"Menunaikan Janji" - AntheaFeather
MENUNAIKAN JANJI
A short story by AntheaFeather
Kota Kertagama, 16 Agustus 2070
Hasil tangkapan layar tersebut, meski direkam dengan kamera televisi sirkuit tertutup beresolusi 8K UHD, tetap saja terlihat buram karena diunggah, diunduh dan dibagikan beratus-ratus kali dalam berbagai forum dan komunitas; baik secara internal siswa SMA Negeri 1 Kertagama sendiri, antar wali murid dan guru, atau bahkan hingga ke SMA lain. Mungkin hanya tinggal menunggu hitungan menit atau jam agar foto tersebut tersebar luas secara nasional hingga masuk berita pagi keesokan hari.
Lembayung Pramesti, ketua kelas 11 Sains 1, tafakur menatap foto yang diterimanya dari Senandika Bahita, ketua kelas 11 Sains 3, beberapa detik lalu. Sekilas, ruangan di dalam foto tersebut tampak seperti laboratorium bahasa karena terdiri dari kubikel-kubikel kecil lengkap dengan penyuara jemala tergantung di tiap sisi dinding dan satu meja besar di tengah sebagai pusat kendali suara. Namun, ada yang berbeda dari ruang laboratorium yang biasa Bayu kenal, karena ada sesosok pria berdiri di tengah ruangan dengan posisi membelakangi kamera. Beliau tidak terlihat seperti guru atau petugas kebersihan yang diperbolehkan keluar masuk ruang kelas selepas jam belajar mengajar melalui konferensi digital Buzz selesai. Bayu juga tidak mengerti mengapa kepala sekolah mereka tetap menggunakan ruang-ruang kelas kosong sebagai latar belakang kelas daring dan mempertahankan tatanannya sedemikian rupa sampai lima puluh tahun dan melewati beberapa kali generasi kepala sekolah, di saat anak-anak bahkan tidak pernah meninggalkan rumah masing-masing untuk belajar di sekolah.
Pakaian pria dalam foto tersebut tampak kuno dan warnanya memudar, seperti tidak sengaja tercampur deterjen pemutih saat dicuci. Bayu tahu betul, karena ia pernah secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang sama dan diomeli mamanya selama seminggu penuh. Pria itu berdiri tegak dengan salah satu tangan terlipat di punggung sedangkan tangan yang lain memegang tongkat berhias kepala naga di bagian kepalanya. Mungkin jika sekolah mereka berjalan seperti kegiatan belajar mengajar yang biasa dilakukan para murid pada lima puluh tahun yang lalu, mereka juga akan mengalami sensasi berdandan dengan pakaian daerah untuk karnaval hari kemerdekaan atau hari pahlawan. Belum ada yang tahu siapa pria itu, mengapa dia berada di sana pada menjelang sore hari, dan ada apa dibalik kemunculannya yang kurang dari tiga detik itu lalu tiba-tiba lenyap seperti menyatu dengan udara.
Tidak begitu lama dari pesan Sendi, Gantari Pembayun, ketua kelas 11 Sosial 6 mengirimkan foto yang diambil dari jepretan buku sejarah. Kali ini gambar yang dikirimkan beresolusi tinggi dan pikselnya tidak pecah meski mengalami perbesaran beberapa kali. Bayu mengamati foto paling baru yang dikirimkan ke dalam grup obrolan para ketua kelas 11, bersisian dengan gambar pertama yang membuat gempar seisi sekolah dalam satu layar penuh monitor komputernya.
Bayu memijit pelipisnya dengan ujung jari. Semua informasi yang masuk dengan cepat dan beruntun ini agaknya membuat pusing juga. Ditambah lagi ia baru saja menyelesaikan tugas esai 500 kata dalam bahasa Jepang tentang seni merangkai bunga dan 20 nomor soal termodinamika tipe A dengan tingkat kesulitan mendekati soal Olimpiade Kimia. Memikirkan tentang kejadian seram di sekolah bukanlah rencana Bayu, dan ia harus tetap rasional dalam menyikapi kejadian ini.
Bayu memutar bola matanya dengan gemas. Sepupu jauhnya dari pihak Ibu ini memang besar mulut dan suka pamer. Ia terlalu membanggakan garis darah biru di keluarganya sejak mengetahui hal tersebut beberapa tahun lalu sebelum mereka lulus SMP, padahal garis kekerabatan mereka sudah terlampau jauh dari pemimpin tanah Jawa yang sesungguhnya. Apalah jadinya seorang pangeran tanpa tahta dan mahkotanya?
Tidak ada gunanya.
Bayu menggelengkan kepalanya. Ia bukan tidak percaya dengan hantu, tetapi sebagai anak yang dibesarkan dalam sisa-sisa kebudayaan Jawa yang masih dipertahankan hingga sekarang, ia tahu bahwa waktu adalah variabel yang paling diperhitungkan oleh orang Jawa kuno.
Mereka membuat sistem penanggalan yang rumit pada masa itu, setiap minggu (wuku) dalam satu tahun memiliki nama dan karakteristik yang berbeda-beda. Setiap hari memiliki nilai neptu berbeda-beda dan kombinasi angkanya menjadi hitungan weton yang dipakai untuk memperhitungkan mulai dari hari baik untuk menikah, pindah rumah, sampai perhitungan setelah seseorang tersebut meninggal.
Sekarang mungkin perhitungan semacam itu sudah mulai dilupakan oleh kebanyakan orang, hilang tergerus oleh kecanggihan teknologi dan anggapan bahwa ilmu tersebut tidak berlaku lagi. Kedaluwarsa. Tetapi bagi keluarga Bayu, ilmu tersebut masih selalu dipegang erat, dan meski Bayu masih terlalu muda untuk memahami perkara semacam ini, tetapi ia cukup pandai dalam matematika, dan baginya itu sudah cukup untuk jadi modalnya dalam menganalisa fenomena ini. Tidak peduli seberapa mistis dan anehnya kejadian ini, tetapi pasti ada makna di baliknya yang ingin para makhluk itu sampaikan pada mereka. Dan saat ini ia harus segera bertindak agar rumornya tidak semakin memburuk.
Bayu menghela napas panjang melihat respons teman-temannya. Sejak terpilih menjadi ketua dari seluruh ketua kelas kelas 11 di sekolahnya, beberapa orang menggunakan status baru ini untuk meledeknya. Mungkin beberapa diantaranya melakukan hal tersebut sebagai bahan bercandaan, tetapi beberapa yang lain terasa seperti sentimen pribadi. Semoga ini cuma perasaan Bayu saja yang terlampau sensitif.
Bayu mengunduh tiga video dari Ferdian, ditambah video terbaru yang tersebar hari ini. Ia memutuskan untuk mulai menonton dari video yang pertama, tertanggal 28 Juli 2070. Dalam video tersebut terlihat ruang kepala sekolah yang lengang dan kosong. Sepertinya video ini direkam dengan kamera infra merah pada malam hari, karena terlihat gelap dan agak buram.
Bayu duduk menyandar di kursi belajarnya, mata terfokus pada layar monitor untuk mengamati detail ruangan tersebut. Perlahan-lahan muncul asap putih tipis dari sudut rak yang berisi piala dan piagam para murid berprestasi, lalu tiba-tiba muncul sesosok wanita dari asap tersebut. Wajahnya terlihat rupawan meski dalam gelap, beliau memakai sanggul melati, kebaya dan jarik, serta ada mahkota emas di puncak kepalanya. Tidak terlihat jelas warna pakaian beliau, tetapi yang bisa Bayu amati mahkota kecil di kepalanya berbentuk lingkaran bertahta batu-batu mulia dan permata. Bagian lutut ke bawah wanita ini tidak terlihat, beliau hanya berdiri di satu titik dalam ruangan tersebut, sebelum hilang kembali dalam asap. Video tersebut hanya berdurasi 4 detik, untung saja Bayu terpikir untuk menontonnya dengan kecepatan 4 frame per detik agar bisa mengamati kejadian tersebut dengan jelas.
Bayu mendorong kacamatanya naik ke puncak hidung. Menarik. Awalnya ia kira serangkaian video penampakan di sekolah tersebut hanya menunjukkan hantu yang sama di berbagai tempat, tetapi perkiraannya salah. Siapa wanita ini? Mungkinkah dia ratu atau putri dari kerajaan di masa lampau karena memakai mahkota? Apa yang mereka lakukan di sekolah Bayu pada malam hari? Apakah ada sejenis pertemuan para makhluk gaib tingkat tinggi? Untuk apa?
Bayu teringat dengan pria di lab bahasa. Gantari bilang jika kemungkinan pria itu adalah pepatih dalam dilihat dari pakaiannya. Sayang sekali di sini tidak bisa terlihat jelas pakaian yang dikenakan sang putri. Namun, jika ada putri dan pepatih, mungkin sisanya adalah...
Bayu memutar video nomor dua dari yang paling lama, rekaman di gedung serbaguna tanggal 5 Agustus. Udara dingin tiba-tiba menyeruak masuk dari jendela kamar Bayu yang dibiarkan agak terbuka menghadap taman kecil di samping rumah, membuat Bayu menggigil kedinginan. Padahal tadi siang cuaca terasa begitu panas hingga Bayu sampai menghabiskan dua gelas es teh lemon saking gerahnya. Bayu menatap lekat layar monitornya. Video ini berdurasi paling lama dari setiap video yang sudah ada, hampir mendekati setengah menit.
Sesosok pria tinggi besar dan berotot muncul dari depan pintu berdaun ganda ruang serba guna. Sepertinya dia sosok paling tinggi yang pernah Bayu lihat, mungkin lebih dari dua meter. Bayu menahan napas. Beliau melompat, salto di udara lalu melakukan gerakan seperti kuda-kuda pada ilmu bela diri. Kemudian sosok tersebut menghilang dan muncul lagi tepat di tengah ruangan seraya berjongkok, seolah mengunci lawannya yang tak kasatmata di lantai. Setelah gerakan yang terlihat seperti akrobat tadi selesai dipertontonkan, sosok tersebut kembali menghilang, dan kali ini tidak muncul kembali.
Ada pepatih, sang putri, dan sosok yang terlihat seperti memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa—mungkin seorang jenderal atau pemimpin pasukan. Lalu yang terakhir...
Jari telunjuk Bayu refleks membuka tautan dari Gantari yang membawanya langsung ke laman resmi kota mereka, alih-alih melanjutkan menonton video yang terakhir. Ada ulasan singkat mengenai Kota Kertagama, alasan mengapa Bapak Presiden ke-10 mengganti nama kota yang mereka tinggali menjadi Kota Kertagama. Bayu sudah mengetahui itu semua sejak ia duduk di bangku SD, jadi ia melewatkan beberapa paragraf di awal.
Tubuh Bayu berguncang hebat ketika membaca bagian tersebut. Lekas-lekas ia mengirimkan pesan balasan untuk Gantari.
"Bayu! Sudah selesai sekolahnya?" itu suara Ibu Bayu. "Ayo makan dulu Nak, nanti baru belajar lagi."
Indikator baterai ponsel Bayu menunjukkan warna kemerahan pertanda dayanya melemah. Bayu meletakkan ponselnya di atas pengisi daya nirkabel sebelum meninggalkan kamarnya menuju ruang makan. Ia masih belum menutup jendela dan gorden.
Bayu tidak menyadari engsel jendelanya berderit karena tertiup angin dan layar ponselnya yang semula mati tiba-tiba menyala. Obrolan terakhirnya dengan Gantari masih terlihat di halaman muka.
Saat Bayu kembali ke kamar setelah makan malam, mengobrol dengan orang tuanya dan menonton siaran drama yang sedang berlangsung hingga pukul sembilan malam, ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Gantari, Senandika dan sepupu jauhnya Idham. Keningnya berkerut, mengapa orang-orang ini mencarinya di saat jam sekolah telah berakhir?
Bayu membuka ponselnya. Ada pesan terkirim untuk orang-orang tersebut, tetapi berani sumpah bukan dia yang menulisnya.
Keringat dingin mulai mengucur dari telapak tangan dan tengkuk Bayu. Udara malam ini mendadak terasa begitu mencekam hingga tubuhnya sedikit gemetar. Ketiga pesan darinya dikirim dengan pola yang sama dan pada waktu bersamaan. Ini tidak mungkin terjadi. Bukan dia yang melakukan.
Bayu memeriksa akunnya untuk mencari-cari tanda pembobolan, tetapi tidak ditemukannya. Akunnya baik-baik saja, ayahnya tentu sudah memproteksi akun sosial media Bayu karena beliau bekerja di perusahaan keamanan siber paling besar di kota ini dan pernah bekerjasama dengan lembaga telik sandi nasional. Lagipula siapa yang mau meretas akun anak SMA yang isinya hanya kumpulan soal-soal olimpiade dan esai.
Mau tidak mau, Bayu teringat dengan sosok-sosok di video yang tadi diterimanya. Mereka ada, dan sepertinya mereka sedang menggeliat dan beraktivitas kembali, entah untuk keperluan apa. Segalanya mungkin saja terjadi jika berhubungan dengan makhluk-makhluk selain manusia.
Bayu buru-buru mengirimkan pesan klarifikasi kepada tiga orang temannya dan mengatakan bahwa ponselnya mungkin mengalami gangguan dan tidak sengaja mengirim pesan tersebut. Bayu juga mengimbau agar mereka tidak melanggar protokol pemerintah. Tetap di rumah, jangan meninggalkan rumah jika tidak terlalu penting dan jangan lupa pakai masker serta membawa antiseptik. Hanya dua dari tiga orang yang membalas. Gantari tampak lega, tetapi ia menyarankan Bayu agar lebih berhati-hati lagi di sosial media dan menggantinya kata sandi sesegera mungkin. Idham tampak kecewa, padahal jika mereka berempat menuruti ajakan yang tidak jelas itu bisa jadi ini pertama kalinya mereka bertemu selama lebih dari satu tahun setengah hanya berkomunikasi lewat dunia maya.
Keriutan daun jendela yang tertiup angin membuat Bayu berjingkat dan nyaris jatuh dari kursinya. Ia tidak bisa melihat atau merasakan keberadaan makhluk atau makhluk-makhluk tersebut, tetapi ada tarikan kuat dari dalam dirinya yang membuat Bayu ingin berdiri dari kursi ini, memakai jaket, sepatu dan masker standar yang ditetapkan oleh pemerintah, lalu melompat keluar dari jendela.
Bayu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, ia tidak boleh tergoda dengan rayuan mereka. Almarhum Kakek Bayu, Gusti Raden Tumenggung Kartasasmita Widjayanto pernah memberitahunya satu rahasia tentang para lelembut dunia gaib. Jangan mengikuti panggilan mereka. Perintahkan mereka untuk mengikuti aturan manusia. Pada saat itu, Bayu yang masih belum genap sepuluh tahun balik bertanya pada beliau mengapa mereka harus saling memerintah? Mengapa tidak hidup berdampingan saja dengan rukun? Tetapi sorot mata kakeknya yang biasanya teduh dan penuh wibawa tersebut berubah menjadi nyalang seolah telah menyimpan amarah yang terlalu lama terkubur.
Entah kejadian apa yang telah terjadi antara manusia dan bangsa lelembut selama lima puluh tahun belakangan hingga kakeknya semurka itu, tetapi Bayu sudah bertekad untuk tidak akan ikut campur soal urusan ini. Apapun yang terjadi, dia tidak akan mendengarkan panggilan mereka dan tetap di rumah.
Ponsel Bayu bergetar tanpa henti, menandakan panggilan telepon yang masuk. Bayu mengangkatnya tanpa melihat nama peneleponnya.
"Kapten, rumahku j-jauh," itu suara Sendi. Bayu hafal suara teman-temannya karena sering mendengar saat rapat ketua kelas dengan wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.
"Sendi, kamu di mana? Siapa yang nyuruh kamu? Kan saya sudah saya..." Bayu menepuk dahinya dengan telapak tangan. Sendi satu-satunya orang yang tidak membaca pesan klarifikasi Gantari. "Rumah kamu di mana? Pulang Sendi, ini sudah malam."
"A-aku tadi kabur dari rumah, ini udah jalan kaki sampai Maospati tapi ternyata masih jauh." Suaranya bergetar, mungkin Sendi ketakutan atau kedinginan. Bayu berdiri di ambang jendela. "Aku nggak berani pesan taksi daring dari rumah, jadi aku pesan setelah di sini, tapi nggak ada yang terima."
Tentu saja! Jam terakhir beroperasi taksi ataupun kendaraan umum lainnya maksimal pukul tujuh malam dan yang melanggar peraturan ini akan dikenakan denda dan sanksi penarikan kendaraan. Tidak ada orang yang rela mengorbankan uang mereka untuk membayar denda dan kendaraan mereka diambil oleh pemerintah daerah sampai waktu yang tidak ditentukan.
"Kalau kamu jalan pulang lagi masih bisa?" tanya Bayu.
Panggilan baru masuk ke nomor Bayu. Ia melirik layarnya sekilas, Idham yang menelepon. Bayu mengangkat dan menyambungkannya ke dalam obrolan dengan Sendi hingga kini mereka bisa mengobrol bertiga.
"S-siapa ini yang baru masuk?" Sendi mencicit lemah. "Ada orang lain lagi selain aku?"
"Woi," sahut Idham. "Siapa nih si gagap? Kok kayak suaranya Senandika? Ngomong-ngomong, jadi nggak nih, sepupu? Gue udah di dalam mobil, nyolong punya abang."
"Idham di mana?" sebuah ide brilian tiba-tiba terlintas di benak Bayu. "Nggak ada yang bakal ke sekolah hari ini. Idham, tolong jemput Sendi di jalan Maospati dan antarkan pulang. Setelah itu kamu segera kembali ke rumah dan—"
Ponsel Bayu kembali bergetar. Gantari mengirimkan sebuah lokasi melalui pesan singkat. Bayu membuka lokasi tersebut dan melihat bahwa temannya itu sudah berada di area sekolah. Bayu terkesiap, Idham dan Sendi yang mendengar dari balik telepon menjadi kembali siaga.
"Siapa itu?" tanya keduanya nyaris bersamaan.
"Gantari udah sampai di sekolah."
Bayu bisa memaklumi jika Sendi orang yang cukup ceroboh dan mudah percaya dengan segala kata-kata yang didengar tanpa berpikir panjang. Atau Idham yang sedikit pemberontak dan bahkan langsung mengiyakan pesan aneh tersebut tanpa bertanya. Tetapi Gantari, wakil ketua kelas seluruh kelas 11 yang pernah memenangkan medali emas pada olimpiade pengetahuan umum daring internasional tahun lalu, bisa-bisanya terjebak dalam situasi seperti ini.
"Idham, kamu di mana?" Bayu berusaha menguasai dirinya meski bulu kuduknya meremang dan ujung-ujung jarinya bergetar hebat.
"Baru sampai Yos Sudarso."
Bayu menghitung jarak di antara mereka dengan cepat.
"Kalau begitu, tolong jemput Sendi di Maospati, terus jalan sampai HR Muhammad, nanti aku tunggu di sana dan kita langsung ke sekolah."
Bayu memejamkan matanya, dalam hati berdoa semoga Gantari baik-baik saja di sekolah. Jika memang para lelembut yang tidak sengaja tertangkap kamera televisi sirkuit tertutup tersebut bukanlah makhluk sembarangan seperti dugaan mereka, mungkin saja Gantari dalam bahaya.
Bayu menjinjing sepatu kets mulus yang hampir tidak pernah dipakai sambil mengendap-endap menuju pintu belakang dekat dapur. Dulu ia menertawakan sepatu putih yang dikirim lewat paket tersebut dan mengatakan ibunya buang-buang uang untuk membeli barang yang tidak akan dipakai. Tetapi ibunya hanya mengangkat bahu sambil berlalu ke arah ruang kerja untuk melanjutkan menulis laporan. Ia sudah berganti pakaian dengan celana denim, baju hangat, memakai masker dan jaket serta membawa masker cadangan di kantong celana untuk berjaga-jaga. Ponselnya tersimpan rapat di saku jaket yang dikunci dengan ritsleting. Kartu identitas yang juga berfungsi sebagai kartu pembayaran nontunai melingkar dengan rapi di lehernya. Tak lupa ia menjinjing jaket bersih untuk diberikan pada Sendi, karena dia terdengar seperti orang yang lupa membawa pakaian pelindung.
Seperti dugaannya, pintu samping lebih mudah dibobol karena masih memakai kunci manual. Ia bisa saja melompat lewat jendela kamar jika usianya lima tahun dengan berat badan 12 kilo, sehingga bisa meloloskan diri lewat celah sempit. Bayu meletakkan sepatunya dengan tanpa suara, untung saja ia terpikir untuk memakai kaus kaki sehingga lebih mudah masuk ke dalam sepatu. Bayu menahan napas hingga berhasil melompati dinding pagar setinggi pinggang orang dewasa, lalu berlari sekuat tenaga hingga ke jalan depan kompleks.
Bayu tidak pernah berlari sepanjang umurnya. Mungkin pernah waktu balita dan hanya di dalam rumah saja, tetapi dengan sangat mengejutkan ia sama sekali tidak kehabisan napas sampai jalan depan yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter.
Bayu tidak perlu menunggu lama untuk jemputannya karena dari kejauhan terlihat sedan hitam melaju kencang ke arahnya. Satu-satunya kendaraan yang melintas di jalanan sesenyap ini. Bayu langsung melompat masuk setelah kendaraan tersebut berhenti dengan mulus. Tidak ada waktu untuk saling menyapa, Idham yang berada di balik kemudi langsung menyodorkan antiseptik untuk Bayu dan ia melemparkan jaketnya ke arah anak laki-laki mungil yang mendekam di jok belakang. Sesuai dugaannya, Sendi hanya memakai kaus lengan pendek, celana selutut dan sandal jepit. Benar-benar penampilan seorang anak yang minggat dari rumah. Sendi buru-buru memakai jaket pemberian Bayu sambil berterima kasih dengan suara lemah.
Mereka berkendara dalam diam, Idham yang biasanya banyak omong dan besar mulut di grup obrolan justru lebih sering diam, hanya suara Bayu sesekali terdengar untuk memberikan gambaran singkat pada teman-teman timnya tentang keadaan yang akan mereka hadapi.
"J-jadi, mereka yang ada di rekaman video itu p-penguasa tanah Jawa?"
"Gaib," ralat Bayu. "Penguasa gaib tanah Jawa."
"Dan salah satunya Kanjeng Ratu Selatan?" tanya Idham. Bayu menatap sepupu jauhnya lekat dari kaca spion tengah.
"Mungkin, tapi belum tentu beliau. Kamu pernah dengar cerita tentang beliau juga?"
Idham mengangkat bahunya, "Secara garis keturunan, aku masih punya kekerabatan dengan bangsawan Mataram Baru dan Kanjeng Ratu Selatan, sementara yang aku dengar tentang keluargamu, mereka masih memiliki darah bangsawan Mataram Lama."
Hal tersebut menjelaskan banyak sekali perbedaan di antara Idham dan Bayu. Mulai dari namanya yang cenderung islami—menunjukkan garis Mataram Baru di era setelah masuknya agama Islam—hingga tidak adanya kekerabatan secara langsung antara keluarga besar keduanya, selain sama-sama masih membawa darah biru.
Idham memarkirkan kendaraannya di bawah pohon angsana tepat di luar area sekolah, lalu ketiganya menelusuri halaman depan yang sangat luas itu. Lampu-lampu di bagian dalam gedung sekolah mati sepenuhnya, membuat bangunan tersebut menjadi gelap gulita dan menambah kesan seram. Bayu berjalan di depan, Sendi di tengah sambil menggenggam erat bagian belakang jaket Bayu, dan Idham di belakang sendiri. Bayu menggunakan sorotan lampu dari ponselnya untuk menerangi jalan, sambil terus mencoba menghubungi Gantari. Terakhir kali mereka berkomunikasi adalah saat Gantari mengirimkan lokasinya. Sejak itu ponsel Gantari seolah dinonaktifkan dan mereka kehilangan jejaknya.
Mereka telah mengitari separuh bangunan hingga tiba di pintu depan ruang serbaguna. Bayu teringat dengan video yang Ferdian kirimkan padanya. Bayu mendorong pintu tersebut dengan seluruh tubuhnya tanpa ragu-ragu hingga terbuka lebar lalu menggiring yang lain untuk masuk ke dalam.
Ruangan tersebut meski tidak pernah dimasuki oleh orang selain petugas kebersihan tampak mengkilap dan bebas debu. Bayu memanggil nama Gantari beberapa kali tetapi hanya gema yang terdengar bersahutan.
"B-bay-yu, m-mungk-kin..." rahang Sendi bergemeletuk kencang hingga pemuda malang tersebut tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Suara dentuman kencang terdengar dari luar ruang serbaguna. Mereka bertiga berlari ke arah pintu tetapi meski tiga orang remaja berusaha menarik dengan sekuat tenaga, pintu tersebut tetap bergeming. Suara dentuman kedua yang terdengar jauh lebih kencang dari yang pertama diikuti dengan tremor kecil. Gunung meletus kah, atau meriam? Bayu memerintahkan teman-temannya untuk merunduk dan mencari perlindungan. Kota Kertagama memang terletak di antara dua gunung berapi yang masih aktif. Menghadapi situasi seperti ini bukanlah hal yang asing bagi warga setempat, bahkan meski mereka masih anak-anak. Belum lagi reda keterkejutan mereka, suara teriakan anak perempuan terdengar lantang dari arah lapangan.
"Gantari," tebak Bayu. "Itu Tari. Ayo keluar! Setelah kita dapat Gantari, kita langsung pulang, ya."
Bayu kembali berdiri tegak dan melanjutkan upayanya untuk membuka pintu. Kali ini pintu tersebut terbuka dengan mudah, seperti saat pertama kali mereka masuk. Tepat di hadapan Bayu, di tengah-tengah lapangan, berdiri sosok perempuan mungil dengan kepala tertunduk dan rambutnya jatuh ke depan hingga menutupi sekujur wajah.
Sosok Gantari perlahan-lahan mengangkat kepalanya lalu menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Bayu dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada seolah memberikan penghormatan.
Bayu mundur selangkah, menabrak Sendi dan Idham yang berdiri di belakangnya dengan mematung. Mungkin ini pertama kalinya bagi mereka melihat sikap seseorang yang seperti itu, sama halnya dengan Bayu. Tangan Sendi terasa sedingin es ketika ia menggenggam pergelangan tangan Bayu kuat-kuat. Bayu khawatir jika anak ini akan pingsan di sini jika dibiarkan terlalu lama. Mereka harus bergerak. Ia harus membawa Gantari bersama mereka. Bayu mengernyitkan kening saat menyadari masker Gantari menggantung di salah satu telinga. Semoga dia tidak tertular flu, batin Bayu.
Ucapan almarhum kakek Bayu kembali terngiang. Jangan ikuti mereka... perintahkan mereka. Suara dentuman keras kembali terdengar dari arah lapangan. Terdengar suara derap langkah kaki banyak orang, seperti pasukan baris-berbaris pengibar bendera yang pernah dilihatnya di situs saluran video waktu membuat esai tentang hari kemerdekaan, tetapi sejauh mata memandang, Bayu tidak mendapati apa-apa di sekitarnya selain kegelapan yang pekat.
"Lari ke mobil, sekarang!" Bayu dorong Idham dan Sendi ke arah yang berlawanan dari datangnya suara pasukan. Ia memberanikan diri untuk berlari mendekati Gantari, memasangkan masker baru yang dibawanya dari rumah lalu memapahnya ke arah mobil.
Dapat Bayu rasakan embusan angin yang semakin lama semakin kencang dari arah belakang, tetapi ia tidak gentar. Ia telah berlari sangat jauh dalam beberapa jam terakhir seumur hidupnya, dan ia akan berlari sedikit lagi. Langkahnya melambat karena harus menopang dua orang sekaligus. Ujung-ujung jaketnya berkibar terkena angin. Bayu jatuh tersungkur saat kakinya tiba-tiba terasa lemas.
"Jangan dekati kami," teriak Bayu entah pada siapa. "Kami tidak pernah mengganggu kalian."
Bayu memejamkan mata ketika dirasakannya ada sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya dalam gelap. Ia mendengar suara-suara di dalam kepalanya.
"Kami bukan pengganggu," bisik suara wanita yang terdengar sangat lembut dan menarik-narik kesadarannya untuk mematuhi pemilik suara tersebut. "Kami datang untuk menagih janji."
Seluruh tubuh Bayu bergetar karena hawa dingin yang menyelimutinya. Dari balik kelopak matanya Bayu melihat wanita cantik dengan mahkota dan kebaya warna hitam—akhirnya terlihat juga warna pakaiannya, seorang pria yang memakai batik lurik dan membawa tongkat kepala naga, sosok tinggi besar membawa sebilah tombak di tangan kiri dan pisau tradisional—namanya keris, Bayu teringat salah satu pelajaran seni budaya waktu di kelas sepuluh—pada tangan yang lain, serta seorang wanita tua.
Bayu tidak mengenalinya karena ia belum sempat menonton semua video kiriman Ferdian, video terakhir di lapangan basket. Tempat yang sama saat mereka menemukan Gantari. Wanita bertubuh bungkuk tersebut menggendong remaja mungil di punggungnya.
Bayu membuka matanya saat cahaya terang muncul secara tiba-tiba dan menyilaukan pandangannya. Idham datang menerobos dengan mobilnya dan Sendi meneriakkan nama Bayu beberapa kali. Bayu melirik tubuh Gantari yang masih tidak sadarkan diri di sebelahnya. Mereka membawa Gantari sebagai jaminan. Tangis Bayu pecah, ia rengkuh kepala Gantari dalam pelukannya, mengabaikan segala protokol kesehatan yang telah dihafalnya di luar kepala sejak ia masih balita.
Ia akan mengambil Gantari kembali dari mereka. Kakeknya benar, seseorang harus muncul untuk memberikan perintah pada para lelembut tersebut.
TAMAT
Tara (she/her) adalah pemilik akun Wattpad AntheaFeather. Menyukai segala hal yang bernuansa etnik, khususnya budaya Jawa dan sebagian besar karya-karyanya terinspirasi dari sana. Ceritanya berjudul Putri Mahkota menjadi bagian dari Wattpad Paid Stories dan buku pertamanya Kembalinya Sang Putri akan segera terbit pada Januari 2021. Cerpen ini ditulis sebagai pembuka dari ceritanya yang berjudul Kertagama, 2070 sebuah cerita horor distopia dengan kearifan lokal budaya Jawa. Tara juga bisa ditemui di akun Instagram dan Twitter dengan nama pengguna antheagillian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro