Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Nurani" - FreelancerAuthor


NURANI 

A short story by FreelancerAuthor


Sebenarnya manusia tak pernah dibagi dalam sebenar-benarnya buruk. Diciptakan bukan untuk disalahkan. Ada bukan untuk ditanya terus menerus oleh kaum sesamanya. Merana bukan untuk dilihat saja. Pun bahagia tak untuk dicerca saja. Namun, itulah garis kehidupan. Selalu ada cela bagi satu sama lainnya untuk saling 'membunuh' temannya sendiri dengan membagikan keburukan saja. Hampir tak pernah ada yang tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa mencela satu keburukan saja.

"Apa motivasi kamu dulu ketika akhirnya memutuskan datang ke sekolah terpencil seperti ini dan mengajar?" tanya seorang teman yang baru Nurani kenal dalam hitungan bulan itu.

Menggenggam kaleng minuman satu-satunya yang bisa dia jumpai di sana, Nurani menatap hamparan laut yang bisa dikenali oleh indera penciumannya setelah terlalu sering menghabiskan waktu di pesisir.

"Aku sudah lupa, apa jawabannya." Jawab Nurani.

"Pasti ada cerita yang membuat perempuan secantik dan secerdas kamu pada akhirnya mengabdi di sini. Iya, kan?"

Nurani menempatkan senyumannya pada lelaki itu. Tidak ada niatan menggoda sama sekali, tetapi nampaknya seorang Abdi — teman yang Nurani kira tak akan melihat kecantikan di wajahnya saja mengerling tatap dengan terpesona.

"Abdi, kamu terlalu banyak bertanya. Bisa kita lanjutkan saja rencana mengenai sekolah Lingkar Pelangi? Karena aku sedang nggak ingin membahas apa-apa mengenai semua yang menggunakan alasan. 

Abdi mengangkat kedua tangannya ke atas. "Baiklah-baiklah, aku nggak akan bertanya mengenai alasanmu. Aku juga nggak mengerti apa arti dari ucapanmu. Mari lanjutkan pembahasan kita mengenai Lingkar Pelangi."

* * *

 Nurani masih ingat dengan jelas ingatan di mana dirinya masih berseragam putih abu-abu. Pada saat itu dia berpikir bahwa tidak ada satupun hal istimewa mengenai masa remajanya di SMA. Semuanya sama saja, hampir bisa dikatakan tingkatan pergaulannya itu-itu saja seperti ketika dirinya SMP.

Namun, ada bagian yang terasa membawa perbedaan besar antara dirinya dan anak-anak yang lain di sekolah. Yaitu mengenai statusnya sebagai anak dari pemilik saham SMA kenamaan yang dijadikannya tempat belajar tersebut. Sudah Nurani katakan, semua hal terasa biasa saja di sekolah. Hanya saja Nurani yang tak biasa di mata anak lainnya.

"Papa harus bilang apa lagi supaya kamu mengubah mindset kamu, Nak?" Darsa terlihat begitu putus asa dengan bicara pada putri semata wayangnya. "Nurani...berhenti membatasi diri kamu. Berhenti menjadikan diri kamu seperti perempuan itu."

"Yang papa sebut 'perempuan itu' dia adalah mama aku." Balasan yang telak. Nurani selalu bisa membalas ucapan papanya ketika menyangkut prinsipnya yang berbeda dari Darsa.

Menatap putrinya dengan wajah memendam kecewa, Darsa mengangguki. "Betul, dia adalah mama kamu. Tapi lihat sekarang apa yang sudah dia lakukan pada keluarga kita dengan cita-citanya menjadi pengajar. Dia mengkhianati kita, Nurani."

"Hanya papa," sahut Nurani. 

"Apa?"

Nurani mendongakkan kepala dengan menatap papanya dengan tampang berani. "Hanya papa yang dikhianati, bukan aku. Mama nggak pernah mengkhianati aku. Aku tetap akan menjadi guru seperti mama. Aku suka mengajar, papa nggak bisa paksa aku untuk jadi apa yang papa mau."

"Oh, papa bisa memaksa kamu menjadi apa yang papa mau! Karena papa kamu bisa sekolah dengan nyaman. Semuanya karena papa, bukan mama kamu yang tidak tahu diri itu!"

Dan pembicaraan mereka habis pada ujung dimana Darsa selalu marah dan meninggalkan Nurani lebih dulu. Darsa tak pernah mau melihat betapa sakitnya Nurani yang tidak bisa memiliki keluarga utuh dan masih melihat papanya tak mau

berdamai dengan masa lalu. Lebih parahnya, sang papa tak pernah menyadari bahwa sikapnya adalah kunci dari semua masalah ini terjadi.

Sekolah tak pernah lagi menjadi hal yang membahagiakan. Masa SMA bukanlah masa-masa dimana semua kenangan menjadi indah. Di tingkat itulah Nurani membenci berteman dan memiliki satu grup yang pasti saja memiliki masalah. Bukan tanpa alasan, melainkan Nurani tak mau ada yang tahu mengenai keadaan orang tuanya. Apalagi jika ada teman satu grupnya yang akan menghakimi mamanya setelah tahu bahwa wanita yang melahirkan Nurani memilih pria lain ketimbangpapanya yang memiliki saham dimana-mana.

"Ini!" Seseorang menyodorkan botol minuman ber-ion tinggi pada Nurani yang melamun di halaman belakang sekolah.

Mendongakkan kepala untuk mengetahui siapa orangnya, Nurani mengernyit karena tak mengenali anak lelaki di hadapannya.

"Aku nggak nerima barang apa pun dari orang asing." Kata Nurani dengan nada ketus.

Anak lelaki itu tidak berhenti. Dia mengambil posisi duduk di sebelah Nurani danmenekuk kedua kakinya guna menyandarkan lengannya.

"Kamu beneran nggak dikenalkan sama bunda soal aku, ya?" tanya si anak lelaki dengan memiringkan kepalanya.

"Aku nggak punya bunda." Nurani berdiri dari tempatnya semula dan berniat meninggalkan anak lelaki itu.

"Aku Byan, saudara tiri kamu. Aku memanggil mama kamu dengan sebutan bunda."

Nurani berbalik dan menatap nyalang pada Byan. "Berhenti mengatakan apa pun! Aku nggak akan tinggal diem kalo sampe ada yang tahu soal ini. Kamu cuma akan bikin nama mamaku jelek dengan ngaku-ngaku sebagai saudara tiriku! Jauh-jauh dari aku, atau kalau perlu keluar dari sekolah ini!"

Byan bersikap santai dengan berkata, "Hei. Kamu ini memang sangat naif, ya. Kupikir dengan kamu nggak bergaul dengan anak-anak di sini karena kamu tahu bahwa mereka tetap membicarakan bunda—mama kita. Itu udah jadi rahasia umum,

apalagi papa kamu pemegang saham di sekolah ini. Keluargamu sudah menjadi bahan pembicaraan di sekolah, Nurani."

Sejak itu, Nurani tak ingin bertemu atau membagi cerita dengan saudara tirinya yang bernama Byan. Dia membenci Byan sekaligus berterima kasih pada anak lelaki itu karena sudah menyadarkannya untuk tak terlalu naif. Namun, tetap saja Nurani menjadi sosok yang bisa dikatakan tak memiliki nurani dengan melupakan semua prinsipnya.

* * *

 Sejatinya Nurani berlari dan bersembunyi karena banyak masalah yang sudah dibuat olehnya sendiri. Untuk memperbaiki segalanya, dia pergi atau lebih tepatnya didepak oleh papanya sendiri karena berbuat kesalahan fatal. Merebut suami orang dengan alasan ingin menunjukkan pada papanya bahwa semakin dia dilarang menjadi seperti sang mama maka Nurani akan melakukan apa saja yang papanya tuduhkan kepada mamanya.

Nyatanya dibuang ke tempat terpencil seperti ini membuat Nurani baik-baik saja. Dia mendapatkan banyak hal baru. Khususnya saat mengajar anak-anak yang sudah seharusnya duduk di bangku SMA secara formal.

"Bu, apa itu artinya sitting? Saya baru mendengar ini." Pertanyaan yang terhitung sangat jauh dari kemampuan anak-anak SMA di Jakarta sana sudah biasa Nurani dengar di sini.

"Itu artinya duduk, Jo." Nurani menjawabnya dengan santai.

Melanjutkan hari demi hari sebagai tenaga pengejar seperti yang sudah lama dia dambakan sedari dulu di tempat ini membuat Nurani nyaman. Rasanya tak akan bisa lagi dia berpaling meskipun dengan agenda setiap harinya selalu mengingatkannya pada masa lalu saat dirinya duduk di bangku SMA.

"Bu guru Rani, ada yang mencari bu guru."

"Iya, sebentar pak Abdi." Nurani menatap anak-anak muridnya yang sedikit berisik karena mengerjakan soal bahasa Inggris bersama-sama. "Anak-anak, Ibu keluar sebentar. Jangan ada yang kabur untuk ke ladang, ya." 

"Baik, Bu guru!" Jawaban itu didengar Nurani secara bersamaan.

Dia tinggalkan sejenak belajar mengajar guna menemui seseorang yang Abdi katakan mencarinya.

"Di mana orang yang mencari saya Abdi?" tanya Nurani.

"Menunggu di dalam mobil sana. Sepertinya orang penting. Katanya, masuk saja ke dalam mobil kursi belakang."

Nurani mengernyit. "Siapa namanya? Kenapa kamu percaya saja ada yang mencari saya tanpa—"

"Nurani," kalimat Nurani terputus karena panggilan tersebut. "Nurani, bisa kita bicara?"

* * *

"Papamu yang memanggil saya untuk menjemput kamu di sini. Beliau dirawat, dia menitipkan semua dokumen mengenai sekolah kepada saya untuk kamu. Beliaumau kamu yang melanjutkan usaha beliau." Begitu yang Byan jelaskan secara singkat.

Nurani masih belum sepenuhnya terbangun dari bayangannya mengenai masa lalu, dan kini papanya sudah dikabarkan sakit.

"Kenapa kamu bisa mengenal papa saya?"

Byan mendesah. "Dua bulan yang lalu kedua orangtua saya mengalami kecelakaan." Nurani menahan napasnya. "Papamu datang dan mengucapkan belasungkawa. Sebelum beliau pergi ada penjelasan yang sepertinya bagian dari penyesalannya terhadap Bunda — mama kita. Papamu menyadari bahwa karena sikapnya bunda pergi dan mencari pria lain yang lebih memanusiakan bunda. Dia merasa bersalah karena baru mau mengakui hal tersebut. Wajahnya kendur dan saya bisa melihat penyesalan papamu. Dari sana kami dekat, dan kamu sudah dikirim kesini karena kamu memiliki masalah yang... sudahlah, itu masa lalu kamu."

Keduanya berpandangan, dengan Nurani yang masih mencoba mencerna penjelasan Byan.

"Nurani... kamu harus pulang. Menemui papa kamu dan menyapa bunda di makamnya."

Pada akhirnya Nurani kembali. Dengan semua penyesalan dan kisah kelam yang akan abadi dalam ingatan. Dengan segala perjuangan membawa Nurani yang memiliki hati nurani tak terperi kembali lagi. 


TAMAT


Halo! Salam hangat dari Fay, atau biasa dikenal dengan nama pengguna FreelancerAuthor. Menulis antologi cerita pendek bersama author kenamaan lainnya, semoga bisa memberi kalian kepuasan membaca. Menyukai cerita ber-genre romantis dan lebih pada hubungan rumit keluarga, sudah lebih dari sepuluh cerita yang dipublikasikan. Untuk kalian yang belum tahu apa saja karyanya yang lain segera cek profilnya: 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro