Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Lesung Pipi" - kincirmainan


LESUNG PIPI

A Short Story by kincirmainan


Aku mengikat longgar dasi di kerah kemejaku.

Matahari bulan Agustus bersinar terik. Aku baru selesai mandi kurang dari sepuluh menit lalu, tapi keningku sudah mulai berkeringat. Edan kalau sekolahan masih ngotot menyuruh semua siswa mengenakan outer. Minggu lalu segerombolan siswa senior nekat berkeliaran tanpa mengenakan outer, mereka memprotes, dan berani sumpah baru kali itu aku menganggap mereka keren. Setelah itu geng 'polisi sekolah' enggak terlalu menyoal siswa yang berkeliaran tanpa outer, asal di dalam kelas kami kembali mengenakannya. Cuma orang sinting yang mau duduk di dalam ruangan kelas tanpa outer. Dalam sebulan ini sudah enggak terhitung berapa banyak siswa yang kena demam gara-gara perubahan drastis antara suhu kelas dan luar ruangan.

Oh... seandainya aku bisa belajar di sekolah negeri seperti Aira. Paling enggak, sekarang aku masih punya sahabat, selain enggak perlu memakai outer brengsek yang bikin punggungku selalu basah.

Aku menyampirkan benda itu di bahu bersama ransel, kemudian turun untuk sarapan.

"Cepet banget ya tahu-tahu udah weekend lagi," Mama menyodorkan sepotong quiche muffin dan avocado toast kepadaku. Mama membiarkan toast-ku polos tanpa telur rebus setengah matang. Entah lama-lama dia hafal juga, atau dia hanya malas berdebat denganku tentang betapa pentingnya memenuhi asupan protein untuk pelajar di pagi hari. Aku suka telur, tapi enggak mau mulutku bau amis di sekolah, meskipun aku enggak akan banyak omong juga. Tapi Mama enggak perlu tahu itu. Dia hanya tahu aku enggak terlalu senang bergaul, tapi paling enggak akan selalu ada Rika di sisiku.

Kugigit muffin mungil itu dua kali sampai memenuhi mulutku untuk melampiaskan emosi.

"Semangat banget," celetuk Mama saat melihat pipiku menggembung. "Apa karena nanti malam mau ada pesta?"

"Pesta?"

Mama memandangku dengan aneh, lalu mendekati kulkas dan mencabut sebuah undangan kecil berwarna dusty pink yang dilekatkan dengan magnet. Aku mendecapkan lidah, sebenarnya aku sama sekali enggak lupa. Aku malah heran Mama ingat. Tapi tentu saja, apa saja yang bisa memberinya alasan untuk menyuruhku keluar dan bersosialisasi enggak akan dilupakannya.

Aku membersihkan gigiku dari remahan muffin dengan ujung lidah, "Aku enggak akan datang."

"Kenapa?"

"Enggak tertarik."

"Aneh," gumam Mama sambil merengut. "Sebulan lalu, kamu dan Rika kelihatannya yakin tidak akan diundang ke pesta ulang tahun Flora karena beda kasta, harusnya kalian senang dong kalau ternyata kalian diundang? Itu artinya... kasta (Mama membuat tanda kutip di sisi-sisi kepalanya dengan dua jari) itu hanya ada di kepala kalian saja."

Ya, ya, ya... Mama kayak enggak pernah jadi anak SMA aja. "Yah... mungkin hanya aku yang enggak senang."

"Maksudnya?"

"Enggak ada maksud apa-apa. Kalau Mama terus menginterogasi, aku enggak akan ngabisin toast ini. Pokoknya aku enggak akan datang. Titik."

"Masa-masa pemberontakan," kata Papa saat muncul di dapur.

Aku mendengkus bosan saat melihatnya mencium pipi Mama mesra. Kapan, sih, mereka akan berhenti melakukan pertunjukan seperti itu di depan anak-anak? Aku buru-buru menghabiskan toast dan meminum susu, lalu berpamitan. Mendingan aku nunggu jemputan di luar aja daripada bete.

Sebenarnya, mereka sangat manis. Mama dan Papa bertemu saat SMA, tapi baru berkencan setelah berjumpa lagi dalam reuni akbar. Enggak lama kemudian mereka menikah, dan Mama mengandung Steve. Saat suasana hatiku sedang baik (yang jelas pagi ini kebalikannya) dan jiwa remaja menguasaiku, aku akan menopang dagu menatap kemesraan mereka sambil bertanya, kapan ya aku ketemu jodohku? Lalu Mama akan bilang, mungkin saja cowok yang selama ini enggak kuperhitungkan di sekolah akan jadi jodohku kelak.

Sampai beberapa hari lalu, aku berharap cowok yang enggak kuperhatikan itu Axel, dan pipiku akan langsung merona memikirkannya. Yang benar saja... enggak kuperhitungkan apanya? Aku menghabiskan tahun pertamaku diam-diam membuntutinya. Sekarang aku enggak sudi memikirkannya lagi.

Mobil jemputanku datang tepat waktu seperti biasa. Aku masuk dan duduk di samping bangku kosong. Seisi mobil ini seharusnya teman-teman sekolahku, tapi kami enggak saling menyapa. Tepatnya, mereka enggak menyapaku. Menurut mereka, aku anak yang susah diajak bicara. Kabar tentang betapa sulitnya aku memberi contekan saat ujian membuat citraku buruk. Ternyata kalau seorang teman menolak berbuat curang, anak itu otomatis dicap sombong dan senang menjilat guru.

Pelajaran seharian itu terasa berjalan lambat, tapi aku berhasil melaluinya sampai jam makan siang. Enggak seperti biasanya, aku langsung menuju kantin. Bukan hanya karena lapar, biasanya aku juga lapar, tapi enggak keberatan mengulur waktu beberapa menit di kelas. Alasan mengulur waktu itu sekarang sudah enggak ada, jadi aku buru-buru mengambil pinggan dan mengisinya dengan nasi tim, chicken katsu, salad sayuran, telur dadar kotak yang tebal (telur dadar enggak seamis telur rebus setengah matang), tahu bakso—jangan menghakimi, aku mungkin kurus, tapi makananku banyak—sekotak susu, dan air mineral.

Aku bergabung dengan kelompok siswa berpakaian kelewat rapi dan senang menghabiskan waktu di perpustakaan karena semua meja sudah penuh. Anak SMA seperti kami memang ganas-ganas saat jam makan siang. Biasanya aku duduk bersama Rika, tapi hal itu sudah dua minggu ini hanya jadi kenangan.

"Temanmu benar-benar sudah jadi anggota geng populer sekarang, dia enggak mengajakmu bergabung memangnya?"

Aku menyuap nasi, mengabaikan pertanyaan seorang cewek bergigi besi (dia mengenakan kawat gigi serius yang menandakan giginya benar-benar butuh diperbaiki, bukan sekadar buat gaya-gayaan) Jangan salah, meskipun pekerjaan mereka sehari-hari belajar di perpus, bukan berarti mulut mereka hanya digunakan untuk hal-hal bermanfaat seperti buku-buku yang mereka santap.

"Benar-benar enggak tahu diri. Naif. Dia pikir mudah saja beralih kelas seperti membalik telapak tangan?" cicit yang lain.

Aku membiarkan saja mereka berbicara semaunya dan tetap menyuap makanan ke dalam mulutku. Meski lama-lama, bukannya berselera, aku malah ingin muntah. Seolah aku enggak ada di meja itu, atau menurut mereka karena sekarang Rika enggak lagi duduk semeja denganku di kantin lalu otomatis dia jadi musuhku, dengan seenaknya mereka terus bergunjing tentang mantan sahabatku satu-satunya. Makin dibiarkan, obrolannya semakin bikin panas kuping.

"Paling-paling, mereka mengajaknya bergabung setelah membuang salah satu anggota yang udah enggak bisa dimanfaatkan lagi. Memangnya apa lagi alasannya?"

"Bisa saja prank." 

"Kudengar Axel mengantarnya pulang beberapa hari belakangan."

"Serius?!"

"Axel?"

"Jadi karena itu...? Pantas...."

"Tapi hebat juga anak itu.... Apa yang Axel lihat darinya? Atau mungkin Axel sudah mulai bosan dengan cewek-cewek berotak kosong yang obrolannya paling-paling hanya seputar fashion, gosip, line make up baru—"

"Terus? Anak itu membicarakan apa memangnya?"

"Cara membasmi jerawat mungkin."

Sudah cukup. Kedua tanganku mengepal erat menjadi tinju. Aku berdiri dan menggeram. Sekelompok kutu buku itu mendongak, kembali menyadari aku masih duduk di sana. Aku sudah siap meninju siapapun yang membuka mulutnya, tapi karena mereka hanya meringis, atau melipat bibir seolah dengan begitu bisa menarik kembali kata-kata yang barusan mereka lontarkan, akhirnya tinju-tinjuku hanya menggebrak sisi-sisi pinggan.

Bagus. Sekarang aku menarik perhatian seisi kantin. 

Aku menemukan Rika saat pandanganku memindai sekeliling kantin yang mendadak sunyi gara-gara ulahku. Dia sedang duduk di sisi Axel dan dayang-dayangnya yang menyeringai. Jelas mereka menganggapku norak, tapi bodo amat, sejak kapan mereka enggak menganggapku norak? Dulu mereka selalu menatap sarung tinju yang tersampir di bahuku seperti melihat hama, dan jerawat di hidung Rika seperti wabah, tapi sekarang sepertinya semua hal-hal norak itu diwariskan hanya untukku. Saat kami akhirnya bersitatap, tangan RIka menyentuh kening dan menunduk seperti yang biasa kulakukan jika Steve (kakak sulungku yang lulus tahun lalu) mempermalukanku dengan bersikap sok ganteng di depan umum.

Astaga. Aku enggak percaya aku membelanya. Bahkan setelah dia meninggalkanku demi cewek-cewek bodoh itu, aku masih mengira bahwa hanya aku yang boleh mengolok-olok sahabatku, dan masih berhak sangat marah kalau orang lain mengejeknya.

Dasar Rika bodoh, dalam keadaan seperti ini pun... aku masih menyayanginya.

"Kamu hanya cemburu karena Axel tersenyum padaku, mengajakku pulang bareng, bukan kamu!"

Kata-kata itu yang memotong tali persahabatanku dengannya. Persis seperti sebuah pita yang dipotong dalam acara peresmian toko.

"Kok baru pulang?" Mama mem-pause La Casa de Flores yang sedang diikutinya di Netflix saat melihatku mengeluyur masuk tanpa mengucapkan salam.

 Aku menghentakkan kaki, sengaja membunyikan nafas sambil menyimpan helaian rambutku di balik telinga. Itu tandanya aku sedang sangat enggak ingin membicarakannya, dan aku hanya menghiraukannya karena dia penguasa rumah dan aku harus tunduk pada aturannya. Aku memandangi Mama.

"Ada masalah?"

"Seluruh hidupku adalah masalah," kataku. "Memangnya Mama enggak pernah muda?"

"Rika tadi ke sini," katanya, memotong apapun yang akan aku gunakan untuk menyerangnya sebelum ia menuntutku menceritakan apapun yang kualami di sekolah. "Kamu pulang sangat terlambat, ke mana aja?"

"Ke toko peralatan olahraga," jawabku. "Besok libur, Ma...."

"Bukan berarti kamu bisa keluyuran tanpa bilang-bilang begitu. Memangnya kamu tinggal di hutan? Kenapa Rika sampai datang ke sini saat kamu tidak ada di rumah? Seingat Mama itu hanya terjadi sekitar sebelas tahun lalu saat kalian sama-sama berusia enam tahun. Dia datang sambil menangis karena kamu enggan menemuinya. Kamu marah karena dia menolak mencukur rambutnya di barbershop-mu, dan dia menolak karena menurutnya kamu benar-benar akan memotong poninya. Sekarang kenapa lagi? Apa salah satu dari kalian kehilangan ponsel? Pasti bukan kamu. Orang pertama yang akan langsung tahu kalau ponselmu hilang pasti Mama, karena kamu pasti merengek minta dibelikan yang baru." Mama melipat tangannya di depan dada. "Hm?"

"Enggak ada apa-apa," jawabku malas. "Kami cuma enggak se-geng lagi, itu biasa."

"Itu tidak biasa."

"Itu biasa, Ma...."

"Kamu sendiri yang bilang... memangnya Mama tidak pernah muda?"

Dasar Mama licik tukang memutarbalikkan kata-kata orang. Tapi dia juga Mama yang sangat keren, diam-diam dia banyak memberiku petuah-petuah asyik tentang masa remaja tanpa aku harus merasa terpaksa menjalaninya. Mungkin aku memang butuh bicara empat mata dengan sesama cewek. Akhirnya, dengan putus asa, aku menurunkan ransel dari bahuku dan mengayunnya ke dudukan sofa. Kemudian, aku menyusul ransel itu dengan melompati sandaran kursi dan duduk dengan bibir manyun lima senti.

Aku memulai, "Tadi Rika ke sini sama siapa?"

"Seorang cowok," jawab Mama.

"Itu cowoknya. Sekarang Rika bersama Axel," kataku.

Mama mengerutkan alis dan duduk di sisiku. "Lalu?"

"Memangnya... Mama enggak lihat ada yang aneh antara Rika dan Axel?"

Mama menyentuh dagunya dengan ujung jari. Aku yakin Mama juga melihatnya. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu Mama bukan orang yang sudi mengafirmasi siapapun yang menilai seseorang dari penampilan fisik, terlebih di depan anaknya sendiri.

"Aku hanya memperingatkannya...," imbuhku. "Axel... dan gadis-gadis yang berdandan ke sekolah itu sering sekali mengincar anak-anak yang menurut mereka norak untuk dikerjai. Aku enggak mau Rika disakiti. Cuma itu."

"Siapa yang norak? Maksudmu... Rika norak?"

"Aku juga. Aku yang enggak pernah mau dicontek dan suka bawa-bawa sarung tinju, dan Rika yang jerawatan di hidung... anak-anak kayak kami ini norak di sekolah swasta keren itu, Mama.... Mereka suka memilih korban di antara anak-anak kayak aku dan Rika."

"Benar cuma gara-gara itu kalian marahan?" tanya Mama.

Tentu saja enggak cuma itu, tapi aku enggak ingin mengungkapkannya. Axel itu gebetanku sejak kami melihatnya kali pertama tahun ajaran lalu. Seharusnya, Rika sama sekali enggak tertarik padanya. Seenggaknya, itu yang selalu diperlihatkannya kepadaku. Sahabat enggak menggasak gebetan sahabatnya, kan? Ternyata dia langsung mau saat Axel mendekatinya.

"Bukan karena Rika berjerawat?" Mama menerka.

Aku menggerakkan bahu. Yah... itu juga.

Sepanjang tahun, Axel hanya menjadi pemandangan indah bagiku. Aku dan Rika yang enggak menonjol seolah mustahil tertangkap radar Axel yang adalah satu dari sedikit cowok cool di sekolah. Pokoknya dia boyfriend material banget, lengkap dengan tampilan bad boy-nya yang menggemaskan. Kekurangannya dari daftar kriteria cowok idamanku hanya satu; dia enggak punya lesung pipi. Aku tergila-gila pada lesung pipi.

Aku sempat yakin Axel paling-paling hanya akan mewarnai fantasi masa remajaku, yang kemudian pada akhirnya aku akan memutuskan jalan dengan cowok-cowok baik yang enggak suka meninggalkan cewek seenaknya kalau enggak mau diajak berbuat mesum. Sampai akhirnya dia lebih memilih mendekati Rika.

"Kamu tahu kan... jerawat itu suatu saat akan sembuh kalau masa pubernya habis? Kamu dulu juga jerawatan di dahi, mungkin masa pubermu lewat lebih cepat dari Rika. Kalian berdua anak-anak yang manis, kalian sendiri yang berpikir sebaliknya."

"Oke... lalu bagaimana kalau Axel ternyata hanya mengerjainya?"

"Apa dia sudah melakukannya?"

Bahuku lagi-lagi bergerak, aku bahkan enggak menyadari gerakan itu.

"Dan kamu sudah memperingatkannya, kan?" imbuh Mama.

Aku menarik nafas panjang, menghembuskannya sambil melempar pandangan kosongku melanglang mengarungi masa-masa seruku bersama Rika. Kami sangat bahagia kok jalan berdua, dan bertiga bersama Aira saat akhir pekan. Kenapa dia merasa kurang? Kenapa dia tega mengambil Axel dariku?

Aku tahu Axel bukan apa-apaku, tapi kalau kalian pernah punya gebetan yang pacaran dengan sahabatmu sendiri, kalian pasti tahu maksudnya.

"Rika ke sini bersama Axel dan seorang temannya lagi yang menunggu di mobil. Mereka mau mengajakmu jalan bareng ke pesta Flora," Mama merapikan poniku dengan sentuhan lembut. "Jelas dia tidak punya niat buruk meskipun kamu kelihatannya tidak senang dengan format persahabatan baru kalian, yakni datangnya cowok di antara kalian berdua. Salah seorang dari kalian harus duduk sendirian di bangku belakang, atau menatap hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dia masih menyayangimu... buktinya dia ke sini, kan? Dia ingin mengajakmu bersenang-senang, Sayang.... Dan kalaupun Axel hanya main-main, kamu toh sudah memperingatkannya. Malah... mungkin kamu justru harus berada di antara mereka untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Siapa yang lebih penting? Rika, atau ego-mu yang terluka karena dia tetap nekat jalan dengan Axel meski kamu sudah memperingatkannya?"

Aku naik ke kamar saat mobil Papa masuk ke pekarangan.

Perasaanku sudah sedikit lebih ringan. Setelah mandi dan makan malam, aku berbaring memikirkan apa yang sebenarnya membuatku kesal. Rika menggasak gebetanku, atau diam-diam sebenarnya aku menganggap sahabatku sendiri enggak layak berjalan di samping Axel? Lalu memangnya aku lebih layak? Perasaan yang sebelumnya kuyakini kini sedikit memudar. Hatiku terasa sakit bukan karena Axel lebih memilih Rika, tetapi karena diam-diam aku punya penilaian yang sama dengan anak-anak kutu buku yang menjelek-jelekkannya.

Rika sebenarnya manis, aku juga sama sekali enggak jelek. Kutatap tampilanku di pantulan cermin. Aku hanya enggak punya rambut ikal buatan salon seperti rambut gadis-gadis populer. Aku enggak memperindah warna bibirku dengan lip gloss remaja, atau menyapu pipiku dengan perona samar-samar agar warnanya tetap tampak natural. Tapi aku punya mata bulat yang indah, dan rambut lurus alami yang berkilauan. Aku enggak setinggi mereka, tapi memangnya kenapa? Aku juga bukan anak terpendek di sekolah. Kalaupun iya, enggak ada yang salah dengan cewek mungil, Justru menurutku cewek-cewek berkaki pendek sangat imut. Aku cukup pintar, dan jago tinju, meskipun menurut Steve cewek yang bisa melindungi dirinya sendiri itu enggak asyik. Memangnya tahu apa anak-anak cowok sepertinya tentang menjadi anak perempuan yang selalu diincar pelecehan seksual di mana-mana? 

Lampu notifikasi ponselku berkedip.

Hey...

Rika mengirim pesan ke Line chat-ku.

Apa kamu masih marah soal Axel?

Enggak.

Bohong.

Kamu menggasak gebetanku.

Syukurlah. Kamu akhirnya berkata jujur.

Aku melipat bibirku menahan senyum. 

Tadi aku ke rumah, tapi kamu enggak ada.

Sebenarnya, aku ingin sekali menjelaskan apa yang terjadi. Aku yakin kamu masih peduli padaku. Kamu enggak mungkin menganggapku enggak selevel dengan Axel seperti anak-anak yang membicarakan kami di belakangku, kan? Kamu marah justru karena kamu peduli. Iya, kan?

Juga karena kamu mengambil gebetanku, Bitch.

(Emot tertawa) Maaf. 

Kamu harus mentraktirku pizza, dan apapun yang kuinginkan di kantin seminggu penuh. Membawakan ranselku, dan aku akan menentukan ke mana kita pergi bertiga setiap weekend sampai tahun depan. Yah... kalau kamu enggak sibuk pacaran sama mantan gebetanku.

Deal.

Lalu kalau ternyata Axel punya sepupu, atau saudara yang sekeren dia, aku yang pertama kali harus kamu kenalkan. Aira belakangan.

Nah, sebenarnya itu yang ingin kubicarakan.

Apa?

Oh, aku ingin sekali kamu di sini. Aku kurang nyaman berada di sini.

Kenapa?

TTYL. Axel memanggilku. Bye....

Bye....

Aku memandangi kata 'bye'-ku dengan pedih. Sesayang apapun aku pada sahabatku, perasaan terkalahkan itu begitu pahit dan mencekik.

Aku selalu berada di nomor berapapun sebelum Rika. Nilai-nilaiku, dominasiku di antara kami bertiga sejak kami berumur lima tahun, dan hampir semua hal yang kami lakukan bersama-sama. Aku selalu lebih unggul. Rika adalah bayanganku. Dia masuk ke sekolah yang sama denganku karena dia adalah pengikutku satu-satunya dan paling setia. Memacari gebetanku adalah satu-satunya kemenangan Rika, seharusnya aku merelakannya, seharusnya aku berbahagia untuknya. Aku sangat ingin melakukannya, tapi aku tetap saja menangis.

Entah sejak kapan aku tertidur, tapi mentari sudah mengintip jendela kamar yang tirainya enggak sempat kututup semalam. Seperti biasa, sambil menggosok mata dan menguap, hal pertama yang kucari adalah ponsel. Aku ingat Rika mengatakan bahwa ia akan berbicara lagi kepadaku, tapi hanya chat terakhirku yang tampil di layar. Aku meletakkan kembali ponsel itu, enggan memeriksa hal lain di sana. Dia pasti sibuk bermesraan dengan Axel, mungkin mereka berciuman, atau malah lebih dari itu. Kudengar-dengar, tangan Axel cukup nakal saat dia menciumi gadis-gadisnya. Semoga dia menjaga Rika dengan baik.

 Kakiku menjejak lantai. Aku berniat memeriksa sisa notifikasi di ponselku sambil sarapan.

Di ujung tangga, aku mendengar suara-suara pria yang enggak kukenal sedang bicara dengan orang tuaku di ruang depan. Aku kembali untuk mengintip setelah menyahut sepotong roti lapis srikaya milik Steve. Dia melarangku, tapi aku nekat.

"Tidak, tentu saja. Tak ada yang melihatnya di pesta itu," itu yang kudengar dari salah satu tamu, aku yakin tamunya lebih dari satu karena kudengar yang lain berdeham saat kalimat itu diucapkan.

Papaku bertanya, "Lalu untuk apa anak saya harus ditanyai?"

Apa yang mereka bicarakan? Siapa yang ditanyai? Oh... pasti Steve. Dia pasti bikin ulah lagi. Bulan lalu Papa mencabut izinnya memakai mobil setelah membenturkan bemper ke bahu jalan. Apa lagi yang dilakukannya sekarang?

"Karena dia adalah orang terakhir yang dihubungi oleh korban. Kami hanya akan menanyakannya, seperti kami menanyai kawan-kawannya yang lain. Silahkan di-cek cetakan ini. Ini adalah rekaman percakapan korban dengan putri Anda. Di sini dia mengatakan dirinya tidak merasa nyaman berada di pesta itu. Kami hanya ingin menanyakan, apakah putri Anda tahu apa yang dimaksud korban saat berbicara seperti ini."

Saat itu, roti lapisku meluncur jatuh di lantai.

Tirai yang memisahkan antara ruang depan dan lorong menuju ruang makan dan tangga ke lantai dua menyibak terbuka. Dua orang pria yang berkunjung itu langsung bisa melihatku, dia mendongak dari kertas yang ditunjukkannya pada Mama dan Papa.

"Itu putri Anda?"

Aku memanggil Mamaku, tanganku meraba dinding karena kakiku mendadak terasa lemas. Aku enggak tahu apa yang terjadi, aku bahkan enggak tahu apa yang dimaksud Rika dalam Line chat-nya, tapi aku jelas bisa menduga hal buruk telah terjadi. Mama segera menghambur ke arahku, memeluk, dan mengecup keningku.

"Ada apa, Ma?"

"Oh... Sayang...," ratapnya, tak henti-hentinya menciumku. "Ini tentang Rika, Sayang...."

"Ada apa dengan RIka?" tanyaku mendesak. Suaraku bergetar antara takut dan enggak percaya. Apa yang begitu gawat sampai-sampai kami didatangi dua orang pria yang mirip detektif di cerita-cerita misteri? Apa dugaanku benar? Apa Axel ternyata mengerjai Rika? Tapi memangnya apa yang dilakukannya sampai melibatkan orang-orang ini?

"Apa Anda berbincang lebih lanjut dengan Saudari Arika Kana setelah percakapan di Line chat ini berakhir, Nona?"

Aku menggeleng. Tatapanku beralih ke Papa, Mama dan dua orang detektif itu bergantian. Tenggorokanku seperti tersekat, dan suaraku mendadak nyaris hilang saat aku mengulang pertanyaan yang tak kunjung terjawab, "Ada apa ini?"

"Apa Saudari Rika tidak menelepon Anda, Nona?"

Aku mulai kesal, kali ini suaraku melengking, "Ada apa ini? Apa kalian semua bisu dan tuli? Atau aku yang bisu? Kenapa kalian terus bertanya dan enggak ada yang mau menjawab pertanyaanku?!"

Mama terkejut dan sempat melonggarkan lengannya yang mendekapku, tapi hanya sesaat. Ia kembali mengalirkan kehangatan yang penuh kasih ke sekujur tubuhku karena memang hanya seorang Mama yang akan tetap memeluk meski putrinya sedang marah besar. Sekaligus sedih. Sekaligus hancur. Sekaligus tak terlalu paham mengapa ia sangat marah, sedih, dan hancur.

Detektif yang tampak lebih tua melipat kertas yang semula ditunjukkannya ke Papa, dia mendekatiku. Rautnya yang semula tegang dan serius perlahan mengendur seiring memupusnya jarak denganku. Anehnya, keramahan yang coba ia tampilkan enggak membuatku merasa lebih baik, sebaliknya aku mendekap lengan Mama yang mengikat erat tubuhku seakan aku berharap ia melindungiku lebih sungguh-sungguh.

"Ada yang terjadi kepada Saudari Arika Kana. Benarkah Nona sahabatnya? Semua saksi mengatakan demikian."

Aku mengangguk tanpa keraguan. "Apa yang terjadi?"

"Sesuatu yang sangat buruk, dan... mengerikan. Saya harap Anda"—detektif itu menoleh pada Mama—"mendampinginya saat saya kembali menjelaskan apa yang terjadi. Saya mohon maaf, tapi tidak ada pilihan, kami harus memberitahu untuk memecahkan kasus ini. Saya akan menghubungi pihak-pihak terkait jika putri Anda membutuhkan pendampingan, bukan pengacara tentu saja. Dia hanya akan ditanyai sebagai saksi, mungkin seseorang yang bisa mendampinginya dalam kaitannya dengan psikologi anak. Bisa kita duduk?"

Mama dan Papa membimbingku menuju sofa yang bagiku saat ini jaraknya seperti sepuluh kali lebih panjang. Jantungku sudah berdegup lebih normal, sebelum pria yang mirip detektif itu bicara, aku bertanya, "Apa yang Axel lakukan? Apa dia mengerjai Rika? Apa dia berlebihan sampai kalian mengusutnya kemari?"

"Axel?"

"Itu nama teman pria Rika," Mama menyela. "Tapi bukan berarti ada hubungannya, itu hanya masalah anak-anak remaja biasa. Sayang... ini masalah serius, lebih baik kita dengarkan dulu, dan jangan asal menyebut nama kalau kamu tidak yakin, ya?"

Aku mengangguk.

"Jadi Anda tidak datang ke pesta seorang siswi bernama Flora yang berulang tahun ke-17 semalam?" Pria kedua akhirnya mendapat giliran bicara.

"Enggak," aku menggeleng.

Mama menambahkan, "Dia tidak enak badan dan memutuskan tidur lebih awal."

Kedua detektif mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, kami hanya mencari keterangan pendukung. Kalau bisa... kami ingin tahu apa saja yang terjadi pada Saudari Rika beberapa hari belakangan. Sebab... meskipun kelihatannya ini hanya masalah anak-anak, ujungnya merupakan kasus perundungan yang mematikan—"

"Mematikan?"

Mama meremas tanganku.

Aku menatapnya, memohon agar Mama mau menjelaskan langsung pada poinnya. Namun Mama lebih memilih diam menyeka air mata.

Detektif itu menyodorkan ponselnya kepada Mama.

"Apa Anda sudah mengecek media sosial pagi ini?" tanyanya kepadaku. Tentu aku menggeleng lagi. "Silahkan, Nyonya. Anda perlu mendampinginya. Video ini tersebar melalui WA, Line, Facebook, Instagram, Twitter, bahkan situs-situs pornografi. Sungguh mengerikan...."

Aku melongokkan kepala ke layar ponsel di tangan Mama. Pada detik ke-tujuh mataku memejam, tak sanggup melanjutkan. Dasar brengsek. Video itu mempertontonkan Rika yang sepertinya sedang mabuk, menari sempoyongan hanya dalam pakaian dalam. Saat aku mengintip lagi, penutup dada Rika sudah enggak ada lagi di tempatnya. Sedetik kemudian, Axel merangsek masuk dengan wajah merah, dia berteriak marah dan memeluk Rika, melindunginya, dan menyuruh orang yang merekam menghentikan perbuatannya.

Rika... Rika... apa yang terjadi kepadamu?

Kepalaku dipenuhi wajah-wajah mungil Rika sejak usianya lima tahun, enam tahun, wajahnya saat beranjak remaja bersamaku, jerawat-jerawat kecil yang tumbuh di hidung dan membuatnya sering sedih dan uring-uringan. Rika yang kusayangi. Sahabatku....

Mendadak aku seperti mendapatkan kekuatan. Aku melepaskan diri dari pelukan Mama.

Mama menghentikanku, "Mau ke mana, Sayang?"

"Ke rumah Rika, Ma... dia sahabatku, sekarang dia pasti sangat membutuhkanku...."

"Tapi, Sayang...."

"Saudari Rika memutuskan mengambil nyawanya sendiri dengan menggantung diri di kamar, satu jam setelah video itu beredar. Dia menuliskan pesan pendek di selembar post-it yang sepertinya ditujukan untuk Anda karena ada nama Anda di sana, dia menulis... kamu benar, tapi sekaligus enggak benar."

Aku meraung.

Kepalaku kosong, aku bahkan enggak sepenuhnya sadar dengan apa yang kulakukan. Aku hanya bisa menutupi kedua telingaku, menjambaki rambutku, seakan dengan begitu hal yang telanjur kudengar bisa kukeluarkan lagi dari kepalaku. Mama membujukku agar tenang, tapi aku malah mengamuk. Saat aku akhirnya dibiarkan sendiri di pojok sofa, aku melolong menyebut nama Rika seperti singa betina sedih yang pernah kulihat di salah satu episode Wildlife Documentary di Discovery Channel. Singa itu menangis karena bayinya hilang, diambil untuk diamankan dari amukan singa jantan ke pemukiman penduduk.

* * *

 Aku kembali membuka mata di atas tempat tidurku. Langit-langit kamarku yang berwarna magenta berpendar-pendar karena genangan air mata. Aku terengah. Tenggorokanku sakit. Rika sudah mati. Aku bangkit. Rika tiada lagi. Lalu duduk. Rika bunuh diri. Kakiku menjejak lantai. Kamu benar, tapi sekaligus enggak benar. Dia dirundung karena aku enggak ada di sisinya, padahal aku sudah mengkhawatirkannya.

Dia sudah....

Tunggu dulu. Kenapa aku masih berada di tempat tidur?

Aku menoleh ke arah jendela, sengatan sinar mentari yang tak asing. Seperti dejavu. Masih hari Sabtu tanggal yang sama setelah semalam aku ketiduran menangisi kekalahanku. Jantungku mencelus saat lampu notifikasi ponselku berkedip.

Hey...

Ponselku meluncur jatuh.

Itu cara Rika menyapa via chat. Dia akan bilang Hey dengan tiga titik dan menunggu sampai dibalas, baru menulis lagi. Aku sering memarahinya kalau sedang enggak ingin berurusan dengan kebiasaannya itu. Kenapa dia enggak langsung saja menulis apa keperluannya supaya enggak buang-buang waktu?

Aku menyahut kembali ponselku.

Aku menyahut kembali ponselku.

Apa ini Rika?

Bukan. Ini Jisoo.

Aku sedang enggak ingin bercanda.

Apa ini Maminya Rika?

Ngapain Mamiku mengirim pesan lewat ponselku?

Kamu sudah mati.

Dan kamu sudah sinting. Kupikir kita sudah berbaikan semalam. Jangan bercanda. Aku di bawah. Cepat turun, Pemalas!

Astaga. Astaga. Aku malah menangis dan terduduk di lantai, kakiku lemas saking bahagianya menyadari bahwa kengerian yang mencekam sampai-sampai membuatku terjaga dalam keadaan menangis itu hanya mimpi. Mimpi! Rika masih hidup. Sahabatku enggak bunuh diri. Pacarnya enggak membuatnya menari telanjang dalam keadaan mabuk. Aku berdiri terlalu cepat, nyaris tersungkur saat karpet tebal kesayanganku membuatku tersandung. Jempolku sakit banget, tapi aku malah tertawa. Menangis, lalu tertawa.

Aku melesat keluar dan hampir menabrak Mama di ujung tangga. "Hey, hati-hati, dooong!" Lalu aku masih bisa mendengarnya menggumam, "Kemarin sebal, sekarang senang banget teman karibnya datang lagi. Aku juga pernah muda, tapi tidak gitu-gitu amat...."

Rika menungguku di dapur, dan aku langsung melompat memeluknya. Aku membingkai wajahnya yang menatapku dengan mata membelalak lebar seakan aku sedang kesurupan. Tapi aku enggak peduli, aku mengecup pipinya, lalu memeluknya lagi.

"Wah, sambutan yang sangat hangat," katanya sambil membalas pelukanku. "Aku agak takut kamu marah lagi karena aku enggak benar-benar TTYL semalam. Malam yang buruk, aku dipermalukan. Aku dijemput Mami di pesta Flora, dia menyeretku pulang. Lebih tepatnya... dia menjewer kupingku seperti anak kelas 5 SD. Beberapa orang merekam, dan sekarang seluruh siswa di sekolah pasti sedang menertawakanku karena ada yang mengunggahnya. Aku masih beruntung, ponselku enggak disita."

Rika enggak akan pernah tahu betapa aku bersyukur mendengarnya. "Kamu memang cewek paling bodoh," celaku sambil terus menangis tersedu-sedu. Daguku menempel di bahu Rika, ingusku mengotori bahan tuniknya. Dia bakal marah, aku mengekeh dalam hati, lalu saat itulah aku sadar. Boom! Mataku menangkap sosok Axel sedang memandangiku, dan menyeringai.

"Harus kuakui, aku sangat senang melihat cewek mesra-mesraan begini," katanya geli.

Ya ampun!

Aku buru-buru melepaskan tubuh Rika dan mendorongnya. Axel melihatku dalam keadaan sangat buruk. Gebetanku ada di rumahku, sementara aku mengenakan piyama amburadul, rambutku berantakan, dan ingusku meleber ke mana-mana. Eh... tapi, Axel bukan gebetanku lagi. Peduli apa aku sama penampilanku di hadapannya?

Aku melongok lagi, dan nekat menyapanya.

Kuberitahu, ini pertama kali kami berhadapan dan saling menyapa.

"Hai," balasnya.

"Senang melihatmu di rumahku," kataku. "Senang melihat kalian berdua di rumahku."

Rika menaikkan alis kanannya, menganggapku aneh. "Apa kamu benar-benar temanku? Bukan Alien?"

Aku pura-pura meninju rusuknya.

"Dengar," katanya, lalu memaksaku mundur supaya Axel enggak bisa mendengar kami bisik-bisik. "Kamu benar, sekaligus enggak benar."

Kamu benar, sekaligus enggak benar.

Mataku mencelang menatap Rika. Apa ini yang dinamakan pertalian batin dalam hubungan persahabatan? Atau jangan-jangan aku punya indra keenam? Hebat, aku harus mempertimbangkan kembali masa depanku. Siapa tahu aku bisa jadi cenayang. Masa depan cenayang sangat cerah di negeri ini, semua orang menyukai ramalan.

Rika enggak menyadari ketertegunanku. "Kamu benar. Cewek-cewek idiot itu memang berusaha mengerjaiku. Mereka dan Axel bertaruh. Mereka berniat membuatku mabuk dan memancingku melakukan hal memalukan di pesta, lalu akan mengunggahnya untuk bahan tertawaan. Axel mencegah itu terjadi, lalu berkata jujur. Dia bilang, setelah beberapa saat jalan bareng... dia benar-benar menyukaiku. Nah di sinilah kamu enggak benar. Dari Axel aku juga tahu... sebenarnya... sasarannya adalah kamu."

"Apa?"

"Mereka salah meletakkan surat Axel di lokerku." Rika menggigiti bibir bawahnya. "Seharusnya... kalau surat itu enggak salah taruh... saat ini kamu...."

"Jangan tolol," hardikku. "Belum tentu dia menyukaiku kalau mereka enggak salah taruh!"

"Ayolah... kalau dia bisa menyukaiku, itu berarti dia akan menyukaimu dua kali lipat."

"Enggak," bantahku yakin. Super yakin. "Aku enggak peduli, serius. Aku... hanya bersyukur kita tetap bisa bersahabat. Axel cuma gebetan, dia enggak penting. Ehm, maksudku... enggak penting buatku, tentu saja dia penting buatmu, tapi bukan itu maksudku...."

Sudut-sudut bibir Rika tertarik membentuk senyuman, "Aku mengerti maksudmu."

"Benar?"

"Kapan aku enggak mengerti maksudmu?"

Aku memeluknya lagi. Lebih erat lagi. Rika enggak perlu tahu apa yang semalam menghantuiku. Entah bagaimana aku bisa melihatnya lewat mimpi, tapi aku mengerti sekarang. Aku akan menelan pil pahit semacam apapun daripada kehilangan sahabat sejati sebaik dirinya. Rika enggak mengkhianatiku, aku yang selama ini enggak bisa melihat bahwa kami menyukai orang yang sama. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri, sehingga gagal mengetahui isi hati sahabatku.

"Apa ini berarti kamu memaafkanku?"

Kepalaku mengangguk, aku menyedot ingus kuat-kuat, lalu tertawa.

"Aku masih belum paham kenapa kamu bersikap begini, tapi aku seneng banget," katanya sambil menggenggam tanganku. "Aku bahagia karena jatuh cinta, tapi aku enggak bisa berhenti memikirkanmu. Kapan saja Axel bisa mendepakku, tapi seorang sahabat sejati enggak melakukannya, kan?"

"Tentu saja!"

"Apa ini berarti tuntutanmu semalam enggak berlaku?"

"Jangan berharap berlebihan. Aku akan menagih mulai hari Senin, apapun yang ingin kumakan di kantin."

"Dasar oportunis brengsek."

Kami tergelak.

"Jadi aku bakal jadi obat nyamuk sampai kapan, nih?" Tiba-tiba Axel bicara. Dia mendekat dengan canggung. "Aku juga harus minta maaf, ya?"

"Enggak," gelengku. "Jangan besar kepala, kamu belum jadi siapa-siapa dalam lingkar persahabatan ini."

"Kamu harus lebih diuji," Rika menimpali.

"Oke...," Axel ikut tertawa bersama kami. "Aku bisa mengusahakannya dengan kita pergi berempat kalau gitu, ya?"

"Ya, tentu saja, kamu juga harus bertemu Aira," kataku.

Axel mengerutkan alis tak mengerti. Rupanya dia belum sampai mendengar mengenai Aira.

"Oh... berempat maksudmu denganku dan pasanganku?" seruku, baru paham yang dimaksud Axel adalah double date. "Yah... kalau begitu kalian bisa menjadwalkan kencan ganda kira-kira... seabad dari sekarang."

"Dia selalu sinis," Rika merangkul bahuku. "Ini yang kubilang semalam."

"Semalam?"

 Sebelum aku mendapat jawaban, pintu belakang rumahku dibuka dari luar. Seorang cowok yang tampak sangat familiar melongokkan wajahnya ke dalam, wajahnya mengerut kesal saat merutuk, "Lama sekali. Di luar puanas. Kita jadi pergi enggak?"

"Jadi, masuk aja dulu."

Rika dan Axel jelas mengenalnya, aku pun rasanya sudah demikian akrab dengan wajahnya, tapi jelas kami belum pernah bertemu. Aku enggak akan bisa melupakan cowok yang garis mukanya sangat mirip dengan Axel, aku pasti langsung akan menjadikannya gebetan cadangan kalau kami pernah bertemu. 

Aku menutup mulutku rapat-rapat seakan barusan aku mengucapkan isi pikiranku keras-keras. Aku kaget sendiri menyadari betapa alam bawah sadarku bekerja jauh lebih cepat dari otakku, orang itu bagaikan pinang dibelah dua dengan Axel!

"Kita akan pergi berempat," kata Axel sambil merangkul cowok itu. "Ini kakakku. Alex. Dia lebih tua 31 menit 12 detik dariku. Waktu kubilang ada cewek jago tinju yang mau kukenalkan padanya, dia langsung bersemangat. Gimana? Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau kukenalkan pada kakakku? Well... dia enggak sekeren aku, sih, tapi lumayan, kan?"

Alex pura-pura meninju perut Axel, tapi meski enggak sungguh-sungguh, aku langsung tahu dia juga rajin berlatih sepertiku.

Dia sangat mirip Axel, tapi dia memiliki sesuatu yang enggak Axel miliki.

Sesuatu yang memenuhi kriteria idamanku.

Lesung pipi.

Aku menyambut uluran tangannya.

"Hai," kami mengucapkannya bersamaan.


TAMAT


Kincirmainan menulis di Wattpad sejak tahun 2014 semata-mata karena ia rindu menyalurkan hobinya menuturkan cerita. Wattpad memberikan tempat bagi tulisan-tulisannya sehingga dapat ditemukan oleh pembaca yang tepat, dan akhirnya menemukan penerbit pada tahun 2017. Sekarang, dia tidak hanya menulis semata-mata untuk keisengan semata. Dia ingin serius menekuni dunia kepenulisan dan berharap suatu hari dapat menghasilkan karya yang melekat di hati pembaca. Kincirmainan dapat dihubungi di akun Instagram: kincirmainan19 dan karya-karyanya yang lain dapat dibaca di akun Wattpad: Kincirmainan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro