"Kucek Dulu Hatimu" - mommiexyz
KUCEK DULU HATIMU
A short story by mommiexyz
Tepat pukul enam pagi di hari Rabu, tanggal 2 September, warga SMA Negeri 1 Jakarta Raya atau sering disebut masyarakat dengan nama SMANSA JUARA mendapat kiriman pesan WhatsApp yang entah dari mana asal muasalnya. Mulanya, di grup kelas XII-IPA A, sebuah pesan terusan, muncul pertama kali bertuliskan
Selamat, ya. SMANSA JUARA bakal dapet ponakan baru.
Pesan tersebut tentu saja mengundang tanda tanya sebab tidak ada yang tahu siapa objek yang dimaksud. Sedangkan si pengirim ternyata tidak bisa dihubungi lagi sewaktu orang pertama yang mengaku mendapat kiriman tersebut berusaha menelepon dan mengirim pesan untuk menanyakan identitasnya.
Sebagaimana anak-anak remaja yang dikirimi pesan misterius, mendadak anggota kelas XII-IPA A meneruskan pesan tersebut ke grup lain, mulai dari grup ekskul, grup kelas, grup alumni kelas hingga kepada wali kelas masing-masing. Akibatnya, saat mereka semua tiba di sekolah beberapa puluh menit berikutnya, kasak-kusuk mulai ramai terdengar mulai dari anak kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Dari satpam dan OB sekolah dan merembet hingga ruang kepala sekolah.
Sewaktu Andyra Jannati Sutanto—guru TKS pengganti untuk mata pelajaran Matematika—melangkah masuk ke ruang guru, dia memandangi rekan-rekan sejawatnya yang terlihat sibuk berbincang dengan wajah serius. Dia kemudian bergerak menuju meja kerjanya yang bertuliskan nama Fatmawati Sutanto, S.Pd, kakak perempuannya yang baru saja melahirkan tiga minggu yang lalu. Andyra lantas melirik arloji di tangan dan menemukan kalau saat itu sudah hampir pukul tujuh. Seharusnya para guru bergegas masuk kelas sebelum jam pembelajaran dimulai. Biasanya ada lima atau sepuluh menit waktu sebelum jam belajar dimulai yang berfungsi sebagai PPK alias Program Penguatan Karakter yang meliputi kegiatan baca Al-Quran bersama alias tilawat, literasi semisal membaca novel atau puisi, menyanyikan lagu kebangsaan atau bahkan kegiatan penguatan yang berupa sharing cerita motivasi yang dibawakan baik oleh guru maupun siswa kelas masing-masing.
Andyra lantas menoleh ke arah meja sebelah. Ada Ibu Nurjannah, teman akrab sang kakak yang kelihatannya sibuk membaca pesan Whatsapp di ponsel miliknya. Tidak lama, bibirnya yang dipulas gincu merah darah mengucap sebaris kalimat tanda tidak percaya, "Siapa, sih, yang sebarin? Ini ponakan baru, anak siapa?"
"Anak Mbakku, Mbak Fat? Kenapa memangnya?" Andyra yang memang baru mendapat keponakan, karena itulah dia diperbantukan di sekolah ini, lantas menjawab dengan wajah polos. Ibu Nurjannah menoleh, lalu dia menggeleng.
"Idih, si Dyra ini. Bukan ponakanmu. Emangnya nggak baca WA? Dari pagi sudah heboh."
Andyra mengedikkan bahu, "Dyra bangun kesiangan tadi, Bu. Keponakan ngajak begadang semalaman. Emaknya tepar kecapekan. Aku lupa charge HP. Sekarang masih mati. Untung diingatkan, mau charge dulu. Emangnya kenapa, sih?"
Alis yang diukir dengan pensil warna hitam tebal milik Ibu Nurjannah naik beberapa milimeter dan dia menghela napas melihat betapa santainya wanita muda yang dia tahu, beberapa bulan lalu baru saja menyelesaikan studi S1-nya sebagai Sarjana Teknik Sipil. Satu-satunya tenaga pendidik di SMANSA JUARA yang melenceng latar belakang pendidikannya. Jika bukan karena sang kakak kepepet melahirkan secara mendadak serta sekolah sedang kekurangan guru akibat banyak guru senior yang pensiun, Andyra mungkin tidak akan bekerja di tempat itu.
"Satu sekolah geger, ada yang kirim WA aneh, isinya bilang selamat karena SMANSA mau dapat keponakan baru."
Andyra yang baru berhasil menarik kabel charger berwarna putih dari dalam tas ransel yang terbuat dari kulit pull-up sapi kesayangannya yang berwarna havana lantas menoleh lagi, "Anehnya di mana? Kalau ada yang hamil, ya, wajar dikasih selamat. Ibu Nur mah aneh."
Ibu Nurjannah berdecak selagi Andyra bergerak menuju dinding yang berada sekitar satu meter dari mejanya saat ini. Ada sebuah colokan listrik yang berada tepat di bawah kipas dinding berukuran 28 inci.
"Aneh, dong. Selama ini kalau ada yang hamil, yang pengumuman, ya, orang yang bersangkutan. Kayak Pak Jamal, girang bukan main karena keponakan satu-satunya, si Sekar hamil. Tokcer suaminya, baru satu bulan langsung isi. Nah, kalau yang ini, subjeknya siapa? Yang ngirim siapa? Nggak jelas."
Andyra yang tangannya masih terangkat, sewaktu dia berhasil memastikan baterai ponselnya terisi, lalu melirik kembali ke arah rekan sejawatnya, "Simpel atuh, Bu. Tanyain aja siapa yang dikirim pertama kali."
Ibu Nurjannah menghela napas. Begini rasanya berhadapan dengan anak muda yang suka menggampang-gampangkan masalah. Tapi, tidak urung dia bicara lagi, tidak peduli suara bel tanda masuk telah berkumandang.
"Masalahnya, itu pesan terusan. Masuk lewat nomor misterius yang setelah dihubungi lagi, ternyata sudah tidak aktif."
"Oh." Andyra manggut-manggut. Dia menggantung ponselnya pada sebuah botol bekas air minum yang dipaku tepat di sebelah colokan listrik, sebagai solusi supaya kabel charger yang terlalu pendek bisa tetap berfungsi. Setelah itu dia berjalan kembali ke mejanya. Ibu Nurjannah sudah fokus ke layar ponselnya kembali tapi sudut matanya mengekori sang guru muda yang kelihatannya tetap santai tidak peduli dengan gosip baru tersebut.
"Yang punya HP lagi kehabisan baterai kali, kayak aku." Andyra cengengesan sewaktu Ibu Nurjannah kembali memancing.
"Bu Nur nggak masuk?" Andyra bertanya lagi sebab beberapa orang guru senior sudah berjalan melewati meja mereka berdua yang kebetulan berada tidak jauh dari pintu.
"Masuk, lah. Ini mau siap-siap. Lah, kamu emang nggak masuk?" Ibu Nurjannah buru-buru bangkit sebab dari arah luar, wakil kepala bidang kurikulum sudah terdengar memarahi siswa yang masih berkeliaran. Bila sudah begitu, dalam satu atau dua menit, beliau akan patroli keliling semua kelas untuk memastikan semua kelas sudah terisi oleh guru dan tidak ada kelas yang blong alias tidak ada guru. Kadang juga, Jamaluddin Hasibuan, nama sang wakil kepala bidang kurikulum, memeriksa kondisi taman kelas untuk kelas-kelas yang lokasinya berada di luar gedung utama, yang memang diperuntukkan untuk siswa kelas sepuluh yang jumlahnya mencapai sepuluh lokal. Bila sekeliling kelas masih kotor, maka para siswa tersebut akan disuruh untuk membersihkan dulu kelas mereka sebelum mulai belajar, tapi tidak semua siswa. Mereka yang disuruh biasanya adalah siswa yang mendapat giliran piket kebersihan pada hari itu.
"Masuk habis jam istirahat, Bu. Jam 5-6." Andyra menjawab. Tiga minggu berada di SMANSA, dia mulai terbiasa menyebut jam dengan konversi yang berlaku di dunia pendidikan. Mulanya dia merasa amat bingung, tapi kakaknya serta beberapa rekan guru menjelaskan seperti apa perbedaan jam dunia nyata dengan jam di dunia sekolah, terutama SMA yang satu jamnya berdurasi lima puluh menit. Tidak perlu menyebutkan pukul delapan atau pukul sembilan melainkan jam kedua dan ketiga yang disesuaikan dengan urutan jadwal pelajaran hari itu, untuk merujuk suatu jam di sekolah. Seperti yang Andyra barusan katakan, jam kelima atau keenam setelah jam istirahat berarti lima puluh menit dikalikan dengan angka lima, yaitu dua ratus lima puluh menit dihitung dari pukul tujuh. Bila jam belajar sebelum istirahat sebanyak empat jam, maka hitungannya adalah dua ratus menit setelah pukul tujuh adalah jam istirahat akan dimulai pukul sepuluh lewat dua puluh. Jam kelima akan dimulai setelah jam istirahat usai yaitu sekitar dua puluh menit. Berarti jam kelima akan dimulai saat waktu menunjukkan pukul sepuluh empat puluh.
"Oalah. Pantas santai banget."
Andyra mengulas sebuah senyum tipis sewaktu dilihatnya Ibu Nurjannah yang telah mengemasi barang-barangnya, berjalan melewati dirinya. Di saat yang sama, berpapasan dengan guru senior itu, lewat dua orang guru lelaki. Yang satu adalah guru bidang studi PJOK yang dua tahun lagi bakal pensiun, Pak Burhanuddin, yang juga pernah menjadi guru saat Andyra menjadi siswa di sekolah ini, serta seorang guru muda yang baru dua tahun menjadi PNS, Syailendra Gaudi Hanantyo, guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris.
"Ga masuk?" Pak Burhanuddin menyapa ramah dan Andyra yang sudah terbiasa mencium punggung tangan gurunya tersebut melakukan hal yang sama.
"Belum, Pak. Jam kelima."
"Oh, 'ntar potoin Bapak, ya, kalau lo kagak ada kerjaan. Buat laporan." Pak Burhan mengacungkan agenda harian guru yang berada dalam pegangan tangannya yang dibalas dengan anggukan oleh Andyra.
"Boleh. Dyra bawa kamera, kok."
"Nah, cakep bener anak gadis gue." Pak Burhanuddin berseloroh. Beliau melambai dan bergegas keluar disusul oleh Syailendra yang melirik Andyra dalam diam. Selewat kedua pria itu, sang guru pengganti menghembuskan nafas berkali-kali. Bersyukur ruang guru mulai sepi dan dia bisa bersikap santai walau aroma parfum yang luar biasa menyengat tadi membuatnya puyeng seketika.
"Ya, buset. Semerbak baunya." Andyra bicara pada dirinya sendiri dan dia memandangi bayangan punggung dua orang guru beda usia itu dengan wajah nelangsa. Bila Pak Burhanuddin tampak amat santai dengan setelan kaos olahraga warna putih dengan tulisan OSN 2018, celana training warna hijau bertuliskan Odadis di sisi kanan kiri kaki, topi warna merah menyala, dan sepatu basket berukuran 44 perpaduan warna merah dan biru, maka Syailendra mengenakan seragam khas abdi negara berwarna kuning khaki. Andyra sendiri, meski merupakan guru pengganti, menggunakan seragam yang sama walaupun sebenarnya yang dia pakai adalah seragam milik sang kakak semasa gadis yang pernah bertubuh langsing.
Dia bersyukur aroma parfum original yang menyengat tersebut mulai hilang karena pintu ruang guru masih terbuka karena masih ada beberapa pendidik yang hilir mudik menuju kelas masing-masing. Karena itu juga, dia kemudian bergerak kembali ke meja dan mulai membuka laptop miliknya untuk memastikan bahan ajarnya hari ini sudah sesuai sehingga saat masuk kelas nanti, dia tidak perlu direpotkan dengan urusan cari bahan lagi yang membuatnya repot. Waktu di antara jam istirahat dan jam kelima sangat rentan karena siswa masih senang nongkrong di kantin atau bertemu gebetan sementara mata guru sudah mendelik-delik menyuruh anak didik mereka segera masuk dengan ancaman yang telat bakal dihitung alpa.
***
Sewaktu bel tanda istirahat usai dan sudah waktunya Andyra masuk kelas, dua orang anak perempuan dari kelas XII-IPS C berlari-lari menyongsong guru muda nan jelita yang saat itu sedang menaiki tangga yang akan membawanya ke lantai tiga, tempat kelas IPS berada.
"Bu Dyra ... Izin ke kantin mau makan."
"Iya, Bu. Izin ke kantin, ya? Boleh, ya, Bu. Pliss."
Andyra yang memandangi dua siswi cantik senior di hadapannya saat ini dengan tatapan bertanya, "Loh, kenapa? Bel sudah bunyi, kan?"
"Iya, Bu. Tapi Aku sama Jelita belum sempat makan. Tadi dihukum sama Pak Syailendra. Jadinya nggak makan." Siswi cantik berhijab dengan hidung bangir seperti gadis keturunan Arab pada umumnya, menangkupkan dua telapak tangan, penuh permohonan.
"Kamu yang dihukum, kok, Ibu yang tanggung jawab, Naya?"
Siswi yang namanya dipanggil oleh Naya menunduk, tangannya kemudian menggenggam jemari Jelita. Kakinya sesekali bergerak satu langkah dan dia menoleh ke arah sahabatnya dengan senyum amat kecut.
"Bu, Naya nggak bisa kelaperan. Dia mag akut. Ntar pingsan terus digotong ke lantai satu. Ibu nggak kasian banget."
Andyra memindai penampilan Naya yang terlihat agamis. Jilbab putih miliknya digosok amat licin dan terjulur hingga perut. Untung para siswa mengenakan badge nama dan bagi para jilbaber, papan nama tersebut disematkan di depan jilbab sehingga para guru tidak lagi kesulitan mengenali siswa-siswa mereka. Andyra bisa melihat kalau wajah Naya memang sedikit pucat dan ancaman Jelita tentang kemungkinan temannya bakal pingsan tentu membuatnya sedikit cemas. Tapi, sebagai guru, dia tidak mau ambil risiko. Karena itu juga, dia segera membuka tas kain berbahan kanvas warna biru benhur yang selalu dipakainya untuk mengajar. Tas tersebut berukuran cukup besar dan menampung semua kebutuhan mengajar. Andyra berhasil merogoh dua bungkus roti merk terkenal yang membuat mata dua siswi cantik itu membulat.
"Kalian duduk di bangku depan kelas, terus makan ini dulu buat ganjel. Air minum ada? Ibu nggak mau kita semua kena semprot Pak Jamal kalau kalian ketahuan nongkrong di kantin."
Naya dan Jelita saling pandang dan ketika mereka merasa tidak mendapatkan pilihan lain, keduanya pada akhirnya mengangguk dan menerima roti pemberian Andyra sambil mengucapkan terima kasih.
"Iya. Habisin, terus masuk. Ibu tunggu di dalam."
Lepas Andyra berlalu, baik Jelita dan Naya memandangi roti pemberian sang guru dan berusaha tersenyum sebelum mereka memutuskan untuk menuju bangku stainless panjang yang berada di depan kelas. Dari situ juga, mereka sempat melihat sosok guru Bahasa Inggris, Syailendra, sedang bicara dengan wajah serius dengan rekan guru yang juga mengajar pelajaran yang sama, Wanda Camellia. Mereka berdiri di depan kelas XII-IPS A, tempat Wanda mengajar dan sepertinya mereka sedang membahas satu materi. Sementara Andyra yang sedang dalam perjalanan menuju kelas XII-IPS C melambai pada Wanda yang membalas juniornya dengan sebuah senyum tulus sebelum bayangannya menghilang di balik kelas.
"Pak Syailendra ganteng." Jelita yang sedang membuka plastik pembungkus roti tersipu dan Naya yang mendengarnya segera menyikut sang sahabat dengan siku kanan, "Genit."
"Biar. Orang emang ganteng." Jelita terkikik geli. Lalu menggigit roti pemberian sang guru yang ternyata berisi sosis.
"Hayo, belum masuk." Suara Syailendra yang terdengar dua menit kemudian, membuat Naya dan Jelita yang khusyuk makan kemudian mengangkat kepala. Jelita yang sejak semula memang naksir kepada Syalendra, mengacungkan roti yang sedang dia kunyah kepada sang guru.
"Lagi makan, Bapak. Tadi, kan, kami nggak dibolehin jajan sama Bapak. Ini dikasih ama Bu Dyra cantik."
Syailendra terdiam sewaktu nama Andyra disebut hingga dia tidak sempat menatap Naya yang masih sibuk mengunyah roti.
"Habisin buruan. Ntar ketinggalan pelajaran. Sana." Syailendra memberi kode supaya dua siswi tersebut mempercepat urusannya dan diprotes oleh Jelita, "Ya ampun, Bapak. Ini lagi ngunyah. Seret, Pak. Gak ada aer."
Syailendra mengumbar sebuah senyum tipis dan dengan cepat menghilang ke kelas XII-IPS F yang berada di ujung kanan gedung.
"Yah, cepet amat si Bapak, mah." Jelita mengeluh. Sementara Naya yang masih asyik mengunyah baru menyadari bahwa ucapan Jelita benar adanya. Dia hendak memberi komentar sewaktu Andyra muncul dari balik pintu.
"Sudah belum? Ayo masuk. Ibu mau presentasi sebentar."
Naya menghabiskan sisa roti dalam satu gigitan besar lalu mengunyah dengan susah payah sewaktu dilihatnya Jelita protes karena mulutnya tidak sebesar sahabatnya.
"Lo mentang-mentang doyan makan, gue ditinggalin. Sebel, ah. Ntar aja gue habisin. Pas pelajaran Bu Dinda." Jelita menggerutu, "Besok-besok, lo jangan tidur di kelas kayak tadi. Sampe gue disalahin juga sama Pak Syailendra."
"Maaf, Deh. Udah, yuk, masuk. Perut gue sakit. Mau minum dulu."
Naya yang pertama kali bangkit dan dia bergegas menuju tempat sampah yang berada di samping bangku, sementara Jelita terpaksa membungkus roti jatahnya dan menyimpannya ke dalam saku blazer seragam SMANSA miliknya, kemudian bergerak menuju kelas di mana sang guru sedang menunggu mereka berdua.
Sewaktu dua muridnya masuk, Andyra yang sudah melangkah, tidak sengaja menoleh ke arah kanan di mana saat itu kebetulan Syailendra kembali keluar dari kelas menuju ke arahnya, tapi dia tahu, pria itu tidak akan menemuinya. Karena itu juga, dia memalingkan wajah ke dalam kelas dan melangkah masuk tanpa rasa ragu sama sekali.
"Yuk semua, kita mulai belajar, ya."
Riuh terdengar dari dalam tepat saat Syailendra melewati kelas tersebut. Namun penyebab suara ramai tersebut adalah Andyra yang mendapat respon amat antusias dari hampir semua siswa laki-laki yang senang dengan kehadirannya.
Entah kenapa, Syailendra yang mendengar suara-suara tersebut merasa amat tidak senang.
***
Lewat pukul empat, suasana sekolah sudah hampir sepi. Sebagian besar siswa sudah pulang sejak pukul empat dan sekarang, yang masih berada di sekolah adalah pengurus OSIS, anggota beberapa ekskul semisal basket, voli, futsal, panahan, dan sanggar tari yang sedang sibuk bergoyang di depan perpustakaan yang memang terlihat sepi. Para guru juga sudah bersiap pulang. Beberapa malah sudah selesai menatap layar absen yang memindai wajah dan retina mereka sore itu, sementara yang lain masih menunggu jemputan, termasuk seorang guru yang setiap pulang, mendapat perhatian paling banyak dari semua siswanya. Andyra juga salah satu dari perkumpulan siswa yang ribut itu meskipun usianya paling tua sendiri. Akan tetapi, dia tidak peduli dengan ketidaksesuaian umur tersebut. Setiap Wanda Camellia, sang senior keluar dari ruang guru karena sang penjemput setianya telah tiba. Saat itu biasanya semua orang mulai bersikap pura-pura cuek namun mata mereka dengan jeli menangkap semua interaksi sang guru dengan suaminya yang berprofesi sebagai artis sinetron dan penyanyi yang sedang naik daun.
Tapi, hari ini, sebagian besar warga sekolah masih saja membahas gosip yang makin santer sejak pagi dan setiap jam, ternyata ada saja pesan baru yang dikirim ke grup siswa atau guru dan membuat mereka semakin gelisah karena tetap tidak menemukan titik terang tentang masalah tersebut.
Hanya saja, Andyra yang sejak semula bersikap santai, tidak mau repot ambil pusing. Dia lebih suka menunggu waktu pulang sekolah (nama lainnya saat-saat sang artis idola menjemput istrinya) dengan melakukan hobi fotografi yang dia tekuni sejak SMP. Karena hal tersebut juga, dia sering dimintai laporan oleh guru-guru senior untuk membidik mereka sewaktu mengajar di kelas sebagai laporan pertanggungjawaban untuk mengisi agenda guru atau juga sebagai dokumentasi bila nanti mereka hendak mengerjakan PTK atau Penelitian Tindakan Kelas.
Andyra senang-senang saja dimintai tolong karena dia memang senang membidik wajah-wajah manusia yang sedang dalam kondisi tidak siap dan terlihat paling alami.
Karena itu juga, dia lantas menemukan fakta bahwa orang itu ....
"Bu, fotoin kita, dong."
Sebuah suara khas remaja tujuh belas tahun membelai indera pendengaran Andyra dan dia menemukan sosok ketua OSIS yang berwajah amat tampan sedang melambai ke arahnya. Andyra tentu saja merasa amat girang. Keuntungan tidak terduga bekerja (dadakan) di sekolah adalah hadirnya makhluk Tuhan berwajah ganteng, cakep, imut, manis, dan sekelasnya, yang membuat lubang hidung wanita muda itu megar-megar menahan gelora jiwa muda. Seumur hidup abadi dengan status 'AVAILABLE' buat pria mana pun, pada akhirnya membuatnya tidak bahagia. Namun kini, menjadi seorang guru pengganti yang cuma dibayar sang kakak dengan ucapan terima kasih (atau juga seporsi nasi goreng, lodeh, kangkung tumis, bergantung juga kepada isi dompet kakak), Andyra merasa amat beruntung. Siapa sangka, dia kemudian dikelilingi oleh bocah-bocah tampan yang selalu antusias dan penasaran tiap melihat senjata kesayangannya yang mereka tahu, selain harganya mahal, merupakan alat super keren untuk menggaet hati anak-anak perempuan yang senang sekali difoto.
"Oi, Ari. Kok belum balik, sih? Nunggu dijemput, ya?" Andyra hanya basa-basi bertanya. Dia tahu, walau Ari, sang ketua OSIS, yang juga merupakan adik kandung sang artis-dan adik ipar Wanda Camellia- berangkat dan pulang sekolah menggunakan motor. Usianya telah lewat tujuh belas dan dia diperbolehkan menggunakan kendaraan tersebut karena jarak rumah dan sekolah cukup jauh. Andyra yang pernah bertanya mengapa dia tidak bergabung dengan sang abang, hanya mendapat jawaban kalau dia dan sang abang tinggal di rumah yang berbeda.
"Nggak juga. Mau rapat bentar buat besok. Cuma ini anak-anak masih sibuk di kelas. Susah banget disuruh kumpul." Ari menunjuk ke arah ruang multimedia yang terbuka dan terdengar suara dari pengeras suara yang menyuruh agar pengurus OSIS segera berkumpul.
"Rapat apa?"
Ari yang menjawab sadar bahwa selain bertanya, sang guru cantik tetap terlihat feminin meski menenteng kamera berukuran besar lengkap dengan lensa tele alias lensa jarak jauh. Andyra sudah menyuruh Ari untuk terlihat santai sementara dia terus membidik dan selang beberapa tangkapan, memilih untuk memperhatikan hasil jepretannya bersama-sama.
"Weis, ganteng dong." Ari memuji dirinya sendiri yang berpose tepat di depan gedung utama yang berlantai lima. Andyra yang belum puas dengan hasil jepretannya meminta bocah tampan tersebut untuk tetap bergaya. Dia terpaksa menghentikan pekerjaannya sewaktu terdengar suara Syailendra yang kelihatannya sedang bersiap hendak pulang. Pria dua puluh tujuh tahun itu dengan santai mendekat ke arah Ari dan mengajaknya bicara mengabaikan Andyra yang memandangi sikapnya dengan mata menyipit dan hidung mengernyit.
Ampun, deh. Nggak bisa, ya, lewat nggak pake parfum gitu sekali aja. Idung Esmeralda kayak ditonjok pake sarung Mike Tyson. Itu juga, sepatu ama rambut sama mengkilat. Kalah, euy, pantat panci abis digosok emak.
Andyra pura-pura tidak melihat Syailendra dan kembali fokus pada kamera. Dia menggeser-geser layar, mencari beberapa spot serta pose bagus sewaktu beberapa guru senior lewat dan minta difoto olehnya dalam perjalanan mereka menuju parkiran, "Ntar dicuci, ya, Dyr. Pake duitmu dulu."
Pake duitmu dulu? Andyra tertawa sembari meringis dalam hati. Untung saja dia banyak menyimpan kertas foto di rumah, jadi tidak akan banyak protes sekalipun senior yang juga pernah menjadi gurunya bertahun-tahun lalu mulai mengeluarkan jurus mata uang paling menjanjikan di abad 21 ini. Toh, selama bertahun-tahun, mereka telah memberikan ilmu amat banyak hingga membuatnya jadi seperti ini.
Andyra masih sempat mendengar kasak-kusuk tentang "keponakan baru" selewat dua guru tadi pamit. Dia lalu menoleh ke arah gerbang, berharap artis pujaan hati akan segera datang walaupun sebenarnya bisa saja bertanya langsung kepada istri sang artis atau Ari yang masih asyik mengobrol, hingga ia santai saja sewaktu tangan Syailendra mampir di bahu kirinya. Entah topik apa saja yang mereka bicarakan, Andyra tidak mau tahu.
Dia hampir memutuskan untuk berjalan ke arah sekeliling demi mencari objek lain untuk di foto saat matanya menangkap satu sosok di layar, tepat di atas gambar kepala Ari, yang terlihat mencurigakan sedang berdiri di balkon lantai lima yang terlihat jelas dari arah dirinya berdiri. Andyra kemudian mengedarkan pandangan ke arah lantai lima dan dia nyaris berteriak sewaktu objek tadi ternyata sedang memanjat pagar balkon yang terbuat dari stainles.
"Itu ...." Andyra menunjuk ke arah lantai lima. Gerakannya mengundang perhatian beberapa orang dekat situ, termasuk Ari, Syailendra, serta beberapa guru yang baru keluar dari ruang guru.
"Hei, hei ...." Andyra menyandang kamera, memegangnya erat lalu secepat kilat lari masuk ke gedung utama dan nyaris menabrak Pak Jamaluddin Hasibuan, sang wakil kurikulum.
"Eeh, apa-apan, ini, lari-lari, Buk Dyra?" Logat khas Sumatra Utara terdengar meluncur dari bibir sang atasan dan Andyra hanya mampu berteriak tanpa berhenti.
"Itu, Si Naya, IPS C, mau loncat dari balkon lantai lima."
Kalimat tersebut sontak membuat semua orang heboh. Andyra hanya sempat menitip kameranya pada Wanda yang kebetulan berpapasan dengannya sementara dia berlari amat cepat menuju lantai lima. Bahkan sepatu hak tinggi warna nude miliknya sudah dia lepaskan sebelum menaiki tangga. Jika dia nekat lari tanpa melepaskan sepatu berhak sepuluh senti tersebut, dia tidak yakin leher dan kakinya masih menyatu sewaktu berada di lantai lima nanti.
Jangan aneh-aneh. Jangan aneh-aneh. Andyra merapal doa semoga saja dia tiba pada waktunya. Dia tahu beberapa orang guru sudah menyusulnya dari belakang, termasuk Jamaluddin Hasibuan yang walaupun bertubuh sedikit gempal, tetap memutuskan untuk mengikuti jejaknya. Dari luar, teriakan-teriakan panik mulai menggema dan Andyra memarahi dirinya sendiri telah berteriak sebelum ini. Seharusnya dia tidak perlu melakukan hal seperti itu karena bukannya tenang, Naya yang berada di lantai atas barangkali akan jadi makin panik.
Meski begitu, sewaktu dia tiba di lantai lima, dengan nafas putus-putus dan kepala hampir meledak saking lelahnya, Andyra bersyukur, Naya masih berada di ujung balkon, terisak-isak dan mengabaikan Jelita, yang menangis ketakutan di belakangnya.
"Kenapa ini?" Andyra bertanya melangkah dengan hati-hati sambil mengatur nafas dengan susah payah.
"Ibu, tolong ... bilang ama Naya, jangan loncat." Jelita menghambur ke arah sang guru. Melihatnya, Naya segera berteriak, "Lo nggak usah peduliin gue, biar gue mati."
Andyra yang tubuhnya terperangkap oleh dekapan Jelita lantas bicara lagi dengan suara keras, "Kenapa kamu mau loncat, Nay? Nggak sayang sama hidupmu?"
Naya menggeleng. Dia menutup kedua telinganya yang terlindung jilbab dengan kedua tangan. Matanya terpejam, bahunya naik turun dan gadis tujuh belas tahun itu terisak-isak lagi.
"Tolongin Naya, Bu Dyra. Aku nggak mau dia kenapa-kenapa," Jelita memohon lagi.
"Lepasin Ibu dulu." Andyra memberi perintah. Jelita segera menurut dan Andyra yang terbebas pada akhirnya melangkah maju, mendekat ke arah Naya yang semakin ketakutan.
"Jangan dekat, Bu. Kalau Ibu ke sini, Nay loncat."
"Kalau kamu loncat, konsekuensinya kamu paling nggak patah kaki, Nak. Bahkan kalau kamu nggak kuat, bisa mati."
Naya melepaskan kedua tangannya lalu tersenyum menatap lantai. Suara dari bawah terdengar amat nyaring. Semua orang memintanya untuk tidak berbuat gegabah.
"Biar aja, sih, mati."
"Ngomong apa, kamu? Saat semua orang ingin hidup, kamu minta mati."
Andyra yang hendak melanjutkan bicara, mendadak diam sewaktu Jamaluddin Hasibuan muncul dengan keringat bercucuran.
"Oi, Nakku, kenapa kau, Nak? Tak sayang kau dengan awakmu, mikir mati? Tak sayang kau dengan Bapak Mamakmu mengais-ngais duit buat kau bisa makan dan sekolah benar? Ada apa? Sini bagi tahu Bapak. Bapak bantu kau, tapi jangan meloncat dari situ. Sebelum Bapak Mamakmu menangis, Bapak duluan yang nangis, Naya. "
Tangis Naya makin kencang sewaktu Pak Jamaluddin Hasibuan mendekat. Dia malah merosot ke lantai dan menangis terisak-isak.
"Oi, Butet. Ngomonglah sama Bapak. Siapa yang bikin kau nangis?"
Di balik wajah garangnya, hampir semua siswa menyayangi wakil kepala sekolah yang satu ini. Dia penuh perhatian dan kebapakan. Walau mulutnya kadang mengoceh dalam bahasa yang sering tidak dimengerti oleh sebagian besar siswa. Tidak jarang, ketika marah, dia tetap memanggil objek kemarahannya dengan kata anakku, yang membuat para bocah tanggung di SMANSA JUARA seperti bicara dengan orang tua mereka sendiri di rumah.
Andyra kemudian memberi ruang agar guru sekaligus atasannya tersebut mendekat kepada Naya. Di saat yang sama, dia sempat menoleh ke arah belakang karena aroma parfum yang menyengat seketika membuatnya sadar, ada tokoh lain yang ikut hadir. Meski tidak bicara, Syailendra yang terengah-engah menangkap pandangan mata dari Andyra dan cepat-cepat dia mengalihkan pandang lagi ke arah Naya dan Pak Jamaluddin Hasibuan.
"Nay?"
Suara Ari, sang ketua OSIS yang nekat bergabung, juga membuat Andyra menoleh. Tapi, dia sudah fokus kepada Naya sehingga tidak menyadari bahwa Ari telah menginterogasi Jelita di belakangnya.
"Ngomonglah sama Bapak. Kalau ada yang ngatain kau, bilang kau jelek, kasih tau. Biar Bapak yang kasih ajar supaya dia tak lantam lagi. Anak cantik macam kau tak payah lah nangis-nangis loncat. Jadi bubur awakmu, susah kami pungut mayat kau. Berdentam-dentam jantung Bapak, kaubuat, Naya."
Andyra nyaris menyemburkan ingus dari hidung gara-gara kalimat barusan dan dia tidak sengaja menoleh pada Syailendra yang berdiri satu meter dari posisinya saat ini. Dia kembali membuang wajah, tak peduli makhluk di sebelahnya saat ini berwajah amat tampan dan lulusan magister Bahasa Inggris dari luar negeri sekalipun.
"Nay malu, Pak." Naya menutupi wajahnya yang basah dengan kedua tangan lalu menggeleng kuat-kuat.
"Kenapa kau malu? Bapak Mamak kau tak susah menyekolahkan kau. Mereka sehat. Tak lama lagi kau lulus, lantas apa yang kau sedihkan?"
Naya ngotot tidak hendak bercerita tentang penyebab dia menangis dan hendak melompat. Butuh waktu sekitar dua puluh menit hingga akhirnya orang tua Naya datang karena putri mereka tidak kunjung kembali. Saat melihat orang tuanya, Naya makin histeris dan gadis tujuh belas tahun itu bersujud di bawah kaki orang tuanya sambil tersedu-sedu.
Rombongan yang makin penasaran juga semakin banyak merangsek menuju lantai lima sehingga Pak Jamaluddin Hasibuan kemudian memberikan solusi agar mereka berbicara di tempat yang kondusif yaitu di ruang wakil kepala sekolah. Naya yang terlihat lemas kemudian dipapah oleh kedua orang tuanya, sementara sang wakil, dengan suara kuat dan nyaring, mengusir semua tamu tak diundang yang menjadikan acara dadakan itu sebagai tontonan gratis.
"Sudah. Klen tak perlu rekam-rekam. Tak perlu kau viral-viralkan. Balik semua, sudah jam lima lewat. Balik ke rumah masing-masing."
Koor huuh serentak menggema di sepanjang koridor lantai lima dan semua penonton kemudian ikut turun menyusul rombongan Naya yang sudah lebih dulu dibawa ke ruang wakil, meninggalkan penasaran dan tanda tanya yang kemudian tumbuh dan berkembang jadi spekulasi dengan amat cepat, termasuk buat dua guru junior yang terpaksa jadi saksi karena mereka berada di tempat kejadian dibanding yang lainnya.
Andyra yang terlalu sibuk bahkan hampir melupakan kamera kesayangannya bila tidak dipanggil oleh Wanda yang ikut penasaran sewaktu dia keluar dari ruang Wakil.
"Terus gimana? Dia nekat lompat karena apa?"
"Yang pasti bukan patah hati." Tawa renyah terdengar dari bibir seorang pria berwajah amat tampan yang membuat Andyra mendadak bisu. Dia hanya membalas dengan senyum aneh saking dia kehilangan kata-kata karena bertatap langsung dengan sang idola.
Dia bahkan tidak sanggup membuka mulut sekadar minta foto bareng seperti yang selalu siswa-siswanya lakukan. Yang Andyra lakukan hanyalah memasang modus foto burst alias teknik pengambilan foto sekali banyak tanpa terlihat oleh sang idola kalau dia sedang mengincarnya. Apalagi, sang artis yang saat ini menggoda istri cantiknya seolah tidak sadar bahwa rekan sang istri adalah penggemarnya yang paling setia.
"Kalau minta foto bareng terus nggak diizinin, bisa masuk kategori patah hati, nggak, sih?" Andyra nekat bicara setelah Wanda berkata bahwa mereka akan pulang. Karena itu juga, sewaktu Wanda tertawa dengan suara amat keras lalu meminta suaminya berpose di sebelah guru baru yang tiba-tiba jadi kaku, Andyra tidak bisa menahan diri untuk tidak terlihat konyol.
Masa bodoh. Yang penting bisa foto bareng, ya Allah, seneng banget.
Andyra bahkan mengulang-ngulang kembali hasil jepretan istri sang artis yang hasilnya tidak bisa dikatakan bagus. Dia tidak bisa protes. Fotografi tidak bisa dipelajari dalam hitungan hari. Semakin giat berlatih tentu semakin baik hasilnya dan dia sendiri merasa, walau sudah bertahun-tahun menenteng kamera, ilmunya belum sebanyak para suhu yang memang benar-benar ahli kodak, nama lain buat penggiat fotografi.
Andyra kemudian dapat mendengar suara memanggil dan dia melihat Naya melambai dari kejauhan sebelum dia menghilang masuk mobil keluarganya. Melihat si gadis berhijab, dia menghela napas. Ternyata obrolan para guru yang dia dengar sejak pagi tidak salah. Hanya saja, dia tidak habis pikir, kenapa sang pelaku penyebaran pesan tersebut tidak bertanggung jawab.
Atau mungkin dia terlalu berat sebelah, membela Naya yang di usianya yang belia telah mengenal kehidupan bebas. Andai saja seragam sekolah tidak menyembunyikan rahasianya dengan baik, gadis itu akan terus merahasiakan keadaannya hingga waktunya tiba. Bila sudah begitu, mungkin dia akan semakin malu. Walau sekarang, Andyra paham, sekolah akan mengambil beberapa tindakan yang mau tidak mau diterima oleh Naya dan orang tuanya.
Pergaulan.
Dia bahkan masih sibuk menonton Doraemon dan Spongebob Squarepants saat seusia Naya.
Petugas Masjid di depan sekolah telah memutar MP3 tilawat dan Andyra sadar, saat itu sudah hampir waktu Magrib. Sekolah sudah sepi, mungkin tinggal Pak Jamaluddin yang masih berada di ruang wakil, menggosok pelipisnya karena kasus ini seperti membuatnya kena tombak tepat di dada. Belum lagi besok yang bisa ditebak, bakal lebih heboh dari hari ini.
Andyra kemudian bergerak menuju parkiran mobil. Untung hari ini dia membawa si roda empat sehingga tidak perlu cemas walau pulang saat matahari mulai tenggelam. Sayangnya, sewaktu dirinya hampir mencapai parkiran, sebuah suara mengagetkan dan dia menoleh pada sang pemilik suara tampan yang memandanginya dengan mata terpicing.
"Kapan lo bakal hapus foto gue?"
"Sori?"
"Itu lo, kan? Yang nyebarin WA tentang Naya? Abis ini, giliran gue, yang aibnya bakal lo sebar ke semua orang."
Andyra mengerutkan alis, melihat Syailendra yang berdiri sembari berkacak pinggang di hadapannya. Apa maksudnya pria itu menuduhnya sebagai penyebar?
"Jangan aneh-aneh, ya. Gue nggak tahu apa maksud lo." Andyra menggeleng dan membuka pintu mobilnya yang berwarna merah cabe.
"Gue punya SS bukti nomor pengirim itu sebelum dia hilang. Lo sempet masukin dia ke grup kelas dua belas, terus gabung ke grup WA yang link-nya dikasih sama Wanda di tahun ajaran baru. Lo emang baru tiga minggu di sini, tapi dari Mbak Fat, gue bisa tahu, lo stalking kelas sebelum akhirnya pindah ke sini."
Syailendra memamerkan foto tangkapan layar di ponsel yang berada dalam genggamannya hingga membuat Andyra membeku di tempat.
"Gue nggak perlu cerita kronologi bisa nemuin ini. Yang pasti, kalo lo nggak mau kasus ini kesebar, hapus foto-foto gue di kamera lo, di drive, di trash, di mana aja, sampe jejaknya hilang dari bumi. Jangan pura-pura nggak tahu, jangan pura-pura sok suci. Gue tahu, lo disewa sama Mbak Fat buat menyelidiki perselingkuhan suaminya sama Naya sampai dia bunting, kan?"
"Ngaco." Andyra tertawa. Geli sekali mendengar tuduhan dari pria yang nyaris tidak pernah bicara dengannya. Dia tidak mau repot-repot meladeni Syailendra, sehingga pada akhirnya Andyra memutuskan untuk masuk mobil tanpa permisi.
Namun, Syailendra berhasil meraih pergelangan tangan kanan Andyra mendesaknya makin kuat, hingga Andyra meringis kesakitan.
"Sakit. Lo apa-apaan, sih? Gue teriak panggil satpam, Ni? Gue aduin lo mau lecehin gue, mau perkosa gue, lo bakal dipecat."
"Nggak bakal bisa." Syailendra menggeleng pelan. Dia tersenyum amat tipis dan mengabaikan hasrat untuk memperbaiki ukiran alis super aneh yang dibuat oleh wanita di hadapannya saat ini, dengan spoolie miliknya yang tersimpan di jok motor.
Andyra terkekeh pelan mendengar kalimat tersebut dan tanpa sadar satu balasan meluncur dari bibirnya.
"Oh, iya. Lupa gue, lo nggak bisa ngace*ng kalo sama cewek."
Syailendra menekan lengan Andyra lebih kuat dari sebelumnya, tapi si sarjana muda hanya menyibakkan helaian rambut panjangnya yang terlihat acak-acakan sejak berlari meniti tangga tadi.
"Saran gue, Mas Syai, lo diem-diem. Biar gue urus urusan gue sendiri dan lo urus-urusan lo. Nggak usah ikut campur apalagi sok tahu nekat sebarin semua tentang gue. Lo punya pistol, gue punya bom. Identitas gue ketahuan? Nggak masalah, besoknya gue bisa berhenti dan orang-orang bakal bela Mbak Fat. Tapi, kalo lo," Andyra menarik napas sebelum melanjutkan, "Karir lo bakal ancur dan cowok lo bakal nangis guling-guling kalau yayangnya ketahuan belangnya."
Syailendra yang terlalu kaget, tanpa sadar melepaskan pegangan tangannya sementara Andyra menepuk dada kanan pria itu, tepat di bagian sebelah kiri, dekat dengan jantungnya.
"Jaga jangan sampe jantung lo meledak, ya, Pak Guru. Ngomong-ngomong, data itu, mau dimatiin, dibuang, dihapus, selagi dia pernah disimpen, jejaknya nggak bakalan bisa ilang. Jadi jangan macem-macem, ya.
Andyra kemudian mendorong tubuh Syailendra dan masuk mobil lalu menyalakan mesin.
Tepat sepuluh detik sebelum menekan gas, dia menoleh lagi lalu mengedip genit pada guru super tampan tersebut.
"Datang lagi ke gue, pas lo sudah bisa naksir sama Andyra Jannati Sutanto dan kalo sudah bisa ngace*ng."
Andyra menekan klakson, lalu melambai sebelum dia menekan gas dan meninggalkan sang guru tampan yang terluka mendengar egonya sebagai lelaki dilukai.
Tapi, dia bisa apa?
Karena gadis itu tahu benar belangnya saat dia menanggalkan identitas sebagai guru SMANSA JUARA.
Tamat
Emak tiga anak dengan inisial X, Y, Z. Guru Bahasa Inggris di lingkungan Diknas Pemkab Ogan Ilir yang suka membaca dan menonton segala hal yang berbau komedi romantis. Penggemar MCU, Marvel Cinematic Universe, mulai dari Captain America sampai Natasha Romanoff, si Black Widow yang fenomenal. Si gaptek kelas menengah, sering sakit kepala kalau harus menggunakan laptop dan komputer sehingga paling suka browsing lewat hape. Penggemar Pempek, segala jenis teh, mulai dari teh tubruk, tisane, kecuali teh Jati Cina. Selalu baper kalau menonton tayangan termehek-mehek jadi selalu sedia tisu ukuran jumbo kalau menonton. Adegan paling sedih sedunia yang jadi favorit adalah saat Rahul Kana dan Anjeli Sharma berpisah di stasiun kereta api. Gara-gara itu juga, judul cerpen ini terinspirasi, Kuch-Kuch Hota Hai, sebagai pembuka novel berjudul ZOOM IN di akun Wattpad mommiexyz.
Doyan nongkrong di Instagram dengan akun eriskahelmi dan punya akun ofisial storykembangkembang16 buat mantengin forum gosip biar tahu gosip jaman naw yang bisa dijadikan bahan buat update bab baru di Wattpad, forum pageant yang menjadikan diriku lebih tahu Mister yang paling kotak-kotak perutnya dibanding siapa pemain film Korea jaman sekarang. Suka perang dengan Bakla, juara satu bisa bahasa Bencong dan sedang mencari kawan berghibah di dunia Hayati, apakah anda salah satunya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro