Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Nobody's Child" - TiaraWales

NOBODY'S CHILD

A Short Story by TiaraWales


Jika aku bisa meminta Tuhan memundurkan waktu, memohon agar Dia menggagalkan pertemuan sperma Entah Punya Siapa dan sel telur milik artis sinetron bernama Soraya Laraswati—yang tak lain adalah ibuku—tujuh belas tahun lalu, maka akan kulakukan. Tapi, tentu saja itu tak mungkin. Sama tak mungkinnya bagiku untuk meminta Tuhan mencegahnya mengandung lagi untuk kedua kali. Tanpa suami.

Entah beruntung atau sial, aku tak sengaja mengetahui kehamilannya dua minggu lalu. Dari tong sampah. Tempat tak terduga untuk sebuah berita besar, bukan?

Mengubek-ubek tempat sampah dengan panik setelah dengan sengaja membuang kertas ulangan Matematika bernilai 11, aku justru menemukan dua garis merah lainnya di sana. Tentu saja aku tahu benda apa itu dan untuk apa. Tapi, pertanyaannya, milik siapa? Aku jelas-jelas tak pernah menggunakannya. Jadi, tersangka yang tersisa hanya dia.

Lalu pertanyaan berikutnya, "Siapa laki-laki itu?"

Soraya tak kunjung merespon. Tangannya sibuk memasang rol berwarna putih pada rambut cokelat sebahunya. Wajahnya belum tersentuh pulasan make up, tapi begitu saja dia sudah kelihatan cantik—satu-satunya hal pada dirinya yang membuatku berdecak kagum. Sayangnya, Tuhan begitu pelit menurunkan separuh saja dari kecantikan yang dia miliki untukku.

Usianya masih muda, 32 tahun. Jadi kurasa kalian tentu bisa menebak di kisaran umur berapa dia melahirkanku. Jika rahasianya terbongkar, maka takkan ada yang percaya perempuan muda sepertinya sudah punya seorang anak remaja. Media gosip pasti akan berlomba-lomba mencari tahu siapa ayahku, yang tak pernah kulihat batang hidungnya. Aku pun tak ingin tahu siapa pemilik batang hidung itu.

Tapi, untuk kali ini, aku harus tahu dengan siapa dia berbuat nista. Laki-laki itu harus menikahinya.

"Please, jawab aku. Itu anak siapa?"

Ironis, bukan? Umumnya orangtualah yang melontarkan pertanyaan mengenai siapa yang menghamili anak gadis mereka, tapi pada kasusku justru sebaliknya.

"Produser? Sutradara? Atau lawan main Kakak?" kejarku.

Yah, kalian tidak salah baca. Aku memanggilnya Kakak sejak aku bisa bicara. Mendiang orangtua Soraya—yang seharusnya kupanggil Kakek dan Nenek—mendaftarkanku sebagai putri bungsu mereka enam belas tahun lalu. Akibatnya, aku kesulitan mengubah panggilan terhadap Soraya setelah tahu bahwa dia ibu kandungku. Kakek dan Nenek memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya melalui surat wasiat, yang aku baca setelah kematian mereka tiga tahun lalu akibat kecelakaan mobil.

"Kamu harusnya sudah berangkat ke sekolah, Ara."

Persetan dengan sekolah. Mencari tahu identitas laki-laki itu jauh lebih penting. Aku harus menemukannya dan memintanya segera menikahi Soraya sebelum perutnya membesar. Entah berapa persisnya usia kandungannya sekarang, tapi itu pasti akan terjadi tak lama lagi.

"Kenapa, sih, kamu suka sekali bolos? Jangan bikin malu Kakak terus." Dan dia juga kesulitan—atau enggan?—menyebut diri sebagai ibuku.

"Jadi dua kali hamil tanpa suami sama sekali nggak bikin Kakak malu?" Kata-kataku berhasil membuat perhatiannya sepenuhnya tertuju padaku. Mata bulat indahnya membeliak.

"Eh, lancang kamu, ya!" Telunjuk lentiknya menuding wajahku setelah membanting rol sekuat tenaga ke lantai. Benda malang itu terpelanting lalu menggelinding ke arah pintu kamar.

Bagus. Sekalian saja main sinetron-sinetronan. Apakah adegan selanjutnya adalah tampar-tamparan? Atau jambak-jambakan? Kutunggu reaksinya selama beberapa detik. Bukan berarti dia pernah menamparku. Walaupun sering melawan kata-katanya, baru kali ini aku mengucapkan sesuatu yang kelewat kurang ajar dan membuatnya begitu berang. Jadi, bisa saja dia akan khilaf, 'kan?

Dada Soraya naik turun dengan cepat. Wajahnya memerah dan tangannya terkepal. Tatapannya liar ke arahku, seperti sedang memutuskan apakah harus mencoret namaku dari daftar Kartu Keluarga sekarang juga. Alih-alih khawatir, aku justru terkesima. Ekspresi marah yang ditunjukkannya begitu alami, sangat jauh berbeda dengan aktingnya di sinetron. Yah, kurasa cukup layak mendapat Piala Vidia.

Setelah beberapa detik penuh ketegangan, Soraya akhirnya memejam dan membalikkan tubuh langsing tinggi semampainya diiringi desahan napas keras. "Berangkat sekolah sana!" titahnya, masih memunggungiku.

"Jawab aku dulu!"

"Bukan urusan kamu." Dia melangkah anggun ke pintu lalu memungut rol yang dilemparnya tadi. Sungguh jawaban final paling menyebalkan dan egois. Seolah setiap hal yang berkaitan dengannya tak akan berimbas terhadapku saja.

"Bukan urusanku gimana!" Giliran mataku yang terbeliak. "Kalau kehamilan Kakak terekspos media, mereka akan bertanya-tanya siapa ayahnya. Trus, kalau mereka tahu tentang aku gimana? Aku nggak mau jadi gunjingan netizen kayak Kakak! Aku cuma mau hidup normal selamanya!"

Tanpa menunggu balasan darinya yang aku yakin cukup pedas, segera kulangkahkan kaki keluar dari kamar lalu membanting pintu keras-keras. Seharusnya aku sudah bisa menebak, berharap Soraya memberi secuil informasi saja sungguh sia-sia.

Kuambil ponsel di saku rok sekolah lalu mulai mengetik. Mbak Sitta, aku minta tolong lagi, dong. Kasih tau aku kalo Kakak mulai bertingkah aneh-aneh. Thanks, ya! ☺

Mbak Sitta adalah manajer sekaligus asisten pribadi Soraya. Dia cukup bisa diajak bekerja sama jika itu menyangkut kebaikan artisnya. Mbak Sitta memang selalu melapor padaku—lihat, mana yang ibu dan mana yang anak? Dan sialnya, kami tetap kecolongan. Hanya saja, Mbak Sitta belum tahu. Kurasa hanya tinggal menunggu waktu.

***

Aku tahu, membolos takkan membuatku mendapatkan jawaban. Sekolah dan pelajaran-pelajaran membosankan juga tidak akan membantu. Jadi untuk apa repot-repot? Lebih baik kulakukan hal lain yang lebih penting. Tentu saja mengawasi Soraya.

Kupikir sedang ada razia siswa membolos saat mataku tertumbuk pada cowok yang sedang duduk di bangku halte bus. Tangannya memegang ponsel. Kedua jempolnya bergerak-gerak cepat seperti sedang mengetikkan sesuatu.

Kakiku hampir memutar balik ke arah sekolah tepat saat cowok itu melirik ke arahku. Hanya kira-kira dua detik lalu dia berpaling dan jempolnya kembali bergerak-gerak lincah di layar ponsel. Kutunggu beberapa detik lagi, tapi tak ada yang terjadi. Tak ada teguran keras yang dia tujukan untukku. Seolah tak peduli. Padahal ada siswi berseragam corak batik serupa dengannya sedang berada di luar tembok sekolah pada jam pelajaran. Kecuali kalau ....

Ketua OSIS kesayangan Nusa Buana membolos? Astaga. Rasanya mustahil. Tapi, siapa yang tahu, kan? Mungkin dia sudah bosan jadi anak baik-baik? Penasaran, aku berjalan santai ke arahnya lalu kududukkan bokongku di bangku halte bus sekitar satu meter darinya.

Selama semenit dalam diam, masih tak ada reaksi. Sepertinya dia tak mengenaliku. Ah, tentu saja. Cowok populer seperti dia tidak mungkin ingat tukang bolos sepertiku.

"Selamat bergabung di TBC. Tukang Bolos Club," pancingku sok akrab. Kuatur suaraku pada mode jenaka. Tapi, sepertinya dia tak menganggap candaanku lucu karena dia diam saja. Khusyuk menunduk pada ponselnya melihat entah apa sampai-sampai terlihat tegang begitu.

Kurasa dia malu. Tentu saja, kan? Seumur hidupnya diberi cap anak baik, murid teladan, dan jabatan Ketua OSIS sejak sekolah menengah pertama. Untuk pertama kali melakukan hal tercela dan apesnya ketahuan olehku.

Bukannya aku sungguh-sungguh ingin akrab dengannya. Kami bukan teman dekat meski satu angkatan. Aku cuma ingin membuat si Tuan Sempurna ini semakin malu. Untuk kesekian kali aku berhasil membuktikan bahwa ungkapan no body's perfect itu memang benar adanya.

"Santai aja. Gue nggak akan ngadu," lanjutku seraya memperhatikan keadaan sekitar. Lingkungan di dekat area sekolah cukup sepi. Hanya ada rimbunan semak perdu di kiri dan kanan jalan. Satu kilometer berikutnya adalah kompleks perumahan elit. Di situlah aku tinggal bersama Soraya.

"Sepertinya Bu Gina nggak akan ngehukum gue karena ngebolos bareng lo, kan?" Aku menyengir. Tiket emas bernama Julian Dimitria pasti akan membuatku lolos dari hukuman guru BK kali ini.

"Gue nggak akan seyakin itu kalau jadi lo."

Akhirnya dia bersuara juga. Julian mendadak berdiri sambil memasukkan ponselnya ke saku celana. Ternyata tubuhnya jauh lebih tinggi dari perkiraanku. Kami belum pernah berada dalam jarak sedekat ini. Jelas saja. Kami juga belum pernah saling menyapa selama hampir enam tahun menuntut ilmu di sekolah yang sama. Lucunya, kami justru mengobrol untuk pertama kali di luar sekolah, saat membolos pula. Walau ini tak bisa benar-benar disebut mengobrol karena hanya aku yang lebih banyak bicara sejak tadi.

Matanya menyipit, seolah sedang menilai. Dan caranya menatapku membuatku merasa agak tak nyaman. Sepertinya dia lupa menunjukkan keramah-tamahan. Setahuku dia sosok yang murah senyum pada siapa pun. Karena itulah aku cukup percaya diri melemparkan candaan padanya tadi. Atau itu cuma pencitraan?

"Soraya Laraswati," dia mengeja nama itu lambat-lambat, "artis sinetron itu. Dia ibu kandung lo, 'kan?"

Dari sekian banyak pertanyaan yang kupikir akan dia lontarkan, yang satu itu sungguh di luar dugaan. Cengiranku lenyap seketika. Apa maksud pertanyaannya barusan? Tidak mungkin dia tahu rahasia besar itu, kan?

Sejauh yang kuingat, hanya segelintir orang yang tahu identitas asli ibu kandungku. Dan tentunya ketua OSIS Nusa Buana tidak termasuk di dalamnya.

"Sori, lo salah." Aku berusaha menyembunyikan kegugupan yang mendadak muncul dengan kurang ajar. "Gue adiknya."

Mata Julian masih menyipit. Kelihatannya dia tidak berniat meluruskan kekeliruan. Anehnya, aku merasa ekspresinya seolah menyiratkan bahwa pengakuankulah yang salah. Atau aku yang keliru?

"Gue duluan. Sepertinya busnya bakalan lama." Aku segera berdiri dan cepat-cepat melangkah meninggalkannya sebelum dia sempat melontarkan pertanyaan lain. Hal terakhir yang kuinginkan adalah bincang-bincang seru bersama ketua OSIS dengan topik bagaimana rasanya jadi adik artis.

Tapi sayangnya aku tak punya waktu untuk itu. Aku harus mencari laki-laki berengsek yang menghamili ibuku.

***

"Kemarin lo bolos ke mana?" tanya Velove, sahabatku. Kami duduk di kantin setelah pelajaran olahraga.

"Gue nggak bolos, kok," dustaku. Aku tak menatapnya saat menjawab, karena Velove pasti tahu aku berbohong hanya dengan melihat perubahan wajahku. "Kan gue udah nelepon Bu Bertha. Gue izin karena perut sakit. Mag gue kambuh."

"Halah, alesan aja lo. Bu Bertha bilang dia percaya nggak percaya lo sakit saking seringnya lo ngebolos, Ara." Velove terkekeh. "Tapi, dia tetep kasih lo izin. Aneh."

Aku tersenyum samar. Tentu saja wali kelasku itu akhirnya memberi izin. Aku berbohong pada beliau dengan mengatakan Julian mengantarku ke klinik karena kebetulan melihatku kesakitan. Mengingat Julian juga tak datang ke sekolah, kurasa Bu Bertha tidak punya alasan untuk tak percaya. Tapi, masa bodoh, lah.

Seperti dugaanku, Julian Dimitria memang tiket emas. Tapi, jangan salah paham, aku tidak akan menggunakan namanya terus-terusan. Sekali lebih dari cukup. Dan kelihatannya Julian tak keberatan. Toh, dia tak rugi apa pun. Justru kebohonganku sangat menguntungkan untuknya. Dia tetap akan jadi Mr. Perfect di mata siswa dan para guru.

Omong-omong, dia juga ada di kantin saat ini. Duduk tiga meja jauhnya dariku dan Velove, tertawa-tawa bersama anak-anak populer lainnya. Seandainya teman-temannya tahu, kira-kira mereka akan bilang apa, ya?

"Lo ngelihatin siapa, sih, Ara?"

"Hah?" Aku tersentak, segera berpaling dari meja Julian. Tapi terlambat, Velove sudah mengikuti arah pandangku sedetik lalu.

"Jangan bilang kalo lo baru aja ngelihatin Julian."

Aku agak tercengang Velove berhasil menebak. Padahal ada empat cowok yang duduk di sana. Matanya memang setajam elang.

"O, my gosh! Lo akhirnya insaf juga, Ara. Finally, lo sadar, he's worthy."

Aku mendelik pada Velove yang menyuapkan sepotong besar siomay ke mulutnya dengan gaya penuh kemenangan. "In your dream. Dan itu sama mustahilnya dengan dia naksir lo, Ve."

Velove memeletkan lidah ke arahku. Tak satu pun teman cewek yang kukenal yang tak pernah naksir Julian. Kecuali aku. Bukan berarti kriteria cowok idamanku melebihi kualifikasi seorang Julian Dimitria. Cowok sempurna justru tidak menarik di mataku.

"So? Alasan apa selain itu? Jangan sembunyikan apa-apa dari gue, Ara."

Aku menggulirkan mata. "Memangnya ngelihatin dia berarti ada apa-apa? Lo nggak tahu aja ada lalat ngerubungin kepalanya tadi," lagi-lagi aku berbohong. Mengatakan yang sebenarnya pada Velove sama saja dengan menuang air ke ember berlubang. Bocor.

Walaupun kurang menyukai Julian, aku tetap ingin menjaga privasinya. Jika dia tidak mau ketahuan membolos demi menjaga citra baiknya, maka biarlah begitu. Tapi ada satu hal tentang dirinya yang agak menggangguku. Soal pertanyaannya waktu itu. Apakah murni sekadar bertanya karena keragu-raguan atau untuk meminta penegasan?

"Eh, Ara."

Pasti dia hanya ragu-ragu. Bisa jadi itu cuma bentuk basa-basi supaya ada bahan obrolan di antara kami. Ya, pasti itu, 'kan? Memangnya apa lagi? Sangat tidak mungkin Julian benar-benar tahu Soraya adalah ibuku. Tapi ekspresi dan sikapnya waktu itu justru membuatku berpikir sebaliknya.

"Ara! Hei!"

Tendangan kaki Velove pada tulang keringku membuatku mengaduh cukup keras. "Apa, sih, Ve?!" Tatapan tajamku pada Velove beralih mengikuti arah telunjuk sahabatku itu lalu tertumbuk pada sosok tinggi menjulang yang sedang berdiri di sisi kiri meja.

"Hai, Aramintha. Bisa bicara empat mata?"

***

Julian tersenyum padaku. Kepalanya terbentur atau apa? Seingatku dia agak ketus saat terakhir kali kami bertatap muka. Aku hanya mengerutkan dahi. Tak berniat membalas senyumnya yang kuakui ternyata manis juga.

"Ada apa?" tanyaku. Kulirik meja yang baru saja kutinggalkan. Velove sedang menatapku dan Julian dengan wajah yang tampak penuh kecurigaan. Setelah ini dia pasti akan memberondongku dengan ratusan pertanyaan.

"Gue mau minta maaf."

Alisku terangkat. Ini di luar dugaan. "Maaf untuk?"

Julian menatap langsung ke mataku saat menjawab, "Bersikap ketus dan menanyakan sesuatu yang bukan urusan gue."

"Oh. Maaf diterima," ucapku seketika tanpa memikirkannya lebih dulu. Hanya agar dia pergi saja. Aku sungguh tak ingin berlama-lama di dekatnya. Tapi, ternyata dia tak kunjung meninggalkanku. Maka kuputuskan akulah yang berlalu.

"Hei, tunggu dulu." Tangan Julian menahan lenganku.

"Apa?"

"Soal membolos—"

"Gue kan udah bilang waktu itu, gue nggak akan ngadu. Gue udah bikin alasan yang menguntungkan buat kita berdua ke wali kelas gue. Jadi lo nggak perlu khawatir." Kutepuk lengan kanannya sedikit lebih keras dari yang kumaksudkan. Saat aku hendak melangkah meninggalkannya, dia kembali mencegahku. "Apa lagi, sih?"

"Gue mau minta maaf sekali lagi."

Aku mendesah malas. "Soal apa lagi?"

"Gue udah ngaku bolos ke Bu Gina. Sori. Gue bilang gue bolos bareng lo."

***

Dasar cowok berengsek sok sempurna sedunia! Apa ruginya berbohong sekali saja? Hidungnya tidak akan jadi panjang dan wajahnya juga tidak akan jerawatan. Dia justru membuat masalah semakin runyam. Bu Gina, guru BK Nusa Buana sudah menghubungi wali kami berdua untuk datang ke sekolah besok. Dan yang lebih parah, seantero sekolah jadi tahu bahwa aku dan Julian membolos di hari yang sama. Bisa kubayangkan bagaimana hebohnya reaksi Velove. Aku sengaja cepat-cepat keluar dari kelas begitu bel pulang sekolah berbunyi demi menghindari serbuan pertanyaan darinya.

Lo berutang penjelasan ke gue, Ara!

Aku mendengkus saat membaca pesannya di ponsel pintarku. Tak lama kemudian sebuah pesan lain muncul. Dari Mbak Sitta.

Mbak Soraya mau pergi sendirian kelar syuting. Nggak tau ke mana.

Mataku melebar. Jangan-jangan ... menemui seseorang? Pacar? Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari ke arah pangkalan taksi tepat di seberang gerbang sekolah. Aku hampir tiba di dekat taksi yang kelihatan kosong, saat kusadari ada sosok lain yang ikut berlari bersamaku.

"Ngapain lo ngikutin gue?" tanyaku ketus pada Julian. Napasnya naik turun dengan cepat akibat berlari, sama sepertiku. Dia lantas berhenti, tapi tak kunjung menjawab. Sepertinya dia terkejut melihatku. Cowok itu menatapku dengan sorot aneh. Ada apa dengannya? Namun, aku tak lagi bisa bertanya-tanya karena dia tiba-tiba saja kembali berlari lalu membuka pintu taksi yang kuincar tadi.

Julian sialaaan!

***

Aku menunggu Soraya menyelesaikan syuting sinetronnya di sebuah pusat perbelanjaan. Jadwal dan lokasinya berhasil kudapatkan dari Mbak Sitta.

Kira-kira Soraya mau ke mana sendirian? Dia sangat jarang mengemudi sendiri. Selalu diantar Mas Bayu, sopir sekaligus pengawal pribadinya, atau dengan Mbak Sitta. Jadi jika dia pergi tanpa minta ditemani salah satu dari mereka, ada kemungkinan untuk menemui pacar rahasia, kan? Dan bisa jadi juga ayah dari janin yang dikandungnya.

Kulihat dia berjalan meninggalkan set lokasi bersama Mbak Sitta dan Mas Bayu. Kondisi yang ramai di sekitar set membuatku cukup mudah untuk menyembunyikan diri. Tapi minusnya, kurang awas sedikit saja bisa-bisa sosoknya menghilang dari pandangan.

Mereka sudah hampir tiba di parkiran saat Soraya tiba-tiba berhenti berjalan dan berbalik. Refleks aku ikut menghentikan langkah lalu bersembunyi di balik sebuah pilar besar bercat putih. Sialan! Apa aku ketahuan? Kuberanikan diri mengintip sedikit. Desah lega lolos dari bibirku saat melihat Mas Bayu menyerahkan kunci mobil pada Soraya lalu laki-laki itu pergi bersama Mbak Sitta.

Setelah Honda Accord Soraya meninggalkan area parkir, aku segera masuk ke dalam taksi yang kuminta menunggu di sana sejak tadi. "Ikutin sedan putih itu ya, Pak! Jangan sampai lolos."

Untunglah, semesta berkonspirasi mendukungku. Sopir taksi berhasil melakukan perintahku tanpa hambatan berarti. Kira-kira empat puluh lima menit kemudian, taksi berhenti tak jauh dari sedan mewah putih yang terparkir di sisi jalan menuju pintu masuk taman di pinggir kota.

Soraya baru saja keluar dari mobilnya. Dia berjalan tergesa-gesa menuju pintu masuk taman sambil celingukan. Aku segera turun dari taksi lalu mengendap-endap membuntutinya.

Tempat ini sungguh di luar dugaan. Semak belukar di mana-mana, menutupi sebagian besar area yang seharusnya adalah wahana bermain anak-anak. Sama sekali tidak layak untuk tempat kencan rahasia seorang artis terkenal, kan? Mengingat selera Soraya, seharusnya itu di sebuah apartemen mewah.

Aku jadi teringat beberapa berita yang pernah kubaca. Taman sepi pengunjung yang dipenuhi semak-semak biasanya didatangi remaja tak cukup modal yang ingin bermesraan tanpa gangguan. Bagaimana mungkin ada laki-laki mapan waras mengajak Soraya berkencan di tempat seperti ini? Yah, kecuali kalau teman kencannya seorang remaja.

Aku baru saja hendak menertawakan pemikiran bodohku saat melihat sosok langsing Soraya sedang duduk di sebuah bangku taman berbahan kayu. Dan aku hampir lupa menyembunyikan diri saking terkejutnya setelah menyadari siapa laki-laki yang duduk di sampingnya.

Astaga! Dia benar-benar seorang remaja. Dan demi apa ... kenapa harus Julian Dimitria?

***

Duniaku rasanya jungkir balik. Apa artinya itu? Kenapa Soraya dan Julian bertemu?

Dari sekian banyak kemungkinan, Soraya Laraswati mengenal Julian Dimitria adalah hal paling mustahil terjadi di dunia. Jika mungkin pun, hubungan seperti apa yang mereka punya? Ya, Tuhan. Tolong beri hamba pencerahan.

Aku teringat lagi pada percakapanku dan cowok itu di halte bus. Dia tahu rahasia terbesarku. Apakah Soraya yang memberitahukan padanya? Sedekat apa hubungan mereka kalau begitu? Jangan-jangan ....

Tidak! Tolong jangan! Bukan laki-laki seperti dia yang ada dalam benakku sebelumnya. Julian Dimitria? Tahu apa dia soal tanggung jawab? Oke, aku tahu Julian berprestasi, anak emas yang dipuja-puji. Tapi, ayolah. Apa kata dunia kalau calon ayah tiriku adalah teman sekolahku? Memangnya ini judul sinetron model terbaru? Kupikir identitas sebagai anak kandung Soraya Laraswati adalah masalah terbesar yang bisa menimpaku. Ternyata ada yang jauh lebih buruk dari itu.

"Aramintha, kamu sudah ditunggu Bu Gina di ruang BK," Bu Bertha mengumumkan begitu beliau memasuki kelas.

Aku berdiri dengan gontai. Tak kuhiraukan tatapan Velove yang seolah-olah ingin mengulitiku. Aku tahu dia marah karena pesannya tak kunjung kubalas dan teleponnya kuabaikan. Bisik-bisik teman-teman sekelas terdengar seperti dengung lebah, menjadi musik latar yang mengiringi langkahku. Seandainya mereka tahu bahwa ada bahan gosip yang jauh lebih menarik untuk dipergunjingkan. Kuharap bumi menelanku saat berita buruk itu terkuak.

Astaga! Apa yang baru saja kupikirkan? Itu belum tentu benar! Ya, belum tentu mereka ada hubungan apa-apa, 'kan? Tapi usaha penghiburan diriku tak berefek apa pun. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dua orang yang paling tak ingin kulihat saat ini. Soraya pasti sudah ada di ruang BK, siap menunggu keluhan dari Bu Gina mengenai kelakuanku. Dan Julian .... Ya Tuhan, rasanya seakan-akan aku sedang berjalan menuju tempat penyembelihan.

"Silakan masuk, Aramintha."

Aku terkinjat. Kuedarkan pandangan sekeliling. Ya, ampun. Aku bahkan tak menyadari sudah tiba di ruangan terkutuk ini. Tatapanku tertumbuk pada Soraya yang kelihatan cemberut. Dia mengenakan longdress putih bermotif bunga, terlalu sederhana dibanding berderet-deret pakaian yang tergantung di ruang ganti pribadinya. Dan apa-apaan kacamata hitamnya itu? Ini di ruangan, demi Tuhan.

Kuamati ruangan Bu Gina. Tidak ada tanda-tanda Julian di sini. Tapi, baru saja aku hendak mengembuskan napas lega, terdengar suara langkah-langkah kaki di belakangku. Seorang laki-laki paruh baya melangkah masuk dengan gagahnya. Sesaat kupikir dia Lee Min-ho. Tapi, setelah Julian muncul di belakangnya, kurasa dia pasti wali cowok itu. Mungkin ayahnya? Kalau diperhatikan dengan saksama, wajah mereka lumayan mirip. Terutama di bagian hidung, luar biasa mancung. Dan tinggi mereka sama menjulangnya.

Kuputuskan untuk fokus mengamati Julian. Jangan sampai mataku luput mengamati setiap detail ekspresinya. Adakah tanda-tanda yang menunjukkan gelagat mencurigakan? Tapi aku harus menelan kekecewaan karena cowok itu bahkan tak terkejut saat melihat Soraya. Atau dia terlalu lihai menyembunyikannya?

Rona keterkejutan justru tampak di wajah Tuan Lee Min-ho gadungan. Dia hanya mematung di depan pintu. Menatap ke arahku, eh, bukan, ke arah Soraya yang tiba-tiba saja sudah berdiri dari duduknya. Kacamata hitamnya perlahan dilepaskan, sehingga aku bisa melihat matanya yang melebar, selebar senyuman di bibirnya yang berlipstik merah.

Tunggu, tunggu. Kenapa rasanya seperti di adegan drama Korea?

***

Rasanya aku tak sanggup lagi berdiri. Diberi hukuman bersih-bersih lingkungan sekolah selama sebulan tak ada apa-apanya dibanding kenyataan yang baru saja kuketahui.

Tapi, sejujurnya, fakta ini masih lebih melegakan dibandingkan dugaanku sebelumnya. Syukurlah Julian tidak akan jadi ayah tiriku. Kami justru akan jadi saudara tiri. Itu hanya terjadi jika ayah Julian menikahi Soraya. Sepertinya tidak. Tuan Lee Min-ho gadungan masih beristri, yang mana adalah ibu kandung Julian.

Tapi, setelah dipikir-pikir, aku jadi tak yakin fakta mana yang lebih kusesali dan kusyukuri.

"Kemarin saya sudah tegaskan pada Anda di taman ini, tepat di bangku ini. Saya serius dengan ancaman saya. Kalau Anda masih nekat menuntut tanggung jawab, aib Anda di masa lalu akan saya beberkan ke media," Julian menatapku setelah mengatakan itu. Ucapannya terdengar tenang, setenang ekspresi wajahnya.

Aku bisa menebak maksud kata-kata yang ditujukan untuk Soraya itu. Dia membahas soal aku.

"Dan Papi belum lupa sama kesepakatan kita, kan? Kalau Papi mau hidup tanpa punya aset berharga lagi, silakan tinggalkan Mami dan nikahi artis sinetron ini. Tapi, aku yakin dia nggak akan mau hidup seadanya sampai tua bareng Papi."

Ya, ampun. Aku sungguh terkesima, sampai-sampai tak tahu apakah harus mematahkan hidung bangir Julian atau bersorak untuk mendukungnya. Soraya dan Tuan Lee Min-ho gadungan malah tak berkutik.

"Dan soal bayi itu, jangan pernah kaitkan dia dengan keluarga Dimitria. Saya nggak mau Mama saya tahu tentang dia."

Aku tertegun. Jadi nasib bayi itu akan sama denganku? Dan kenapa rasanya hanya Soraya yang jadi terdakwa di sini? Sekonyong-konyong, ada setitik api kemarahan yang mulai menyala di dadaku.

"Nggak bisa gitu, dong!"

Tiga pasang mata menoleh ke arahku. Yang kutantang tentu saja mata Julian si Tuan Sempurna.

"Itu nggak adil, Julian! Nyokap gue nggak dinikahi bokap lo, oke, fine! Walaupun kalau gue boleh jujur, sejak tadi lo terkesan cuma nyalahin nyokap gue atas perselingkuhan mereka. Gue yakin mereka melakukannya suka sama suka. Yeah, memang menjijikkan, tapi bokap lo juga bersalah!"

Rahang Julian mengeras. Tuan Lee Min-ho gadungan bergerak-gerak gelisah dalam duduknya.

"Jadi supaya adil, nyokap lo harus tahu soal bayi itu. Biarkan nyokap lo yang kasih hukuman buat bokap lo. Masa nyokap gue doang yang kena? Enak aja! Dan bayi itu bukan benda, Julian. Kalau lo belum lupa, darahnya sama dengan darah lo!"

"Cukup, Ara." Suara dingin Soraya membuat kata-kata yang masih ingin kumuntahkan terhenti begitu saja. "Ayo, kita pulang. Kita nggak ada urusan lagi dengan mereka." Dia lantas berdiri dengan gerakan menyentak. Dagunya terangkat tinggi.

"Tapi—"

"Pulang! Sekarang!"

***

Sejak kejadian di taman telantar itu, hubunganku dan Soraya berkembang dua tingkat lebih baik. Kami mengobrol lebih sering. Bahkan, ada perubahan sikap yang cukup signifikan darinya. Rasanya dia mulai belajar memosisikan diri sebagai ibu yang sebenarnya.

Saat ini usia kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan. Bayinya perempuan. Soraya memutuskan mundur dari dunia keartisan dan memilih untuk membangun kembali bisnis keluarga yang selama ini ditinggalkannya begitu saja. Kakek dan nenekku adalah pengusaha katering yang cukup terkenal pada masanya. Dan meskipun sebelumnya Soraya tak menampakkan minat sedikit pun pada usaha itu, ternyata dia cukup jago meracik bumbu dan mengolah masakan. Para pegawai yang dulu mengabdi pada Kakek dan Nenek kembali diberdayakan.

Tapi bukan berarti tidak ada gejolak apa pun. Media infotainment masih mengulas tentang menghilangnya Soraya dari jagat hiburan tanah air. Beberapa bahkan menebak dengan tepat apa yang terjadi. Syukurnya, Mbak Sitta bisa meredam isu itu dengan caranya.

Mengenai Julian, beberapa kali dia hendak mendekatiku di kantin, di perpustakaan, dan di mana pun tempat yang memungkinkan baginya untuk mengajakku bicara. Tapi, aku cukup terlatih menghindarinya. Yang merepotkan justru menghadapi Velove. Dia masih belum menyerah untuk percaya bahwa ada sesuatu di antara aku dan Julian. Yah, dia tidak salah. Kami hampir jadi saudara tiri, 'kan?

"Rasanya gue ngelihat Julian di lapangan basket." Velove berbisik. Pak Iffan, guru olahraga Nusa Buana sedang menjelaskan sesuatu tentang permainan bola voli padaku dan teman-teman yang duduk berselonjor di tengah-tengah lapangan voli. "Ngapain dia di situ? Kelas IPA-1, kan, nggak olahraga. Eh, dia nggak pakai seragam olahraga, kok."

Tak kuacuhkan kicauan Velove yang semakin hari membuatku kesal saja. Tiada hari tanpa nama Julian yang keluar dari bibirnya. Benar-benar memuakkan.

"Ara! Dia kayaknya mau ke sini, deh."

"O, ya? Kibas pom-pom sana buat nyambut dia."

Velove malah menyikut pinggang kananku. "Serius, Ara. Tuh, dia lari-lari kenceng amat." Sahabatku yang cerewet itu tak lagi berbisik.

Seharusnya aku tak menoleh. Tapi kepalaku memutar ke arah lapangan basket begitu saja. Velove benar. Julian tampak berlari sekuat tenaga, wajahnya memerah, dan anehnya dia juga kelihatan syok.

"Julian? Ada apa?" Pak Iffan bertanya keheranan setelah Julian tiba di lapangan voli.

Cowok itu membungkuk seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Napasnya terengah-engah. Keringat mengalir di pelipisnya hingga turun ke dagunya yang berbelah.

"Ara ... Aramintha ...," ucapnya dengan suara parau.

Aku melengos. Drama terbaru apa lagi ini?

Kutangkap pandangan semua orang di lapangan, membuatku berdiri dengan enggan. "Apa?" ketusku.

Julian tiba-tiba menarik tanganku, menyeret lebih tepatnya, hingga kami berdiri cukup jauh dari yang lain. Cowok itu menelan ludah dengan susah payah.

"Tadi Bu Bertha ngajar di kelas gue." Julian berhenti, cukup lama sampai membuatku semakin kesal. Tapi sebelum aku sempat melontarkan kata-kata penuh kekesalan, dia melanjutkan, "Bu Bertha nerima telepon dari seseorang bernama Sitta. Dia udah nelepon lo, tapi nggak lo angkat."

"Ponsel gue di loker."

Julian mengangguk paham. "Dia bilang ... dia bilang ponakan lo—adik lo udah lahir."

Mataku membulat. Ya, Tuhan. Sekarang bahkan belum waktunya. Tapi mau tak mau aku tetap tersenyum. Terserah jika Julian merasa tak senang. Wajahnya menyiratkan itu saat ini.

"Rumah sakit mana?" tanyaku tak sabar.

Tapi, Julian kembali terdiam. Dia menatapku dengan ekspresi ganjil. Kasihan? Penyesalan?

"Gue minta lo jangan histeris."

Keningku berkerut. "Apa maksud lo?" Pikiran buruk mulai muncul di otakku. Jangan-jangan ... bayinya ....

Julian mencengkeram kedua bahuku. Mungkin karena dia pikir aku akan pingsan atau semacamnya. Belum. Kakiku masih bisa merasakan tanah. Segalanya juga masih kelihatan jelas. Tapi, tidak setelah dia berkata, "Nyokap lo, dia meninggal dunia."

THE END


Assalamu'alaikum, hai sahabat Wattpad. Aku Tiara (username: TiaraWales) berasal dari salah satu kota di Riau, Sumatra. Nggak pernah punya cita-cita jadi penulis. Tapi, punya hobi membaca mempertemukanku dengan Wattpad lalu seiring waktu terbetik keinginan untuk membuat karya tulis yang sesuai dengan imajinasiku.

Karya-karyaku kebanyakan bergenre Romance. Meski begitu, Thriller dan Fantasy adalah bacaan wajibku.

Karya pertamaku yang mendapat banyak perhatian dari pembaca Wattpad berjudul Turn On, merupakan cikal bakal dari #TurnSeries. Hingga saat ini sudah 4 seri Turn yang aku luncurkan.

Waktu luang biasanya kuhabiskan bersama dua jagoan cilik yang terkadang protes kenapa bundanya suka nonton drakor dan terlalu asyik berkutat dengan ketikan di ponsel serta laptop (I'm so sorry, Kiddos).

Potterhead sejak SMA sampai umur lewat kepala tiga dan nggak pernah bosan baca dan nonton ulang semua serinya.

Akhir-akhir ini tertarik dengan cerita bertema mental illness, tapi nggak pernah pede bikin karya serupa. Dan aku berharap bisa bikin cerita dongeng anak-anak suatu hari nanti.

Sekian perkenalan singkatku. Senang bisa menyapa kalian semua. Peluk cium virtual dariku. Wassalamu'alaikum. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro