Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Fri(End)" - matchaholic

FRI(END)

A Short Story by matchaholic


"Nara, lo malaikat penolong gue!" Hilda tiba-tiba saja setengah berlari masuk kelas dan mengguncang bahu Nara yang tengah membaca ulang catatan Bahasa Inggris. Dilihat dari penampilannya, Hilda baru saja datang karena penampilannya masih sangat rapi.

"Apaan, sih, Hil?" Nara meletakkan catatannya lalu melirik jam tangan merah marun yang melingkar di tangan kirinya. "Nggak salah, nih? Ini baru setengah tujuh, loh. Kok, lo udah datang? Biasanya lo, kan –"

"Iya, iya, biasanya gue telat." Hilda tampak lumrah dengan hal itu. "Gue lupa kalau hari ini ada ulangan Bahasa Inggris, makanya gue berangkat pagi biar bisa belajar bareng lo," lanjut Hilda seraya melancarkan senyum sejuta watt yang tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Nara.

Ya, Nara hapal betul jenis senyuman itu akan keluar dari bibir Hilda jika gadis itu butuh bantuan, seperti menyalin PR atau menyontek saat ulangan misalnya. Dan hari ini tidak ada PR, pasti dengan senyuman itu, Hilda berharap bisa mendapat sedikit sontekan dari Nara yang merupakan juara kelas sekaligus sahabatnya sejak masuk SMK Pelita Nusantara jurusan Tata Boga, semester lalu.

"Lo ingat nggak? Minggu lalu, Bu Marini bilang soalnya beda-beda, Hil," tolak Nara secara halus. Sepertinya dia sudah malas meladeni segala tingkah Hilda yang sering menggampangkan sesuatu.

"Paling sesuai absen nomor ganjil-genap," kata Hilda belum mau mundur. "Kalau ganjil-genap kan gue masih bisa lihat punya lo. Kita kan sama-sama nomor ganjil."

Nara menghela napas lelah, sembari berujar, "Gue, kan, udah ngajakin belajar bareng dari kapan hari. Kalau dadakan gini, mana bisa nyambung."

"Bisa, lah," rengek Hilda dengan wajah penuh harap. "Biasanya juga bisa, kan? Tolong, ya, Ra, please .... Ini terakhir, deh, habis ini gue bakal lebih rajin belajar lagi."

Nara akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk malas. Lagi-lagi dia mengalah dan menuruti kemauan Hilda demi persahabatan yang sudah mereka jalin sejak masuk sekolah ini semester lalu.

***

Nara jengkel setengah mati, gara-gara Hilda dia jadi dimarahi Bu Marini. Hilda yang duduk di belakangnya terus-menerus merecoki saat ulangan. Bahkan kadang dia tak ragu menendang-nendang kursi Nara saat gadis itu pura-pura tidak mendengar.

Nara terpaksa melakukan hal itu karena Hilda sudah terlalu banyak menyontek pekerjaannya. Namun, sialnya saat Nara menengok untuk memintanya diam, Bu Marini memergoki dan menegurnya langsung. Nara malu setengah mati. Baru kali ini dia ketahuan memberi sontekan ke Hilda. Dunia memang kadang tidak adil padanya. Hilda yang berulah, malah dia yang kena getah.

"Ra, masih marah sama gue, ya? Maaf ya tadi." Hilda menghampiri Nara yang sedang menulis 'Saya tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi' di kertas folio sebanyak seratus kali. Itu adalah hukuman dari Bu Marini karena beliau mengira Nara menyontek.

Nara masih bungkam dan terus menulis tanpa memedulikan Hilda yang kini duduk di sebelahnya.

"Ra, marah banget, ya? Gue traktir makan tekwan pulang sekolah nanti, deh," tukas Hilda sembari menepuk pelan bahu Nara. "Jangan banyak cemberut, entar cepet tua loh."

"Hil, kenapa sih lo tadi nggak mau ngaku?" tanya Nara pada akhirnya dengan penuh penekanan, "Kenapa lo malah pura-pura nggak tahu apa-apa?"

"Maaf, ya, Ra. Gue bantuin nulis hukumannya deh," rayu Hilda pura-pura tidak menyadari raut kejengkelan di wajah Nara.

"Nggak usah! Lo pikir masalahnya selesai kalau lo bantu nulis?" tanya Nara dingin.

Hilda yang ikut terpancing emosi, akhirnya berdiri dari duduknya. "Terus mau lo apa? Nasi udah jadi bubur, Ra. Tinggal lo-nya aja yang mau nikmatin bubur itu atau ngomel terus sampai laper."

"Lo tuh ya–"

Nara baru saja akan mengomeli Hilda lagi ketika Ridwan, ketua kelas mereka membagikan hasil ulangan Bahasa Inggris yang baru saja dia dapatkan dari Bu Marini, jam pelajaran pertama tadi.

Gadis itu menghela napas lega saat melihat angka tujuh puluh lima di kertas ulangannya, nilai batas minimal ketuntasan. Memang seharusnya dia bisa mendapat nilai lebih tinggi dari itu karena memang hampir semua jawabannya benar. Sayangnya, Bu Marini memergokinya kecerobohannya tadi. Dia bersyukur, setidaknya beliau itu tidak langsung memberinya nilai nol.

Nara melirik Hilda yang baru saja mendapatkan kertas ulangannya dari Ridwan. Hilda tampak tersenyum puas saat melihat angka delapan puluh lima di kertas itu. Dia mendesah kesal melihat Hilda tanpa rasa bersalah memamerkan nilainya ke teman-teman yang lain.

Apa seperti ini yang disebut sahabat? Dia bahkan nggak kelihatan menyesal sama sekali.

Memang biasanya Nara tak keberatan jika Hilda menyontek dirinya saat ulangan, karena dia merasa sungkan pada Hilda yang kadang mentraktirnya makan siang. Namun, kali ini beda. Nilainya dipotong karena Hilda, dan dia jadi bermasalah dengan Bu Marini gara-gara gadis itu pula. Itu yang membuat hati Nara panas seketika.

"Nilai hasil nyontek aja bangga," seloroh Nara, tak tahan melihat tingkah Hilda yang seenaknya sendiri.

Menoleh sebal, Hilda berujar, "Lo kenapa sih, Ra? Biasanya nggak semarah ini. Lo nggak iri, kan, lihat nilai gue lebih tinggi dari lo?"

"Iri lo bilang?" tanya Nara retoris. "Hampir semua jawaban lo itu hasil nyontek gue. Dan gara-gara lo, gue yang kena getahnya. Padahal lo tahu ... nilai itu ngaruh ke beasiswa gue."

Beberapa anak mulai berkerumun menjadi saksi pertengkaran mereka berdua. Nara sengaja sedikit meninggikan suaranya, supaya yang lain tahu, keributan saat ulangan Bahasa Inggris tadi berasal dari Hilda, bukan dia. Namun, sepertinya beberapa dari mereka sudah paham sifat Hilda yang kadang terlihat seperti hanya memanfaatkan kepintaran Nara untuk kepentingan pribadi.

"Salah lo sendiri nengok-nengok ke belakang. Bukan salah gue lo diomelin Bu Marini," tukas Hilda masih belum mau kalah. "Kalau dari awal lo nggak keseringan pura-pura budeg, gue nggak bakal ngerecokin lo. Makanya, jangan pelit-pelit." Hilda berlalu meninggalkan Nara yang masih emosi, sembari menggerutu pelan, "Anak Subsidi aja belagu."

Tak sengaja mendengar gerutuan Hilda, Nara reflek menarik tangan gadis itu. Dia tak segera berucap, hanya menatap mata lawan bicaranya lama. Memang benar, dia salah satu penerima beasiswa sekolah, yang uang SPP-nya dibayarkan dari subsidi silang siswa reguler. Siswa reguler kerap menyebut mereka 'Anak Subsidi' dengan konotasi negatif. Namun, dia pikir Hilda tak perlu mengatainya seperti itu mengingat mereka selama ini bersahabat dekat.

Kilasan awal mereka bertemu hingga, kebersamaan yang mereka lalui selama ini, hingga kejadian saat ulangan tadi, membuat hatinya sesak. "Ternyata cuma gue yang nganggap lo sahabat. Lo nggak pernah berpikiran yang sama."

"Ra, sorry. Gue nggak maksud bikin lo tersinggung. Gue cuma ... cuma ...." Hilda tampak kebingungan dan sedikit panik karena sadar, kalimat terakhirnya sangat menyinggung hati Nara. Padahal gadis itu tahu, Nara kadang minder dengan statusnya sebagai Anak Subsidi, yang kadang menjadi olok-olok siswa lain.

"Nggak usah lo jelasin. Gue sadar posisi gue."

Dengan langkah gontai Nara membawa kertas folio berisi hukumannya ke Bu Marini, sekaligus berniat melaporkan kecurangan Hilda tadi.

Selesai


Hai, aku Alifiana. Bisa di temui di akun pribadi matchaholic atau instagram jurnalifia

Ini kali kedua aku menulis cerita remaja. Cerita yang pertama berjudul Janji (2019, Bentang Belia) masih bisa dibaca versi Wattpad-nya. Fri(End) sendiri adalah spin-off dari cerita remaja kedua yang aku tulis, berjudul Jar of Memories. Teman-teman bisa membacanya di akun pribadiku. Selamat membaca ☺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro