Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Krisan Tak Bertuan" - Reinsabiila


KRISAN TAK BERTUAN

A Short Story by Reinsabiila


"Kamu adalah semestaku. Seseorang paling berharga yang kumiliki dalam hidupku."

"Pembohong."

Galila Shakayla menggumam getir dengan rahang terkatup rapat. Bola matanya merebak hanya karena sekali lagi mengingat apa yang pernah kekasihnya dulu katakan atau mantan kekasihnya. Laki-laki yang amat ia kasihi, nyatanya dengan keji meninggalkannya begitu saja. Memupuk begitu banyak luka di dalam hatinya.

Meski sudah setahun berlalu, Galila seolah merasakan luka yang ditanggungnya masih amat basah.

Perempuan pemilik bola mata bulat dengan bulu mata lentik itu memejamkan mata. Seolah berusaha mengingat kembali sedalam apa ia mendapat luka. Bibir yang biasanya merekah semerah ceri, kini pun beralih membentuk segaris. Seolah untuk menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum adalah satu hal yang amat menyiksa.

"Apakah belum cukup kamu menyiksaku seperti ini, Athar?" Galila kembali menggumam. Kali ini jemarinya terulur mengambil buket bunga krisan warna putih yang amat cantik di atas mejanya.

Buket bunga yang ia temukan tadi pagi saat baru saja menginjak ruang kantornya. Tanpa nama pengirim. Hanya selembar pesan yang bertuliskan satu kalimat amat singkat.

"Semoga harimu menyenangkan."

Terhitung lima kali, Galila menerima buket bunga seperti itu, sejak beberapa bulan lalu. Beberapa rekan gurunya mengatakan untuk menyimpannya saja, toh hanya bunga. Ketika ia berniat untuk membuangnya saat itu. Dan beberapa lagi justru meminta untuk disimpan di vas yang kemudian diletakkan di ruang penerima tamu.

Galila menuruti semua permintaan itu. Dari pada dibuang, memang sebaiknya digunakan sebelum layu. Namun hari ini, Galila menahan buket bunga itu untuk tetap berada di mejanya, menemani tumpukan tugas-tugas anak didiknya.

Galila sedang menarik lepas setangkai krisan dari ikatannya di buket, ketika mendengar ketukan di pintu dan ucapan salam.

Perempuan itu segera mendongak dan mendapati seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu tampak menunggu, dengan seulas senyum menghias di bibirnya.

Galila segera bangkit dari duduknya, mengambil ransel dan menggendongnya.

"Kamu sudah selesai dengan semua hukumanmu?" tanya Galila setibanya ia di dekat Triyatna, salah satu anak didiknya yang sudah duduk di kelas 12.

Triyatna mengangguk. "Sudah, Bu. Maaf, Bu Lila jadi menunggu saya."

Galila mendahului mengayun langkah untuk menjauh dari lorong kantornya. "Toiletnya sudah bersih, kan? Kalau masih kotor, besok hukuman kamu Ibu tambah."

"Mang Maman sudah kasih nilai 200 sama saya tadi, Bu. Jadi dijamin bersih sekali." Triyatna membalas. Berjalan sedikit di belakang, agar tidak begitu sejajar dengan Ibu guru muda, yang sampai detik ini masih dipuja-puja siswa. Termasuk dirinya, tentu saja. Namun ia tahu persis, ada laki-laki yang mencintai Bu Galila lebih dari apa pun. Yang bagi Triyatna amat bodoh dengan berdiam di dalam rumah dan mengutuk diri tidak sempurna.

Galila mengangguk, menyimpan kuluman senyumnya. Dia memainkan bunga krisan digenggamannya. Sesekali ingin meremukkannya, namun kemudian, teringat bunga cantik itu tak bersalah apa pun.

"Angga sudah baik-baik saja, kok, Bu. Sebenarnya Bu Lila nggak perlu menjenguknya di rumah." Triyatna memberi tahu keadaan sahabatnya yang sejak sabtu kemarin wajahnya babak belur.

"Saya ingin memarahi dia. Nunggu dia masuk kelamaan." Galila membalas ringan, seolah memang sedang mengobrol dengan teman sejawatnya. Tapi memang begini perangainya, membangun situasi menjadi begitu nyaman. Dan kalimatnya barusan berhasil membuat Triyatna meringis ngilu. "Kalau kalian tawuran kemarin karena ngerebutin cewek, kenapa nggak berubah jadi gentle, aja. Kalau ditolak ya mundur, bukannya mendesak bikin keributan."

Biasanya tawuran antar pelajar dipicu salah satunya karena rebutan cewek. Seolah harga dirinya bisa amblas karena ditolak dan memilih jalur kekerasan.

"Bukan karena rebutan cewek, Bu." Triyatna membalas lirih.

"Lalu karena apa?"

"Karena Angga lihat adiknya hampir dilecehkan sama Romy, anak sekolah sebelah."

Untuk beberapa detik terlewat, Galila menahan napas, namun tidak cukup membuat langkahnya terhenti. Ini di luar pemikirannya.

"Angga yang marah melihat adiknya terpojok di depan sekolah, sempat menghajar Romy. Tapi karena Kemala menggigil ketakutan saat itu, Angga lebih memilih menenangkan adiknya dulu."

Galila memejamkan mata. "Jadi bagaimana Kemala?"

"Kemala sudah baik-baik saja. Minggu ini juga dia dipindahkan dari sekolah itu."

"Tapi tetap saja, kan. Tawuran nggak dibenarkan untuk melakukan pembalasan seperti ini."

"Ya memang, Bu. Tapi kalau enggak tawuran, Angga juga pasti hajar Romy." Triyatna meringis pelan. Dia harusnya tidak perlu menceritakan alasan sebenarnya di balik tawuran antar sekolah yang digawangi Angga minggu lalu. "Kata Pak Athar ...." imbuhan kalimat selanjutnya tak mampu dia teruskan saat sadar nama siapa yang baru disebutkan.

"Pak Athar bilang apa?" Galila bertanya memburu. Memuji di dalam hati karena reaksi dadanya tak lagi berlebihan dengan merenyutkan sakit hanya karena nama kekasihnya dulu disebutkan.

Triyatna mengumpulkan keberaniannya. Dia merasa terjebak di kalimat yang ia utarakan sendiri. "Kata Pak Athar, senakal-nakalnya laki-laki, pantang namanya melecehkan perempuan. Karena itu seperti merendahkan perempuan yang juga melahirkan kita."

Ada senyum yang terulas amat tipis di sudut bibirnya. "Benar memang, tapi kalau kalian bisa menjadi laki-laki baik, kenapa harus memilih menjadi laki-laki nakal?" Galila menjeda, untuk menilai raut wajah lawan bicaranya kali ini. "Kalimat kamu barusan itu seperti sebuah pembenaran untuk bisa bebas melakukan hal buruk lainnya. Asal tidak merendahkan perempuan."

Pembenaran menyedihkan yang juga Athar lakukan setahun lalu. Dengan meninggalkan dirinya sendiri dalam luka amat dalam.

Lelaki itu baik pada siapa pun. Namun padaku, ia tak segan menoreh duka.

Galila menghela napas kasar ketika berhasil membungkam lawan bicaranya. "Sudah, kita ketemu di depan gerbang."

"Eh, kenapa di depan gerbang, Bu."

"Kamu bawa motor, kan?" Saat Triyatna mengangguk, Galila mengimbuhi. "Ya sudah, ketemuan di depan."

"Saya pikir, saya boncengin Ibu." Triyatna membalas polos. "Motor saya bisa saya tinggal di sini dan pakai motor Ibu ke rumah Angga."

Galila tertawa pelan. "Saya nggak mau dibonceng anak SMA," putusnya mutlak.

Sepeninggal Triyatna. Galila melirik bunga krisan putih yang betah ia genggam. Dia berbisik merdu seolah krisan itu bisa diajak bicara. "Aku mulai terbiasa dengan hari-hariku yang tanpa kamu."

* * *

Setelah urusannya menjenguk Angga yang keadaannya mulai membaik selesai, Galila pamit pulang. Diantar Triyatna dan Kemala ke depan rumah. Dia sudah akan melajukan motornya menjauhi rumah Angga ketika tanpa sengaja kepalanya tertoleh ke arah kanan dan menemukan sederet bunga krisan di depan sebuah rumah.

"Tri, kamu bilang rumahmu cuma terlewat tiga rumah dari rumah Angga, kan?" Galila bertanya tanpa melepas tatapan dari bunga-bunga krisan yang tampak cantik bermekaran.

Triyatna yang tidak mengerti maksud pembicaraan ibu gurunya, membalas jujur. "Benar, Bu."

"Berarti kamu kenal tetanggamu? Saya mau minta bibit bunga krisan warna ungu itu. Boleh minta anterin?"

"Eh, tapi, Bu ...." Triyatna belum menyelesaikan ucapannya ketika Galila menyambar.

"Cuma minta bibitnya aja. Kalau nggak mau, nggak apa, biar saya iseng main-main aja ke sana." Galila memiliki beberapa tanaman krisan di rumah, yang ia rawat baik.

Kemala yang sedari tadi diam, ikut membuka suara. "Itu kan rumahnya Mas Tri, Bu."

Ketika Tri mengaduh di dalam hati, Galila justru mengulas senyuman senang mendengar penuturan Kemala. "Kebetulan sekali. Saya bisa bicara sama wali kamu sekalian."

Dan Triyatna tidak memiliki balasan untuk membantah. Dengan berat hati, ia mengantar Galila menuju rumah yang selama ini ia tinggali. Gerbang depan rumahnya tampak membuka lebar, dan dia berusaha menormalkan detak jantungnya ketika mendapati seorang laki-laki dengan tongkat bantu tengah berjalan mondar-mandir di pelataran.

Triyatna sudah akan meminta Galila untuk mencabut bibit bunga yang perempuan itu inginkan, sehingga Galila yang sedari tadi tampak mengagumi bunga-bunga di depan rumahnya, tak perlu menyadari keberadaan lelaki yang sejak setahun terakhir kehilangan kemampuannya melihat.

Namun keinginan itu harus tertelan getir saat kakak sepupu-nya berseru. "Tri, kamu sudah pulang?"

Bersamaan dengan seruan itu, Galila turut serta menoleh dan detik itu juga, kunci motor dalam genggamannya tergelincir jatuh. Berdenting di ubin pelataran. Jemarinya seolah kehilangan kemampuannya menggenggam.

Dan saat wajah yang amat ia rindukan berjalan semakin mendekat ke arahnya, tampak meraba-raba dengan tongkat di genggaman tangan kanan. Galila hanya merasakan satu hal. Dadanya kembali merasakan kesakitan teramat.

"Tri, itu kamu, kan? Kok pulangnya lama? Kakak penasaran gimana Lila di sekolah hari ini. Dia suka sama bunganya, kan?"

Udara di sekitar Galila berubah senyap seketika, seolah memang mengiringi bulir air mata dari sudut matanya yang mulai meluruh tanpa mampu dicegah. Perempuan itu harus membekap mulutnya begitu rapat melihat kekasih hatinya yang tak lagi mampu melihat indahnya dunia.

"Tri?"

Triyatna yang sedari tadi bungkam, memilih mundur beberapa langkah seolah membiarkan keadaan mengambil alih dengan sendirinya.

Dengan suara serak dan air mata yang membanjir, Galila melirih, sebuah panggilan yang berhasil membuat laki-laki di hadapannya pias seketika.

"Mas Athar ...."

* * *

Satu tahun yang lalu.

Galila melirik malu-malu pada sosok tampan seorang lelaki yang berada beberapa meter dari tempatnya. Lelaki itu sedang mengobrol dengan teman sejawat mereka dan tampak tertawa lebar. Tawa yang juga menular padanya hingga membuat bibirnya turut serta mengukir senyuman.

Aduh. Dia seperti remaja kasmaran yang menganggap dunia seperti hanya berisi bunga-bunga saja.

Perempuan itu menggeleng pelan, memilih menyembunyikan diri di samping tiang lorong dan menatap ke arah lapangan utama sekolah yang ditumbuhi rumput menghijau begitu terawat.

"Diem-diem sendiri, nanti ada setan lewat lho, Bu."

Bisikan lirih yang menyapa indera pendengarnya, membuat Galila bergidik ngeri dan segera menoleh ke arah kirinya. Untuk mempertemukan tatapannya dengan bola mata hitam sepekat jelaga milik sang kekasih. Lelaki tampan yang beberapa menit lalu menjadi fokusnya curi-curi pandang.

"Setannya, kan, udah di depan mata." Galila terkekeh geli saat mendapati bola mata yang membuat ia amat jatuh cinta itu berpendar terkejut.

"Nggak ada setan yang terlalu rupawan sepertiku." Athar membalas ringan. "Kalau aku setan, malaikat kayak kamu kok mau ngasih hatinya ke aku." Dan lelaki itu memulai aksinya melancarkan gombalan seperti biasa.

Galila menahan senyumnya, semakin memundurkan wajah memberi jarak agar Athar tidak terlalu mendekat. "Bapak Athar tolong, ya. Ini di sekolah."

Mendapat peringatan seperti itu, Athar justru menyeringai. Dia mendekatkan wajahnya hanya sampai merasakan desah napas Galila yang tercekat. Karena detik berikutnya ia mundur dan berdiri tegap. Sudah cukup puas mendapati pelototan perempuan itu.

Saat sudut matanya menemukan dua lengan Galila melingkari tiang lorong, dia terkekeh geli. "Beruntung banget jadi tiang, bisa dipeluk Bu Lila sesuka hati tanpa khawatir."

Galila mengembuskan napas kasar yang sejak beberapa detik lalu tertahan. Dia lalu menelan ludah dan membenarkan pakaian, kembali bersikap berwibawa layaknya ibu guru yang dihormati para muridnya. "Jangan coba-coba menggodaku, ya."

"Kenapa? Kamu suka, kan?"

"Nggak." Galila menjawab cepat sembari menggeleng pelan.

Senyum Athar terkulum geli. "Masa sih? Nggak suka tapi pipinya merah gitu?"

"Mas Athar. Ya Tuhan." Galila menggeram lirih dengan tatapan tajam yang ia harap, bisa membungkam bibir sang kekasih agar tidak menggodanya terus menerus.

Dia sudah hafal luar dalam dengan sifat Athar yang ia kenal sejak usia belasan. Selain memang pandai menggoda, Athar juga pandai membuat bibirnya bungkam dan hatinya luluh.

"Iya, maaf." Athar menyerah, tidak ingin membuat wajah Galila semakin memerah, meski ia sangat menikmati raut malu-malu sang kekasih. "Jadi, kenapa di sini ngeliatin aku, nggak ada kelas?"

"Hari ini udah abis kelasnya. Dan aku nggak liatin kamu, ya, Mas Athar." Galila mengawali mengayun langkah yang diikuti Athar di sampingnya.

"Nggak, ya." Athar berpura-pura kecewa. "Padahal kalau bilang liatin aku, mau kukasih hadiah."

Galila menoleh pada Athar penuh minat. "Hadiah apa?"

Athar mengedikkan bahu. "Nggak jadi. Kamu nggak liatin aku ternyata." Dan Athar amat senang kala Galila mencebikkan bibirnya, seperti bocah kemarin sore. Sungguh berbeda dengan yang biasa ia lihat di depan kelas saat mengajar di hadapan murid-muridnya. Yang begitu dihormati dan terkadang ditakuti.

"Oh gitu ...." Galila mengerjap kala setangkai bunga krisan berwarna putih tersaji di depannya. Dia melirik sekilas ke arah Athar yang tampak mengukir senyuman. Dan ia segera mengambil bunga itu untuk kemudian ia dekatkan ke hidungnya. Bukan wangi bunga yang ia temukan, melainkan parfum sang kekasih. "Mang Maman pasti akan marah liat bunga yang ia rawat penuh kasih dipetik sembarang seperti ini."

Ada sederet bunga krisan yang sedang bermekaran di depan gedung perpustakaan, tempat Athar berdiri cukup lama di sana.

"Aku yang beli bibitnya, tahu. Masa Mang Maman marah. Nggak mungkin lah."

Galila menaikkan sebelah alisnya. "Mas Athar beli bibit bunga?"

Athar mengangguk yakin. "Karena kamu suka bunga krisan. Jadi aku bikin taman krisan di depan perpustakaan, spesial buat calon istri."

Galila menghentikan langkah seketika. Bukan hanya terkejut karena Athar membuat taman krisan, melainkan sebutan untuk status barunya.

"Kenapa berhenti?" Athar tampak heran ketika Galila menghentikan langkah. Hingga dia sadar dengan kalimatnya barusan, yang membuat bibirnya mengulas senyuman. Dia kemudian merogoh saku depan celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Aku serius ingin jadiin kamu istriku, La," katanya lirih. Sembari menunjukkan sebuah cincin putih tanpa permata.

Yang Galila lakukan berikutnya bukan berjingkrak kesenangan karena apa yang ia lihat di depan mata, dia justru menatap gelisah ke arah kanan dan kirinya, sepanjang lorong membentang. Tidak ada siapa pun. Kecuali Mang Maman yang sedang membersihkan rumput di depan lab kimia, tempat ia memperhatikan Athar sebelumnya.

"Mas Athar ngelamar aku di sini?" tanyanya, tidak percaya. Dari begitu banyak tingkah Athar yang memang menggelikan, dia tidak menyangka jika kekasihnya akan melamar di sekolah.

"Kenapa? Kamu keliatan nggak senang?" Binar yang sebelumnya menyala di bola mata Athar meredup perlahan.

"Bukan itu. Tapi di sekolah?"

Mengerti maksud sang kekasih, kali ini Athar mengurai cengiran. "Iya. Di sekolah. Di lorong pertama kali kita bertemu delapan tahun lalu. Dan di hari Senin di mana aku mengorbankan dasiku untuk kamu pakai. Di hari yang sama juga kamu memandangku penuh penilaian hanya karena aku pakai jeans warna biru muda untuk mengganti celana abu-abu."

Galila tidak bisa menahan tawa. Dia ingat persis masa-masa itu, meski sudah bertahun-tahun terlewat. Seolah momen itu adalah hal penting yang harus diabadikan. Pagi itu, tepat di hari Senin, Galila kelabakan mencari dasi osisnya yang tidak berhasil ia temukan. Dia sangat ketakutan, karena tanpa dasi sudah bisa dipastikan dia akan upacara bendera menghadap ke arah matahari, berdiri di depan ratusan siswa sebagai hukuman karena tidak taat.

Dan Athar yang saat itu duduk di bangku kelas dua belas yang sudah terkenal bengal seantero sekolah, melepas dasinya dan diberikan pada Galila secara suka rela.

"Gara-gara aku ngasih dasi ke kamu. Aku jadi dihukum di depan anak-anak. Malu, tahu." Athar mengimbuhi dengan selingan tawa di bibirnya.

Galila mengusap sudut matanya yang berair karena tawanya tak juga berhenti. Setelah menarik napas dan mencoba menghentikan tawa, perempuan itu membalas, "Dasinya nggak dikasih aku aja, kamu akan dihukum. Nggak ada anak sekolah mau upacara bendera pakai jeans biru."

Athar tidak membantah. Dia justru begitu menikmati tawa Galila. "Itu dasi satu-satunya yang kumiliki. Dan ini juga cincin satu-satunya yang kumiliki. Jadi, maukah kamu sekali lagi menerima pemberian dariku yang hanya satu-satunya ini?"

Galila menjilat bibir bawahnya. "Mas Athar serius?"

"Sejak hari itu, aku tahu perasaanku tidak biasa padamu. Dan sangat mengerikan karena hingga hari ini perasaan itu tidak pernah berkurang melainkan terus tumbuh dan meluap-luap."

"Aku mau ... aku mau menerimanya." Galila menjawab lirih, namun begitu mantap. Karena dia memang sudah amat mengharapkan Athar untuk melamarnya. Meski tidak pernah terpikir jika Athar akan melamarnya di lorong sekolah, dengan cara yang amat tidak romantis. Tapi, meski begitu, pada Athar dia sudah mempersembahkan seluruh hati yang ia punya.

Detik berikutnya, Athar memasangkan cincin itu di jari manis Galila dan berbagi senyum tulus juga tatapan penuh kasih.

Galila sempat berpikir jika tidak ada satu orang pun yang memergoki tingkah mereka, karena lorong masih amat sepi. Namun perempuan itu salah, ketika Mang Maman -tukang kebun sekolahnya yang ia kira sibuk mencabuti rumput sedari tadi, menampakkan diri dan memberi senyuman begitu tulusnya.

"Alhamdulillah, akhirnya lamaran Mas Athar diterima. Saya jadi nggak pusing harus jawab apa pas Mas Athar curhat."

Galila menaikkan sebelah alisnya. "Mas Athar curhat sama Mang Maman?" tanyanya, yang dibalas anggukan oleh Mang Maman. Dan membuat Galila sontak mencubit pinggang Athar. "Ih, nakal. Gangguin Mang Maman sama curhatan kamu."

Athar menghindar dengan kekehan tawa di bibirnya. Saat dia melirik ke arah Mang Maman, dia mengedipkan mata dan mengacungkan jari telunjuknya di bibir.

Dan sesi lamaran ala kadarnya itu, tetap tersimpan manis oleh Galila, Athar dan tentu saja, Mang Maman yang berjanji tidak akan membeberkannya pada siapa pun.

* * *

Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun, laki-laki yang ia tunggu tak juga menunjukkan sosoknya.

Galila menggigit bibir bawahnya dengan perasaan amat gusar. Sudah lebih satu jam Handaru Atharrazka yang ia tunggu kehadirannya tak juga memberi kabar.

Malam ini, dia dan Athar berencana untuk meresmikan hubungan mereka. Mempertemukan dua keluarga dan membicarakan tanggal baik untuk hari pernikahannya nanti.

Namun, Athar dan keluarga lelaki itu tak kunjung datang hingga hari semakin malam.

"Angkat teleponnya, Mas Athar." Galila menggumam lirih dengan ponsel menempel di telinga. Ada begitu banyak permohonan yang ia lambungkan malam ini.

Pada dering ketiga, Galila meloloskan napas lega ketika panggilannya akhirnya terjawab. Setelah mengucap salam dan dibalas dari seberang, Galila segera bertanya, "Mas Athar ada di mana? Sudah hampir sampai rumahku belum? Atau jangan-jangan nyasar karena saking gugupnya Mas mau ketemu ayah."

Perempuan itu mencoba bercanda demi sedikit saja menyingkirkan prasangka buruk yang menyapa dadanya sejak tadi. Namun kemudian, balasan dari Athar berhasil membuatnya menahan napas.

"Kita putus, La. Aku dan keluargaku nggak akan datang ke rumahmu malam ini atau malam-malam berikutnya."

Galila menggeleng pelan. Dia sudah akan membuka bibirnya, tapi balasan dari seberang semakin membuat dadanya merenyut sakit.

"Aku bodoh karena berpikir akan bahagia bersama kamu. Nyatanya, nggak. Selama ini aku tersiksa. Kamu kekanakkan, suka mengatur dan semaunya sendiri. Bukan perempuan seperti kamu yang aku harapkan jadi pendamping hidupku."

Setetes bulir air mata turun tanpa mampu Galila cegah. "Mas Athar bercanda, kan? Ini nggak lucu." Ada getar pelan di bibirnya saat mengatakan itu.

"Nggak. Aku serius. Hal paling bodoh yang pernah aku lakukan adalah berpura-pura mencintaimu selama ini."

"Mas ...."

"Aku nggak mau ketemu kamu lagi, La. Tolong, biarkan aku cari kebahagiaanku dan itu bukan kamu. Sudah cukup selama ini aku menjadi lelaki bodoh. Aku harap kamu mengerti, kita berakhir malam ini. Dan selamat menikmati malam kamu, La."

Panggilan ditutup tanpa memberi Galila kesempatan untuk mempertanyakan keputusan sepihak Athar yang amat mendadak. Saat ia mencoba untuk menghubungi lelaki itu. Nomor teleponnya sudah diblokir.

Sisa malam itu, seperti yang Athar katakan, tidak ada kedatangan lelaki itu atau pun rombongan keluarganya. Galila ditinggalkan sendiri. Diputuskan secara sepihak.

Dan benar pesan dari Athar. Galila menikmati malamnya dengan tangisan tak berhenti dan dada menyesakkan seolah segala rasa sakit sedang menyambangi.

Tanpa mengetahui jika di seberang sana, seorang lelaki yang baru saja melempar sederet kalimat keji, mengalami hal yang serupa. Ada sesak yang menghimpit dadanya. Sebongkah luka yang sama besarnya menganga di hatinya. Mengiringi dunianya yang berubah gelap, begitu pekat.

* * *

Handaru Atharrazka adalah cinta pertama Galila. Dulu sekali, ia hanya berpikir perasaannya pada lelaki itu hanyalah cinta monyet biasa. Nyatanya salah.

Setelah bertahun-tahun berjarak karena menempuh pendidikan tinggi di tempat berbeda, mereka dipertemukan kembali di atap sekolah yang sama saat masih berseragam putih abu-abu.

Dan kini, setelah setahun lelaki itu menghilang dari hidupnya, menitipkan luka yang tak kunjung mengering di hati Galila. Dia justru menemukan satu fakta yang membuat lukanya semakin menganga.

Dengan bibir bawah tergigit menahan isakan, perempuan itu melirik ragu-ragu pada sosok lelaki teramat ia cinta yang bertahan memalingkan wajah.

"Kenapa Mas Athar setega ini padaku? Ini bukan lelucon yang patut kamu sembunyikan." Galila melirih dengan bibir bergetar.

Triyatna sudah menceritakan detail kejadian yang menimpa Athar hari itu. Lelaki itu mengalami kecelakaan saat akan membeli buket bunga untuk dirinya dan harus kehilangan penglihatannya. Dan entah diletakkan di mana hati Athar saat itu, sehingga meminta semua orang untuk menyembunyikan kondisinya yang sesungguhnya. Berpura-pura ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Membuat ia merasa terbodohi selama ini.

Lelaki itu menginginkan Galila untuk melupakan, namun sendirinya hampir tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa bercerita tentang Galila.

"Kamu nggak seharusnya di sini. Silakan keluar." Athar berucap dingin dengan rahang terkatup rapat.

Galila tertawa hambar. "Mas Athar sungguh ingin mengusirku? Membuatku menjauh sekali lagi?"

"Kamu dan aku nggak ada kepentingan apa pun lagi. Dan ya, kamu aku usir. Jangan temui aku lagi."

"Kalau aku nggak mau, apa yang akan Mas Athar lakukan?" Galila menggeser duduknya untuk sedikit mendekat ke arah Athar. Dia dan lelaki keras kepala yang membodohinya selama ini sedang duduk di kursi besi di taman rumah yang ia kira rumah Triyatna. Namun salah, pemilik aslinya sedang duduk begitu berjarak dengannya.

Athar menelan ludah saat merasakan pergerakan mendekat dari seseorang di sebelahnya. "Berhenti di sana, La." Dia memperingati.

Namun bukan Galila jika menurut, perempuan itu semakin mendekat hingga menyisakan satu jengkal jarak di antara ia dan Athar. "Aku sakit, Mas Athar. Kenapa harus berbohong? Apa kamu berpikir kalau aku nggak akan menerima kamu. Kamu kira cinta aku sedangkal itu?"

Athar memilih diam, hanya terus mengatupkan bibirnya dan membuang muka. Dia tidak pernah berpikir satu kali pun sejak kehilangan penglihatannya, suatu saat akan bertemu Galila. Namun sungguh, hanya mendengar suara perempuan itu dan sadar akan keberadaannya. Cukup membuat dada Athar begitu hangat dengan desir darah yang mengalir amat menyenangkan.

Galila memberanikan diri untuk menggenggam jemari Athar dan mengabaikan kesiap pelan dari lelaki itu. Jari-jari itu tampak lebih kurus, jauh berbeda dengan jemari yang terbiasa menggenggamnya erat dan hangat dahulu. "Aku sayang kamu, Mas Athar. Nggak berkurang sedikit pun, dulu atau pun nanti."

Athar berusaha menarik jemarinya, meski hangat yang menjalar dari telapak tangan Galila terasa begitu menenangkan dadanya. "Pergilah, La. Kita sudah berakhir. Dan akan tetap begitu seterusnya."

Galila memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam dan menghelanya pelan. "Sepertinya Mas Athar tak juga mengerti. Aku akan tetap di sini."

"Kamu layak mendapatkan lelaki sempurna yang bisa membahagiakanmu." Athar mengatakannya dengan senyum getir di bibirnya. Merasa begitu tidak berguna di hadapan perempuan yang padanya, ia pasrahkan seluruh hati.

"Aku hanya akan bahagia kalau itu Mas Athar."

"Jangan keras kepala, Galila." Untuk pertama kali, Athar menoleh ke arah suara Galila.

Dan Galila terpaku di tempatnya duduk, usapan jemarinya di punggung tangan Athar berhenti. Manik matanya hanya terpaut erat pada bola mata sepekat jelaga yang tak pernah berkurang keindahannya sedikit pun.

"Bukan aku yang keras kepala, tapi kamu. Tolong, jangan buat hatiku sakit lagi karena tidak menemukanmu di hidupku. Mengapa begitu sulit untukmu menerima aku kembali. Kamu bilang, kita saling melengkapi, bukan? Dan ya, kita akan saling melengkapi."

Athar menunduk. Menggeleng pelan. Meski ia amat mendamba kebersamaan dengan Galila, namun ia tak bisa egois. Perempuan terkasihnya itu pantas mendapatkan sosok sempurna. Dan itu bukan dia.

"Aku suka bunga krisan tanpa nama yang kamu kirimkan beberapa kali ke sekolah." Galila bercerita. Dia memang sempat berpikir, pengirim bunga itu adalah Athar. "Bunganya selalu disimpan di vas dan awet berhari-hari. Dan kenapa kamu mengirim bunga krisan berwarna putih, kamu pasti lebih tahu makna di baliknya, cinta yang murni, kesetiaan dan ketulusan. Itu yang aku rasakan padamu. Dan kuyakin kamu pun merasakannya."

"Itu kesalahan." Athar menggeram. Harusnya ia tak pernah mengirim bunga-bunga itu. Hanya karena, setiap detiknya ia selalu membayangkan buket bunga krisan di dekapan Galila.

Tidak putus asa karena penyangkalan yang Athar utarakan, Galila membawa telapak tangan lelaki itu untuk menangkup wajahnya yang basah air mata. Merasakan getar pelan telapak tangan lelaki itu saat menyentuh pipinya.

Perempuan itu tersenyum samar saat Athar menengadah dan seolah mempertemukan tatapan mereka. Bukan kosong yang ia temukan di bola mata itu, namun kerinduan.

"Aku bertambah sakit dengan penolakan-penolakanmu."

Athar berbisik lirih, tak lagi mampu membendung letupan perasaannya. "Maaf." Dia tahu betul, setulus apa perasaan Galila padanya. Dan jemarinya bergerak sendiri, meraba wajah Galila dan mengusap basah di pipi perempuan itu. Entah sudah sebanyak apa ia membuat kekasihnya menangis. "Maaf," lirihnya sekali lagi.

"Aku akan memaafkan Mas Athar kalau kita kembali seperti dulu." Galila membiarkan jemari bergetar Athar untuk berkelana di wajahnya. Seolah sedang berusaha mengais-ais ingatan di masa lalu. "Dan aku tetap cantik meski menangis seperti ini. Seperti malaikat, katamu." Dia mencoba sedikit berkelakar, dan berhasil membuat sang kekasih mengurai senyuman, meski tipis.

Namun, bukankah itu lebih dari cukup dari pada terus berpaling dan mendorongnya menjauh.

"Maaf sudah berdusta padamu selama ini. Aku hanya berpikir, sudah tak ada lagi yang tersisa di hidupku. Kamu harus melanjutkan hidupmu tanpa aku yang akan menjadi bebanmu." Athar berbisik lirih dan menurunkan jemarinya untuk kembali mempertemukannya dengan jemari Galila.

Galila mengulas senyuman manis. "Jadi kita bersama sekarang?" tanyanya. Dia tahu persis, ia telah memenangkan hati Athar. Sama seperti dirinya, Athar pun masih menyimpan cinta mereka dengan baik.

"Andai aku bisa sekali lagi menolakmu, aku akan melakukan itu." Athar berucap lirih dengan kepala menggeleng pelan. Nyatanya, pertahanan dirinya tidak sekuat itu. Ia ingin menjadi egois dan sekali lagi merengkuh Galila. Memiliki perempuan itu. Mendekapnya sesuka hati. Dan menikmati setiap celoteh menyenangkan yang Galila suarakan.

"Aku merindukanmu. Sangat," imbuhnya. Kali ini ia membawa jemari Galila mendekat ke arah bibirnya untuk ia kecup pelan, dengan seluruh perasaan dan kesakitan yang selama ini menderanya. Dengan segenap kerinduan yang meledak-ledak di dadanya.

Triyatna yang sedari tadi berdiri di depan gerbang rumah, bertahan sebagai pengawas, akhirnya mampu mengulas senyuman. Setidaknya, lelaki keras kepala yang selama ini merecoki dirinya untuk bercerita tentang Bu Galila Shakayla setiap harinya, sudah menemukan hatinya kembali. Menemukan semestanya yang seharusnya tak pernah ia lepaskan setahun lalu.


TAMAT

*Cerita ini terinspirasi dari MV Naam - Tulsi Kumar feat Milind Gaba.

Reinsabiila lahir dan besar di Banyumas, Jawa Tengah. Mengenal Wattpad di tahun 2017 dan aktif menulis satu tahun berikutnya. Selain membaca, salah satu hobi lainnya adalah menonton film genre Action, Sci-fi, dan Fantasy. Namun, untuk tulisan selalu terjebak di genre Romance yang lebih sering melibatkan banyak perasaan. Menyukai bunga krisan dan memiliki beberapa tanaman di rumah. Untuk mengenal lebih dekat, jangan sungkan untuk berkunjung ke akun Wattpad dan Instagram dengan username Reinsabiila

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro