"Petrichor" - Faradisme
PETRICHOR
A Short Story by Faradisme
"Semoga hari ini hujan lagi."
"Kamu nggak lihat langit? Tuh, secerah itu. nggak ada awan sama sekali malah."
"Namanya juga berdoa, Kevin. Urusan Tuhan yang ngabulin."
"Tapi ujan juga nggak pa-pa, sih," sambung Kevin. "Biar bisa nanti-nanti aja nganterin kamu pulang."
Rayna tertawa karena gombalan absurd yang sudah sering didengarnya itu. Kevin sering mengeluh ketika harus menunggu hujan reda, banyak nyamuk yang membuatnya tidak betah berlama-lama.
Jauh berbeda dengan Rayna. Ia senang duduk menatap ke dalam rinai deras yang berjatuhan ke bumi itu. Menghirup aroma alami yang muncul akibat tanah kering yang disiram hujan. Mampu mengajak kelopak matanya menutup dengan ujung bibir tertarik membentuk senyuman.
Orang-orang menyebutnya dengan Petrichor.
Hujan juga memiliki banyak arti bagi setiap orang yang pernah menyentuhnya. Bagi tumbuhan, hujan seperti sebuah kasih sayang dari Sang Pencipta, bagi anak kecil seperti sebuah pancuran raksasa yang memanggil mereka untuk bermain di bawahnya. Persamaan dari semua hal tentang hujan adalah, ia merupakan penyimpan kenang yang romantis.
Sama halnya bagi Rayna, hujan berarti segalanya.
Hujan menyimpan sebagian memori indah di dalam kepalanya. Saat bermain hujan bersama Papa, saat menanam bunga bersama Mama lalu tiba-tiba hujan dan mereka tetap melanjutkannya.
Juga saat Papa dan Mama dikuburkan, hujan jugalah yang menyelimuti nisan dan membasahi tanah merah mereka. Sejak itu, hujan seperti memberi Rayna cara untuk terhubung dengan orang tuanya dari atas sana.
"Udah?" tanya Kevin yang sudah selesai makan. "Temenin ke ruang guru dulu, yah. Tadi diminta Bu Selfi."
Rayna mengangguk, dan menjejeri langkah Kevin. Sebagai ketua Osis, Kevin selalu memiliki cerita. Laki-laki berbadan tinggi dengan rambut pendek rapi tengah bercerita tentang acara pentas seni yang akan diadakan sekolah akhir bulan nanti. Rayna sudah terbiasa mendengarkan cowok itu bicara dan ia memang seorang pendengar yang baik.
Hanya satu yang mampu mengalihkan fokusnya. Tepat di belokan selasar kantin itu. Ketika Rayna berpapasan dengan seorang cowok bertubuh tinggi tegap. Cowok yang sudah diam-diam diperhatikannya sejak kelas satu. Bahkan jauh sebelum ia dekat dengan Kevin.
Namanya Raynand. Setahu Rayna, cowok itu sangat pendiam juga tidak memiliki teman. Selalu pulang paling terlambat karena menjadi pengunjung setia perpustakaan. Namun dibalik informasi yang ia dapatkan tanpa sengaja itu, ada alasan kuat lain mengapa Rayna selalu terpaku diam ketika berpapasan dengannya.
Seperti sekarang. Kevin sudah berjalan jauh di depannya. Raynand sudah menghilang di keramaian kantin. Sedangkan Rayna diam di tempatnya berdiri.
Kevin baru menyadari keberadaannya dan berbalik mendatangi Rayna. "Ada apa? Kelupaan sesuatu? Biar aku beliin."
Rayna yang seperti disadarkan dari pengaruh hipnotis menggeleng. "Nggak ada, kok. Cuman... inget sesuatu."
Beruntung Kevin tidak bertanya lebih banyak. Rayna pun kembali berjalan bersama Kevin, mendengarkan suara lembut cowok itu yang selalu terdengar menyenangkan saat bercerita.
Tapi tetap saja, hanya cukup satu kali berpapasan dengan Raynand, Rayna tidak bisa lagi menjauhkan pikiran tentang bagaimana aroma cowok itu yang mirip seperti hujan. Seperti Petrichor, yang sangat disukainya.
* * *
Sepertinya tebakan Kevin salah. Karena ketika bel tanda pulang berbunyi, hujan turun dengan suara merdunya menyapa atap juga tanah. Kevin berdecak di sebelahnya. Mereka berdiri di lorong dekat parkiran yang penuh dengan siswa lain dengan tujuan sama, menunggu hujan reda.
Kevin merogoh ponselnya yang berbunyi. "Dari Vina, mungkin mau ngebahas soal Pensi. Tunggu bentar, ya."
Seperti Kevin, orang-orang di sana juga sedang memainkan ponselnya untuk membunuh waktu menunggu. Hanya Rayna yang menjulurkan tangan ke depan agar bisa menyentuh hujan. Ia tersenyum dan menutup mata. Menikmati aroma guyuran air menghantam keringnya tanah itu.
Saat membuka mata, Rayna dibuat tercekat oleh mata yang juga melihat ke arahnya. Pemilik mata itu berdiri di lorong seberang yang tidak begitu jauh sehingga Rayna bisa mengenalinya.
Raynand menyampirkan ransel hitam di bahu kanan, kedua tangannya tenggelam di saku, juga tatapan tertuju padanya.
Rayna menoleh ke sekitar, semua orang masih sibuk dengan ponsel masing-masing. Entah Rayna salah mengira, tapi sepertinya Raynand memang melihat ke arahnya.
Kevin masih menelpon di sebelahnya. Dan Rayna sudah memasuki fase kecanggungan karena Raynand yang tidak mengalihkan mata darinya. Oleh karenanya ia mengangkat satu tangan untuk melambaikannya kikuk beserta senyum tertahan. Mengisyaratkan sebuah sapaan untuk orang di seberang sana.
Raynand tidak membalas lambaiannya dan justru menundukkan kepala. Rayna cepat menurunkan tangan dan merutuki kebodohannya. Pasti bukan Rayna yang ditatap cowok itu tadi.
Hujan masih setia turun, dan satu per satu siswa sudah mendapat jemputan atau nekat menerobos hujan. Ketika Kevin selesai menelpon, cowok itu menatapnya gelisah.
"Ada apa?" tanya Rayna.
"Ada yang harus aku urus di osis. Soal Pensi. Tenda yang disewa tiba-tiba habis dan aku harus nyari gantinya."
"Oh, kamu bisa dapat gantinya? Acaranya tinggal seminggu lagi."
Kevin menggaruk kepalanya yang mungkin tidaklah gatal. "Aku nggak tahu. Tapi aku harus mencoba nyari dulu."
"Oke, kamu bisa urus itu dulu. Aku bisa pulang sendiri, kok."
Kevin menatap hujan dan kembali memandangnya. "Aku nganter kamu dulu aja. Setelah itu baru ngurusin tenda."
Rayna tersenyum, atas sikap Kevin yang memang selalu seperti ini. Cowok itu adalah sosok pemimpin yang baik dan juga pacar yang bertanggung jawab. Tidak pernah sekalipun Rayna merasa diacuhkan, atau terabaikan, padahal kegiatan Osis Kevin pastinya sangatlah banyak.
"Nyari tempat sewa tenda itu makan waktu lama, lho. Nanti keburu pada habis semua gimana? Acaranya, kan hari minggu. Pasti banyak orang hajatan yang nyewa tenda."
Kevin semakin gelisah karena perkataannya, dan Rayna tertawa.
"Kamu jangan khawatir, Kevin. Aku bisa pulang sendiri, kok. Lagian sebelum sama kamu aku juga sering pulang sendiri naik angkot."
"Tapi ini udah mau sore. Kamu telepon orang rumah aja buat jemput, yah?"
"Iya-iya. Nanti aku telepon bang Bagas buat jemput."
"Kalo udah sampai rumah langsung telepon aku, oke?"
"Iya..."
"Kamu pasti nggak bakal nelpon karena nggak mau ganggu aku. Jadi biar aku yang nelpon nanti jam 6."
Rayna tersanjung atas perhatian dan betapa Kevin mengenalnya. "Iya, aku tunggu telpon kamu kalo gitu."
Setelah mendapat keyakinan itu, barulah Kevin setuju meninggalkannya. Cowok itu segera menelpon seseorang lalu berlari menuju gedung belakang tempat ruang osis berada.
Hujan masih belum mau mereda ketika jam di tangannya menunjuk angka lima. Rayna sudah mengabari kakak laki-lakinya. Namun Bagas harus menyelesaikan sesuatu di kampusnya dulu baru bisa menjemputnya. Rayna memaklumi itu dan mengatakan akan pulang naik taksi setelah pilihan angkot ditentang oleh Bagas dengan alasan keamanan.
Kini hanya tersisa Rayna di sana. sudah tidak ada siswa yang menunggu. Di seberang sana juga sudah tidak ada Raynand yang mungkin sudah pulang lebih dulu. Di bawah atap lorong dekat parkiran sekolah ini, ia masih berdiri menikmati hujan dan aromanya.
Lalu sebuah ide muncul yang mengukir senyuman Rayna. Ia memperhatikan sekitar, keadaan sekolah sudah sepi tidak ada orang. Rayna memasukkan ponsel ke dalam kotak pulpen dan menutup ranselnya rapat. kemudian ia melangkahkan sepatu hitamnya ke dalam genangan air disusul sentuhan air hujan yang menjatuhi tubuhnya.
Rayna sudah lama tidak melakukan ini. Kevin selalu melarangnya dengan alasan takut ia sakit, Bagas pun mengatakan hal yang sama. Tapi tidak ada yang tahu bagaimana menyenangkannya berada di bawah hujan. Rayna merentangkan kedua tangan dengan wajah mendongak dan mata tertutup. Ia merasa nyaman, seperti sedang dipeluk orang tuanya.
Namun sesaat kemudian, tidak ada lagi hujan yang mengenainya. Rayna membuka mata dan sebuah payung sedang menaunginya.
Payung itu dipegang oleh Raynand. Cowok itu berdiri di luar naungan payung, dan membuatnya basah kuyup seperti Rayna.
"Pake ini." Kata Raynand.
Sesaat Rayna yang masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sampai Raynand menyenggol lengan Rayna dengan pegangan payung, barulah Rayna menjawab.
"Gue nggak pa-pa, kok. Emang niat ujan-ujanan." Rayna mendorong payung ke arah Raynand. "Lo aja."
Tangan Rayna berkerut karena dinginnya udara, namun ia sangat yakin bisa merasakan hangatnya tangan Raynand ketika menyerahkan payung dengan membuka telapak tangannya.
"Pake ini," ulang Raynand. "Lo bisa langsung liat hujan tanpa nutup mata, dan nggak harus kehujanan."
Rayna sontak mendongak. Payung itu transparan, membuatnya bisa melihat jatuhnya hujan dan butir air yang luruh di ujungnya. Sangat cantik hingga Rayna tanpa sadar tersenyum lebar.
"Gue bawa mobil," kata Raynand. "Mau gue anterin, atau gue cariin taksi?"
Seharusnya tanpa berpikir panjang pun Rayna akan menjawab opsi kedua sesuai janjinya pada Kevin dan juga Bagas.
Tapi sangat sulit dijelaskan dengan kalimat sederhana, bagaimana situasi di bawah hujan, dan berhadapan dengan Raynand seperti menyihirnya ke dalam dunia yang ingin lebih lama dilihatnya. Ia bahkan tidak tahu, aroma petrichor yang dihirupnya berasal dari hujan, atau laki-laki di hadapannya sekarang.
Maka dari itu Rayna tidak pernah melupakan kalimatnya ini. "Kalo nggak ngerepotin," dengan berharap tidak akan berubah menjadi penyesalan. "Bisa anterin gue pulang?"
Raynand lalu mendahuluinya menuju parkiran. Atas tindakan impulsif jugalah Rayna mengejar langkah panjang cowok itu dan memberinya tumpangan payung meski itu harus membuatnya berjinjit karena tubuh Raynand yang tinggi.
* * *
Di dalam mobil, deru hujan teredam lembut. Rayna memeluk dirinya sendiri dengan seragam basah, yang ditutupi hoodie milik Raynand yang dipinjamkan laki-laki itu tadi.
Dengan berusaha tidak ketahuan, Rayna diam-diam menghirup aroma di hoodie yang dikenakannya. Aromanya memang seperti hujan, namun dicampur dengan hembusan aroma lemon juga wangi kayu-kayuan. Mengejutkan jika lebih lama dihirup, pencampuran aroma itu sangat menenangkannya.
"Itu belum sempet gue pake. Masih bersih, kok."
Kalimat itu membuat Rayna menegakkan kepala. "E-enggak gitu," Rayna merasakan panas di pipinya. "Lo anak kelas 3 A, kan? Gue kelas 3 B. Nama Gue Rayna."
"Gue tahu." Sahut Raynand tanpa mengalihkan matanya dari jalan.
Sebenarnya Rayna cukup terkejut karena Raynand mengetahui namanya. Karena selama tiga tahun ini, mereka tidak pernah bicara ataupun terlibat dalam pertemanan yang sama. Rayna mengetahui tentang Raynand hanya dari pembicaraan temen-temen cewek di kelasnya yang kebanyakan mengagumi cowok itu.
"Rumah gue jauh, lo bener nggak masalah? Kalo kejauhan lo turunin gue di halte atau di mana gitu yang bisa gampang dapetin taksi."
"Lo udah di sini," Raynand memutar kemudi dengan hati-hati. "Mana bisa gue biarin lo pergi... sendiri."
Rayna menyisir rambutnya dengan jari. Karena basah membuatnya kusut dan sisa air menetes pada hoodie milik Raynand. "Sorry, ya. Nanti gue cuci dulu sebelum gue balikin."
"Mau makan dulu?"
"Mau!" jawab Rayna terlalu cepat yang membuatnya menutup mulut dan menahan malu diam-diam. "Maksudnya kalo masih nggak ngerepotin."
"Mau makan apa?"
"Apalagi dong hujan-hujan gini. Bakso abang-abang pinggir jalan." Ucap Rayna tersenyum lebar.
Seperti permintaannya Raynand berhenti di tepi jalan, di mana ada penjual bakso di sana. mereka memesan dua mangkuk dan memakannya di dalam mobil.
Rayna berkali-kali bergumam karena menikmati bakso kesukaannya. Raynand lebih dulu menyelesaikan makannya dan menunggu Rayna sebelum mengembalikan mangkuk.
"Biasanya Bang Bagas selalu ngomel kalo gue mau makan di mobil," kata Rayna. "Gue kira semua cowok gitu, sayang banget sama mobil mereka."
Raynand belum menjalankan mobil, cowok itu memandangnya. "Mungkin karena ada yang lebih gue sayang."
Ketika itu Rayna hampir percaya jika Raynand mengatakan hal itu untuknya. Oleh tatapan yang baru sekali ini Rayna lihat dari jarak dekat, ia baru menyadari jika apa yang dikatakan teman-temannya tentang ketampanan Raynand memang benar.
"Di situ ada tisu." Raynand menunjuk dashboard di depan Rayna.
"Buat?"
"Ada seledri di bibir lo."
Rayna meringis dan langsung membuka dashboard. Tidak banyak benda di dalamnya. Selain tisu yang menjadi tujuan utama, Rayna menangkap sesuatu yang tidak asing.
Sepersekian detik rasanya Rayna melihat pupil mata Raynand membesar tanda cowok itu terkejut, namun di detik berikutnya kembali pada sikap biasanya.
Namun Rayna tetap tidak bisa berhenti memandangi sticky note di tangannya. Ia yakin ini adalah sticky note yang sama dengan yang pernah diterimanya setahun yang lalu.
Kertas itu tertempel di lokernya. Bertuliskan sebuah kalimat yang membuat Rayna merasa bahagia di detik itu juga.
Jika hujan sudah menjadi sangat beruntung disukai kamu, bolehkah aku mengambil tempat untuk menjadi orang yang menyukaimu?
Rayna tidak pernah lupa akan kalimat yang tertulis di sticky note itu. Dan kertas yang ditemukannya di mobil Raynand saat ini terlihat sama persis dengan yang ditemukannya dulu.
"Gue anter lo pulang." Kalimat Raynand terdengar pelan.
"Itu lo?" tanya Rayna. Menghentikan gerakan Raynand yang ingin menarik perseneling mobilnya.
Namun cowok itu hanya diam, padahal Rayna menunggu jawaban.
"Lo yang ngasih gue note setahun yang lalu?" Rayna mengangkat sticky note. "Pake kertas ini?"
Raynand masih diam.
"Jawab gue, Ray. Lo yang nulis sticky note itu dan nempelin di loker gue?"
Raynand menoleh melihatnya. Dengan tatapan dalam seperti sebelumnya, yang baru saja Rayna sadari sering dilihatnya dari jarak jauh.
"Apa gunanya lagi sekarang? Siapapun yang menulisnya, itu nggak akan merubah apa-apa."
Tangan Rayna gemetar. "Jadi bener lo." Itu adalah pernyataan yang digunakan Rayna untuk meyakinkan dirinya kembali. "Kenapa lo nggak langsung bilang ke gue?"
"Sudah," jawab Raynand. "Note kedua."
Rayna tahu yang dimaksud Raynand. Note kedua tertempel di lokernya di hari berikutnya. Bertuliskan, Karena hujan yang membuatku melihatmu, maka kau bisa melihatku di hujan pertama di minggu ini. Kau cukup berdiri di lorong sana, dan aku yang akan mendatangimu.
"Tapi gue ketemu Kevin di sana."
"Itulah penyesalan terbesar gue sampe sekarang. Dia lebih dulu nyamperin lo."
Rayna tidak bisa mengontrol suaranya. Semua yang diketahuinya saat ini membuat kepalanya berputar. "Hanya karena Kevin yang lebih dulu, lalu lo memilih nggak ngasih gue penjelasan?"
Raynand menjalankan mobilnya. "Sebenarnya nggak ada yang perlu dijelasin untuk sesuatu yang nggak pernah dimulai."
Rayna tahu maksud Raynand. Mereka tidak pernah memulai apapun. Rayna hanya salah mengira jika Kevin-lah orang yang mengiriminya note. Tapi mengapa saat mengetahui kebenarannya, Rayna merasa sangat marah pada dirinya, juga Raynand.
"Lo pengecut." Kata Rayna, tepat ketika mobil Raynand berhenti di depan pagar rumahnya.
"Gue tahu."
"Lo seharusnya ngasih tahu gue lebih cepet," Rayna menyeka air mata yang jatuh di pipi. "Lo harusnya langsung nyamperin gue waktu itu."
"Maaf, Na." Raynand ingin mengusap kepala cewek itu tapi ditahannya. "Gue hanya nggak tahu apakah kalo sama gue lo bakal sebahagia sama Kevin. Saat liat lo ketawa, senyum, itu udah cukup bagi gua ngerelain lo."
Rayna menghadap Raynand. "Lo nggak tahu apa isi hati gue! Lo nggak bisa menarik satu kesimpulan dari sudut pandang lo. Selama ini gue selalu merasa bersalah sama Kevin karena terus diam-diam merhatiin lo dari jauh. Gue ngerasa jadi cewek nggak tahu diri."
Raynand mengerutkan keningnya. Menandakan bahwa cowok itu sedang mencerna perkataannya.
"Iya, Ray. Gue suka sama lo. Gue suka nyium aroma parfum lo yang mirip hujan. Gue suka cara lo liat gue dari seberang lorong."
Rayna menutup wajahnya dengan tangan. Ia tidak percaya sudah mengatakan itu padahal dengan Kevin, ia bahkan belum mengatakan tentang perasaannya.
Rayna merasakan puncak kepalanya di usap. Ia mendongak dan menata Raynand yang juga menatapnya.
"Maafin, gue." Kata Raynand. "Maaf karena gue udah sayang sama lo."
Rayna semakin terisak. Raynand masih mengelus puncak kepalanya. Dan di momen itu Rayna benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Rayna merasa menemukan tempat yang benar saat bersama Raynand. Namun ada Kevin yang harus Rayna jaga hatinya.
"Gue nggak bermaksud bilang ini ke lo. Karena gue tahu semuanya udah terlambat." Raynand menyandarkan punggungnya di pintu mobil. Bertepatan dengan sebuah mobil turut berhenti di sebelah mobil Raynand.
Melihat mobil Bagas, Rayna menyeka matanya dengan punggung tangan.
"Itu abang gue," kata Rayna serak. "Makasih udah nganterin gue, Ray."
Saat Rayna akan turun, Raynand menahan lengannya. "Jangan nangis, Na. Apalagi karena gue."
Rayna tidak menjawab dan langsung turun dari mobil karena takut Bagas akan melihatnya bersama cowok yang bukan Kevin.
Saat sudah masuk ke dalam rumah, Rayna langsung mengintip di jendela. Memperhatikan mobil Raynand berjalan pergi hingga menghilang di balik hujan.
Kini Rayna tahu mengapa selama ini hatinya tidak terbuka sepenuhnya untuk Kevin. Mengapa selalu merasa kosong meski ia tertawa. Mengapa ia bisa memikirkan cowok lain.
Suara dering dari ponsel menyentak Rayna. Ia mengeluarkannya dari kotak pensil dan ada nama Kevin di sana.
Rayna tidak langsung menjawabnya, ia kembali melihat keluar, ke arah mobil Raynand pergi. Ia sedang berada dalam pertentangan dalam diri.
Jika Raynand mengatakan bahwa hubungan mereka sudah terlambat, bukankah seharusnya masih bisa dikejar? Bahwa sebuah perasaan yang masih ada, bahkan tetap ada walau tidak disadari sangat patut untuk diperjuangkan?
Rayna memejamkan mata, di telinganya terdengar jelas suara hujan yang memperkuat keputusannya.
"Halo, Kevin..."
TAMAT
Dia Faradita. Lahir di Banjarmasin, 15 Mei 1993 yang lalu. Dari kecil senang membaca, dan menulis puisi yang hanya tersimpan sendiri di dalam buku. Menyukai makan, dan hobi menonton film juga drama Korea. Buku yang sudah diterbitkan, ada Secret Admirer, Sin, Invalidite, Untukmu Gadis Dewa, The Prince's Escape, dan Shadow Kiss.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro