"Ketika Langit Biru Berubah Senja" - Mooseboo
KETIKA LANGIT BIRU BERUBAH SENJA
A short story by Mooseboo
Ibu bilang masa lalu hanya sebuah titik kecil dari lukisan hidup yang sudah lelah memberi warna dan memutuskan berdiri seorang diri. Seperti ayah yang pergi ketika keinginan untuk bersama dan saling jatuh cinta harus kandas akibat ego masing-masing. Seperti juga warna biru yang pelan-pelan memudar dari langit ketika senja tiba.
Senja yang dipaksa kembali hadir dalam ingatan Langit sore ini di atas sebuah gedung sekolah usang yang tetap berdiri tegak pada salah satu sudut kota Yogyakarta. Tempat Langit mengenal warna-warna baru pada kehidupannya.
"Langit!" teriak seorang pria di awal tiga puluhan, Beno. "Gimana kabar kamu?"
Sambil menenteng tas ransel, Langit berlari kecil menuju kerumunan teman masa SMA nya, lalu menjabat satu per satu tangan lima orang sahabatnya itu di sana. "Baik. Kalian gimana?"
"Aku pikir kamu enggak jadi datang. Katanya kamu ada liputan di Papua?" tanya Toni si tukang bolos zaman SMA yang sekarang insyaf gara-gara menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.
"Baru beres kemarin. Ini juga aku sampai Yogyakarta tadi pagi," jawab Langit dengan napasnya yang masih terputus-putus.
Bibir Langit yang kering melengkung naik menemukan kemeja biru tua dan celana bahan yang dilicin rapi di badan Beno. Jelas, sangat berbeda jauh dengan bayangan Langit akan pria itu belasan tahun lalu yang urakan.
"Udah ketemu Biru?" celetuk Mahfudz, ustadz sekaligus penasehat spiritual di gerombolan mereka. "Dia kayaknya ada deh tadi. Kalian masih sering kontakan, kan?"
Wajah Langit berubah aneh, begitupun Beno yang mengamati sosok sahabatnya itu lekat-lekat. Perlahan, Langit menggeleng.
"Udah belasan tahun juga kali, Fudz. Cewek Jakarta pasti banyak yang lebih oke. Ya, kan Lang?" sela Beno sembari menepuk pelan punggung Langit, yang hanya tersenyum tipis. "Mending kamu rapihin bajumu, Rere gacoanmu itu datang loh dan aku dengar masih single. Boleh lah kamu coba pedekate lagi."
Tawa dibarengi obrolan panjang yang kental akan nuansa nostalgia pun langsung menguar kental di antara pria-pria itu. Suara menggelegar mereka sampai-sampai mengalahkan lagu yang diputar pada acara reuni SMA Harapan Bangsa angkatan ke 47 di aula sekolah sore itu.
Soal Bu Hanny guru Matematika bersuara cempreng yang kedisiplinannya tidak kenal tempat, Bu Ami cinta pertama para siswa yang senyum tipisnya bikin mereka pingsan seketika, dan semua tentang sekolah ini yang membuat mereka lupa bila sekarang mereka bukan lagi pentolan SMA Harapan Bangsa, tetapi Mas-Mas Jogja biasa yang tinggal tersebar di seluruh pulau Jawa.
* * *
Langit berjalan menyusuri koridor sekolah dengan kamera menggantung di lehernya saat reuni hari itu diberi jeda sejenak, sembari menunggu ketua panitia datang untuk membuka acara.
Senyum tidak habis-habis terpatri di bibir Langit saat mengamati para siswa yang belum pulang dari sekolah. Ada yang duduk-duduk mengerjakan tugas, menonton tim basket yang berlatih di lapangan, atau sekadar mojok melantai dengan pujaan hati serasa sekolah milik berdua. Sensasinya seperti sedang mendengarkan lagu Koes Ploes dari radio dashboard di sore hari selesai tugas liputan.
Beberapa kali jepretan kamera milik Langit bahkan sudah mampir ke arah mereka sampai lapangan basket. Tempat beberapa siswa yang berisik di tengah lapangan sambil saling mengoper bola basket. Sampai diam-diam ada rindu yang singgah kala mengamati bangku di pinggiran lapangan basket.
Rindu yang masih memerah tentang gadis manis berlesung pipit dan penyuka senja. Gadis itu pula yang tanpa sadar membawa Langit menjadi seperti sekarang. Rasanya seperti baru kemarin Langit mengenal dia ketika mereka sama-sama dihukum di masa-masa MOS SMA.
Biru. Warna cerah yang pernah memberi beda di kehidupan Langit.
"Dihukum juga?" tanya Biru saat itu yang ikut bergabung dan berdiri dengan posisi hormat ke arah bendera kepada Langit.
Langit cuma mengangguk asal, sementara wajahnya tampak kesal. Sebab menurutnya acara MOS atau Masa Orientasi Siswa sudah seharusnya diisi dengan sesuatu yang bermanfaat seperti pengenalan sistem pembelajaran atau sekolah. Bukan malah menggunakan atribut payah yang kadang kala perintahnya terlalu senioritas.
Mata berwarna cokelat gelap milik Langit kemudian berpindah ke kanan. Tatapannya tanpa permisi mengamati sosok siswi yang masih mengenakan seragam SMP nya, rambut diikat dengan pita warna-warni, dan kaus kaki belang-belang biru dan merah. Kontras dengan penampilan Langit yang lebih normal dengan seragam SMP dan kaus kaki putih.
"Kok bisa dihukum?" tanya Langit menatap tiang bendera di depannya sambil bermandikan peluh.
"Telat," jawab Biru meringis malu. "Kamu?"
"Enggak kelihatan?" sahut Langit kembali sambil menunjuk gaya pakaiannya yang tidak sesuai dengan perintah panitia MOS.
"Sengaja enggak ikut aturan biar dikenal satu sekolah atau emang enggak ngerti maksud dari kakak kelas kemarin?"
"Sok tahu," jawab Langit dengan nada datar. "Enggak dua-duanya Cuma malas. Lagian kalau kita nurut sama perintah mereka yang aneh-aneh, sama aja dengan setujuin senioritas, kan? Lagian ikutin aturan mereka atau enggak, enggak ada jaminan kita dapat nilai gede di sekolah kok."
Mata Biru terpaku takjub ke arah lelaki tinggi di sampingnya, selagi sang bibir diam-diam mengulum senyum. Dia lalu merogoh saku roknya dan mengeluarkan sebungkus permen kepada Langit. "Mau? Biar enggak pingsan berdiri sepuluh menit lagi."
"Buat aku?" tanya Langit setengah hati menyambut permen dari tangan Biru.
"Buat tiang bendera," jawab Biru kesal.
"Terima kasih," ucap Langit. "Oh iya, nama aku Langit."
"Biru."
Langit yang baru memasukan permen ke mulutnya terkekeh.
"Kok ketawa?" tanya Biru kebingungan.
"Lucu. Nama kita."
"Iya juga ya. Langit biru," gumam Biru ikut tertawa pelan kemudian menatap Langit di sampingnya dan langit biru yang membentang di atas kepala mereka. "Cantik."
Teriakan dari arah lapangan basket mengagetkan Langit. Kenangannya saat pertama kali bertemu dengan Biru buyar seketika. Kakinya kembali berjalan menjauhi tiang bendera ke arah ruang guru di area kanan sekolah.
Tubuh Langit perlahan menegang saat matanya menemukan sosok itu di depan pintu aula. Setelah belasan tahu menghilang, tawa, cara bicara, bahkan sepasang lesung pipit itu masih sama ketika sedang berdiskusi dengan salah satu guru di sana. Sama-sama membekukan tubuh Langit, sampai untuk bergerak pun terasa sulit. Senyum itu ibarat candu yang memantrai seluruh indra Langit untuk tetap berdiri diam di tempat.
Tanpa membuang banyak waktu, Langit berlari menghampiri Biru. Senyum lebar tidak lagi dapat dia tahan ketika percikan bahagia meledak-ledak di dadanya.
"Hai, Bi," sapa Langit kepada Biru.
"Kamu datang? Aku kira kamu enggak jadi datang kayak reuni yang dulu-dulu," kata Biru yang hari ini mengenakan blouse dan rok menutupi lututnya sambil memasang wajah kaget di depan Langit.
"Yah... Sekali-kali datang ke reuni SMA enggak ada salahnya, kan?" balas Langit menahan diri agar tidak semringah di depan Biru.
Biru mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengamati penampilan Langit. "Gimana Jakarta? Kayaknya belasan tahun di sana, kamu enggak pernah berubah."
"Tetap keren?"
Kekehan terdengar dibarengi gelengan kepala Biru. "Maksud aku. Tetap kamu."
Langit menggaruk tengkuknya. "Aku bingung harus seneng atau enggak dengernya."
Tawa Biru semakin kencang terdengar memaksa Langit ikut tersenyum bersamanya. Sedari dulu memang hanya tawa Biru yang dapat mencerahkan dunia Langit.
"Udah ketemu sama anak-anak yang lain?" tanya Biru.
"Udah. Udah keliling sekolah juga malah."
"Oh iya? Kok aku enggak lihat kamu sih tadi. Oh, mungkin kamu datang waktu aku lagi di ruang guru makanya enggak lihat."
"Mungkin. Kamu gimana kabar?"
Biru kembali tersenyum sembari mengawasi siswa-siswa di lapangan. "Baik. Mau balik ke aula bareng? Kayaknya acaranya udah mau dimulai deh. Ayo!" Kedua bola mata Biru bergerak kepada Langit kala pria itu malah terdiam mendengar ajakannya.
"Duluan Bu," pamit Biru kepada wanita paruh baya yang tadi berdiskusi dengannya.
Segera, Langit mengikuti langkah wanita berambut panjang itu untuk kembali menyusuri koridor sekolah menuju aula. Ocehan Biru terdengar sepanjang koridor sekolah, tentang kabar Langit, macetnya Jakarta, sampai pekerjaan pria itu yang sering kali pergi liputan ke luar kota.
Cara bicara Biru yang selalu bersemangat dan saat-saat mereka berjalan di pinggiran kelas seperti sekarang, tanpa permisi membuka kotak kenangan di ingatan Langit belasan tahun yang lalu.
Kenangan tentang Biru yang tidak pernah absen menjadi nomor pertama di kelas. Biru si bendahara OSIS yang murah senyum dan tidak pilih-pilih teman. Biru yang selalu menempel ke manapun Langit pergi, sampai-sampai banyak siswa yang mengira mereka memiliki hubungan lebih dari teman. Dan Biru, yang selalu bersinar di mata Langit saat dunianya terasa mendung.
Namun, ingatan tentang perpisahan hari itu kembali mengusik benak Langit. Ingatan di hari kelulusan yang membuat wanita ini terluka begitu nyata, hingga pada akhirnya membawa Langit berdiri seorang diri seperti Ibu yang dulu ditinggal pergi oleh Ayah.
"Kamu selalu kelihatan keren pakai warna merah." Ucapan Biru membuat Langit terkesiap.
"Tapi aku lebih suka warna biru," jawab Langit tanpa memindahkan tatapannya dari Biru.
"Warna biru enggak cocok tahu buat cowok," kelakar Biru menghentikan langkah kakinya dan berdiri tepat di depan sebuah ruang kelas.
"Jangan labeling sembarangan dong. Cewek atau cowok enggak bisa dilihat dari warna pakaian kali," sahut Langit berdiri di sisi Biru.
"Iya deh, maaf," jawab Biru menghentikan langkahnya.
Bola mata cokelat pekat milik Langit lalu mengikuti arah pandang Biru. Apalagi wanita itu mendadak diam sambil mengamati kelas kosong dari balik jendela. Ruang kelas mereka dulu.
"Enggak kerasa ya. Udah hampir tiga belas tahun kita keluar dari sana."
Biru mengangguk dan mengamati wajah Langit. "Dan aku seneng waktu tahu kamu bisa jadi wartawan seperti cita-cita kamu dulu."
Alih-alih senang, Langit justru balik mengamati Biru dengan tatapan aneh. "Kamu kenapa enggak jadi masuk ke kedokteran gigi, Bi? Bukannya itu impian kamu dari dulu?"
Sekilas netra bening milik Biru melirik Langit, tetapi langsung dibuangnya ke arah lain. "Jadi apapun kita sekarang, buat aku itu yang terbaik. Lagian jadi guru SMA itu juga seru loh. Apalagi waktu bulan kemarin aku malah kedapatan ngajar di sini. Aku berasa lagi nostalgia setiap hari."
"Fisika banget?" goda Langit.
Biru tergelak. "Kamu tahu dari mana?"
"Tadi Mahfudz yang cerita," terang Langit mengulum senyum. "Anak-anak yang lain juga kaget loh. Setelah belasan tahun enggak ada kabar, kamu malah muncul dan jadi guru di sini."
"Kayaknya aku kena tulahnya Pak Handoko deh, dulu kan aku anti banget kalau udah pelajaran Fisika. Tapi sekarang, aku malah jadi guru Fisika," gerutu Biru dengan mimik pura-pura kesal.
"Tapi kok bisa sih Bi? Bukannya kata anak-anak yang lain kamu keterima SPMB di Surabaya waktu itu?"
Tawa di bibir Biru langsung meredup. Senyap sempat terasa di antara mereka ketika Biru membisu. "Aku cuma coba realistis, Lang. Lagian dulu aku kan masih numpang hidup sama adiknya ayah, kurang ajar banget kalau aku malah minta dibiayain masuk kedokteran."
Langit tertegun. Ada nada sendu yang mati-matian ditahan oleh Biru. Terlebih ketika mata mereka tanpa sengaja saling bertemu dan bertaut erat. Angin sore hari yang berembus pelan di antara mereka dan senja yang mulai nampak, memunculkan perih yang diam-diam berakumulasi dalam dada masing-masing, lebih-lebih Langit.
"Terus Om kamu kabarnya gimana sekarang? Baik?" tanya Langit mengalihkan pembicaraan sambil menyejajarkan langkahnya dengan Biru. "Aku sempat main ke sana lho waktu liburan semester kuliah pertama kali, beliau bilang kamu udah enggak tinggal bareng mereka. Kamu ada masalah lagi sama keluarga Om kamu?"
Perlahan, Biru menggeleng. "Enggak ada. Aku cuma enggak enak aja selalu ngerepotin mereka dari dulu. Jadi, aku pikir setelah lulus SMA udah seharusnya aku bisa mandiri."
"Berarti kamu selama ini tinggal sendiri?"
"Bukan sendiri, Lang. Tapi mandiri," koreksi Biru kembali membawa langkahnya ke arah aula.
"Terus kenapa kamu enggak pernah hubungi aku lagi, Bi?"
"Aku enggak mau ngerusuhin kamu lagi Lang. Juga Ibu kamu. Kamu dan Tante udah cukup banyak bantu aku waktu dulu," jelas Biru terdengar getir di telinga Langit.
"Tapi Bi, kamu kan teman aku. Bahkan Ibu udah anggap kamu kayak anak sendiri loh. Beliau juga sering tanya-tanya soal kamu dan Ibu pasti senang kalau tahu aku ketemu kamu hari ini."
Biru hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng dan melanjutkan langkahnya. "Kita balik ke aula aja ya. Acaranya pasti udah dimulai. Ayo!" ajak Biru tiba-tiba menyadarkan Langit yang masih bergumul dengan tanda tanya besar soal wanita ini.
Langit terpaku di posisinya. Dia merasa ada yang berubah dengan sosok Biru. Seperti ada sekat tipis yang memberikan jarak antara dia dan Biru. Meskipun Langit tahu, rasa itu masih ada saat dia tenggelam dalam tatapan Biru beberapa saat yang lalu.
* * *
Pandangan Langit tidak pernah lepas dari sosok Biru yang duduk pada bangku terdepan di aula bersama beberapa guru SMA Harapan Bangsa. Sebagai salah satu panitia reuni hari ini, Biru terlihat paling bersinar di mata Langit. Bahkan acara musik, pembukaan acara, dan pemutaran video dokumentasi saat angkatan mereka masih berada di SMA ini pun seperti angin lalu bagi Langit.
Terkecuali, potongan video beberapa detik yang tanpa sengaja menangkap kebersamaan Langit dan Biru saat lomba 17 Agustus belasan tahun silam. Di video itu tubuh Biru tanpa sengaja terjatuh menimpa Langit ketika keduanya mengikuti lomba tarik tambang di kelas sebelas. Langit pun tersenyum malu-malu apalagi ketika Biru kedapatan memandangi dia dari jauh.
Sampai tanpa terasa, acara reuni SMA Harapan Bangsa hari itu pun selesai tepat pukul setengah enam sore. Langit yang melihat sosok Biru berjalan keluar ruangan terlebih dahulu, buru-buru berlari mengejar wanita itu. Bahkan, ajakan Beno dan teman-temannya untuk melanjutkan obrolan mereka di salah satu kafe pun tidak dia indahkan.
"Bi! Biru!" panggil Langit saat akhirnya dapat mengejar Biru di depan gerbang sekolah.
Raut wajah Biru kaget bukan main kala menemukan Langit sudah berdiri di belakangnya dengan napas terputus-putus. "Langit. Kamu ngejar aku?"
Langit mengangguk sembari menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Mau balik bareng?"
Sempat terdiam sesaat, Biru menggeleng. "Aku udah dijemput."
"Cowok kamu?" tebak Langit hati-hati.
"Bukan," jawab Biru tersenyum tipis. "Tapi...."
"Mama!"
Tatapan Langit dan Biru spontan ke arah depan. Air muka Langit tampak terkejut apalagi ketika sosok bocah yang sepertinya berumur belasan tahun itu terlihat sangat familiar dengan seseorang.
"Udah selesai kursusnya?" tanya Biru kepada bocah lelaki itu sambil mengusap lembut rambutnya.
Bocah itu mengangguk antusias. "Om ini siapa?" tanyanya memandangi Langit dengan kedua mata cokelat pekatnya yang tajam.
Biru terkesiap, kemudian buru-buru mengalihkan tatapannya dari Langit. "Ini Om Langit, teman Mama. Ayo salam dulu."
Bocah itu mengangguk dan menyalami tangan Langit. "Halo Om. Aku Senja."
Tubuh Langit membeku saat kepalanya dipenuhi beragam spekulasi sampai-sampai untuk merespons pun terasa sulit. "Bi, dia..."
"Anak aku," sahut Biru memotong ucapan Langit. "Lang, aku sama Senja duluan ya. Ayahnya pasti udah nunggu di mobil."
Langit bergerak cepat kemudian menahan tangan Biru. "Berapa umurnya?"
"Maksud kamu?" tanya Biru kebingungan. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal ini?"
"Senja, boleh Om tahu umur kamu berapa?"
"Dua belas," jawab Senja dengan muka polosnya. Berbanding terbalik dengan Biru yang ekspresinya berubah kontras kepada Langit.
"Bi," kata Langit seperti meminta penjelasan. "Hari itu kamu bohong sama aku, kan?"
"Bohong soal apa sih, Lang. Sekarang lepasin tangan aku," seru Biru mulai kesal.
"Soal Senja," tekan Langit, sementara Senja menatap ibunya kebingungan. Lebih-lebih Biru langsung menarik tubuh Senja menjauhi Langit.
"Lang, kamu jangan ngaco! Apa hubungannya Senja dengan hari itu? Sekarang minggir! Suami aku udah nungguin di mobil," pamit Biru menepis tangan Langit dan melangkah pergi dari sana.
"Apa gara-gara ini kamu keluar dari rumah Om kamu dan ngelepasin semua cita-cita kamu?!" teriak Langit terlihat semakin frustasi. Bahkan beberapa siswa dan orang-orang yang mengikuti reuni hari ini, sempat menatap ke arah mereka dengan penasaran.
Langkah kaki Biru berhenti di tempat, kepalanya menoleh kepada Langit. "Kamu salah Lang, sedari awal aku emang enggak pernah tahu apa cita-cita aku. Kamu yang selama ini selalu berekspektasi lebih sama aku."
Langit tercenung. Tubuhnya terasa mati rasa ketika Biru dan Senja meninggalkannya seorang diri. Langit bahkan hanya dapat mengamati keduanya saat sebuah mobil membawa mereka pergi. Sekilas, dia sempat melihat seorang pria di dalam mobil itu yang langsung disambut tawa lebar dari Senja. Tawa yang sama seperti milik Langit.
"Aku enggak apa-apa, Lang. Kejar cita-cita kamu, Kasihan Tante kalau kamu harus tetap di sini cuma gara-gara aku," ujar Biru kepada Langit ketika mereka duduk pada bangku di pinggiran lapangan basket senja itu usai pengumuman kelulusan. "Aku tahu banget Tante berharap lebih sama kamu."
"Tapi gimana kalau gara-gara hari itu, kamu..." potong Langit terlihat tidak pernah tenang di duduknya.
Tangan dingin milik Biru menggenggam erat tangan Langit yang tidak kalah gugup. "Langit, aku enggak apa-apa. Kamu lihat sendiri kan enggak ada yang berubah dari aku. Pokoknya nanti kalau kita ketemu lagi, aku mau kamu udah jadi pemimpin redaksi sukses dan bisa tunjukin ke dunia kalau kamu itu hebat. Lupain hari itu oke."
Langit menatap Biru. "Gimana kalau aku gagal?"
"Kamu itu Langit. Kamu itu kuat kayak langit yang bisa nampung badai. Jadi, aku yakin kamu pasti bisa," kata Biru menenangkan Langit.
"Tapi langit enggak akan indah tanpa warna biru, Bi. Aku enggak bisa pindah ke Jakarta tanpa kamu. Aku cinta—"
"Langit tetap langit tanpa biru, enggak ada yang berubah dari itu," potong Biru tersenyum lebar, meskipun air mata satu per satu mulai turun ke pipinya. "Kamu tetap teman terbaik buat aku, Lang."
Bibir Langit yang akan mengucapkan sebuah kata seketika terkatup, ketika kata "teman" keluar dari mulut Biru. "Kamu yakin bakal baik-baik aja?" tanyanya mengusap air mata di pipi Biru.
Biru mengangguk dengan isak tangis terdengar dari bibirnya.
"Aku janji, aku bakal jadi orang hebat buat kamu. Aku bakal temuin kamu lagi kalau aku udah berhasil jadi sosok itu. Aku janji."
Langit tertegun. Ingatan tentang janjinya kepada Biru belasan tahun silam, menghantam dirinya. Sampai-sampai tubuhnya meluruh sehingga dia harus bersandar ke pagar sekolah.
Langit seharusnya tahu bila ada yang salah ketika setelah itu Biru menangis tersedu-sedu di pelukannya. Seharusnya Langit sadar ketika Biru tiba-tiba menghilang dan sulit ditemui. Seharusnya Langit pun tidak egois dengan meninggalkan Biru demi mimpinya sendiri.
"Maafin aku, Bi," sesal Langit mengusap wajahnya kasar.
Sekarang, Langit sadar. Sekeras apapun dia berusaha tidak pengecut seperti ayahnya, Langit justru semakin menjadi seperti Ayah, meninggalkan Ibu berdua dengannya di saat langit biru berubah senja, sama seperti waktu dulu.
TAMAT
Hallo semuanya! Saya Fanny atau biasa dikenal dengan nama pena Mooseboo di Wattpad. Saat ini selain sebagai penulis, saya juga bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta dan masih setia menjadi jodoh hunter. Awalnya, saya menulis di Wattpad sekitar akhir tahun 2016, sebagai pelarian dari ganasnya deadline klien karena saat itu saya masih bekerja di Digital Advertising yang peningnya enggak main-main. Background saya pun sebenarnya IT dan enggak kebayang sama sekali bakal menulis sampai menerbitkan buku seperti sekarang. Tapi, sejak menjadi salah satu pemenang Wattys Awards di tahun 2017, saya pikir menulis bukan cuma sekadar jadi selingkuhan. Menulis, terutama di , seperti menemukan cinta lama yang bersemi kembali. Untuk penulis favorit, saya suka novel-novel Paulo Coelho dan puisi-puisi dari Yudhistira ANM Massardi. Yah... bisa dibilang saya itu sejenis penulis roman yang sebenarnya enggak romantis. Ups! Finally yet importantly, glad to meet you all.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro