"Kastil Darling" - Wulanfadi
KASTIL DARLING
A short story by Wulanfadi
Seperti biasa di Kastil Darling, setiap jam sepuluh malam, lampu-lampu dimatikan, semua anak harus tidur di tempat masing-masing, dan bila ketahuan Tn. Jed, maka siap-siap menjadi yang terakhir kali sarapan karena membersihkan seluruh kamar mandi subuh-subuh.
Aku melirik kanan dan kiri lorong yang sepi dan gelap, lalu dengan langkah seringan kucing, aku melewati lorong kamar anak tahun kedua ke kamar anak tahun kesepuluh. Tentu saja jaraknya jauh. Aku harus berhenti beberapa kali untuk mengecek kondisi.
"Hei, ini aku," sapaku ketika sampai di kamar kesepuluh.
Josie membuka selimut yang menutupi sampai ujung kepalanya. Anak perempuan umur tujuh tahun itu menatapku dengan mata penuh kelegaan. "Wisdom!" bisiknya cukup keras. "Aku sampai mati ketakutan menunggumu datang."
Aku meringis bersalah. "Maafkan aku. Claire membutuhkanku untuk mengajarinya matematika. Kau tahu kan guru matematika kita galak?"
Aku menaruh buku dongeng di nakas tempat tidur. Kulihat sekeliling, beberapa anak lain sudah tertidur lelap.
Josie menutup mulutnya. "Oh, kasihan sekali Claire," ucapnya bersimpatik.
"Hei, Josie. Kalau aku tahu kamu takut, aku pasti akan menghiburmu sampai Wisdom datang," ucap Morgan, anak laki-laki yang selalu sok berani di depan Josie. Dia yang tertua di antara anak tahun kesepuluh, umurnya sepuluh tahun.
Aydin berdecak. Anak laki-laki umur delapan tahun itu turun dari ranjang tingkat dua. "Sudahi ucapanmu itu, Morgan. Sebelum Wisdom datang, kau juga merengket ketakutan di dalam selimutmu."
"Aku tidak begitu, ya!" Morgan membela diri.
"Sudah, sudah," Kenna ikut turun dari ranjang tingkat dua, anak perempuan yang seumur dengan Aydin itu kini menatapku. "Aku ingin mendengar Wisdom bercerita agar bisa tidur nyenyak malam ini."
Begitulah malamku di Kastil Darling. Membacakan dongeng untuk anak tahun kesepuluh yang sulit tidur. Ada empat anak. Josie, Morgan, Aydin dan Kenna. Sementara itu, anak-anak lain sudah terlelap. Pernah juga ada anak lain yang ikut mendengarkan dongeng yang kuceritakan, namun seringnya hanya mereka berempat.
"Hari ini dongengnya tidak biasa," kataku. Anak-anak mulai bersiap duduk di sekelilingku. "Karena hari ini adalah hari keseratus sepeninggal Ny. Darling," lirihku.
"Aku rindu Ny. Darling," jujur Kenna dengan mata menerawang. "Kastil tanpanya benar-benar berbeda."
Aku mengangguk. "Aku akan bercerita tentang siapa itu Ny. Darling pada kalian."
Semua mata kini menatapku dengan penasaran. "Apa Wisdom tahu siapa sebenarnya Ny. Darling? Apa anak tahun kedua pernah berbincang dengannya lebih dari satu menit?" tanya Josie beruntun.
Aku tertawa. "Tidak begitu, Josie. Ceritaku ini—aku mengarangnya sedikit."
Kenna dan Aydin mengangguk paham sementara Morgan mengeluh kalau itu artinya aku tidak tahu siapa sebenarnya Ny. Darling. Namun maksudku, Ny. Aanisah yang menjadi Kepala Pengurus bertahun-tahun saja masih tidak tahu siapa itu Ny. Darling, apalagi aku yang hanya anak tahun kedua?
"Ny. Darling adalah orang yang hebat, tentu saja," aku mulai bercerita. Bahkan Morgan yang tadi mengeluh, kalau sudah mendengarku cerita, mulutnya otomatis tertutup. "Ny. Darling mendirikan Yayasan Darling tanpa diketahui oleh orang banyak. Bahkan hal ini sempat geger di berita-berita internasional. Siapa Nyonya yang bisa membuat Yayasan sendirian tanpa bantuan dana siapapun?" mulaiku. "Tidak ada yang tahu dari mana dana Yayasan Darling mengalir. Hal itu yang membuat yayasan ini sangat kuat dan berjaya. Karena Ny. Darling yang mengatur sendiri alur keuangan."
Kenna mengangguk paham. "Itulah kenapa anak-anak di sini tidak pernah kelaparan. Aku rasa itu sebabnya Rae curhat padaku. Katanya orang tuanya sudah tidak kuat lagi merawat Rae dan ingin menitipkannya di Kastil Darling."
"Benar, Kenna, dengan catatan kalau memang kondisi keuangan keluarga yang ingin menitipkan anaknya di sini memang kurang," aku tersenyum. "Ny. Darling juga masih membolehkan anak yang dirawat di sini untuk bertemu orang tuanya dua tiga kali sebulan."
Morgan bertanya. "Lalu, apa yang membuat Ny. Darling bisa merawat anak sebanyak kita? Anak tahun ini saja sampai ada seratus orang, Wisdom."
Aku mengangkat bahu. "Aku pun tidak tahu. Ada yang bilang Ny. Darling penyihir."
"Penyihir?! Penyihir jahat?" tanya Josie lagi-lagi merengket ketakutan.
Senang sekali menjahili mereka sesekali.
"Iya, penyihir yang jahaaat sekali!" seruku seraya mengangkat kedua tangan ke udara membuat Josie memekik tertahan. Aku tahu Morgan juga takut, namun ia sok berani menenangkan Josie. Kenna dan Aydin yang tahu akal bulusku hanya menatapku datar.
Aku berdeham melihat tatapan Kenna dan Aydin yang mungkin menilaiku sampah karena masih mengganggu Josie padahal mereka berempat adalah anak yang sulit tidur.
"Dia bukan penyihir jahat," koreksi. "Malah, dia penyihir yang sangat baik."
"Biasanya penyihir berpura-pura baik dulu supaya nanti bisa memakan anak kecil," ucap Josie.
"Tenang saja, Josie. Ny. Darling sudah tiada," ucap Morgan.
"Bukannya penyihir bisa saja bangkit dari kubur?" tanya Josie.
"Wisdom, anak-anak tahun pertama sudah bertanya-tanya siapa yang akan jadi penerusnya," ucap Kenna menarik tanganku untuk memperhatikannya alih-alih Josie dan Morgan.
Aydin mengangguk. Matanya menatapku penuh penasaran. "Menurut Wisdom, siapa yang akan jadi penerus Ny. Darling? Kita tidak mungin terus mengandalkan Ny. Aanisah merawat kita semua."
Aku menggaruk tengkuk dengan senyum canggung. Jujur saja, aku pun tidak tahu apa-apa tentang itu.
"Sudah jam sebelas, sudah waktunya tidur," aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri. Terdengar keluhan, 'yaaah' dari mereka berempat, namun aku tetap pergi.
"Jangan lupa besok kalian harus siap-siap untuk memperingati kepergian Ny. Darling yang keseratus hari," ucapku sebelum menghilang di balik pintu.
***
Bel tanda sarapan telah berakhir pun berbunyi. Aku mengangkat nampan yang sudah kosong ke tempat pengumpulan nampan bersama kedua temanku, Rupert dan Claire. Mata Claire masih terlihat bengkak akibat mengerjakan tugas matematikanya sementara Rupert yang sudah menyelesaikan tugas itu minggu lalu tampak biasa-biasa saja.
"Aku masih heran denganmu, Wisdom," ucap Claire melirik nampanku. Rambut lurus yang diikatnya bergoyang-goyang seiring ia berjalan. "Tiap makan, nampanmu selalu, selalu, bersih."
Rupert membalas. "Itu karena Wisdom tidak mau makanan yang ia sisa menangis. Bukan begitu, Wisdom?"
Aku berdecak. "Jangan komentari nampanku. Ayo, kita ke aula sekarang."
Rupert dan Claire terkekeh, mereka jelas tahu kalau aku akan kesal soal nampan. Sebenarnya bukan karena aku takut makanannya akan menangis, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya hidup di jalanan dan mengorek makanan sisa di tong sampah—bahkan diusir ketika ketahuan melakukannya. Aku tidak mau membuat Ny. Darling kecewa kalau aku tidak menghabiskan makanan yang ia berikan. Meski Ny. Darling tiada, aku tetap tidak bisa melupakan fakta kalau Ny. Darling adalah orang pertama yang mengulurkan bantuan padaku.
Aula sudah ramai ketika kami tiba. Tiap anak diatur berdasarkan tahun mereka tinggal di sini. Aku, Claire dan Rupert sama-sama masuk di tahun kedua. Di tiap tahun, jarak umur anak-anaknya selalu berbeda. Karena kami bertiga sama-sama enam belas tahun, dengan alamiah, kami jadi sering bersama karena satu kelas. Di tahun pertama sebenarnya ada Priscy yang seumuran dengan kami, tetapi beberapa anak di tahun pertama merasa diri mereka eksklusif sehingga tidak membiarkan Priscy bersosialisasi dengan anak-anak di tahun setelahnya.
Itu konyol. Maksudku, apa bedanya anak tahun pertama dan tahun kedua? Tahunnya saja yang berbeda. Ny. Darling juga tidak memperlakukan mereka spesial, hanya memberi akses pada anak tahun pertama untuk memimpin tur keliling kastil untuk anak-anak tahun terbaru. Aku masih ingat ketika menjadi anak baru di tahun kedua, ada satu anak yang paling tua di antara mereka, bedanya empat tahun dariku. Dia menganggap remeh kami dan seringkali mengejek saat tur. Namanya—
"Hei, Wissy-Wissy!" seruan dari belakang itu membuatku mengembuskan napas keras-keras.
Namanya Alfred. Dibanding usianya yang sudah 20 tahun, dia masih seperti remaja tukang buli anak-anak yang mereka anggap lemah.
Aku menoleh. Dari meja anak tahun pertama, Alfred berada di atas meja. Kalau Tn. Jed tahu, sudah pasti Alfred tidak akan selamat. Namun aula masih diisi oleh anak-anak. Kepala Pengurus, Kepala Pembina, dan Kepala Pengawas kurasa masih menyambut tamu hari ini. Alfred pun tahu hal itu dan bisa berbuat seenaknya.
"Sekali-kali, aku ingin sekali," Claire tiba-tiba bicara, dengan tangan saling mengepal, "Ingin sekali meninju mukanya yang menyebalkan itu dan membuatnya koma."
"Yeah, kalau kamu ingin tinggal kelas karena sudah berbuat macam-macam dengan anak tahun pertama," tukas Rupert.
Claire tersenyum—dan senyum itu berubah seringai.
Rupert bergidik. "Apa maksudnya senyum itu?"
"Aku sudah meninju Alfred. Di pikiranku," jawab Claire puas seraya menyibak rambut lurusnya. "Dia tidak hanya koma, dia mati. Tinjuku memang hebat."
Aku dan Rupert menatap Claire dengan horror. Apa benar perempuan ini adalah perempuan yang sama yang tahun lalu mendapat gelar sebagai Cewek Teranggun di SMA Darling?
"Wissy-Wissy, kamu mengabaikan panggilanku?" Alfred mendatangi meja anak tahun kedua, beberapa temanku mencoba mendorongnya, namun aku mengatakan biarkan saja Alfred datang.
Alfred mendengus. "Ini yang aku tidak suka darimu, Wissy-Wissy. Kamu selalu bertingkah sok jagoan."
"Apa maumu?" tanyaku dingin. "Kalau kau kira aku sudah memaafkanmu karena mengganggu Morgan minggu lalu, kamu salah."
Minggu lalu, Morgan diganggu Alfred karena anak itu mengatakan kalau seharusnya yang pantas menjadi Ketua Semua Angkatan bukan Alfred, tapi aku. Morgan dikunci di kamar mandi selama dua jam sampai anak tahun ketiga yang mendengar suara tangisan Morgan akhirnya mendobrak pintu kamar mandi untuk mengeluarkan Morgan dari sana.
"Itu bukan urusanmu, Wissy-Wissy," Alfred berdecak seraya menggelengkan kepalanya.
"Apa maumu?" tanyaku lagi.
Alfred tampak tersinggung dengan sikap tidak sopanku, tetapi aku tetap menatapnya tak berkedip. Semua mata kini menatap ke arah kami, menunggu pertengkaran apa yang akan terjadi di antara kami.
"Hari ini, surat wasiat Ny. Darling akan dibacakan," ucap Alfred. "Dan akulah yang akan menjadi penerus yayasan ini! Aku yang akan memilah siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas di tempat ini."
Alfred tersenyum. Matanya yang cokelat cerah itu menatapku seperti aku adalah buruannya. Dia menepuk-nepuk kepalaku, namun dengan segera kusingkirkan tangannya. Alfred terdiam sesaat ketika tahu aku menepis tangannya, dia terkekeh pelan.
"Dan kamu, Wissy-Wissy. Kamu adalah orang pertama yang akan aku keluarkan dari Kastil Darling."
Sesaat, semua orang tidak ada yang bicara, termasuk aku. Sampai akhirnya suara Tn. Jed dari atas podium membuat suasana kembali ricuh. Tn. Jed mengatakan kalau sebentar lagi surat wasiat akan dibacakan oleh tamu hari ini, yaitu Ny. Petals, pengacara yang menangani surat wasiat Ny. Darling.
Alfred berdecak, lalu pergi ke meja tahun pertama dengan mata masih menghunus ke arahku.
Ny. Petals tampak kikuk di depan ribuan anak-anak Darling yang menatapnya penasaran. Sudah seratus hari, pertanyaan 'Siapa yang menjadi penerus?' bercokol di kepala anak-anak. Termasuk aku yang juga khawatir bila Alfred menjadi penerus dan bersikap semena-mena. Bisa-bisa, Kastil Darling dijual dan kekayaannya buat dirinya sendiri. Bukan hanya menelantarkan anak-anak, Alfred juga bisa menghancurkan semua yang Ny. Darling bangun susah payah.
"Selamat pagi, anak-anak," ucap Ny. Petals. "Seratus hari sejak kepergian Ny. Darling. Saya tahu ini hal yang tidak mudah bagi kalian. Saya tahu kalian kehilangan sosok yang begitu berharga—"
"Ny. Petals! Langsung saja bacakan surat wasiatnya!" seru Alfred.
Dasar, tidak sopan.
Aku mengangkat tangan, tidak peduli dengan sorot tatapan Alfred yang murka ke arahku. "Lanjutkan, Ny. Petals. Saya tahu suara Ny. Petals juga berharga di ruangan ini."
Ny. Petals tampak terharu. "Terima kasih," ucapnya. "Saya tahu kalian kehilangan sosok yang begitu berharga. Ny. Darling pernah bilang pada saya, kalau kalian adalah anugerah yang diberikan Tuhan padanya."
Hatiku terasa kosong mendengar ucapan Ny. Petals, suaranya perlahan samar-samar seiring aku mengingat masa lalu. Sudah seratus hari sejak kepergian Ny. Darling dan aku pun masih belum merelakan kepergian beliau. Meski anak-anak jarang melihat Ny. Darling, namun kami bisa melihatnya ada di taman kastil yang luas, meminum tehnya, mengamati anak-anak sekitar yang bermain. Aku sering memperhatikan Ny. Darling dari jauh, bagaimana Ny. Darling menatap sayang anak-anak di sekelilingnya. Aku sangat terpukul karena harus kehilangan Ny. Darling secepat ini. Meski aku hanyalah salah satu anak yang Ny. Darling ambil dari jalan, bagiku Ny. Darling adalah satu-satunya orang yang mau menerimaku, memberiku tempat tinggal, merawatku hingga bisa mengecap pendidikan.
Hal yang paling aku sesali atas kepergian Ny. Darling adalah aku tidak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Atau setidaknya menuliskan surat untuknya tentang bagaimana aku bersyukur sudah diangkat menjadi salah satu anak olehnya.
Hanya itu.
"Dan selanjutnya, saya akan membacakan surat wasiat Ny. Darling," ucap Ny. Petals seraya membuka dokumen di tangannya. Ny. Petals tampak gugup, melihat sekitar. Kudengar Alfred sejak tadi heboh, namun tidak ada yang sudi menanggapi kehebohannya. "Dengan ini, saya, Rosiana Ravelyn Darling, menyatakan dan menetapkan, bahwa seluruh kekayaan dan hak milik saya, terutama untuk Kastil Darling dan segala urusannya, saya serahkan pada...," Ny. Petals melihat sekitar. Tidak pernah ada senyap yang setegang ini.
"Wisdom Tevery Darling."
Semua kepala perlahan bergerak ke satu arah. Ke arahku. Sementara aku menatap Ny. Petals dengan tatapan sangsi. Apa tadi aku baru salah dengar? Apa ada orang lain yang bernama Wisdom Tevery Darling?
Tahu-tahu saja, Alfred murka dan menerjangku. Mengatakan aku sudah melakukan kecurangan hingga posisi penerus direbut darinya. Namun, tidak ada yang menjanjikan Alfred sebagai penerus, bahkan Ny. Darling sekalipun.
Tn. Jed menahan Alfred. Begitu pula Ny. Aanisah dan Tn. Owen. Kepala Pengawas, Kepala Pengurus dan Kepala Pembina, ketiga orang penting itu kin melindungiku dari serangan Alfred.
Aku masih ternganga dengan itu semua, namun Ny. Aanisah menambah keterkejutanku dengan mengatakan sesuatu, sesuatu yang membuatku yakin kalau ini bukan mimpi.
"Selamat, Tn. Darling. Kamu adalah penerus sah Kastil Darling."
***
Aku duduk dengan canggung di meja Ny. Darling. Meja ini bersih, seolah pemilik sebelumnya selalu merapikan peralatannya dan tidak meninggalkan setitik noda pun di sana.
Kudongakkan kepala ke arah Ny. Aanisah, Tn. Owen, dan Tn. Jed. Ny. Aanisah sebagai Kepala Pengurus adalah seorang muslim berkerudung hitam–kalau tidak hitam, biasanya warna pastel, yang sangat ramah dan penyayang. Sementara Tn. Owen sebagai Kepala Pembina terkenal disiplin dan tidak ragu untuk mengatakan apa yang ada di kepalanya meski itu terdengar menyakitkan sekalipun, kumisnya sudah memutih, dan tatapan matanya tajam. Sementara Kepala Pengawas, Tn. Jed adalah laki-laki bertubuh gempal yang lincah mengejar anak-anak bandel yang ketahuan bolos kelas. Kendati Tn. Jed terkenal galak, beliau juga menyayangi anak-anak di Kastil Darling.
Sekarang, ketiga orang ini melihatku dengan tatapan yang jujur saja membuatku merasa terbebani.
"Tn. Darling, mulai sekarang Anda akan ditempatkan di tempat khusus," ucap Tn. Owen memulai. "Kamar Anda juga akan dipindahkan. Semua diatur oleh Ny. Aanisah. Anda tinggal mengikuti langkah-langkahnya saja."
"Tunggu, tunggu," aku mengangkat tangan, kepalaku pening. Ini terlalu tiba-tiba. "Itu artinya aku tidak akan sekelas lagi dengan Claire dan Rupert? Kamarku akan berbeda dengan anak tahun kedua?"
Mereka bertiga mengangguk.
"Apa ini keinginan Ny. Darling?" tanyaku.
Mereka mengangguk lagi. Aku rasa pasokan oksigenku berkurang. Aku berdiri dari kursi, membuat mereka ikut awas, dan jujur saja, aku benar-benar tidak biasa dengan sikap seperti itu. Seperti mereka menganggapku Ny. Darling yang patut dihormati bukannya anak ingusan umur enam belas tahun.
"Aku... uh... aku mau mencari udara," ucapku.
"Perlu saya temani?" tawar Tn. Jed.
Aku tersenyum segan. "Tidak, terima kasih."
Aku berjalan di sekeliling taman kastil yang sepi karena anak-anak sekarang berada di sekolah. Kutenangkan diri dengan mengikuti ajaran Ny. Darling dua tahun lalu di salah satu kelas Jasmani.
Tarik napas... tahan... hembuskan.
Kulakukan berkali-kali sampai aku bisa berpikir dingin.
Aku, jadi penerus? Gila. Apa yang membuat Ny. Darling memilihku? Aku bahkan tidak pernah bicara dengannya! Terakhir kali bertemu dengan Ny. Darling adalah ketika ia mengangkatku sebagai salah satu anaknya.
Kukira Alfred, namun mungkin Ny. Darling juga tahu yayasannya akan hancur sehari setelah penobatan laki-laki itu menjadi penerus sah.
Lalu... kenapa Ny. Darling memilihku?
***
Sejak hari itu, hidupku berubah. Aku tidak lagi membacakan cerita tiap malam untuk anak tahun kesepuluh yang sulit tidur atau mengajari Claire matematika. Aku juga tidak bertemu Alfred dan kawanannya yang menyebalkan. Jangankan bertemu, sarapan pun dilakukan di tempat yang berbeda dengan teman-temanku.
Pagi sampai malam, Ny. Aanisah, Tn. Owen, dan Tn. Jed akan bergantian mengajariku cara menjadi Ketua Yayasan. Kepalaku sampai pening dibuatnya. Aku rindu menjadi anak tahun kedua yang biasa-biasa saja. Namun mengingat Alfred bisa saja menghancurkan Kastil Darling sekejap mata, aku harus menahan ini semua. Bukan untuk aku saja, tapi untuk ribuan anak di Kastil Darling.
Sudah sebulan sejak pengumuman surat wasiat. Sebulan juga hidupku penuh kesendirian. Kukira aku bisa tahan, tetapi....
"Hei, ini aku."
"Wisdom!" seruan Josie yang kelewat keras membuat Kenna, Aydin, dan bahkan Morgan menyuruhnya diam.
Aku berjinjit ke dalam kamar anak tahun kesepuluh dan duduk melipat kaki di antara ranjang mereka. Josie yang rindu berat padaku bergelantung di bahu, sementara Morgan, Kenna, dan Aydin berada di depan dengan tatapan penuh penasaran.
Malam ini aku menyelinap ke sini saking kesepiannya. Aku sangat rindu mereka.
"Apa kabar? Apa kalian baik-baik saja?" tanyaku menyingkap jubah yang menutupi kepala.
"Alfred menggangguku sekali di hari pembacaan surat wasiat tetapi selain itu tidak ada apa-apa. Katanya kau meminta Tn. Jed untuk mengawasi Alfred. Permintaanmu benar-benar terkabul!" mata Morgan berbinar-binar.
"Baguslah kalau begitu," aku menghela napas.
"Kenapa, Wisdom? Wajahmu terlihat buruk," ucap Josie. Dia memang orang pertama yang selalu peka, sampai aku sedikit ngeri karena umurnya paling muda.
"Entahlah," jawabku lesu.
"Bukannya enak menjadi Ketua Yayasan? Kau mendapat perlakuan spesial, Wisdom," tutur Morgan.
"Kau tidak akan bilang seperti itu sebelum kau merasakannya, Morgan," aku terkekeh kecil, mataku menerawang. "Aku rindu bisa bersama kalian dan anak-anak tahun kedua."
"Oh, Wisdom," Josie memelukku erat, "Kami pun merindukanmu. Morgan tidak mengatakannya tetapi ia juga kesulitan tidur karena takut ada monster di bawah ranjangnya. Bukan begitu, Morgan?"
"Aku tidak begitu, ya," ucap Morgan dengan wajah bersemu.
Kenna angkat suara. "Kalau kau tidak mau, kau bisa serahkan ke orang lain, Wisdom. Seseorang yang kamu bisa percayai."
Aydin mengangguk. "Mungkin Ny. Aanisah paling tepat. Dia yang paling dekat dengan Ny. Darling?" tebaknya.
Aku memang mengeluh kalau aku tidak suka posisi ini, namun entah kenapa, aku juga ragu untuk melepaskannya. Aku takut orang lain tidak bertanggung jawab dan mengakibatkan anak-anak Kastil Darling terlantar.
"Terima kasih, Teman-Teman, sarannya," aku berusaha tersenyum tegar. "Nah, siapa yang mau dibacakan dongeng?"
Baik Kenna, Aydin, Morgan dan Josie, keempatnya menyambut dengan hangat ajakanku.
***
Setiap sebulan sekali, Ny. Darling akan menginspeksi tiap kelas. Karena Ny. Darling tiada, Ny. Aanisah yang selalu melakukan hal itu, membuat Ny. Aanisah kelelahan karena bertambahnya beban pekerjaan. Di bulan berikutnya aku mengambil alih pekerjaan ini. Ini juga menjadi kesempatanku untuk bisa bertemu Claire dan Rupert meski hanya sebentar.
Namun sebelum bertemu Claire dan Rupert, sayangnya aku harus ke kelas paling akhir–yaitu kelas diploma, di mana Alfred berada. Dirinya hanya seorang diri di sana, karena memang dia yang tertua di antara anak-anak lain.
Ketika melihatku, sikap Alfred berbeda. Dia lebih canggung dan menahan diri. Selama inspeksi pun, dia tidak bertingkah. Sangat jelas bukan seperti Alfred.
"Hei," aku kembali berbalik menghadapnya ketika hendak pergi. "Kau kenapa?"
Alfred menghindari tatapanku, "Saya tidak apa-apa, Tn. Darling."
Saya? Tn. Darling? Kata-kata formal macam apa itu yang keluar dari mulut Alfred?
"Apa kau sedang mengejekku?" tanyaku dengan alis berkerut.
"Tidak! Saya tidak mungkin mengejek Anda, Tn. Darling!" kini, wajah Alfred berubah horror, dan sekilas aku bisa melihat bulir keringat berjatuhan di sekitar dahinya.
"Lalu kenapa tingkahmu jadi berbeda begini? Membuat tidak nyaman saja," ucapku.
Alfred melirik Tn. Jed yang mengawasi di belakang kami. Melihat itu, aku meminta Tn. Jed untuk pergi agar aku bisa bicara empat mata dengan Alfred. Meski awalnya menolak, Tn. Jed akhirnya menyerah karena aku bersikeras.
"Jadi?" tanyaku.
Alfred menggertakkan gigi. Sudah jelas manusia satu ini sedang menahan emosinya. "Kau yang paling tahu aku tidak bisa bersikap seperti dulu lagi," ucapnya. Baguslah, setidaknya kali ini ia bicara informal padaku. Rasanya geli mendengar Alfred terbata-bata menggunakan bahasa formal.
"Kenapa? Karena aku penerus sah?" tanyaku.
"Karena kau bisa membuangku kapan saja."
Untuk sesaat, aku termenung mendengar jawaban Alfred. Aku baru sadar kalau usia kami tidak terpaut begitu jauh. Apa yang kucemaskan dan khawatirkan selama ini, belum tentu orang lain tidak merasakan juga. Selama ini kukira Alfred adalah orang yang paling percaya diri, namun kurasa tidak.
Kurasa kita sama-sama takut.
"Hei, dengarkan aku," ucapku, menepuk pundaknya. "Aku tidak akan mungkin membuangmu. Ny. Darling tidak akan melakukannya."
Alfred mendengus. "Itu Ny. Darling. Kalau kamu?"
Aku tersenyum. "Aku akan mengikuti apa yang mungkin Ny. Darling putuskan. Meski selama ini kamu suka bertingkah seenaknya dan sering ketahuan Tn. Jed, apa Ny. Darling pernah mengusirmu? Membuangmu?"
Alfred menggeleng.
"Itulah yang akan kulakukan. Sama seperti Ny. Darling, aku tidak akan membuangmu," jawabku lugas.
Bel tanda jam pelajaran berakhir, aku meninggalkan Alfred dengan alasan makan siang, meski sebenarnya aku pergi ke taman kastil untuk meluruskan benang rumit di kepalaku.
***
"Saya mencari-cari Anda, ternyata di sini," suara Ny. Aanisah membuatku tersentak dari lamunan.
Aku meringis. "Maafkan aku."
Sebenarnya aku sedang sangat gelisah hingga menghindar dari jadwal hari ini. Seharusnya selepas dari kelas Alfred, aku harus ke kelas anak tahun pertama yang berumur sembilan belas. Namun, aku malah berada di taman kastil, melamun dari matahari di atas kepala sampai kini akan kembali ke peraduannya.
"Apa yang membuat Anda banyak pikiran?" tanya Ny. Aanisah, mengambil duduk di sampingku dengan senyum lembut.
Aku menggerakkan kaki dengan canggung. "Apa sangat terlihat aku banyak pikiran?"
Ny. Aanisah mengangguk.
Aku menghela napas. Kurasa, tidak ada salahnya bicara dengan Ny. Aanisah soal ini.
"Aku bingung dengan keputusan Ny. Darling," tuturku. "Dari sekian banyak anak di Kastil Darling, kenapa dia memilihku?"
"Bahkan aku pun sampai sekarang tidak bisa memahami jalan pikiran Ny. Darling," Ny. Aanisah menghela napas. "Tetapi, Tn. Darling, keputusan Ny. Darling adalah keputusan yang ia rasa sangat tepat."
"Kalau ternyata keputusannya salah?" tanyaku. Alis Ny. Aanisah berkerut, tanda ia tidak mengerti, dan aku pun berkata lagi, dengan suara yang bergetar meski aku tidak memintanya begitu. "Kalau ternyata Ny. Darling salah memilihku? Aku rasa aku bukan penerus yang tepat. Aku rasa aku masih anak umur 16 tahun yang penakut, Ny. Aanisah. Aku bahkan tidak tahu apa bisa membuat keputusan yang tepat atau tidak."
Ny. Aanisah tersenyum mendengarnya. Dan kali ini, aku bisa melihat ada senyum bangga terukir di bibir Ny. Aanisah. Kemudian, dia berjongkok di hadapanku, menggenggam tanganku erat. "Wisdom Tevery Darling," ucapnya, "Kamu mendapat surat pertamamu."
Setelah itu, Ny. Aanisah mengeluarkan surat beramplop cokelat tua dari saku roknya. Aku tercengang, bingung, dan heran. Kuambil surat tersebut dan mencari nama pengirimnya.
Teruntuk Wisdom T. Darling
Dari Temanmu, Rosiana Ravelyn Darling
Aku menatap Ny. Aanisah, dan Ny. Aanisah mengangguk.
"Kamu akan mendapat surat tiap kali kamu mengucapkan 'kata kunci' padaku, Tn. Owen, atau Tn. Jed," ucapku. "Kata kunci surat pertama adalah, 'Bukan penerus yang tepat', Tn. Darling. Ny. Darling sudah menduga kamu akan bicara seperti itu."
Aku masih terpaku di tempat dudukku.
"Bacalah suratnya. Mungkin kamu butuh libur setengah hari hari ini," ucap Ny. Aanisah seraya meninggalkanku sendirian di taman kastil.
Dan dengan surat di tanganku.
***
Teruntuk Temanku, Wisdom T. Darling
Mungkin kamu akan menerima surat ini sebulan atau dua bulan sejak kamu mengikuti pembelajaran menjadi penerus yang membosankan itu. Kurasa mungkin kamu menyelinap ke kamar anak tahun kesepuluh untuk membacakan cerita karena kamu merindukan anak-anak manis itu.
Aku tahu apa yang kamu rasakan, Wisdom, kamu benar-benar takut, bukan? Namun, aku tidak akan memilihmu kalau kamu memang bukan orangnya.
Kamulah orangnya, Wisdom.
Kamu mungkin tidak mengingat kejadian ini, namun aku mengingatnya jelas seperti baru kemarin. Ketika itu, aku melihat Rupert diganggu oleh Alfred. Kamu datang dan melindungi Rupert. Namun karena itu, kamu jadi orang yang akhirnya diserang oleh Alfred. Ketika Alfred puas menyerangmu, dia pergi, meninggalkanmu dengan Rupert. Rupert mencari bantuan sehingga dia juga meninggalkanmu.
Aku menghampirimu dan bertanya, "Kenapa kamu ikut campur?"
Dengan sisa-sisa tenaga, kamu menjawab dengan senyum puas, "Karena aku tidak mungkin diam melihat temanku diganggu. Aku senang karena sudah melakukan hal yang aku rasa tepat."
Setelah itu, kamu kehilangan kesadaran. Rupert datang bersama Tn. Jed dan Tn. Owen. Dia terkejut melihatku, namun aku memintanya untuk tidak mengatakan apa-apa padamu kalau aku melihat kalian berkelahi.
Pertemuan kita begitu singkat, namun begitu bermakna.
Di usia senjaku yang sudah penyakitan ini, aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya untuk menjadi penerus. Setelah pertemuan itu, aku terus memikirkanmu, Wisdom. Aku meminta Ny. Aanisah untuk melaporkan tiap gerak-gerikmu. Kamu yang selalu membantu teman yang kesulitan, kamu yang selalu membela yang benar, dan kamu yang mengayomi anak-anak yang kesulitan tidur.
Kamu orangnya, Wisdom. Kamu penerus Kastil Darling yang kupilih. Jangan pernah ada ragu di hatimu sedikit pun kalau kamu bukan penerus yang layak.
Kutitipkan Kastil Darling padamu. Kutitipkan anak-anak.
Oh, iya. Kurasa pembelajaran sebagai penerus sah bisa kamu lakukan di hari Sabtu atau Minggu sekarang setelah kamu mendapat surat pertama ini. Di hari Senin sampai Jum'at, kamu tetap bisa belajar bersama teman-temanmu. Kurasa kamu sudah merindukan mereka, bukan?
Dari Temanmu.
Rosiana Ravelyn Darling
***
"Hei, Claire! Rupert!" seruku.
Mereka berdua menoleh dengan wajah tercengang, "Wisdom!"
Napasku tersengal. Surat dari Ny. Darling masih berada di genggamanku. Claire menyuruhku untuk mengatur napas sementara Rupert bertanya ada apa beberapa kali hingga membuat kehebohan di asrama anak tahun kedua. Asrama sedang sepi karena anak-anak sedang makan malam, sementara Claire dan Rupert terbiasa hanya memakan roti di malam hari sambil mengerjakan tugas yang belum selesai.
"Ny. Darling melihatku bertengkar dengan Alfred waktu itu!" seruku lagi.
Claire mengerutkan dahi sementara wajah Rupert seputih kertas.
"Darimana kau tahu?" tanya Rupert.
Aku mengangkat tinggi-tinggi surat di tanganku. "Dan Ny. Darling tahu kalau aku menyelinap ke kamar anak tahun kesepuluh! Pantas saja aku tidak pernah ketahuan Tn. Jed. Ternyata Ny. Darling membiarkan hal itu terjadi."
Claire dan Rupert masih tercengang. Sementara aku terus berkata-kata dengan menggebu-gebu.
"Dan aku akan kembali bersekolah dengan kalian! Bermain bersama kalian dan tidur di asrama yang sama dengan kalian!" aku berseru lagi. "Selama ini Ny. Darling menganggapku sebagai temannya!"
"Wisdom, tenangkan dirimu," Claire mengingatkan.
Aku duduk di antara mereka. Buku-buku pelajaran yang ada di atas meja kini sudah terabaikan. Dengan senyum yang mengembang di bibirku, aku kini sudah percaya diri, meski baru bisa mengatakannya di depan teman-temanku.
Ini yang kukatakan.
"Aku, Wisdom Tevery Darling, adalah penerus sah Kastil Darling dan juga teman Rosiana Ravelyn Darling," ucapku. "Aku akan terus melakukan hal yang kurasa tepat, melindungi anak-anak Kastil Darling, dan selain itu semua, aku akan tetap menjadi Wisdom, sahabat Claire dan Rupert."
"Oh, Wisdom," Claire menekap mulutnya, terharu.
Rupert menepuk bangga bahuku. "Kau harus berlatih mengatakan itu di depan orang lain juga, Wisdom."
"Akan kuusahakan," aku tersenyum bebas. "Kalian sedang belajar apa?"
"Matematika," jawab Claire, intonasinya berubah jengkel. "Aku bingung kenapa contoh soal dan soal yang diberikan pada kita berbeda jauh. Contoh soal itu seperti satu tambah satu, sementara soal yang diberikan seperti log x ditambah log y sama dengan 12 dan kita diminta cari nilai variabel x."
Aku tertawa, melihat soal-soal yang ada di buku tulis mereka. Wah... dengan soal seperti ini, sudah jelas kami akan tidur larut malam.
"Kau akan tinggal di asrama ini lagi?" tanya Rupert sambil melihatku yang mulai bekerja memecahkan soal di buku tulis.
Aku mengangguk.
"Besok kau akan sarapan bersama kami?" tanya Claire.
Aku menggangguk lagi.
"Wisdom!" seru Claire penuh suka cita. "Aku senang kamu kembali."
Rupert mengangguk setuju, senyumnya cerah.
Aku mengalihkan tatapan dari buku tulis dan tersenyum ke arah mereka.
"Aku pun senang!"
TAMAT
Wulanfadi sering merasa dunia sangat luas, dan kadang tidak bisa ia atur sesuai keinginannya. Ada saja hal yang tidak sesuai. Namun di antara itu semua, Wulanfadi bisa bebas menuangkan perasaannya dalam bentuk jemari mengetik di atas keyboard—atau ponsel. Bisa saat pagi hari setelah bangun atau malam hari sebelum tidur. Seiring berjalannya waktu, tulisannya dibaca banyak teman, membuatnya tidak terlalu kesepian lagi. Kemudian ceritanya jadi novel dan dari novel menjadi film. Wulanfadi masih suka menulis, baginya menulis adalah rumah, dan ia berharap akan menulis seterusnya. Kamu bisa menemui Wulanfadi dan cerita-ceritanya di akun wulanfadi dan bisa menyapanya di Instagram @wulanfadila
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro