Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Love The Past" - DhetiAzmi


LOVE THE PAST

A Short Story by DhetiAzmi 


Apa yang indah di dunia ini selain keberadaan kita diakui. Aku, perempuan yang dulu pernah merasakan kerasnya hidup. Dihina dan dimaki-maki oleh mereka. Aku, si gendut yang dibully mirip dengan binatang. Aku, perempuan yang bermimpi mendapatkan balasan cinta dari seorang yang jauh dari jangkauan tangan.

Aku Ardina Pratiwi. Perempuan yang kini duduk di Sekolah Menengah Atas. Memutuskan untuk mengikuti klub bela diri yang pernah aku ikuti di SMP dulu. Kini, aku sudah berubah. Aku bukan lagi si gendut yang sering dimaki-maki. Aku, bukan lagi perempuan lemah yang akan menangis ketika mereka dengan tidak punya belas kasih membully kelemahanku. Membandingkan fisik seseorang seperti batu dan permata.

Semua sudah berubah, apa yang terjadi di masa lalu berhasil membuatku berambisi untuk bisa seperti ini. Menjadi perempuan dengan tubuh tinggi dan langsing yang di puja-puja. Kulit putih bersih dan cantik. Bukan hanya karena bully itu yang membuatku seperti ini, tapi juga karena laki-laki yang pernah menolak cintaku dengan jahatnya. Laki-laki yang kini tidak hentinya mengejarku.

Apa ini hukum karma? Jika ia, aku sangat ingin menertawakan roda yang berputar begitu cepat.

Dia, Satria. laki-laki Tampan yang di idolakan banyak perempuan di SMP dulu. Orang yang memiliki image santun, baik, ramah tanpa memandang fisik seseorang. Aku begitu sangat memujanya, semua pribadinya sangat mirip dengan seorang pangeran. Bahkan aku semakin yakin, ketika tanpa sengaja dia menolongku saat beberapa orang membully, merebut paksa makanan yang aku beli. Menginjaknya dan memaksaku untuk memakan makanan yang sudah hancur.

"Gak apa-apa? Ada yang luka?" tanya Satria saat itu.

Aku diam, jujur saja aku bahagia. Sekian lama aku mengaguminya, memendam cinta kepadanya. Dia menyapaku, menolongku bahkan bertanya tentang keadaanku yang saat itu benar-benar berantakan.

Dengan air mata yang masih mengalir di kedua pipiku. Aku menggeleng, meski bully yang aku dapat membuat tubuhku terasa sakit. Tapi aku tidak menyesal itu terjadi, karena dengan insiden itu Satria mau menyapaku.

Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku yakin tidak akan ada kesempatan kedua kali jika aku tidak memanfaatkan situasi seperti ini, pikirku.

Belum melakukan apa pun, Satria menolongku lagi. Dia membopong tubuh gendutku, memapahku hingga masuk ke dalam UKS.

"Kayaknya guru yang jaga udah pulang. Kamu bisa obatin lukanya sendiri 'kan? Aku phobia sama darah," ucapnya, sedih.

Aku mengerjap, dengan cepat menggeleng. Phobia darah? Kenapa aku tidak tahu akan itu? Padahal sejauh ini aku selalu mencari tahu apa pun tentang Satria.

"Ga─gak apa-apa, aku bisa sendiri," balasku tergugup.

Satria mengangguk, lalu tersenyum. Senyum yang sering kali aku lihat di kejauhan kini terlihat di depan mata.

"Oke, kalau gitu aku pergi dulu."

Satria membalikkan tubuhnya, ketika melihat itu aku tidak rela. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, aku harus segera mengatakan apa yang aku rasakan kepadanya.

"Satria!" teriakku.

Satria yang masih berada dekat denganku membalikkan badannya. Menatapku dengan tatapan bingung.

"Ada apa?"

"Aku...."

Aku gugup, nyali yang sedari tadi membakar semangatku menciut begitu saja. Aku menunduk, meremas jari jemariku dengan gelisah.

"Ada apa? Kalau gak ada aku pergi. Aku ada latihan basket hari ini."

Aku menggigit bibir bawahku, dengan sedikit keberanian yang masih tersisa. Aku mendongkak, menatap Satria tepat di manik matanya.

"Aku... aku...."

.

"Hm?"

"Aku suka kamu!" seruku, bahkan aku tidak sadar sudah berteriak.

"Huh?"

"A─aku suka kamu, Satria." ulangku dengan suara mencicit. Tapi aku yakin Satria bisa mendengarnya.

Satria diam tidak bergeming, aku bisa melihat raut wajahnya yang mendadak berubah. Tatapan lembut yang tadi aku lihat kini berubah menjadi tatapan yang tidak bisa aku tebak.

Decihan halus terdengar "Ck, kamu serius bilang suka aku?" tanyanya.

Aku mengangguki pertanyaan Satria, tanpa protes. Tidak lama, aku bisa mendengar kekehan sinis dari mulutnya.

"Kamu gak salah? Maaf, aku nolong kamu bukan karena aku tertarik sama kamu. Aku cuma kasihan. Jadi, jangan pernah berharap lebih sama apa yang aku lakukan. Harusnya kamu sadar diri, kamu itu jauh dari tipeku. Tubuh kamu saja hampir mirip sama gajah, dengan pedenya bilang suka aku."

Setiap deretan kata yang keluar dari mulut Satria berhasil menusuk tepat di ulu hatiku. Aku tidak mengharapkan balasan darinya meski aku akui aku ingin. Tidak bisakah dia menolakku secara halus? Apa masih ada kata yang lebih menyakitkan dari ini? Ini terlalu perih, bagaimana mungkin laki-laki yang aku cintai memakiku sehina itu? Lalu apa untungnya dia menolongku? Apa bedanya dia dengan para pembully yang sering menggangguku dan menyakitiku.

Karena kejadian itu, akhirnya aku memutuskan pindah Sekolah.

Aku terbangun dari tidurku dengan napas yang tidak beraturan. Mimpi itu lagi, mimpi di mana si gendut masih melekat di dalam tubuhku. Bayangan di mana mereka menatapku dengan tatapan jijik, bayangan di mana penolakan Satria yang menghina dengan kejamnya.

Drt!

Din

di mana? Gak sekolah? Lupa, hari ini ada ulangan.

Aku mengerjap, menatap jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sialan, aku kesiangan lagi.

Aku bergegas, membersihkan diri dan menyiapkan beberapa buku materi untuk hari ini setelah membaca pesan masuk beruntun dari seseorang. Dengan cepat aku segera keluar dari kos, menguncinya tidak lupa.

"Selamat pagi."

Gerakanku berhenti mendadak ketika mendengar suara familier itu, aku menoleh mendapati Satria yang sudah duduk manis di atas motornya. Sejak kapan dia berada di depan kosku.

"Mau bareng? Aku antar," tawarnya.

Aku diam saja, mengabaikan ucapan Satria.

"Ayo bareng," ajaknya lagi, Satria mengikutiku yang melengos pergi dengan cara mendorong motornya.

"Gak perlu, aku bisa naik angkutan umum."

"Kamu serius? Ini udah siang, bentar lagi kelas dimulai. Kamu tahu 'kan, Pak Indra itu galak banget," cerocos Satria, mengingatkan.

Aku tahu, bahkan satu SMA tahu siapa Pak Indra. guru kiler yang ditakuti semua Murid. guru yang tidak akan segan-segan memberi nilai jelek ketika dengan sengaja mereka tidak masuk di kelasnya.

"Din."

Aku menghela napas lelah, meski apa yang dilakukan Satria sudah membuatku terbiasa. Tapi tidak dengan hati ku, hati yang terluka yang dengan bodohnya masih mengharapkan laki-laki ini.

"Baiklah."

Satria berteriak senang ketika aku menyetujui ajakannya, mau tidak mau aku ikut tersenyum. Laki-laki itu masih memasang senyumnya, memberikan satu helmnya kepadaku.

"Siap?" tanya Satria ketika aku sudah duduk di belakangnya.

"Hm."

"Gak meluk?" godanya.

Aku berdecih. "Berangkat atau aku turun."

Aku bisa mendengar kekehan dari mulut Satria "Oke-Oke, jangan ngambek."

Satria mulai melesatkan motornya dari kos. Membawaku ke Sekolah yang sebentar lagi akan ramai menjadi perbincangan karena melihatku yang datang bersama Satria, laki-laki yang lagi-lagi masih menjadi idola walau sudah berbeda Sekolah.

* * *

Aku sedang duduk di Kantin bersama Ri. Teman satu-satunya yang aku punya dari SMP di mana aku jadi murid baru di Sekolah itu sampai sekarang. Teman yang selalu ada ketika aku jatuh dan terpuruk. Ri, perempuan baik dan sudah menjadi hero untukku.

"Kamu udah pacaran sama Satria?" tanya Ri.

Aku yang asyik menikmati makananku menggeleng. "Gak."

"Aku serius, Dina," balasnya.

"Aku juga serius."

Jujur, aku sedang malas mengingat itu. Bukan karena aku sombong, merasa tinggi ketika seorang laki-laki populer mengejar-ngejarku, ingin mendapatkan cintaku. Tapi aku tidak ingin mengingat masa lalu itu, masa lalu yang memperlihatkan diriku yang buruk juga menyedihkan.

"Kenapa gak kasih dia kesempatan?"

Kalimat itu sudah sering kali aku dengar dari mulut Ri. Kesempatan? Semua tidak mudah Ri, jika kamu ingin tahu.

Aku mengangkat bahu, malas menjawab pertanyaan Ri. Berapa kali Ri mengatakan itu, maka jawabanku tetap sama Tidak!

Ri mendesah "Kasih dia kesempatan, Din. Udah dua tahun Satria ngejar kamu loh. Kamu udah berubah sekarang, jangan bunuh hati kamu sendiri karena masa lalu, Din. Aku tahu, kamu masih suka Satria."

Ri memang tahu semua yang terjadi dalam hidupku. Tahu semua tentangku.

"Gak semudah itu, Ri. Kamu pikir aku gak mau keluar dari bayangan masa lalu? Aku udah coba, berkali-kali tapi gagal terus," balasku.

"Bukan gak bisa, tapi kamu takut mencoba. Kamu gak yakin sama dirimu sendiri," sahut Ri, sebal.

Aku menunduk, semua yang dikatakan Ri memang benar. Aku bukan tidak bisa, tapi takut untuk kembali memulai. Aku takut jika semua yang aku lakukan berakhir menyedihkan seperti masa lalu.

Ri menggenggam tanganku "Aku tahu gimana terluka jadi kamu. Tapi, jangan pernah bohongi perasaan kamu. Jangan terus hidup di bayangan masa lalu. Buat apa kamu berubah secara fisik, sementara hatimu masih terkurung di masa lalu. Jangan takut, apa pun yang terjadi, ada aku, Eric, Sisil dan banyak lagi orang yang peduli sama kamu."

Aku diam, lalu tersenyum lembut. Bisakah aku berubah? Bisa kah aku melepaskan rasa traumaku dengan menerima laki-laki yang membuat trauma itu.

* * *

Setelah perbincangan cukup panjang dengan Ri. Aku memutuskan untuk bertemu dengan Satria, membicarakan perihal rasa cintanya kepadaku.

Jujur saja aku masih takut, tapi aku mencoba untuk melawannya. Ucapan Ri masih terus terngiang di kepalaku. Aku harus bisa, apa pun itu.

Namun langkahku berhenti mendadak ketika melihat Satria tengah merangkul seorang perempuan di depan sana.

"Halo Din, mau pulang?" sapanya kepadaku.

Tanpa melepaskan rangkulannya dari bahu perempuan itu, aku diam. Memandang mereka secara bergantian. Semangat yang aku kumpulkan kini menumpuk di kepalan tangan. Aku kembali merasa dikhianati, aku kembali merasa dipermainkan.

Tanpa menjawab pertanyaan Satria, aku pergi. Membawa hati yang kembali terluka, terluka akan orang yang sama.

"Din."

Aku tidak tahu jika Satria akan mengejar dan mengikutiku, dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Satria berjalan di belakangku, membuntutiku sampai ke parkiran Sekolah.

"Din, pulang bareng, yuk?" ajaknya.

Aku masih mengabaikannya, enggan menjawab ajakannya. Untuk apa? Pada akhirnya semua tetap sama, aku pihak yang merasa terluka.

"Din."

Aku masih menangkap suara Satria, tapi aku tidak peduli sama sekali. Untuk apa aku peduli? Menyakiti diri sendiri? Menaruh harapan kepadanya seperti dulu.

"Din."

Satu tanganku ditahan Satria, membuatku mau tidak mau ikut berhenti. Membalikkan tubuhku, menatapnya dengan tatapan marah.

"Lepas!"

Bukan dilepaskan, justru Satria semakin mencengkeram pergelangan tanganku. Rasanya perih, aku yakin di sana akan ada tanda kemerahan.

"Kamu kenapa? Aku lagi ngomong, kenapa cuek kayak gitu!" Satria berteriak tidak terima.

Dahiku mengerut, kenapa dia harus marah? Seharusnya aku di sini yang marah. Ah, tidak perlu. Untuk apa aku marah? Aku bukan siapa-siapa Satria.

Aku menghela napas, aku malas berdebat "Emang kamu ngomong apa?"

Aku bisa mendengar gemerlatuk dari giginya "Aku gak tahu, apa aku bikin kesalahan lagi, sampai Kamu gak menghiraukan keberadaan aku? Apa yang aku lakukan sejauh ini masih belum cukup?" tanyanya, lirih.

Entah kenapa aku ikut terluka mendengar itu "Kamu ngomong apa sih Sat? Mau apa lagi? Aku pikir kamu udah gak ngarepin aku lagi, bukannya tadi itu pacar kamu?" tanyaku, setenang mungkin. Tapi aku yakin suaraku sedikit naik menahan satu oktaf karena kesal.

Satria diam, mengacak-acak rambutnya. Dua tangannya kini bertahan di kedua bahuku.

"Dia bukan pacarku. Kamu tahu? Aku sengaja rangkul dia tadi buat membuat kamu cemburu," ujarnya.

"Bikin aku cemburu?"

Satria mengangguk. "Iya."

Aku berdecih, menepis kedua tangan Satria hingga terlepas dari kedua bahuku.

"Bohong! Kamu sengaja bilang gitu biar aku percaya? Kamu pikir aku bodoh?"

Aku kembali melangkah, melanjutkan perjalananku sebelum akhirnya tangan Satria kembali menahanku. Laki-laki itu mendesah, menundukkan kepalanya cukup lama.

"Kenapa Kamu masih gak percaya sama apa yang aku bilang, aku udah jujur. Kalau perempuan itu bukan pacarku, apa perlu aku bawa dia kemari dan jelasin kepadamu?" tanyanya, suaranya mendadak berubah jadi tegas dan tajam.

Aku tidak mengerti dengan sikap Satria yang kadang bersikap manja dengan memanggil namaku, terkadang laki-laki itu bisa serius seperti sekarang, tanpa ada nada lembut di setiap kalimatnya.

"Kalau kamu berani," tantangku

Aku menantangnya, bukan aku berlebihan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa apa yang Satria katakan benar.

"Oke!"

Satria mengambil ponsel di saku celananya, menekan beberapa tombol lalu menghubungi seseorang.

Tidak membutuhkan waktu lama, dalam suasana hening kami berdua. Perempuan yang aku lihat tadi sudah berdiri, tapi ia tidak sendiri. Melainkan dengan seorang laki-laki yang sedang digandengnya, bahkan mereka terlihat mesra.

"Ada apa, Sat?" tanyanya.

Satria menoleh sebentar, lalu menatapku. "Jelasin ke dia, kalau kamu bukan pacarku."

Aku diam, cukup terkejut dengan ucapan yang bisa dibilang sebuah perintah kepada perempuan yang kini menaikkan satu alisnya bingung. Perempuan itu menatapku, seolah mengerti ia mengangguk tanpa melepaskan gandengannya kepada laki-laki disampingnya.

"Ah, apa kamu cemburu? Sorry, aku gak ada hubungan apa pun sama Satria, kami cuma teman. gak perlu takut, aku gak akan rebut Satria dari kamu. Nih, aku udah punya pacar," katanya, menunjuk laki-laki yang sedari tadi perempuan itu gandeng.

"Thanks, Nis. Sorry ganggu."

"Gimana, udah percaya?" tanyanya.

Aku diam, tidak bisa membalas ucapannya. Ah, kenapa aku selalu berpikir negatif tentang Satria. Bagaimana bisa aku melawan trauma dengan laki-laki ini jika terus seperti ini.

"Jangan ke mana-mana, aku ambil motor dulu."

Satria bergegas, meninggalkan aku tanpa persetujuan. Meski enggan, tapi kakiku tidak bergerak, justru malah menunggunya. Hingga akhirnya harus berakhir dengan pulang bersama, tanpa mengatakan apa yang ingin aku jelaskan tadi.

* * *

Katakan jika aku memang bodoh, karena aku menerima ajakan Satria tanpa protes terlebih dahulu saat laki-laki itu meneleponku untuk mengajakku keluar malam ini. Malam pergantian tahun, di mana akan ada banyak orang yang merayakannya.

Aku tidak tahu, kenapa aku begitu bersemangat malam ini. Memilih baju yang cocok hingga menumpahkan isi lemari. Aku tidak ingin membuat Satria kecewa, aku tidak ingin membuat malam ini hancur. Aku harus terlihat cantik.

Tok tok!

Tidak lama suara ketukan pintu terdengar, aku mengerjap. Buru-buru meraih tasku dan membuka pintu kos. Detik berikutnya aku tertegun mendapati Satria yang sudah berdiri dengan tampannya. Kenapa pesona laki-laki itu semakin lama tidak pernah berkurang? Justru kharismanya semakin kuat.

"Cantik."

Kalimat yang meluncur dari bibir Satria berhasil membuat wajahku memanas. Tapi─bayangan di mana makian Satria menolakku dulu melintas di kepalaku, membuatku mendadak diam dengan perasaan gelisah.

"Udah siap?" tanyanya.

Aku mengangguk, menerima uluran tangannya. Naik ke atas motornya. Aku menarik napas dalam-dalam, berharap malam ini akan lancar.

Tidak membutuhkan waktu lama, meski di perjalanan kami tidak melakukan obrolan. Tidak, bukan kami. Hanya aku yang menjawab kalimat Satria dengan jawaban singkat, hingga membuat laki-laki itu sepertinya merasa bosan dengan sikapku.

Aku bisa melihat tempat ini sudah penuh sesak. Lapangan yang sering kali dijadikan tempat bermain bola kini sudah penuh dengan beberapa pedagang kaki lima.

Tanpa sadar aku tersenyum, suasana ini mengingatkan aku akan masa lalu. Di mana aku sangat senang jika sudah ada di tempat ramai seperti ini, membeli harumanis, membeli permen dan lain sebagainya.

"Ramai, ya?" tanya Satria tiba-tiba.

Lamunanku buyar, menoleh ke arah Satria yang kini menatapku dengan senyum kecilnya. Aku cukup terpesona, Satria memang sangat tampan.

"Yuk."

Satria menggenggam tanganku, membawaku ke tempat di mana penjual kembang api ada. Membelinya beberapa lalu menyalakannya seperti anak kecil. Aku tidak ikut, aku hanya melihat dan menikmati senyum manis Satria di sana.

"Ke sini, ikut main," ajaknya.

Aku menggeleng. "Aku di sini saja," jawabku.

Satria mencebik. "Gak asyik ah! Ayok ikut."

"Enggak, Sat."

"Ayok ah."

"Eng─"

Duar!

Itu bukan suara kembang api yang meledak ke atas langit. Melainkan suara petir yang menyambar secara tiba-tiba. Astaga, apa malam ini akan turun hujan? Aku berharap tidak.

Sayang cuaca tidak bisa aku kendalikan, karena rintik hujan mulai menetes dan terasa dingin di atas kepalaku.

"Aish, kenapa harus turun hujan," keluh Satria.

Aku hanya tersenyum kecil melihat kekecewaan di wajahnya. Jujur, aku juga merasa kecewa.

"Gimana?" tanya Satria kepadaku.

Aku mengangkat bahu, tidak tahu. "Pulang?"

Satria langsung menggeleng, tidak terima dengan pertanyaanku.

"Gak! Masa mau pulang."

"Terus mau apa? Gak lihat gerimis? Kamu mau kita hujan-hujanan?" tanyaku.

Satria menggeleng, benar-benar seperti anak kecil.

"Gimana kalau ke rumah aku aja."

Satu alisku terangkat, mendengar kata rumah membuat otakku mendadak tidak bekerja. Seakan paham, Satria langsung mengibaskan tangannya di depan wajahku.

"Jangan mikir macam-macam, aku cuma mau ngajak kamu makan malam. Di rumah ada Mama sama Papaku juga," lanjutnya.

"Kenapa harus di rumah kamu?"

Satria terdiam gugup. "Karena aku yang bakal masak."

Aku masih menatapnya, Satria bisa memasak? Sebelum helaan napas keluar dari bibirku.

"Kamu bisa masak?"

"Bisa."

Keheningan menyapa sampai tidak sadar hujan mulai deras. "Jadi gak? Katanya mau ngajak aku makan malam?" tanyaku.

Satria mengerjap, menggaruk tengkuknya. Aku bisa melihat kegugupan di sana.

"Jadi."

Aku tersenyum, melihat tingkah gugup Satria yang benar-benar menggemaskan. Melupakan bahwa pria ini pernah menyakitiku.

* * *

Tahu peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga? Itu yang sedang aku alami sekarang. Sudah gagal bermain di luar, pulang diguyur hujan sampai bajuku basah kuyup.

Aku sudah berada di rumah Satria, tidak menyangka rumah laki-laki itu lumayan besar. Papa dan Mama Satria ada di rumah, aku sempat menyalami orang tuanya. Bahkan Mama Satria mengomeli Satria karena membiarkan aku kehujanan. Mama Satria baik sekali, membuatkan air hangat untuk aku mandi dan meminjamkan pakaiannya yang lumayan Pas di tubuhku,

"Susu cokelat."

Aku mendongak, menatap secangkir susu hangat yang Satria sodorkan ke arahku. Aku menerimanya dengan senyum kecil.

Kami sedang duduk di sebuah kursi yang terhubung, menghadap ke jendela di mana rintik hujan membasahi pepohonan. Aku cukup miris, mengingat malam tahun baru kali ini yang tidak bisa dilewati untuk melihat kembang api yang meledak dengan indahnya di atas langit.

Ah? Untuk apa aku miris hanya karena hujan. Aku sudah baik-baik saja sekarang bahkan ada di rumah Satria dalam keadaan nyaman. Orang tuanya juga baik.

"Maaf ya, jadi kehujanan," lirihnya.

Aku yang baru saja menyesap susu cokelat buatan Satria menoleh. "Gak apa-apa, justru aku mau bilang makasih karena kamu sudah mau ngajak aku." balasku.

Satria membalas senyumanku, sebelum satu kalimat berhasil membuatku mendadak diam.

"Maaf," bisiknya.

Pandangan lurusku kembali fokus ke arah Satria yang tengah menunduk, meremas secangkir kopi di tangannya.

"Maaf sama apa yang udah aku lakukan sama kamu, dulu. Aku tahu, aku gak berhak kamu maafin. Aku sadar, bahwa apa yang aku ucapkan waktu itu udah menggores luka di hati kamu," ucapnya.

Aku diam, pikiranku kembali bernostalgia ke dalam luka yang tidak ingin aku ingat.

"Maaf, aku benar-benar minta maaf. Karena kejadian itu, hidup aku gak tenang. Sampai aku berniat ikut pindah sekolah waktu dengar kamu pindah. Aku mau minta maaf, dan buktiin bahwa aku nyesel sama apa yang udah aku lakukan ke kamu."

Aku masih fokus mendengar apa lagi yang akan diucapkannya.

"Tanpa sadar, aku udah jatuh sama pesona kamu, Dina. Aku tahu, kamu pasti gak akan nerima aku semudah itu mengingat pertemuan kita yang gak baik. Aku tahu, kamu bakal kasih pandangan gak yakin dan mencemooh. Kamu pasti mikir kalau aku suka kamu karena fisikmu yang udah berubah."

Semua yang dikatakan Satria memang benar, kata-kata itu yang menjadi alasan aku tidak menerima Satria begitu saja meski aku mencintainya.

"Kalau emang itu alasanku, aku gak mungkin ngejar kamu, nunggu kamu sampai selama ini, Din. Aku bukan laki-laki maso yang bertahan cukup lama Cuma buat hati perempuan. Tapi sama kamu, entah kenapa aku gak ingin menyerah. Penolakan yang kamu kasih bikin aku bertahan meski gak mudah."

Tidak lama aku merasakan pergerakan dari Satria. Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Kini, posisinya sedang berjongkok di depanku.

"Din, aku suka kamu. Benar-benar suka. Apa yang aku lakukan masih belum bisa meyakinkan kamu? Apa semua yang aku lakukan masih belum bisa menutup lukamu? Hm? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu percaya, Din? Aku suka kamu, sangat." cecarnya.

Aku tertegun, guratan wajah frustasi itu berhasil menggetarkan hatiku. Tanpa sadar, aku mengulurkan tanganku. Membelai pipi Satria dengan lembut.

"Kamu lelah?" tanyaku.

Satria menatapku, senyum itu masih bisa aku lihat.

"Meski lelah, aku bakal tetap bertahan demi yakini hati kamu, Din."

Aku ikut tersenyum, masih membelai pipinya. kata Kakak sudah tidak dipanggilnya lagi sekarang.

"Gak perlu lagi."

"Huh?"

Aku masih memasang senyumku, mengelus kerutan di dahinya yang terlihat bingung.

"Kamu gak perlu lakuin itu lagi, Sat. Karena dari dulu sampai sekarang, aku juga masih suka kamu."

Satria memandangku dengan perasaan syok. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

Laki-laki itu mengerjap, tidak lama rasa hangat aku rasakan di tubuhku. Satria memelukku, cukup erat hingga membuatku merasa sesak.

"Maafin aku, Din. Maafin kebodohan aku dulu, aku suka kamu," ucapnya di pelukanku.

Aku tersenyum, membalas pelukan Satria tidak kalah eratnya. Mencoba membuang masa lalu mengerikan itu dipikiranku.

"Ekhem."

Aku refleks mendorong Satria ketika suara keras deheman terdengar. Satria mengaduh sakit di atas lantai, sementara aku meringis pelan.

"Papa ganggu aja," dengus Satria, kesal.

"Harus diganggu. Jangan peluk-pelukan, ada Setan lewat baru tahu rasa kamu," balas Papa Satria.

Satria mendengus sebal, bangkit dari jatuhnya lalu duduk di sampingku.

"Sana pergi, jangan ganggu anak muda," sahut Satria kurang ajar.

Papa Satria mendengus sinis. "Dasar anak kurang ajar."

Aku terkekeh geli melihat pertengkaran Satria dan Papanya. Bahkan mereka tidak sadar sudah memancing Mama Satria yang ikut berteriak dan mengengahi keduanya.

Tiba-tiba aku berhalusinasi, melihat sosokku yang gendut di sana. dia sedang tersenyum seakan memberitahuku bahwa aku sudah berhasil melawan trauma itu.

Aku sadar, itu benar aku sudah berhasil melepaskan rasa trauma itu tanpa sadar. Aku sudah berhasil melepaskan rasa takut yang selalu mendekam di lubuk hatiku. Kini semuanya hilang, di susul kebahagiaan baru yang akan aku mulai bersama laki-laki ini.

Aku tidak akan menjadi lemah lagi, termasuk dalam hal ini. Aku yang akan mendominasi hubungan ini.

Love The Past, cinta masa lalu yang akan aku tata ulang bersama laki-laki yang sudah mengikat hatiku di atas luka itu. Aku membuka kembali hatiku, menutup lembar buruk dengan kebahagiaan yang baru bersamanya.


TAMAT


DhetiAzmi adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki sedikit hobi menulis! Berimajinasi dan menuangkannya menjadi sebuah cerita. Karyanya Halo, Mantan! kini telah tersedia di Gramedia di seluruh Indonesia, sedangkan karyanya yang lain Bukan Stalker ikut andil dalam program Paid Stories. Kunjungi profilnya untuk menyimak dua puluh empat karya lainnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro