"One Second Chance" - Kannanpan
ONE SECOND CHANCE
A short story oleh Kannanpan
"Rumahnya kecil ya, Pap." Aku refleks bergumam seraya menarik koper kuning dengan stiker we bare bear kesayanganku. Kedua kakiku melangkah melewati ruang tamu yang diisi dengan furnitur bergaya bohemian. Kedua bola mataku bergerak seiring kepalaku menyapu pemandangan seisi ruangan yang didominasi warna putih dan hijau army ini. "Aurora kamarnya di atas, Pap?"
Papi yang berjalan di depanku kini berhenti melangkah. Pria berkaus polo hitam itu mengangguk sambil tersenyum. Tak luput tangannya mengelus puncak kepalaku kemudian bilang, "Di atas jadi ruang pribadi Aurora. Kamar, ada ruang tv, kamar mandi pribadi, dan segala macam yang Aurora butuh."
Aku tersenyum tipis, kemudian berjalan meninggalkan lantai dasar. Aku melangkah pelan menaiki satu per satu anak tangga, yang kemudian kutemukan satu pintu kayu yang di depannya digantungi dream catcher berwarna putih. Ini adalah pintu pertama di lantai dua rumah ini, dan aku menduga ini akan jadi kamarku. Selain ruang kamarku, seperti yang Papi bilang, ada ruang televisi di depan kamarku, serta ada satu etalase berisikan berbagai macam board game dan PlayStation, selain itu, ada pula ruangan lagi tepat di sebelah kamar. Aku tidak tahu itu ruangan apa. Mungkin kamar lainnya.
Kuputar kenop pintu di hadapanku, dan mataku lantas diberikan pemandangan sebuah ruangan dengan warna dominan putih. Satu sisi dinding di belakang ranjang berwarna biru dongker polos, dan ada dua skateboard custom yang menggantung di dinding. Selain itu, ada pula meja yang telah kosong, lemari yang mungkin juga kosong, serta perabot lainnya yang sangat kuduga dulunya ini adalah kamar seorang anak laki-laki. Selain itu, ada pula bendera Inggris besar yang menggantung di salah satu sisi dinding.
Kakiku lantas melangkah menuju Kasur, kujatuhkan tubuhku di sana, dan kutatap langit-langit kamar yang begitu bersih dengan warna dominan putih.
Tak berlama-lama, aku segera mengosongkan koperku, memindahkan semua baju-bajuku ke dalam lemari, merapikan semua skincare serta make up-ku ke meja, serta beberapa novel yang kubawa di koper. Tiap-tiap pintu di dalam lemari dan laci meja kubuka untuk menaruh segala barang-barangku, sampai kutemukan sesuatu yang tertinggal—atau sengaja ditinggalkan—oleh pemilik kamar ini sebelum aku.
Ada sebuah buku kecil dengan sampul kulit berwarna cokelat. Penasaran, aku mengambil dan membukanya sambil duduk di kursi. Di dalamnya terdapat banyak sekali tulisan tangan yang begitu rapi, seperti tulisan tangan orangtua-orangtua jaman dulu yang tegak bersambung. Ada beberapa foto pula yang ditempelkan ke beberapa halaman. Ini seperti buku harian seseorang.
Kubaca beberapa kalimat yang tertulis di dalamnya. Ini benar-benar buku harian dari seseorang. Buku harian tempat dia bercerita mengenai betapa indahnya kisah cinta mereka setiap harinya. Lucu sekali seorang laki-laki bisa menuliskan buku seperti ini.
Aku terus membaca buku di tanganku ini meski sesekali melompat ke halaman selanjutnya dan selanjutnya. Hingga aku tiba di tiga perempat buku, yang menjadi catatan akhir dari laki-laki ini. Ini adalah satu-satunya catatan memilukan di dalam buku harian ini.
Kupikir seperti janji kita, kamu akan tetap bersamaku apapun yang terjadi.
Tapi hari itu ketika aku sakit, kamu meninggalkanku.
Aku bertanya pada semua orang: kamu ke mana?
Mereka bilang kamu pulang.
Baru kali itu aku menangis seperti anak kecil.
Di dalam ruang rawat inap yang kecil.
Seperti kata mereka, kamu memang pulang meninggalkanku.
Dan kita ... tidak akan pernah dipertemukan lagi,
kecuali jika Tuhan sudah berseru padaku untuk ikut pulang.
Yang tenang, sayang.
Sincerely,
Radam.
Aku termenung menatap halaman terakhir itu. Tulisan tangan laki-laki—yang ternyata namanya adalah Radam—ini tidak serapi sebelum-sebelumnya. Tinta biru dari penanya pun agak meluntur, seperti ketetesan air. Apakah dia menangis?
* * *
Atas paksaan Papi, pagi ini aku datang ke sekolah baru terlalu dini. Sumpah, arloji di tanganku masih menunjukkan pukul enam, dan aku sudah berdiri di koridor lantai satu gedung. Hampir tidak ada orang, dan kabar buruk lainnya adalah aku tidak tahu di mana letak kelasku berada.
12 IPS 3, katanya. Aku tidak menemukan pintu kelas dengan tulisan tersebut, dan rasanya aku terlalu malas untuk melangkahkan kakiku untuk menyusuri tiap sudut gedung berlantai empat ini. terlalu luas. Aku sedang tidak minat olahraga pagi. Apalagi hari ini upacara, kan.
Alhasil kedua kaki ini membawaku melangkah menuju ke kantin yang baru saja kulihat petunjuk arahnya. Aku mencengkeram ujung jaket almamaterku sambil melangkah. Hampir tidak ada siapapun di kantin kecuali dua orang anak laki-laki yang tengah duduk berhadapan.
Kutempati meja yang kosong, dan lantas kukeluarkan ponselku lengkap dengan headset dari dalam tas. Lamat-lamat bisa kulihat laki-laki yang tadi kulihat ini menoleh ke arahku seperti melihat orang yang asing dan mencurigakan. Dengan berani, aku balik menatap mereka dengan tatapan tajam. Mereka harusnya lebih mencurigakan ketimbang aku.
Salah satu dari mereka kemudian beranjak dari kursi seraya menyakukan ponselnya. Laki-laki itu berjalan menuju ke mejaku lalu bilang, "Anak kelas sepuluh jangan duduk di sini, kantin ini udah diklaim sama anak kelas dua belas. Lo emangnya mau kalau dilabrak sama anak kelas dua belas? Mumpung baru gue yang lihat, jadi lo pindah ke kantin kelas sepuluh, ya."
Suaranya halus. Serius. Nada bicaranya juga lembut. Aku sampai tak berkutik setelah dia menyelesaikan kalimatnya, dan itu membuatnya menjentikkan jarinya di depan wajahku. Mungkin saking aku lama melamun.
"Eh ... sori, gue kelas ... dua belas," jawabku terbata-bata.
Matanya yang hitam itu malah memicing. Laki-laki tanpa badge nama itu duduk di kursi depanku. "Masa iya? Gue nggak pernah lihat. Lagian, anak kelas dua belas ngapain pakai almet segala? Cosplay jadi anak kelas sepuluh, lo?"
"Hah?" reflex aku menyahut. Memangnya murid kelas dua belas tidak perlu mengenakan jaket almamater, ya? Terus apa gunanya aku memiliki benda ini kalau tidak akan pernah dipakai?
"Lah? Apaan sih? Lo ini siapa, sih?" tanyanya. Kini nada bicaranya sedikit meninggi. Sepertinya aku tak akan menghakiminya lagi kalau dia akan menatapku seperti orang mencurigakan lagi. Selanjutnya, dia mengisyaratkan temannya untuk turut hadir di meja ini.
Kenapa jadi aku yang merasa dikeroyok begini?
"Gue murid baru. Tadi gue pengin langsung ke kelas, tapi gue nggak tau kelasnya di mana. Jadi ya gue ke sini aja," terangku dengan hati-hati. "Ya ... gue mana tau kalau kantinnya terbagi buat kelas sepuluh, sebelas, dua belas. Terus apa tuh tadi? Almet cuma buat anak kelas sepuluh?"
"Kelas berapa?" tanya laki-laki yang sama.
"IPS tiga," jawabku singkat. "Terus ini almetnya gue lepas aja?" kutanya pada mereka sambil menyingkirkan ransel yang menggantung di pundakku. Kulepaskan satu per satu kancing di jaket almamater, lalu kulucuti kain biru dongker ini setelah mereka menganggukan kepala.
"IPS tiga sekelas sama gue berarti," ujar laki-laki satunya lagi. Entah mereka namanya siapa.
Obrolan kami berlanjut. Mereka sedikit bertanya tentang sekolah lamaku, kenapa aku pindah, dan sebagainya. Aku mengikuti alurnya, toh tidak ada salahnya aku saling mengenal dengan orang-orang baru ini. Kantin pun semakin ramai, tapi mereka tetap duduk bersamaku di satu meja, sampai lima belas menit sebelum bel berbunyi, salah satu dari mereka—yang sudah kukenal dengan nama Dito—mengingatkan, "Balik ke kelas deh, yuk. Gue pemimpin upacara hari ini, cuy. Nanti telat malah."
Farhan mengangguk. Kami pun beranjak dari kantin, dan aku mengekori langkah Dito. Dia yang berada di kelas sama denganku. Kami tidak berbincang mengenai apapun di sepanjang jalan, sampai aku tiba di kelas dengannya.
"Sebentar, Aurora," tuturnya begitu aku hendak melangkahkan kaki ke dalam ruang kelas. Aku mengurungkan aksi tersebut, dan melihat Dito masuk sambil berujar ke teman-teman sekelasnya, "Temen-temen, ini Aurora. Anak baru, tadi gue nemu di kantin."
Sontak semua pasang mata tertuju kepada Dito dan aku. Aku melemparkan senyum sambil menatap beberapa orang terdekat dari jarakku. Tak sedikit dari mereka langsung menyapa dengan begitu ramah. Aku balik merespons.
Kemudian, Dito, yang kuduga juga menjabat sebagai ketua kelas, mengarahkanku, "Bangku di belakang masih ada beberapa yang kosong, tapi kalau lo mau di depan juga silakan. Tinggal bilang aja sama yang duduk di depan buat tukar tempat."
Aku mengangguk pelan, "Gue di belakang aja. Tim tidur di kelas soalnya."
"Cocok!" ujar seorang gadis berambut pendek sebahu. "Sini duduk di belakang gue. Kita satu tim!"
Senyumku sekali lagi mengembang. Aku mengangguk mengiakan ajakan hangat gadis yang ternyata bernama Renata tersebut, menurut badge nama di seragamnya. Aku melihat Dito mengerlingkan matanya dan berdecak sebal, tapi aku tak mengacuhkannya. Lantas aku mendekat ke meja Renata, dan menempatkan diriku pada meja tepat di belakangnya. Beberapa orang yang menempati meja di sekitarku pun lantas mengerubung, bertanya satu dua hal yang sebenarnya tadi sudah kujawab untuk Dito di kantin.
Jam-jam pelajaran berjalan dengan normal, selaiknya sekolah lamaku. Hanya saja, bedanya kali ini aku sedikit menjadi perhatian lebih, sebab ini adalah hari pertamaku duduk di kelas ini. Namun itu bukanlah perkara besar, toh aku bisa mengikuti pelajaran sampai usai.
"Lo langsung pulang, Ra?" tanya Renata seraya merapikan buku-buku ke dalam tasnya. Aku diam sesaat. Memangnya kalau tidak pulang, apa lagi yang harus kulakukan? Aku pun mengangguk, mengiakan pertanyaan Renata. "Lo baru banget pindah ke sini, ya? Mau jalan sama gue, nggak? Hitung-hitung supaya lo kenal daerah si—"
"Lo tuh ya, bisa-bisanya cari kesempatan buat bikin anak orang sesat kayak lo." Suara Dito tahu-tahu menginterupsi. Tak lupa laki-laki itu juga mendorong kepala Renata. "Sori, dia emang bandel anaknya. Jangan ditemenin deh."
Renata segera menyingkirkan tangan Dito dan menatapnya tajam. Gadis itu kemudian menunjuk-nunjuk Dito sambil bilang, "Gue bilangin Mama, lo, ya!"
Aku hanya tertawa pelan, yang kemudian terhenti untuk bertanya, "Kok Mama? Kalian adik kakak?"
Dito mengangguk malas. "Iya, tapi sepihak aja. Dia anggap gue adiknya, tapi gue sih ogah nganggap dia kakak gue," katanya. "Padahal gue yang lahir duluan, jadi harusnya gue kakaknya, kan, ya?"
"Heh, di mana-mana, anak kembar itu, yang jadi kakak yang lahir belakangan!" balas Renata. "Lo makanya belajar, banyak baca buku!"
"Ye, emangnya waktu di rahim lo udah sadar lo sempet sendirian beberapa jam sebelum gue dateng?" Dito membalas lagi. Aku hanya tertawa-tawa melihat tingkah keduanya.
Obrolan kami tidak berlanjut begitu lama setelah Dito mengajak keluar dari kelas. Kami pun jalan bertiga menyusuri koridor. Renata kemudian bertanya, "Rumah lo di mana, Ra? Lo dijemput atau naik angkutan umum?"
"Nggak begitu jauh, sih, gue dijemput. Lo?" jawabku sambil kami tetap melangkah.
"Dito bawa motor," balas Renata sambil menepuk-nepuk lengan Dito. "Ini ojek pribadi gue. Selalu ada di manapun dan kapanpun. Kalah deh pacar."
Aku menertawakan ungkapan terakhir Renata. Selanjutnya kami berpisah sebab mereka berjalan menuju parkiran terlebih dahulu. Sementara aku duduk di lobi, menunggu mobil Papi menjemputku.
* * *
Hari-hari berlalu cepat. Aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Teman dekatku sekarang adalah Renata, yang mana itu juga membuatku secara otomatis dekat dengan Dito. Hari ini aku berkunjung ke rumah mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Dita mengajakku berkelompok, dan katanya Dito sudah pasti bergabung karena mereka serumah. Dan, selain mereka berdua, ada Faiz, satu laki-laki lainnya di dalam kelompok kami.
Aku dan Faiz tidak berlama-lama di rumah Dita. Begitu menyelesaikan tugas dan bersantai sejenak, Faiz pamit lebih dulu karena dia bilang pacarnya minta dijemput. Sementara aku masih duduk-duduk di kamar Dita sembari bercakap-cakap dan menunggu Papi menjemputku.
Kami membicarakan banyak hal. Dita bercerita banyak tentang Dito dan dirinya, cerita-cerita lucu tentang mereka, dan berakhir Dita tahu-tahu bilang, "Gue baru kali ini lihat Dito bisa ngobrol sama orang baru, cewek. Gue kaget. Sekaligus seneng, sih."
"Kenapa?" tanpa pikir panjang, aku bertanya.
"Pacarnya meninggal dua tahun lalu. Terus ya, gitu deh. Sedih berkepanjangan. Kayak ... dunianya tuh runtuh banget. Sampai sakit dianya. Sedih banget kalau lihat Dito dua tahun yang lalu. Dia nggak mau deket sama cewek manapun setelah itu," terang Dita. "Mungkin trauma kali, ya? Takut ditinggal lagi."
Merasa bersalah sudah bertanya, aku kini hanya merespons dengan anggukan pelan. Cerita Dita pun berlanjut, aku meresponsnya sesekali, dan percakapan kami berlangsung cukup lama. Satu-satunya yang menghentikan obrolan kami adalah suara ketukan pintu kamar Dita.
"Masuk, To," ujar Dita. Sedetik kemudian pintu terbuka, menampakkan Dito yang telah rapi dengan celana jins dan jaket bomber hitam. "Mau ke mana lo?"
"Mau ke rumah Bram," jawab Dito.
"Ya terus ngapain ke kamar gue?"
"Mau ngajak Aurora," balas Dito santai. Tatapannya pun lantas terarah padaku. "Lo belum dijemput, mau gue antar pulang aja, nggak?"
Dita dan aku diam, saling tatap. Dita mengangguk, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menerima ajakan Dito. Segera aku merapikan barang-barangku, pamit pada Dita, dan melangkah mengekori Dito menuruni tangga hingga keluar dari rumah mereka.
"Maafin Dita udah ngebebanin lo sama cerita aneh itu," tutur Dito pelan ketika aku tengah mengikat tali sepatu. Aku menoleh. Justru aku yang merasa bersalah karena sudah mendengar privasi Dito, padahal kami belum lama kenal. "Gue dengerin dari kamar, makanya gue ngajak lo pulang aja."
Senyum Dito mengembang setelah bicara begitu. Aku hanya mengangguk pelan tanpa meresponsnya. Segera aku menyelesaikan kegiatanku, kemudian turut beranjak dari pekarangan rumah Dito, kami pergi dari kawasan rumahnya.
Perjalanan kami diisi percakapan-percakapan kecil sembari aku memberikan arahan pada Dito menuju rumahku, hingga kami tiba di gerbang perumahan, Dito bilang, "Dulu rumah gue di sini. Gila, dunia sempit juga, ya."
Aku hanya terkekeh-kekeh san melanjutkan arahanku untuknya, hingga tibalah kami di depan rumahku. Dito tak berkutik bahkan ketika aku turun dari motor matic yang dikendarainya.
"Kenapa lo, To?" tanyaku sambil melambaikan tanganku di depan matanya.
Laki-laki itu segera menggeleng. "Sumpah, ini rumah gue," katanya yang kemudian diakhiri dengan tawa renyah.
Aku ikut diam, balik memandang Dito. "Radam?" refleks aku menyebut nama laki-laki itu. Nama yang kutemukan di buku harian yang secara lancang telah aku buka dan baca.
"Kok lo tau?"
Aku nyengir sambil menggerayangi tengkuk. "Iya, sori ya. Gue nggak sengaja lihat diary lo waktu masih baru pindah. Gue ... baca beberapa bagian," kataku. Duh, aku jadi merasa semakin bersalah sekarang.
Dito mengangguk-angguk, menandakan ia memahaminya. Sedetik kemudian, Dito mematikan mesin, kemudian turun dari motornya. "Cringe banget, pasti. Bucin banget gue sama Denada," katanya sambil tertawa pelan.
"Nggak bucin, ah," sangkalku.
Akan tetapi Dito menggelengkan kepalanya. "Semua orang bilang begitu, Ra," ungkapnya. "Mereka selalu berpikir gue mencintai Denada terlalu berlebihan."
"Yah ... wajar, kan? Kalian pacaran udah lama," balasku.
Dito mengangguk mengiakan responsku. "Dan udah lama juga gue kehilangan Denada tapi masih belum sepenuhnya pulih dari depresi dan trauma," katanya. Aku hanya mengangguk pelan tanpa berani bersuara. "Lo mau nggak, Ra, jadi pacar gue?"
"Hah?" hanya itu respons yang bisa kuberikan. Ini tidak seperti yang Dita ceritakan padaku tentang Dito yang tidak mau dekat atau memulai pacaran lagi. Laki-laki ini pasti sedang hilang kesadarannya.
Detik selanjutnya Dito berucap lagi, "Nggak mau, ya?" tanyanya. Aku diam. Aku benar-benar membeku di posisiku berdiri. Bukannya tidak mau atau bagaimana, tapi kami baru saja saling mengenal dan rasanya tidak mungkin jadian. Lagi pula, aku tidak mengerti bagaimana caranya pacaran!
"Ya udah, nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin, Ra," ujar Dito sambil menyungging senyum. "Gue cabut duluan, ya."
Aku hanya bisa mengangguk lalu Dito segera pergi bersama motornya. Aku masih sangat tidak menyangka Dito mengajakku pacaran setelah aku membaca sepenggal kisah cintanya dengan Denada, dan mendengarkannya dari Dita.
* * *
Hari berikutnya, Dito dan aku tidak saling bertegur sapa seperti hari lainnya. Aku bahkan merasa begitu canggung ketika melihat Dita baru saja datang dan menempati kursinya. Saat Dita berbalik badan untuk mengajakku mengobrol, aku langsung pura-pura menyibukkan diriku membaca novel yang kubawa hari ini—untuk kujadikan distraksi dari Dito dan Dita.
Padahal aku tidak membaca apapun. Aku bahkan tidak suka membaca novel.
Hari ini aku bilang aku sedang tidak enak badan, dan itu akhirnya sukses membuat Dita tidak banyak mengajakku ngobrol atau pergi ke kantin. Benar-benar aku masih memikirkan sore kemarin. Bahkan sampai sore tiba lagi dan sekolah selesai, aku masih memikirkannya.
"Aurora!" teriakan itu kudengar ketika aku sedang berjalan sendirian menuruni tangga. Aku tahu itu suara Dito, dan aku juga tahu laki-laki itu sedang berlari ke arahku. Aku diam, melihatnya berlari sendirian tanpa ada Dita di sisinya. "Dita nggak pulang sama gue hari ini karena hangout sama anak-anak sekelas. Lo katanya nggak ikut karena nggak enak badan?"
Aku hanya mengangguk. Dita memang sempat mengajakku pergi tadi. Dan aku menolaknya.
"Pulang sama gue, yuk?"
Ajakan itu terdengar seperti petir di telingaku. Kenapa Dito bersikap begini padaku?
Akan tetapi aku memberikan Dito kesempatan. Aku mengiakan ajakannya. Karena, pikirku, Dito pasti ingin membicarakan sesuatu. Mungkin meminta maaf soal keputusan spontannya kemarin sore. Atau mungkin karena hal lainya.
Kami pun jalan seiringan menuju parkiran motor. Banyak orang memandangi kami di sepanjang jalan, terlebih anak laki-laki yang saling bertegur sapa dengan Dito. Aku mencoba untuk mengabaikan segala pertanyaan yang mereka berikan untuk Dito. Pura-pura tidak dengar saja. Toh mereka rata-rata bertanya aku siapa. Selama pertanyaan itu ditujukan kepada Dito, aku akan memilih untuk tidak ikut campur untuk menjawabnya.
"Lo beneran lagi sakit, Ra?" tanya Dito sambil mengenakan helmnya, kemudian memberikan helm milik Dita kepadaku. Aku menggeleng. Itu hanya akal-akalanku untuk tidak diajak bicara banyak oleh semua orang. Dito kemudian tertawa pelan. "Udah gue tebak."
Aku hanya nyengir dengan polos. "Emangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa, sih," tuturnya seraya menyalakan motornya dan bersiap keluar dari barisan motor yang berjajar. "Gue mau ngajak lo ngopi aja. Sambil ngapain, kek. Ngobrol atau ngerjain tugas. Gimana?"
Sesaat aku terdiam. Kupandangi Dito selama aku belum naik ke jok motornya. Aku tidak tahu pertemanan kami akan berujung ke mana kalau begini sikap Dito kepadaku. Akan tetapi, di satu sisi aku berpikir Dito memang sudah saatnya membutuhkan pengganti posisi Denada, mengingat sudah lama ia dikurung trauma atas kepergian Denada.
Kuputuskan untuk mengangguk, mengiakan ajakan Dito, lalu aku naik ke motornya. Dito pun melaju dengan kecepatan lambat meninggalkan kawasan sekolah. Aku tidak tahu dia akan membawaku ke mana, dan aku memutuskan untuk tidak mempertanyakannya sampai aku mengetahui jawabannya sendiri.
Motor Dito melaju memasuki parkiran J.co Summarecon Bekasi yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Kami lantas menempati meja yang kosong, kemudian Dito memesan minuman serta donat. Aku hanya menitipkan pesananku padanya dan memantaunya dari tempat dudukku.
Kiranya sepuluh menit Dito meninggalkan aku duduk sendirian. Laki-laki itu kembali bersama dua gelas minuman berukuran besar, serta beberapa donat di piring. Aku tidak bereaksi apa-apa dalam menyambut kembalinya Dito ke meja kami, justru laki-laki itulah yang memulakan pembicaraan lagi.
"Lo beda hari ini," katanya. Alisku hanya mengernyit untuk merespons ujaran tersebut. "Anyway, gue boleh kan, ya, deket sama lo?"
Aku terkekeh, bahkan hampir tertawa dibuatnya. Menanggapi pertanyaan tersebut, tangan kananku berkerak menghitung berapa jengkal jarak duduk kami. Lalu kujawab, "Empat jengkal termasuk deket, dan gue masih aman. Boleh, deh."
Laki-laki itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maksud gue nggak gitu, Ra," koreksinya. "Ya ... lo tau, kan?"
"Tau apa?" tanyaku yang akhirnya memutuskan untuk serta-merta bertanya tanpa peduli Dito masih mau melanjutkan omongannya. "Tau kalau ternyata lo dan Radam adalah orang yang sama?"
Dito mengangguk. Tidak kusangka pertanyaan asalku adalah apa yang sedang Dito pikirkan. "Gue mau keluar dari zona menyakitkan ini, Ra," akunya. Aku masih diam. "Gue bener-bener udah capek sama diri gue sendiri karena gue nggak bisa nerima kenyataan itu."
Meski pengakuan tersebut menularkan rasa sedih padaku, tapi kucoba untuk tersenyum tipis. "To, gue rasa, semua orang pernah kehilangan orang-orang yang disayangnya dan itu menimbulkan kesedihan mendalam, dan semuanya cari pelarian—"
"Gue bukan mau jadiin lo pelarian gue, Ra." Segera Dito menginterupsi.
Aku kembali tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, To," balasku. "Pelarian kan nggak cuma berupa orang lain. Lo percaya, nggak, kalau gue pindah rumah adalah bentuk dari pelarian Papi gue karena Mami meninggal tiga bulan lalu? Gue juga pernah nyari pelarian setelah gue pernah dikhianati sama mantan pacar gue setahun yang lalu. Dan lo, sekarang juga lagi cari pelarian karena lo masih terbayang-bayang Denada, kan?"
Dito diam. Ia mulai menyesap minuman cokelatnya dan memilih untuk tidak merespons ucapanku. Perbincangan kami selanjutnya jadi canggung. Tidak ada lagi bahasan soal Denada maupun Radam. Kami hanya sesekali tanya jawab soal tugas yang sedang kami kerjakan. Dan begitu seterusnya sampai kami memutuskan untuk pulang beberapa menit setelah magrib berkumandang.
* * *
Hari terus bergulir. Aku tidak pernah menyangka kalau Dito bersungguh-sungguh. Laki-laki itu benar-benar mencari jutaan kesempatan untuk tetap dekat denganku, bahkan memanfaatkan ratusan topik pembicaraan untuk sekadar bertegur sapa denganku.
Seiring hari berjalan, pikiranku mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku yang bersikeras beranggapan bahwa Dito hanya sedang mencari pelarian, mulai berubah. Pikiran tersebut semakin lama semakin surut dari benakku. Pikirku, Dito tidak sepenuhnya sedang mencari pelarian. Tetapi Dito memang sudah waktunya untuk sembuh.
Seperti halnya denganku pula. Sudah waktunya bagiku untuk sembuh dari rasa tidak percayaku pada semua orang. Semalam aku habis membicarakan ini dengan Dita di telepon sampai larut malam. Sudah berkali-kali kuceritakan pada Dita soal saudara kembarnya yang tengah begitu gencar memanfaatkan kesempatan untuk dekat denganku. Akhir-akhir ini pun, akhirnya kuceritakan pada Dita soal mantan pacarku. Namanya Ardaly. Singkat aku bercerita kepada Dita soal Ardaly pernah selingkuh. Dan itulah hal pertama dan terakhir yang membuatku mantap memutuskan untuk tidak berpacaran lagi dengan siapapun.
Termasuk dengan Dito.
Akan tetapi, semalam Dita bilang seharusnya bukan itu alasan masuk akal yang membuatku menolak Dito. Aku bertanya pada Dita, tapi Dita hanya bilang bahwa aku bisa mencari jawabannya sendiri tanpa perlu mencari. Bayangkan betapa bingungnya berdiri di posisiku. Diapit dengan dua saudara kembar yang penuh tanda tanya.
Tiiiiiinnnnn!
Suara klakson mobil membuat lamunanku langsung buyar. Aku yang tengah mengayuh sepeda, lantas minggir ke tepi jalan, memberikan akses bagi mobil tersebut untuk jalan duluan. Detik selanjutnya selepas mobil itu pergi, kedua mataku menangkap pemandangan taman komplek yang setiap hari kulihat tiap berangkat dan pulang sekolah. Taman yang gelap, hanya memiliki satu penerangan yang sama temaramnya dengan bulan purnama di atas kepalaku.
Namun bukan itu fokus utamaku, melainkan motor yang terparkir di depannya. Aku kenal motor itu. Tanpa pikir panjang, aku membelokkan sepedaku ke arah sana, memarkirkannya di sebelah motor tersebut, lalu kuhampiri pemiliknya yang tengah duduk di pinggir skatepark.
"Sendirian aja, To?" tanyaku. Iya, aku menghampiri Dito yang tengah duduk sambil memegangi papan skate hitam. Laki-laki itu menoleh ke arahku. Senyumnya mengembang tipis, lalu ia mengangguk sambil menepuk-nepuk lahan di sebelahnya, mengisyaratkanku untuk segera duduk.
Aku duduk di sebelahnya, diam.
Tidak seperti biasanya, kali ini Dito diam. Jadilah aku berinisiatif untuk mengajaknya bicara duluan. "Kok lo di sini?" tanyaku.
Sesingkat itu pertanyaanku yang membuat Dito menoleh untuk menatapku. Senyumnya kembali mengembang. "Gue selalu ke sini. Dulu. Gue main skateboard di sini, ditemenin Denada. Tapi, gue nggak tau kenapa sekarang gue ke sini. Padahal Denada udah nggak ada ya, Ra. Gue udah berusaha semaksimal gue buat hapus nama Denada dari pikiran gue. Susah," terangnya panjang lebar.
Aku merasa bersalah sudah bertanya begitu. Sial sekali.
"Sorry to hear that," tuturku pelan. "Lo nggak perlu maksain diri lo buat lupa sama Denada, To. Gue bisa ngerasain betapa lo sayang sama Denada. Really. Bahkan ... gue sebenernya iri sama Denada."
"Kenapa?"
"Ya ... kenapa lagi?" balasku. "Gue yakin bukan cuma gue orang yang mengimpikan cowok dengan sifat kayak lo. Lo adalah paket lengkap dari yang paling lengkap. Setelah gue pikir lagi, ternyata gue adalah orang yang cukup beruntung karena gue deket sama lo."
Dito terkekeh. "Lo dihipnotis model apa sih, sama Dita?"
Mendengar pertanyaan tersebut, aku ikut tertawa. Selanjutnya, kami menghabiskan waktu dengan bercerita. Dito mengaku ia kedapatan mendengar Dita berujar histeris ketika tengah meneleponku. Akhirnya kuceritakan pada Dito apa yang biasanya jadi perbincangan kami di telepon. Mulai dari Dita menceritakan Dito dan Denada, sampai cerita yang kubagikan kepada Dita mengenai Ardaly.
Dan aku tidak sadar menghabiskan satu jam penuh untuk menyelesaikan ceritaku tentang Ardaly. Tentang bagaimana aku memulakan kisah dengannya, hingga aku mengakhirinya dengan satu keputusan yang kumantapkan sejak saat itu. Ceritaku mengalir dengan terburu-buru, dengan emosi yang penuh. Aku sadar sampai saat ini masih menyimpan rapat dendamku pada Ardaly.
"Gue pinjam tangan lo boleh, Ra?" tanya Dito.
Aku segera membuka telapak tangan kiriku tanpa bertanya apapun padanya. Dito kemudian meraih tanganku, menggenggamnya dengan begitu lembut. "Kenapa?" tanyaku dengan begitu polosnya. Aku pun benar-benar tidak mengerti maksud Dito.
"Pegangan tangan sama orang yang kita sayang itu bikin hati jadi lebih tenang, Ra," katanya. "Gue bisa ngerasain emosi lo yang berlebihan. Cowok berengsek itu udah nggak ada di samping lo, kasusnya pun udah berlalu lama. Tapi lo masih marah, kan?"
Aku bergeming. kupandangi tangan kiriku yang bertaut dengan lima jari milik Dito.
"Kadang, kita emang suka sedih lagi, marah lagi karena hal-hal yang seharusnya udah nggak perlu kita lihat. Iya nggak, sih?" tanyanya. Aku hanya merespons dengan anggukan singkat. "Ra, kalau gue bener-bener suka sama lo, apa lo bakal kasih gue kesempatan?"
"Kenapa harus gue, To?" aku bertanya dengan hati-hati.
Lama Dito memilih untuk tetap diam. Laki-laki itu kemudian menyunggingkan senyum tipis. "Karena gue merasa kalau gue adalah orang yang tepat buat lo, Ra," katanya. Aku tidak bisa berkata apapun ketika mendengarnya. Malah rasanya ingin menangis. Dalam hati aku mengiakan opini tersebut.
Dan menyesali reaksiku beberapa waktu lalu ketika Dito pertama kalinya menyatakan ingin berpacaran denganku.
"Boleh nggak Ra, kalau sekali lagi gue nyatain perasaan gue ke lo?" tanya Dito. Aku mengangguk. "Gue suka sama lo, Aurora."
Senyumku mengembang seiring dengan senyum Dito melebar. "Iya, To. Gue tau," kataku singkat.
"Boleh juga nggak Ra, kalau sekali lagi gue denger jawaban lo? Setelah gue memberi jeda panjang yang bisa lo manfaatkan buat berpikir, apa jawaban lo masih sama?" Dito bertanya lagi.
Aku mempererat genggaman tangan kami. Kukatakan padanya, "Nggak, To. Entah bagaimana caranya, gue percaya, lo adalah orang yang tulus, yang nggak akan pernah ninggalin gue."
Mata Dito langsung membulat, berbinar. "Ra?"
"Iya?"
"Are we dating?"
Aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban ya untuk pertanyaan tersebut.
TAMAT
Kansa dikenal dengan nama Kansa Airlangga di semua media sosial yang pernah maupun yang masih ditekuninya. Sudah mulai menuliskan cerita pertamanya sejak SD dengan genre fantasy, dan berakhir tidak bisa keluar dari teen fiction sejak mempublikasikan tulisan pertamanya di Wattpad sekitar tahun 2015. Username yang digunakannya pernah beberapa kali berubah, tapi dalam waktu 24 jam selalu kembali berganti ke nama semula: kannanpan. Saat ini masih aktif menulis di Wattpad, dan memiliki dua judul buku yang naik cetak, Boys Do Write Love Letters dan Moon and Her Sky.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro