibilang kalau Mel iri ama kulit mulusnya." Mela cemberut, memasang sabuk pengaman. Hari ini, Tante Fifi janji mau mentraktir Mela perawatan di dokter kulit.

Dari awal Tante Fifi sudah bilang, Mel harus sabar dengan proses penyembuhan jerawatnya. Tidak ada yang instan. Dan Mela sudah menyanggupi. Dia sudah lelah percobaan dengan semua skincare. Uang sakunya tiap bulan habis cuma untuk beli krim-krim yang tidak mujarab.

"Memang kamu mau punya kulit mulus, 'kan?" Tante Fifi menggoda Mela, membuat bibir Mela makin mengerucut.

"Iya. Tapi nggak lah, kalau sampai hati Mel rusak gara-gara krim gaje."

"Dulu perasaan kamu nggak jerawatan, deh. Baru berapa bulan ini, 'kan?"

"Iya, gara-gara Mel coba-coba bikin skincare dari bumbu dapur." Mela meremas tangannya. Teringat kebodohannya enam bulan lalu, mengoleskan garam dan perasan jeruk nipis ke muka. Wajahnya terasa gatal dan panas seketika. Tapi dia abaikan. Pagi harinya, mukanya memerah. Beberapa benjolan muncul di dahi dan pipi. Rasanya ingin bolos sekolah. "Dulu kulit Mel nggak apa-apa. Cuma dekil doang. Terus nyoba bikin lulur dari bahan dapur, biar nggak dekil-dekil amat. Tapi malah jerawatan. Diapa-apain nggak ilang, malah tambah parah."

Rasanya ingin menangis kalau teringat kebodohannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba? Dulu bukannya kamu cuek banget. Sabun muka aja pakai sabun badan." Tante Fifi memang serba tahu.

"Waktu itu, 'kan, Mel baru jadian, Tan. Nggak enak, denger pacar Mel diledekin temen-temennya karena Mel dekil. Jadi pengen lebih cantik." Mata Mela mulai panas.

"Terus reaksi pacar kamu 'gimana?"

Mela mulai terisak.

"Mela bulan lalu diputus." Cewek itu sesenggukan, Tante Fifi panik. Segera menepikan mobil. "Gara-gara Kak Randy nggak nyaman Mel jerawatan."

"Dia bilang gitu?"

"Iya. Padahal Mel coba-coba skincare buat dia. Ternyata malah diputusin." Mela merengek. Dia memang tidak cerita ke banyak orang soal Randy yang minta putus. Di sekolah cuma Cika yang tahu. Di rumah, Mama juga nggak tanya-tanya. Karena Randy mulai kuliah di luar kota, tidak ada yang curiga.

"Cowok kayak gitu, jangan dipikirin. Kalau cuma gara-gara jerawat aja kamu diputus, berarti dia suka kamu sebatas kulit. Cari cowok yang menghargai pinternya kamu, baiknya kamu. Kamu harus jadi cewek yang bikin dia menyesal karena udah putusin kamu!" Tante membelai kepala Mel. "Kamu cantik, kamu harus yakin itu."

Mela memandang bayangannya di kaca tengah. Wajahnya penuh dengan jerawat, memerah dan menjijikkan. Dia akan cantik, hanya butuh kesabaran.

* * *

Mela menepuk pelan concealer di atas permukaan bekas jerawatnya yang sudah mulai memudar. Setelah delapan bulan, tekstur wajahnya mulai membaik. Beberapa bekas ada di beberapa tempat, tapi tak ada lagi kulit yang memerah marah. Ketika jerawat baru muncul, dia juga lebih sabar. Tidak berharap menghilang dalam semalam.

Beberapa teman kepo, bertanya tentang perawatannya. Sekarang, dia merasa jadi skincare guru di sekolahnya, menjelaskan dengan sabar tentang skincare dengan hati-hati. Memperingatkan teman-temannya yang selalu ingin hasil instan.

Contoh nyata sudah ada di sekolah mereka. Kulit Ratna hanya glowing beberapa bulan, setelah itu makin lama makin aneh. Awalnya terlihat keabuan, lalu kembali rusak. Bahkan kondisinya lebih parah daripada sebelum pakai krim glowing.

"Wuih..., cantik banget," ledek Cika yang baru keluar dari toilet. "Aku dengar Kak Randy jadi panitia try out juga. Harusnya dia datang hari ini. Dia harus lihat kamu, biar nyesel karena udah minta putus dulu."

Mela hanya tersenyum, tidak membantah omongan sahabatnya. Memang itu salah satu tujuan Mela ikut try out SBMPTN yang dibuat oleh alumni sekolahnya. Mela tahu, sebagai mantan Ketua Osis, Randy pasti akan ikut kegiatan yang melibatkan alumni.

Mela dan Cika buru-buru ke lapangan. Karena terlalu lama di kamar mandi, mereka berdua kebagian baris belakang. Mata mereka jelalatan mencari sosok Randy, yang ternyata masih sangat Mela kenali.

Tubuh tegap Randy terlihat mencolok di antara alumni lain. Kemeja kotak-kotak yang sudah biasa dipakai ketika SMA, sekarang terlihat lebih keren di balik jas almamater. Ditambah rambut bergelombang Randy yang dibiarkan lebih panjang, cowok itu makin terlihat dewasa.

Mela ingin segera maju, menyapa Randy, menunjukkan kalau sekarang kulitnya sudah baik. Kalau cowok itu ini balikan dengannya, Mela tidak akan langsung setuju. Enak saja!

Tapi langkahnya terhenti. Seorang cewek dengan almamater yang sama menghampirinya. Meskipun cuma beberapa detik, tapi Mela bisa melihat jika mereka bergandengan tangan. Randy bukan tipe cowok yang suka pegang-pegang cewek. Cuma cewek istimewa yang bisa pegangan tangan dengan dia. Dulu, Mela cewek istimewa itu.

Mela tidak mendengar ketika seorang kakak alumni di atas podium, menyerukan sesuatu. Teman-temannya berteriak heboh. Lalu, cewek yang tadi sempat digandeng Kak Randy naik ke atas podium. Mela tidak bisa mengenali wajahnya karena terlalu jauh. Mela memutar otak, siapa kakak kelas perempuan yang sempat dekat dengan Randy? Siapa kakak kelas yang sekampus dengan Kak Randy? Almamater mereka sama.

Mela tidak bisa berpikir terlalu jauh. Teman-temannya, yang sama-sama ingin ikut try out sekarang bertepuk tangan heboh, termasuk Cika. Kakak alumni yang membuat Mela penasaran itu asyik memberikan pemanasan. Dia bergerak luwes di atas podium, suaranya nyaring dan penuh percaya diri. Dia tidak ingat ada kakak kelas cantik yang memiliki suara seperti ini. Cika juga cuma menggeleng waktu Mela bertanya.

* * *

"'Gimana tadi?"

Cika menyikut perut Mela yang masih melamun di lorong kelas. Try out baru saja selesai. Wajah mereka berdua lesu. Cika lesu karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengerjakan soal-soal. Sedangkan, Mela lesu karena selama beberapa jam dia hanya memikirkan tentang cewek yang digandeng Randy. Niat awal ingin mendapat nilai sepuluh besar di try out untuk dipamerkan ke Randy, juga kandas. Mela hanya mengisi separuh jawaban.

"Heh! Kamu ngelamun?" Kali ini Cika menyentak tangan Mela, tapi Mela sama sekali tidak bereaksi, hanya berdiri diam sambil bersandar tembok. Matanya kosong.

"Kak Randy, tuh!" Cika terpaksa mencubit lengan Mela, cewek itu gelagapan. "Tuh!" Cewek keriting itu menunjuk ujung lorong dengan dagu.

Kak Randy berjalan pelan, bersebelahan dengan cewek tadi. Semakin mereka mendekat, semakin terlihat jika mereka bergandengan dengan saling mengaitkan kelingking. Niat tidak ingin pamer kemesraan malah membuat beberapa adik kelas iri. Semakin mereka mendekat, Mela bisa semakin jelas melihat wajah teman Randy.

Mela mengenali wajah itu, tapi tidak ingat siapa namanya. Sesama pengurus OSIS angkatan Randy. Mela tidak pernah menyangka kalau Randy akan berpacaran dengan cewek itu, karena.... 

"Ih, abis mutusin kamu, kupikir Kak Randy bakalan cari cewek yang cantik dan bening. Ternyata, lebih burik dari kamu." Cika mengucapkannya cukup keras, sengaja menyinggung pasangan yang hanya beberapa langkah dari mereka.

"Cika, diem!" Mela gugup ketika pasangan itu melihat ke arahnya.

"Nggak! Kamu udah perawatan susah-susah sampai mulus lagi, eh ternyata sekarang pacarnya gitu!" Cika berbisik ke Mela, lalu menghadap Randy dan berbicara keras. "Selera Kak Randy gini ya ternyata!"

Mela rasanya ingin lari, apalagi ketika dua orang alumni itu berhenti lalu saling bertatapan bingung. Mela benci dengan ucapan Cika. Kalimat itu yang dulu dikatakan teman-teman Randy ketika tahu Randy dan Mela berpacaran. Orang-orang itu mempertanyakan kenapa Randy mau pacaran dengan cewek dekil seperti Mela yang belum kenal perawatan.

"Memangnya, apa yang salah dengan dia?" Wajah Kak Randy terlihat santai, begitu juga dengan cewek di sampingnya yang masih saja tersenyum, seperti tidak terganggu.

Dulu Mela sudah hampir menangis ketika mendengar olokan teman Randy.

"Dulu Kakak putusin Mela karena jerawatan! Sekarang?" Mela berbicara sambil terisak. Tidak rela, usahanya selama berbulan-bulan sia-sia karena sudah ada cewek yang menjadi pacarnya. Dan cewek itu juga jerawatan! Bahkan lebih parah kondisinya. 

"Siapa yang putusin kamu karena jerawat, Mel?" Kak Randy berbicara lembut.

"Waktu itu, Kak Randy bilang...."

"Aku bilang, 'Aku udah nggak nyaman sama kamu.'" Randy memotong cepat. "Aku nggak bilang apa pun soal jerawat kamu. Kenapa kamu menyimpulkan seperti itu?" Randy mengurangi volume suaranya, tidak ingin menjadi perhatian orang-orang yang baru keluar dari ruang ujian.

"Kamu terlalu sibuk ama kulitmu, sedikit-dikit lihat kaca. Sedikit-sedikit tanya, kamu cantik atau nggak. Kalau aku bilang kamu cantik, kamu nggak percaya. Itu yang bikin aku nggak nyaman. Kamu terlalu mikirin penampilan kamu."

Mela terkejut, sedangkan Cika hanya mematung.

"Kalau kamu mikir Randy putusin kamu, hanya karena sebatas kulit. Mungkin kamu sendiri, yang melihat orang sebatas kulit."

Cewek di samping Randy tersenyum prihatin.


TAMAT


opicepaka. Introvert (sok) romantis, penikmat kopi yang ga tahan dengan kafein, penyuka hujan tapi tak bersahabat dengan dingin. Kunjungi profilnya untuk menemukan karya lainnya seperti Dijual Cepat Tanpa Perantara dan Kepingan Hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro