Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Ketika Hujan" - Naya_Hasan


KETIKA HUJAN

A short story by naya_hasan


Antara langit dan bumi, tidak pernah dipersatukan.

Kecuali ... ketika hujan.


Sama halnya seperti matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat setiap harinya, aku percaya, antara langit dan bumi tidak pernah dipersatukan. Kecuali ketika hujan. Dan sama halnya seperti langit dan bumi itu, aku juga percaya bahwa ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah saling sentuh. Seperti orbit kami, garis hidup kami yang seharusnya tidak pernah bersinggungan. Namun hujan turun dan ... rencana itu buyar seketika.

Waktu itu awal Desember. Hujan mulai turun dengan rutin, harian, tiap sore. Tapi aku, dengan segala kekeras-kepalaanku, dan sifat pelupa yang sulit dibuang jauh-jauh, tentu saja, tidak membawa payung. Jarak dari sekolah ke rumah tidak begitu jauh, hari mendung, dan itu hanya berarti satu hal; kesempatan emas untuk menghemat uang transportasi. Setengah jalan berjalan kaki, hujan menyergap. Aku berlari ke tempat berteduh terdekat, dan itu adalah sebuah toko buku kecil yang bangunannya sangat patut direnovasi; pilar-pilar kayunya besar, namun tampak lapuk, kacanya buram dan tampak kuno, sama seperti barang-barang lainnya di sana─sebuah bangku yang memuat duduk sekitar tiga orang, rak tanaman hias yang bunganya hidup segan mati tak mau, dan rak-rak buku sendiri yang bisa ditengok dari sini. Namun setidaknya, atapnya yang rendah dan sempit menawarkan cukup perlindungan.

Aku tidak bergegas masuk. Hanya berdiri canggung di pelatarannya karena aku tidak membawa cukup uang untuk membeli buku apapun. Di situlah aku melihatnya, bersandar pada pilar di ujung jauh, dekat bangku, matanya terpejam dengan earphones di telinganya. Pada pandangan sekilas, aku hampir dapat melihat semua tampak luar darinya. Tinggi, memiliki side-profile yang bagus dengan hidung sempurna, serta rambut yang tampak lembut, jatuh di keningnya. Kulitnya putih pucat, membuat kontras pada sulur tattoo yang seolah mengalir dari bawah lengan pendek kemeja seragamnya (Ia memakai seragam SMA yang berbeda; biru dongker dan putih, sekolah mahal, sepertinya) yang digulung. Aku tidak sempat menganalisa itu gambar apa.

Matanya membuka dan aku mengalihkan pandang detik itu juga.

Lima belas menit yang panjang berlalu. Dan aku tidak lagi bisa menghitung seberapa sering aku memeriksa jam tangan karet biru muda yang bertengger di pergelanganku. Waktu tidak berjalan lebih cepat dan hujan tidak segera reda. Aku merasa terperangkap, berdiri di ujung teras dengan telapak tangan terjulur ke depan, menadah rintik hujan. Hanya karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Sampai saat itu, aku melupakan keberadaan anak SMA bertato yang entah tidur atau mendengarkan musik di ujung lain pelataran. Sampai saat itu, kehidupanku masih berjalan dengan semestinya. Garis kami masih pada jalur masing-masing. Namun tiba-tiba, aku merasakan suatu dorongan kuat di punggungku, membuatku tersaruk ke depan dan nyaris jatuh ke tanah becek.

Hujan yang deras segera menyelimutiku, terlambat untuk kembali berteduh mencari perlindungan. Aku berbalik, menatap si pelaku yang telah mendorongku dengan semena-mena. Tidak ada unsur ketidak-sengajaan di sini. Ia jelas-jelas berdiri di dekat tiang yang satunya sedari tadi. Tidak ada, bahkan, permintaan maaf dari bibirnya, atau matanya. Ia sengaja mendorongku, dan sekarang menatapku tanpa ekspresi.

 Ada apa dengan otaknya?!

"Kamu... gila?!" Perlu sekian detik untukku mengumpulkan suara. Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin ia dapat mendengarnya, mengingat kepayahanku dalam mencoba terlihat marah dan hujan yang sederas itu, seberisik itu.

Ia mengangkat satu alis, dan anehnya... tersenyum. Anehnya, ia tersenyum kemudian mengulurkan satu tangannya padaku, yang tentu saja, tidak segera kusambut.

Aku mendorong ke belakang poniku yang basah kuyup dan jatuh ke mata sebelum mengambil satu langkah ke depan, kembali di bawah naungan toko buku meskipun percuma. Ia menatapku masih dengan senyuman yang tidak dapat dibenarkan itu.

"Aku pikir kamu akan memukulku," ujarnya.

"Ide bagus," gumamku diam-diam, seraya mulai menimbang-nimbang berat tas pundakku. Usulan anak itu memang patut diperhitungkan.

"Eits, jangan!" Ia seperti dapat membaca pikiranku, dan mengelak. Terdengar bunyi zip, melalui sudut mata, aku dapat melihat ia mengorek-ngorek tas punggungnya. Lalu segumpal jaket berwarna hitam dengan garis-garis biru gelap muncul di hadapanku.

Aku melongo menatapnya.

"Ambil aja. Nanti dingin."

Oke. Aku semakin tidak mengerti. Hingga ia meraih tanganku dan menjejalkan jaketnya di sana.

"Ambil. Beneran."

"Tapi, ini─"

"Makasih, ya." Itu bukan aku.

Ia tidak menutup kepalanya dengan apapun, tidak dengan tas punggungnya, tidak juga dengan tangannya. Ia hanya berjalan menembus hujan seolah-olah ia tidak baru saja berteduh menghindari basah. Ia melambai padaku yang masih tercengang sebelum berlari dan menghilang dibalik deret toko-toko dan bangunan-bangunan lain yang menutup pandanganku.

Jaketnya dalam genggamanku.

Saat hujan telah mereda dan aku pulang dengan jaket itu di atas kepala, aku masih tidak habis pikir. Ada apa dengan cowok itu dan otaknya?

***

Untuk menemukannya lagi, yang pergi tanpa petunjuk apapun bukan hal yang mudah. Aku sudah mencuci dan mengeringkan jaket yang ia tinggalkan begitu sampai di rumah, kemudian membawanya setiap hari ke sekolah, berharap aku dapat menemukannya lagi untuk mengembalikan jaket itu. Hari pertama gagal. Aku menunggu hampir dua jam di tempat yang sama, dan ia tidak pernah muncul. Di hari kedua, Lian menatapku dengan kening berkerut ketika aku mengeluarkan jaketnya dari dalam tas dalam rangka mencari pensil yang terselip untuk tugas membuat sketch pada mata pelajaran Seni Budaya.

"Jaket baru?"

Sebelum aku dapat mencegah, Lian membuktikan keterampilan tangannya yang begitu lincah. Adalah fakta mencengangkan bahwa dia tidak pernah mendapat nilai lebih dari 70 dalam mata pelajaran tersebut. Mungkin jika ia mencopet...

Ia meneliti, dengan kening terangkat yang semakin menjadi-jadi.

"Kok kayak jaket cowok?"

"Bhukabkshgfblajsgg," gumamku setidak-jelas mungkin, menemukan pensil yang dicari-cari dan meletakkannya di atas kertas gambar sebelum mengambil jaket itu dan menyimpannya di dalam laci. Mata terus kuarahkan ke depan, karena meskipun guru Seni Budaya suka berbicara mendayu-dayu, dia bisa berubah sangar dalam sekelip mata.

Namun Lian adalah Lian. Ia tidak akan peduli meski guru menerangkan hingga mulut berbuih-buih atau bahkan kayang di depan kelas jika ia sedang mengendus gosip.

"Eh? Apaan?"

"Jaket orang," bisikku lebih jelas.

"Orang siapa? Kamu punya pacar ya Mi, sekarang?"

Atas pertanyaan itu, aku nyaris mendengkus. Karena, wow, yang benar saja. Itu pasti salah satu dari 7 keajaiban dunia terbaru. Bukannya aku merasa sejelek itu, beberapa orang bilang aku cukup manis, hanya saja, kemampuan berkomunikasi dengan lawan jenisku berada pada level tiarap, kritis, stadium tingkat empat, apapun istilahnya. Satu-satunya lawan jenis yang pernah kuajak bicara hanya ayahku dan wali kelas.

"Bukan. Itu... um, ada orang aneh. Dan hari ini nanti aku mau balikin jaket itu."

Oke, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah kuucapkan pada Lian. Kami memang teman sebangku. Tapi kami tidak sedekat itu. Lian itu ekstrovert, tidak bicara seperti yang kulakukan melelahkan baginya seperti menjadi dirinya tampak melelahkan bagiku. Ia lebih suka pergi dan mengobrol dengan anak-anak yang lain, dan aku tidak keberatan. Sendirian lebih mudah bagiku, aku jadi tidak perlu menoleransi keberisikan orang lain.

"Orang aneh?"

"Orang yang mendorong orang nggak dikenal di tengah hujan dan bilang terima kasih setelahnya."

Jika tadi hanya alis Lian yang berkerut, sekarang seluruh wajahnya mengerucut, menampakkan kebingungan. Bertaruh, ia akan mencecarku habis-habisan saat itu juga jika bukan karena mata guru Seni Budaya yang seperti bola pingpong, literally, karena ia melotot sedemikian rupa hingga matanya nyaris melompat dari rongga.

Untuk pertama kali, aku merasa patut berterimakasih pada guru kami yang nyentrik itu.

Dan aku melihatnya hari ini, orang aneh itu, orang yang menjadi subjek pertanyaan Lian, orang yang status kewarasan otaknya kupertanyakan. Saat itu hujan turun lagi. Aku berteduh di toko buku yang sama, secara kebetulan. Dan secara kebetulan pula, dia datang begitu saja, berlari ke tempatku dengan seragam yang bagian pundaknya telah basah.

"Kamu lagi?"

Tidak pernah terbesit di benakku bahwa ia akan mengenaliku. Tapi dua detik setelah bola matanya tampak membesar dan aku mengalihkan pandang ke tanah, kalimat itu terucap dari bibirnya. Dia tampak sama terkejutnya denganku atas pertemuan ini.

"Ya... halo?" balasku. Canggung. Rasanya aku ingin menampar diri sendiri atas kekakuanku.

"Senang, bisa ketemu kamu lagi."

Maksudku, aku tahu dia tidak mungkin bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tetapi nada ringan dalam suaranya mau tidak mau membuatku mengangkat wajah, menatapnya. Tepat ketika itulah aku menemukan sesuatu yang berbeda padanya.

"Kamu... berkelahi?"

Seharusnya aku tidak bertanya. Seharusnya aku tidak peduli. Seharusnya, aku berpura-pura saja tidak tahu, mengembalikan jaketnya, lalu setelah hujan berhenti, kami akan kembali menjadi dua orang asing. Tapi luka di wajahnya begitu menyolok; ada lebam di mata kiri dan lecet di tulang pipi, bibirnya sobek, mengeluarkan darah yang tampak belum kering. Seragamnya, kemana seragam sekolah mahal yang kulihat tempo hari? Yang ada hanya pakaian kusut, kotor, dan basah.

Sambil menghela napas dalam-dalam, aku berpikir keras, mempertanyakan keputusan yang aku ambil saat aku meraih tangannya dan membantunya berjalan. Aku kemudian mendudukkannya di bangku panjang depan toko buku, membuatnya hampir menabrak salah satu pot bunga dalam prosesnya. Syukurlah tidak ada yang jatuh atau pecah, tidak ada yang harus diganti rugi.

"Tunggu di sini."

Sebuah kios serba ada berada persis di depan toko buku itu. Kulihat orang-orang lebih memilih berteduh di depannya. Maka, tanpa bertanya pendapat, aku berlari ke sana sambil menudungkan kedua tangan di atas kepala demi menghalau hujan. Aku kembali dengan sebotol air mineral dan beberapa lembar plester luka, sedikit terkejut mendapati bahwa ia masih duduk di sana. Sebelumnya, aku menduga bahwa ia akan kabur begitu aku pergi, namun ia di sana, duduk bersandar sambil menyeka keringat dan darah di wajahnya dengan tangan, terkadang berjengit ketika ia menyentuh luka-lukanya sendiri.

Dia menatapku dan kantung plastik putih transparan di tanganku bergantian tanpa mengatakan apa-apa. Membuatku merasa kikuk. Jadi aku hanya duduk di sampingnya dan melempar plastik itu ke pangkuannya. Dia menaikkan satu alis.

"Ada cermin?"

Refleks, aku mengerjap bingung. "Untuk apa?"

Dia mengernyitkan hidung dan menggeleng keras. "Terus, gimana caranya aku bisa masang ini sendiri?"

Aku nyaris memutar bola mata. Ia tertawa lalu mengernyit seketika karena kesakitan, membiarkan giliranku untuk tertawa sambil meraih plastik itu. Tunggu! Barusaja aku ... tertawa. Di hadapan orang yang tidak kukenal. Secepat tawa itu datang, secepat itu aku menghentikannya. Kita tidak seharusnya tertawa bersama orang asing. Aneh, namanya.

Dalam diam, aku pun bergerak membasuh lukanya dengan alkohol yang kutuang di atas kapas. Protes yang diajukannya berkali-kali tidak kuhiraukan, namun aku tidak berhasil menahan senyum ketika, ternyata, plester luka warna pink gambar hati cocok juga untuknya.

Senyum itu hilang ketika ia menoleh ke arahku.

"Siapa nama kamu?" Dia bertanya tiba-tiba.

Dan kupikir, kami tidak perlu bertukar nama. "Mungkin kita nggak akan ketemu lagi," kataku.

"Kalau kita bertemu lagi, mari bertukar nama."

Aku tidak menyahut. Karena ... tidak ada yang bisa dijanjikan. Aku selalu percaya, pertemuan pertama adalah kebetulan, kita bertemu orang baru hampir setiap harinya. Lalu pertemuan kedua adalah kebetulan yang terulang. Dan yang ketiga... tidak ada. Tidak ada kebetulan yang terjadi berturut-turut selama tiga kali. Jadi, aku hanya diam.

Bunyi rintik hujan yang mengetuk-ngetuk atap mengambil alih selama beberapa saat. Aku membiarkan diri berdamai dengan keheningan itu, dan dengan pekerjaanku mengobatinya. Sengaja berlama-lama, menjaga diriku sibuk agar aku tidak lagi merasa canggung saat tidak melakukan apa-apa.

Kemudian, kekehan dari bibirnya menginterupsi konsentrasiku.

"Kamu itu lucu, ya."

Aku tersedak, lalu membulatkan mata padanya. Lucu? Canggung, pendiam, introvert, semua adalah kosakata yang acak kali melekat padaku. Tapi lucu?!

"Lihat, kan? Ekspresi kamu lucu," ia terkekeh lagi. Dan aku mencoba untuk tidak terpengaruh efek senyumannya yang renyah itu. "Lagian, aku yang luka-luka dan kehujanan, tapi kamu yang gemetaran."

"Aku nggak gemetaran!"

Jangan gugup, tolong jangan gugup, ratapku pada diri sendiri. Karena aku memang gemetar setiap kali gugup, dan aku tidak ingin membuktikan omongannya. Atau ... semua memang sudah terbukti, sehingga ia tertawa.

"Santai~" ucapnya. "Kalau kamu salah pasang plester, aku nggak akan nuntut kamu atas dugaan malapraktek, kok."

"Nggak usah bercanda," jawabku, lalu cepat-cepat berdiri dan mengambil jaketnya yang terbungkus plastik dari dalam tasku. "Aku sebenarnya cuma ingin mengembalikan ini."

Ia mengambil plastik itu, membuka tasku, lalu menjejalkannya kembali.

"Sudah kubilang buat kamu aja. Jangan dikembalikan."

"Tapi─"

"Kalau nggak suka, kasih pacarmu aja."

"Tapi─"

"Kamu sekolah dekat sini?"

Kali ini aku mengangguk.

"Bagus!"

"Bagus?"

Dia tersenyum lebar, telinga ke telinga, hingga matanya membentuk sabit . Seketika, hilang semua kesan yang kudapati ketika pertama melihatnya─anak cowok yang tampak dingin dengan sulur tato di lengannya. Sekarang, alih-alih terlihat seperti preman sekolah, ia malahan tampak ramah, lucu, ... tampan, semua kriteria yang akan membuat semua orang senang mengerubunginya, seperti semut pada gula.

Ia menyentuh plester luka di pipinya dan mengangguk. "Terima kasih untuk ini, dan ... sampai jumpa, secepatnya, Tanpa Nama. Biar kutebak, nama kamu inisialnya S atau N?"

Aku membuka mulut, namun ia segera menghentikanku dengan ucapannya. "Jangan dijawab. Tapi kalau benar, aku minta sebungkus permen sebagai hadiah."

Dia menepuk kepalaku, lantas berdiri. Ketika ia melangkah ke ujung teras, aku baru sadar hujan telah reda. Dia berbalik untuk menatapku sekali lagi, kemudian pergi, tanpa kata.

Kupikir kali ini dia tidak akan meninggalkanku apa-apa. Kupikir aku yang mengobatinya telah dianggap impas bertukar dengan jaket. Namun ternyata ada satu yang ia tinggalkan ... hutang permen.

***

Tebakannya salah. Namaku tidak berinisial S atau N, tetapi aku membeli persedian berbagai permen setelahnya, menyimpannya di salah satu kantung tas. Namun, kami tidak pernah bertemu lagi. Setiap harinya, aku melewati toko buku yang sama, kadang singgah, sekali bahkan merelakan tabunganku untuk membeli buku second-hand yang ternyata harganya cukup terjangkau. Tetap saja, aku tidak menemukannya.

Aku menemukannya, justru di tempat yang tidak pernah aku duga.

Hujan turun lagi sepulang sekolah. Aku lupa membawa payung, jadi ya, hal terbaik yang dapat kulakukan adalah berteduh di ujung selasar kantor guru, dekat gerbang sekolah. Lalu ia muncul begitu saja, di sekolahku. Sebuah payung berwarna biru gelap di tangannya.

"Hai ...," ujarnya, menggantungkan ucapannya di udara.

Aku mengernyit.

"Karena aku yang datang menemui kamu, bukankah ini saatnya kamu membayar hutang nama kamu?"

Atas ucapannya, aku mendengkus pelan. "Aku nggak menjanjikan apa pun."

"Diam adalah ya."

"Tsk." Aku berdecak, kemudian mengedarkan pandang. Sekolah sudah sunyi, hampir semua murid sudah pulang, dengan payung atau dijemput, atau nekat menembus hujan. Aku menatap cowok di depanku kembali. "Bumi. Bumi Pertiwi."

"Bumi," ia mengulang. Caranya lambat, ia mengucapkan namaku beberapa kali, lambat-lambat. "Aku suka nama kamu. Tapi aku nggak suka salah tebak," kekehnya.

Aku memutar bola mata, namun menyerahkan permen di tasku. "Supaya kamu nggak terlalu kecewa."

"Kamu baik hati." Dia segera membuka bungkus permen gummy tersebut, kemudian memasukkan dua sekaligus ke dalam mulut. "Bumi, nama yang cocok untuk kamu."

Hujan masih deras, dan cowok aneh itu masih berdiri di bawah hujan dengan payung di atas kepala. Pilihan yang sangat tidak bijak sementara ia berdiri begitu dekat dengan bangunan yang mampu menawarkan perlindungan lebih aman. Dia masih sibuk mengunyah permen dan meneliti bungkusnya.

"Jadi, dalam rangka apa kamu datang kemari?" tanyaku, membuatnya mendongak. Kupikir dia punya teman, atau saudara, atau bahkan pacar yang bersekolah di sini yang ingin ia temui. Jika ya, kuharap aku dapat membantu. Namun jawabannya nyaris membuatku tersedak.

"Jemput kamu."

"Aku? Untuk?"

Tanpa permisi, ia meraih tanganku, menarikku ke bawah teduh payungnya. "Ada banyak yang bisa kita obrolkan di sepanjang jalan menuju rumah kamu," ujarnya, tidak menjawab pertanyaanku secara langsung.

Aku masih tidak begitu mengerti, namun aku menurut. Jika dia ingin berbuat jahat, maka berada di sekolah adalah tempat terakhir yang kuinginkan. Tempat itu telah sepi sekali.

Kami melewati gerbang, menjejakkan sepatu di atas aspal jalanan yang tampak bersih karena tersiram hujan, lalu berjalan bersisian dengan lengan yang saling beradu ketika dia mulai melemparkan pertanyaan. Pertanyaan pertamanya.

"Warna favorit kamu apa?"

Bukan pertanyaan yang tepat ditanyakan dalam situasi demikian, mengingat kami hanyalah dua orang asing yang kebetulan orbitnya sedang bersinggungan. Namun aku malas mendebat, memberikan jawaban untuk pertanyaan satu itu terasa lebih mudah.

"Biru."

"Biru dongker?"

"Biru langit."

Dia tersenyum. "Warna favoritku warna bumi."

"Cokelat?" Dia mengangguk, dan aku bertanya kembali. "Kenapa?" Maksudku, tidak banyak orang yang pernah kutemui yang menyukai warna cokelat.

"Adem," jawabnya enteng. "Ditambah, nggak banyak orang suka warna cokelat, harus ada yang menyukainya."

Sebuah motor melintas melewatiku, tidak terlalu kencang, namun cipratan yang diciptakan berhasil mengenai rokku, membuatku terhenti dan mengomel dalam hati. Upayaku untuk membersihkan rok terhenti ketika kurasakan sepasang tangannya di pundakku. Dia menggeserku ke sisi, kemudian mengambil tempat di tempatku semula, di sisi jalan. Ketika kami kembali melanjutkan perjalanan, telapak tangannya tidak berpindah, masih setia beristirahat di pundakku.

Dia kembali berujar dengan tiba-tiba. "Giliran kamu."

"Apa?"

"Bertanya."

Sebetulnya, ada banyak sekali pertanyaan bersarang di kepalaku, yang kesemuanya tentang dia. Kenapa dia mendorongku saat hujan waktu itu? Kenapa dia berkelahi? Kenapa dia mempunyai tato di lengan yang jelas-jelas sangat melanggar peraturan sekolah? Kenapa aku hanya dapat menemukannya ketika hujan. Dan masih banyak hal. Namun sekarang kesempatan itu berada di tangan, yang keluar dari mulutku kemudian hanyalah, "Permen kesukaan?"

"Permen kunyah, yang rasa buah. Tapi permen yang kemaren kamu kasih enak juga."

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berlanjut dengan acak. Dia bertanya pendapatku soal politik, kemudian soal penyanyi kesukaan di pertanyaan berikutnya. Lalu tentang tata surya di kesempatan lainnya. Sepanjang jalan, kami mengobrol tentang banyak hal. Dari topik biasa hingga pembicaraan paling absurd sekalipun. Kami mulai mengobrol tentang alien, antariksa dan konspirasi bentuk bumi. Berbicara dengannya terasa seperti bicara dengan diriku sendiri di depan cermin. Aku bisa mengobrolkan apa saja, bahkan hingga seisi bima sakti.

"Apa impianmu?"

Aku memperhatikan tiang listrik yang berada di pertigaan jalan, menandai bahwa rumahku berada tidak jauh lagi. Mendengar pertanyaanku, aku kembali memfokuskan perhatian. "Impian? Aku ingin jadi penulis. Penulis best seller."

"Keren," ucapnya seraya mengangkat kedua jempol. "Akan kudoakan semoga tercapai."

"Makasih. Dan impian kamu?"

Orang seperti dia ... apa impiannya? Mungkin dokter, atau pilot. Terlalu standar, dia tampak seperti anak orang kaya yang pembangkang, terbukti dari tatonya, mungkin dia ingin jadi ... presiden? Atau sesuatu yang berhubungan dengan seni. Mungkin dia punya bakat tertentu di bidang mus─

"Aku ingin menikah, lalu punya dua orang anak, minimal."

─ik atau lukis... Apa? Aku segera menoleh padanya, nyaris terlalu cepat hingga hampir membuat leherku cedera. Dia tidak tampak risih ditatap demikian, dengan tampang tidak percayaku. Jadi, dia hanya membalas dengan senyuman. "Apa impianku aneh?"

Kuputuskan untuk tidak berbohong. " ... Ya. Kita masih SMA.Dan pernikahan ... akan terjadi dengan natural, kan? Ada ... impian lain yang harus diraih lebih dulu."

"Apa menikah adalah impian yang terlalu sederhana?"

"Ya."

Kami terus berjalan. Di pertigaan jalan, aku mempercepat langkah, lalu mengambil arah kiri. Ia mengikutiku dalam diam. Mungkin semenit, atau lebih yang ia habiskan sebelum berujar lirih. Begitu lirih sehingga jika hujan masih sederas tadi, niscaya aku tidak mungkin mendengarnya. Namun hujan telah berubah menjadi gerimis dan aku mendengarnya.

"Ya. Impianku memang sesederhana itu."

Tidak ada kalimat yang rasanya cocok untuk dikatakan, sehingga aku memilih diam. Kami bertahan dalam kediaman itu hingga aku mendapati pohon mangga yang berada persis di pinggir jalan telah berada di hadapanku. Aku menghentikan langkah. Halaman rumahku adalah tempat pohon itu tumbuh.

Perjalanan menjelajahi Bima Sakti telah selesai.

Aku melangkah keluar dari teduh payungnya, membiarkan gerimis menyapa. Tumitku siap untuk berbalik, berlari menuju rumah. Namun di detik terakhir, aku justru kembali menghadap cowok itu. Kataku, "Omong-omong, kamu belum kasih tahu nama kamu."

"Lain kali," ujarnya. Dia menurunkan payung, meski hujan belum reda sepenuhnya. "Lain kali kalau kamu yang menemukanku, akan kuberi tahu."

Masalahnya, aku tidak pernah tahu bagaimana cara menemukannya, atau dimana aku dapat menemukannya, selain di toko buku bekas waktu itu.

Jadi, kami hanya bertemu di sana. Setiap hujan.

Setiap hujan turun, atau jika langit mendung, aku akan berteduh di toko buku itu, sesekali masuk, memeriksa buku-buku yang mungkin dapat kubawa pulang. Dan hampir setiap kali itu pula, aku menemukannya berteduh di tempat yang sama. Obrolan tentang Bima Sakti pun berlanjut. Hingga tata surya berbeda. Hingga black hole. Semuanya mengalir dengan mudahnya hingga aku mulai berharap ... hujan datang setiap hari, memerangkap kami.

Lalu satu hari, hujan turun, aku di sana, menunggu, dan dia tidak datang. Ketika hujan turun lagi dua hari kemudian, dia masih tidak datang. Aku cemas, marah karena dua hari terus membawa miniatur rumah setengah jadi, untuk Prakarya yang janjinya akan dibantu olehnya, akan digarap bersama. Namun tentu saja, dia tidak datang dan aku merasa dipermainkan.

Esoknya, langit mendung dan gerimis menyapa pelan, dia duduk di bangku depan toko buku itu, menungguku.

Ada yang berbeda darinya. Hal yang seketika membuatku melupakan sumpah serapah yang telah kususun semalaman. Hal yang membuatku melangkah mendekat, dan menahan kuat-kuat keinginan untuk menyentuh pipinya.

"Kamu sakit?" tanyaku. Wajahnya pucat, selalu pucat. Namun kali ini, lebih pucat dari biasanya. Rambut cokelat gelapnya yang selalu terlihat lembut, sekarang tampak kusam.

Dia tersenyum. Dan senyumnya melegakan. Senyumnya sama seperti senyumnya yang sudah-sudah, lebar, menekan pipinya hingga ke mata, menyembuhkan kanker dan mengobati luka. Senyum yang .. mungkin di tahun-tahun mendatang, akan tetap kuingat di satu sudut benak. "Aku masih bernapas," sahutnya enteng.

"Kemarin... hujan. Kamu nggak ada."

"Maaf. Ada kesibukan." Dia tidak tampak seperti ingin menjelaskan, sehingga aku mengurungkan niat untuk bertanya. Kubiarkan keheningan mengisi, hingga dia membuka suara kembali.

"Ayo lihat-lihat buku!"

Dia menarikku ke dalam toko buku, dan aku tidak punya cukup tenaga atau alasan untuk menolak. Tidak ketika semua yang dapat kupikirkan adalah bagaimana tangannya merangkup tanganku, bagaimana telapak tangannya terasa hangat namun ujung-ujung jemarinya dingin.

"Apa buku kesukaan kamu?"

Ada banyak. "Aku suka petualangan dan fantasi. Percy Jackson, Narnia, Maze Runner, tapi kalau harus memilih, maka favoritku sepanjang masa adalah Harry Potter."

Dia mengangguk-angguk, sementara matanya tampak mencari-cari di antara deretan judul di rak buku second hand. "Aku juga suka. Tapi aku akan pilih buku ini."

Yang kemudian berada di tangannya adalah sebuah buku yang tampak tipis dan kusam. Ia menyerahkannya ke tanganku dan dapat kulihat, itu adalah buku untuk anak-anak, dari sampulnya yang merupakan ilustrasi sebuah mobil merah di tengah hujan, dan bagaimana bagian dalamnya dipenuhi lebih banyak ilustrasi. Home in the Rain, judulnya. Aku membalik buku itu untuk membaca sinopsisnya. Tentang seorang anak perempuan dan ibunya yang tengah mengandung, bepergian ke rumah neneknya. Dalam perjalanan, mereka terpaksa berhenti untuk menunggu badai reda, dan si gadis kecil menulis di jendela mobilnya yang berkabut tentang nama apa yang ingin ia berikan untuk adiknya.

Aku mendongak menatap cowok itu, yang tampak sedang sibuk memilah buku lainnya. Buku ini sederhana, tentang perjalanan, tentang kenangan, tentang bagaimana satu kejadian bisa meninggalkan kesan yang mendalam. Dan tahu-tahu memoriku mengkilas balik pertemuan pertama kami. Di tengah hujan, dia dengan sulur tato di lengannya, dia yang kemudian mendorongku.Lalu pertemuan-pertemuanku berikutnya dengannya. Semuanya ... semuanya meninggalkan kesan yang lebih dalam dari yang kuharapkan.

"Kenapa?" tanyaku tiba-tiba, menarik perhatiannya.

Dia menaikkan alis. Ada banyak kenapa yang ingin kutanyakan. Tetapi aku harus berdamai dan membiarkan mereka keluar satu persatu. "Kenapa kamu suka buku ini?"

"Oh," kekehnya, lalu mengulang alasan yang pernah kudengar sebelumnya. "Karena nggak banyak yang suka buku anak-anak sampai mereka dewasa. Harus ada yang suka."

"Kenapa?" Aku bertanya lagi. "Kenapa kamu mendorongku waktu itu?"

Lalu, sebelum ia berhasil menjawab, aku bertanya lagi dan lagi. "Kenapa kamu bicara denganku? Kenapa kamu menjemputku ke sekolah? Kenapa kamu hanya ada saat hujan?"

Dia tersenyum, namun jawaban darinya tidak segera kudapatkan. Hanya pengulangan kalimat yang pernah kudengar sebelumnya.

"Lain kali kalau kamu yang menemukanku, akan kuberi tahu."

Dia menarik tanganku lagi, ingin membawaku pergi. Kali ini, aku berontak. Aku menatapnya baik-baik, merasa marah, kesal, merasa ... dipermainkan. Di hadapannya, aku merasa seperti buku yang terbuka, dan dia kotak brankas yang aku tidak pernah tahu apa yang tersimpan di dalamnya.

Lirihku, "Kenapa kamu harus begitu misterius?"

Setelah beberapa waktu berlalu tanpa ada suara, ia terlihat mengembuskan napas dan meraih kedua tanganku. "Hujan selanjutnya ..., kalau kita bertemu lagi, aku janji, kamu akan tahu semuanya."

***

Hujan datang lagi. Dan lagi. Dan lagi. Namun meski beberapa hujan telah berlalu, dan aku menunggunya di toko buku yang sama, dia tidak pernah datang. Dia tidak menepati janjinya, dan aku benci. Selama kira-kira sepuluh hujan, aku menunggu. Lalu di hujan ke sebelas, aku menyerah. Dia tidak datang, tidak pernah, mungkin tidak akan pernah.

Hingga Juni datang, menyesapkan embun dan gerimis sore ke tanah yang mulai kering, meniupkan angin kemarau. Musim hujan telah berlalu. Dan kesempatan untuk menemukannya ... kian menipis. Bukannya aku peduli. Aku sudah coba mengubur ingatan itu dalam-dalam. Dia hanyalah orang asing, kami hanyalah dua orang asing. Jika dia ingin pergi ... pergi saja.

Seperti yang selama ini kupercaya, kami hanyalah dua kutub yang bertentangan, garis kami tidak seharusnya bersinggungan. Seperti bumi dan langit ... tidak seharusnya kami bertemu. Bahkan ketika hujan.

"Bumi, kamu dengerin, kan?"

Aku menggeleng seketika. Lian masih berbicara di ujung telepon dan aku bisa-bisanya terseret lamunan hanya karena melihat toko buku itu di depan mata. Ada yang lebih penting yang harus dipikirkan.

"Iya, iya, aku dengar, kok."

"Jangan lupa, beli cat minyaknya! Sama kertas minyak. Ini ribet banget deh Prakarya, disuruh bikin-bikin terus."

Aku terkekeh. "Namanya juga Prakarya. Dan iya, ini udah kebeli, kok."

"Bagus. Kita tunggu di rumah Tya. Buruan, Mi! Ini gue abis beli gorengan banyak, jangan sampe diabisin Bayu!"

Telepon kutuup setelah Lian lebih dulu memutuskan sambungan. Aku memasukkan ponsel kembali ke dalam tas saat tiba-tiba saja, setitik air jatuh mengenai pangkal hidungku. Aku mendongak dan mengulurkan tangan. Hujan. Hujan tiba-tiba saja turun. Dan aku tidak boleh membiarkan bahan-bahan Prakarya di dalam tas sampai kebasahan. Maka buru-buru, aku berlari ke toko buku itu.

Ada, yang lebih buruk dari kehujanan hingga basah kuyup, ternyata. Yaitu ketika ingatan menghujanimu tiba-tiba, membuatmu gamang. Dan itu adalah hal yang terjadi dari langkah yang pertama kuambil memasuki toko buku.

Seorang kakek yang menjaga toko buku itu tampak baru saja terbangun dari tidur siangnya. Familiar denganku, dia menyapa dan bertanya kenapa aku sudah jarang mampir. Dan ...

"Mana pacar kamu?"

"Ya?"

"Itu, yang ganteng, tinggi, punya tato."

Nyaris, aku terkekeh. Kesan pertamanya pada orang lain selalu demikian, tato di lengan. "Cuma teman," sanggahku disertai senyum, berusaha tersenyum. Lalu memilih untuk menyusupkan diri di antara deret rak buku lama. Lebih baik daripada aku harus menghadapi pertanyaan tentangnya lagi. Tentang dia ..., yang aku bahkan tidak tahu namanya.

Kenapa dia tidak datang? Kenapa dia menghilang begitu saja?

Mau tidak mau, pertanyaan itu menggerogotiku kembali. Aku menyapukan jemari pada deretan buku yang sampulnya telah kusam dan kertasnya sebagian telah menguning di rak paling pojok, buku-buku yang sebelumnya punya pemilik, namun harus berakhir di sini, menunggu pemilik yang baru. Jika mereka memiliki hati, bagaimana perasaan mereka sekarang? Apakah mereka terluka? Apakah mereka ... kehilangan?

Lalu, serta merta perasaan hancur menyergapku.

Siapa yang coba kuajak bercanda selama ini? Aku berusaha keras membohongi diri sendiri, dan kupikir aku berhasil. Tapi bagaimana bisa .. seorang asing membuatku merasakan perasaan yang sulit kudefinisikan? Perasaan bahagia, awalnya. Lalu kehilangan. Kehilangan yang besar. Seperti satu lubang di tengah aspal, tergenang setiap hujan turun.

Dan setiap hujan turun pula, aku akan selalu diingatkan tentangnya.

Jemariku berhenti di buku itu, Home in the Rain, tersembunyi di belakang buku lainnya. Buku kesukaannya. Debu lama tampak menempel pada mobil merah di bagian sampul, membuatnya terlihat kusam. Pada halaman depan, ujungnya sobek dan kertasnya sudah tampak kaku. Aku membuka lembarannya satu persatu-satu. Membiarkan kenanganku sendiri berputar di kepala, menggerogotiku pelan-pelan.

Pertemuan pertama di toko buku. Sulur tato. Aku yang terdorong ke tengah hujan.

Pertemuan kedua dengan ia yang luka-luka, entah dengan sebab apa.

Pertemuan ketiga, perjalanan pulang yang terasa seperti mengelilingi Bima Sakti. Ia suka warna cokelat, permen kunyah rasa buah, dan buku anak-anak. Impiannya adalah menikah dan punya dua orang anak, minimal.

Dan ... aku masih belum tahu namanya. Atau alasan-alasan setiap perbuatannya.

Kemudian jemariku berhenti di halaman terakhir.

Ada sebuah kertas yang terlipat. Tampak cukup baru, namun telah lusuh akibat seringnya disentuh. Aku membukanya.

Mataku segera mengenali tulisan tangannya, hasil dari beberapa kali coba menjawab bersama tugas sekolah. Sebuah daftar terpampang di depanku, mungkin sekitar dua puluh baris, lengkap dengan tanda centang di setiap sisinya. Baris demi baris pertama, aku mulai membacanya.

Mendorong orang asing ke tengah hujan, checked.

Menantang geng sekolah berkelahi, checked.

Bungee-jump, checked.

Menaklukkan puncak Semeru, tidak ada tanda centang.

Dan masih banyak lagi, di daftar itu. Aku mengenali sebagiannya adalah apa yang dia lakukan padaku, apa yang kami lakukan. Kemudian, mataku segera terhenti di baris daftar terakhir.

Jatuh cinta, checked.

Menikah, tidak tercentang.

Daftar itu tidak memiliki keterangan apa-apa. Aku menjauhkannya, berupaya sekuat tenaga untuk tidak meremasnya saat itu juga. Karena, rasanya sekarang ada yang sedang meremas jantungku hingga sesak. Hingga ketika aku menghela napas, rasanya sulit untuk dihembuskan.

Melalui kaca-kaca yang melapisi toko, kulihat hujan masih deras di luar, aku mengembalikan pandang pada kertas itu. Di baliknya, aku menemukan catatan lain. Sebuah surat, kali ini.

Untuk Bumi.

Akhirnya, kamu menemukanku. Meskipun mungkin dengan cara yang tidak kamu duga.Akhirnya, ada hutang yang harus aku bayar, kan?

Aku minta maaf tidak bisa menyampaikan ini secara langsung, tidak sempat. Aku menulis ini di ranjang rumah sakit, tidak tahu apa aku bisa bertemu kamu lagi atau tidak. Dan ... ah, hutang rahasia. Ada beberapa rahasia, sebenarnya. Jadi, tolong baca dengan perlahan.

Pertama, aku suka permen gummy yang kamu kasih itu, lebih suka dari permen kunyah rasa mangga, karena kamu yang memberikannya. Sayangnya, aku nggak bisa makan itu banyak-banyak, atau aku akan berakhir di rumah sakit lagi. Lalu, aku benci matahari. Bukan apa-apa, tapi kulitku bisa melepuh. Ya, aku vampire. Hahaha.

Oke, bercanda.

Namanya Porfiria. Dan sebenarnya bukan masalah besar, hanya nggak boleh kena matahari. Bangsat memang ketika kamu harus hidup di Indonesia yang punya terlalu banyak sinar matahari. Karenanya, kita hanya bisa ketemu saat hujan. 

Dengan airmata yang leleh di pipi, aku justru tersenyum tanpa sadar. Aku dapat membayangkannya, membaca surat ini terasa seperti melihat cowok itu lagi dengan mata kepalaku, memamerkan senyumnya yang tengil, yang dengan cepat berubah menjadi gelak kekanakkan.

 Tapi, sebenarnya ada yang lebih buruk dari itu.Sejak kecil, aku punya jantung yang berbeda. Aku pernah berada di meja operasi untuk transplantasi jantung. Dan seharusnya, sekarang aku membutuhkan transplantasi kedua. Tapi tak apalah, aku sudah cukup menghirup napas, ada orang lain yang lebih membutuhkannya.Itu rahasia kedua.

Ketiga. Bumi ..., apa kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Klise, sih. Tapi tiba-tiba aku percaya, setelah ketemu kamu.

Aku terkesiap. Tanganku yang memegangi kertas mulai gemetar. Membaca kalimat-kalimat berikutnya, adalah keajaiban bahwa tubuhku tidak roboh saat itu juga, adalah keajaiban aku tidak seketika menangis sesenggukan.

Bumi, maaf karena terus merecokimu. Pasti menyebalkan, ya, diganggu terus oleh orang aneh ini?

Bumi, berjanjilah untuk mewujudkan impian-impian kamu itu, seperti kita mewujudkan impian-impianku.

Bumi, terima kasih telah datang ke dalam hidupku yang singkat.

Langit.

Seperti yang selalu kupercaya, Bumi dan Langit, tidak pernah dipersatukan. Kecuali ... ketika hujan.

Banjarmasin, 24 Agustus 2020


TAMAT


Naya Hasan lahir di musim penghujan, 27 Desember.Menyukai pepohonan, warna dedaunan, dan suara rintik hujan. Penulis asal Banjarmasin ini memulai kiprahnya di Wattpad setahun silam dan telah berhasil menyabet gelar pemenang pada ajang penghargaan Wattys 2019 di kategori romansa dan kemudian tergabung dalam komunitas Wattpad Star. Novelnya yang berhasil lolos ke dalam 5 besar lomba menulis urban romance akan segera diterbitkan dalam waktu dekat.

Naya bisa dihubungi lewat akun media sosial berikut:

Wattpad: naya_hasan

Instagram: @specialnay

Twitter: @nayaaahasan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro