Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"FANIA" - Bellazmr

TELL ME WHY

A Short Story by  Bellazmr


"Pada pembuatan pakan anaerob berarti tanpa oksigen, bisa dengan cara dipadatkan atau divakum." Tanganku menekan tombol laser yang sedang kugenggam, lantas mengarahkan pada layar proyektor yang sedang menampilkan gambar dari penjelasanku tadi. "Nah contohnya adalah silo, ada yang tahu apa itu silo?"

Salah satu mahasiswa yang duduk di barisan kedua mengacungkan tangan. "Izin menjawab Bu, setahu saya, silo adalah tempat penyimpanan pakan. Nah, silo ini ada beberapa jenis yang paling sering dipakai adalah jenis tower silo."

"Betul sekali." Aku tersenyum setelah menganggukan kepala, segera mengubah tampilan layar menjadi slide selanjutnya. "Seperti yang sudah dijelaskan oleh teman kalian, tapi dengan catatan bahwa silo harus mengusung prinsip anaerob. Ada empat jenis silo, pertama ini ...." Laserku mengarah pada gambar yang pertama. "Pit silo berbentuk seperti sumur di dalam tanah."

Dari lirikan mata, aku dapat melihat beberapa mahasiswa mencatat penjelasan yang aku terangkan serta tulisan pada slide yang ditampilkan.

Lalu arah laserku bergeser. "Nah kalau ini adalah tranel silo atau bisa disebut juga treneh, bentuknya seperti paret panjang yang juga dibuat di dalam tanah." Dilanjutkan pada gambar yang ketiga. "Steek silo, berbentuk seperti tumpukan." Dan berakhir pada gambar yang keempat. "Nah, yang ini tower, seperti yang tadi disebutkan teman kalian. Bentuknya seperti menara besi atau beton."

Langkahku menderap ke tengah ruangan, mataku mengawasi satu demi satu mahasiswa di kelas Pengolahan Pakan yang kuajar. Ah! Apakah aku terlalu fokus menjelaskan apa yang kulakukan sekarang, sampai-sampai aku lupa memperkenalkan diriku sendiri. Kalau begitu mari sejenak, berkenalan.

Namaku adalah Nadia Natasya, kalau mahasiswaku sendiri memanggil dengan sebutan Bu Na, alih-alih Bu Nad. Mereka lebih suka memanggilku dengan Bu Na, yang kalau dibaca sekali cepat, mirip dengan panggilan ibu seorang influencer. Tapi, percayalah, aku masih sendiri sampai detik ini. Alasannya? Ehm, sepertinya kita harus skip bagian ini.

"Bu Na, boleh bertanya?"

Suara itu berhasil membuatku mengerjap, lalu aku menoleh pada pemilik suara. Seorang laki-laki berkacamata tebal ternyata yang baru saja mengacungkan tangan. Dia melirik kertas di mejanya, lalu kembali menatapku.

"Iya, boleh," aku mempersilakan. Memang sistemku mengajar yang membolehkan mahasiswa untuk selalu bertanya di setiap kesempatan, aku tidak membatasi pertanyaan yang biasanya hanya diperbolehkan di waktu-waktu tertentu. Kalau memang sudah ada pertanyaan, kenapa harus disimpan.

Lelaki itu mengangguk. "Terima kasih, Bu. Pada slide tiga sebelumnya dari yang ditampilkan, dijelaskan bahwa pada pembuatan silase, bahan pakan yang dipakai harus mengandung persentase air sekitar enam puluh lima hingga tujuh puluh persen dan dalam kondisi segar dan asam. Kenapa harus dalam kondisi segar dan asam, ya, Bu?"

Kepalaku terangguk, paham betul maksud dari pertanyaan tadi. Lalu aku menekan tombol untuk mengembalikan layar pada tiga slide sebelumnya.

"Oke, silase adalah hijauan pakan tanaman yang diawetkan dalam bentuk segar dengan kandungan air sekitar enam puluh lima hingga tujuh puluh persen dari komposisi bahan, dibuat dalam keadaan asam, tanpa oksigen, dan pada suatu tempat yang dinamakan dengan silo. Oke ...." Aku menjeda ucapanku untuk menatap layar sejenak. "Kenapa harus dalam bentuk segar, segar dicirikan dengan kandungan air tanaman yang berkisar antara enam puluh lima sampai tujuh puluh persen tadi, alasan kenapa harus masih dalam bentuk segar, karena kandungan air yang berkisar seperti itu mengidentifikasi bahwa sel tanaman masih dalam kondisi hidup dan melakukan aktivitasnya."

Aku menarik napas dalam-dalam, kembali menatap mahasiswaku yang tampak serius menyimak.

"Dan dalam kondisi asam, sebab agar bakteri patogen tidak hidup. Yang kita inginkan dalam proses silase ini adalah hidupnya bakteri non patogen, bakteri yang baik dan bisa dimanfaatkan oleh ternak. Bukan bakteri patogen yang nantinya malah akan merusak pencernaan ternak."

Tampaknya dari beberapa anggukan kepala mahasiswa, mereka berhasil menyerap ilmu yang aku bagikan. Ehm, oke ... sedikit interupsi lagi mengenai diriku ini. Siapa sih yang dari tadi bicara panjang lebar tentang hal yang mungkin kalian sendiri tidak paham. Jadi gini, aku adalah dosen Peternakan di Institut Pertanian Bogor. Kalau di sini, sih, bidang konsentrasiku lebih mengarah pada pakan ternak, yah, samalah seperti yang baru saja aku terangkan. Itu bidang ilmu yang kugeluti.

Aku sudah mengabdikan diri sebagai dosen selama tujuh tahun. Dan usiaku, coba kalian tebak berapa usiaku? Kalau aku kasih tambahan clue, bahwa aku sudah menyelesaikan pendidikan doktorku satu tahun yang lalu. Yap! Gini-gini aku sudah bergelar doktor loh di luar negeri pula. Aku lulusan Queensland University untuk studi magister dan doktor, sedangkan strata satuku dihabiskan di sini ... iya di sini, tempatku bekerja. Institut Pertanian Bogor, kampus yang masuk sebagai sepuluh universitas terbaik di Indonesia.

"Oke, untuk tugas minggu ini, sesuai dengan kelompok yang sudah dibagikan di awal pertemuan. Saya ingin setiap kelompok membahas kelebihan dan kekurangan dari sistem pengawetan hijauan pakan ternak. Untuk kelompok berangka ganjil fokuskan pada hay sedangkan untuk kelompok genap fokus pada silase. Bagaimana, paham?"

"Paham!"

Aku mengangguk, berjalan kembali ke tempat dudukku. "Kalau begitu, saya cukupkan materi hari ini. Lebih dan kurang mohon dimaafkan, terima kasih atas kerja samanya. Selama siang dan sampai bertemu di pertemuan selanjutnya."

Perkataanku tadi menutup rangkaian pertemuan hari ini, setelah membereskan barang-barangku di atas meja, aku segera keluar dari dalam ruangan. Diikuti oleh beberapa mahasiswa yang sedang berbincang mengenai kelas selanjutnya.

Bibirku melengkungkan senyum tipis, rasanya menyenangkan sekali sudah menyelesaikan semua pertemuan pada hari ini dan—yah ... saatnya kembali ke Jakarta!


-Traffic-


Macet, satu kata yang akan selalu menggambarkan Jakarta. Mobil-mobil berplat ganjil, karena kebetulan hari ini adalah hari kendaraan berplat ganjil, memenuhi setiap sudut jalan Rajawali menuju arah Gunung Sahari. Ya, aku tahu, sih, kalau jalanan ini adalah titik paling rawan macet di Jakarta Pusat. Tapi ... c'mon! Aku tidak berkendara di jam macet, tapi kenapa harus terjebak macet sepanjang ini.

Menarik napas dalam, aku memilih melepas tangan dari setir setelah menarik rem tangan agar menahan mobilku untuk melaju.

Mataku terpejam sebentar, macet seperti ini akan memakan waktu hingga satu jam apalagi sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa laju kendaraan akan kembali normal.

"God, selamat bermacet-macetan, Nadia!" Aku menggerutu, karena bosan, akhirnya aku memilih untuk menyambungkan via bluetooth audio mobil ke ponsel.

Jemariku segera menekan logo Spotify, menggeser untuk menemukan playlist yang sudah kubuat berdasarkan jenis lagu yang cocok untuk aktifitas. Ada playlist saat sedang membuat jurnal yang didominasi oleh lagu rock, ada playlist untuk menemani waktu sebelum tidur yang lagunya slow semua, playlist untuk olahraga, dan jemariku tepat berhenti pada playlist traffic jam. Ah! Aku memang sudah sengaja membuat ini, lagu-lagu yang berada di sini adalah campuran dari lagu favoritku, biar mood-ku baik sekalipun kesal karena macet.

Segera aku menyetel lagu yang berada paling atas. Suara sang mendiang King of Pop terdengar memenuhi ruangan di dalam mobil, aku terdiam untuk beberapa saat. Lagu Billie Jean ini sontak membawaku pada satu kenangan, kenangan yang begitu indah, sampai-sampai aku ingin sekali kembali ke masa itu.

Sabtu di awal maret ini kegiatan belajar di SMU 70 resmi diliburkan. Sekolahku kini sudah diubah begitu keren oleh pihak panitia Pentas Seni yang sudah bekerja sejak awal semester kemarin. Dari mulai ngumpulin dana, bikin konsep, rapat sana-sini, dan berakhir dengan kegiatan puncak di hari ini.

Mengusung tema Black or White, mirip dengan lagu Michael Jackson, King of Pop yang terkenal dengan gerakan tarian moonwalk. Lapangan sekolah dipasangi tenda yang bagian atasnya diberi dekorasi balon-balon berwarna hitam dan putih. Di sisi kanan dan kiri juga dibuat poster-poster panjang yang diperuntukan untuk memuat tanda tangan siapa pun yang datang di acara pensi ini.

Pensi tiga angkatan yang begitu meriah! Sepanjang mata memandang maka lautan hitam putih terlihat memenuhi seisi lapangan.

Sebelum acara dimulai, hampir semua lagu Michael Jackson diputar. Tampaknya memang, selain mengusung tema sesuai lagu King of Pop. Semua playlist lagu tahun ini juga lagu milik Michael Jackson. Ah! Aku ingin sekali suatu hari datang menonton konser penyanyi berkulit hitam itu.

Aku, Septa, dan Anita yang menjadi pendengar setia lagu Michael Jackson menggerak-gerakan badan saat lagu tersebut diputar. Kacamata hitam yang janjian kami bawa, langsung kami pakai.

"Billie Jean!" pekik Septa saat irama beat musik mulai terdengar.

Aku langsung berjoget heboh, suaraku memekik menyanyikan lirik lagu. Di sisi kanan dan kiriku, Septa dan Anita tidak kalah heboh ikut menyanyikan.

Oh iya, perkenalkan Anita Zulhidjah, perempuan berambut bob yang kali ini memakai baju tanpa lengan dan rok payung dengan motif tabrakan, baju bunga-bunga dan rok bergaris zebra, meskipun warnanya memang hitam putih, sih. Aku tidak tahu apa yang mendasarinya memakai motif sengejreng itu, tapi mungkin dia mengikuti kiblat idolanya di tahun '96 ini.

Nah kalau di sebelah kiriku ini, namanya Septania Farida. Nah, kalau Septa ini punya rambut yang cukup panjang melebihi pinggangnya. Meskipun perawakannya agak tomboy, dia bilang orang tuanya melarang keras dirinya untuk memotong rambut. Rambut panjangnya itu kini ia kuncir tinggi, memakai kemeja berlengan pendek berwarna putih dipadukan dengan celana cutbray hitam. Sesuai tema, hitam putih!

Sebenarnya dari karakter, kami bertiga sangatlah berbeda. Dan satu alasan yang membuat kami berteman adalah fakta ini, bahwa kami tidak terlalu pintar di mata pelajaran yang ada angka-angkanya. Fisika, kimia, apalagi matematika. Jujur, aku bakalan menyerah duluan.

Satu-satunya mata pelajaran yang kukuasai adalah Bahasa Indonesia, apalagi kalau disuruh bikin puisi dan cerpen. Sudahlah, aku paling bisa di bagian itu. Cita-citaku ingin menjadi seorang penulis.

Sedangkan Septa, dia ahlinya olahraga, tidak usah ditanya lagi seberapa hebatnya dia di bidang itu, bahkan dia masuk tim inti basket di sekolahku. Oh, ya! Tambahan sabuk hitam karate yang ia pegang membuat Septa makin garang di bidang tersebut.

Dan terakhir ada Anita, dia ini paling jago masalah penampilan. Makanya di awal kubilang bahwa mungkin alasan Anita berpakaian tabrak motif adalah karena idolanya menganut penampilan seperti itu. Hal lainnya adalah seluruh brand make up, gaya paling terkini, semuanya tampaknya Anita kuasai. Kiblat dia adalah Kate Moss, seorang super model yang terkenal di Heroin Chic. Kata Anita, Heroin Chic adalah pergerakan model dengan mengusung model-model berkulit pucat, lingkaran hitam di bawah mata, tubuh yang sangat kurus, lipstik merah gelap, rambut tipis, dan struktur tulang sudut.

Aku sendiri tidak begitu paham, cuma kadang gara-gara Anita banyak mengerti mengenai fashion. Aku dan Septa jadi kebagian tahu sedikit mengenai dunia tersebut.

Dan alasan lainnya karena ini, apalagi kalau bukan karena selera musik kami yang sama!

"People always told me to be careful of what you do and don't go around breaking young girls' hearts." Aku menyanyikan bait itu, kemudian telunjukku teracung pada Anita, melempar lanjutan lirik untuk dia nyanyikan.

Anita menurunkan kacamata yang tadi sempat ia sampirkan ke atas kepala. "And mother always told me be careful of who you love."

Selanjutnya, Anita menunjuk Septa setelah memberi gaya terakhir pada gerakannya. "And be careful of what you do 'cause the lie becomes the truth."

Kami berteriak bersama, "Billie Jean is not my lover, she's just a girl who claims that I am the one but the kid is not my son. She says I am the one, but the kid is not my son."

Kami menyanyikan lagu itu sambil berteriak-teriak. Tidak peduli dengan orang yang berada di sekitar, kami begitu menikmati pensi kali ini.

Dengan rambut tergerai, tubuhku dibalut sempurna dengan dress berwarna hitam pekat. Lengan pada dress tersebut dibuat berbeda, satu sisi panjang dan satu sisi tanpa lengan. Aku merasa, dress itu membuat kepercayaan diriku meningkat.

"Nad," panggil Septa tiba-tiba. "Arah jam tujuh, Nad."

"Hah, apa, Sep?" Aku tidak mendengarnya, suara musik begitu kencang. Tubuhku masih bergerak sesuai hentakan.

"Jam tujuh, Nad," kata Septa lagi.

"Apaan, sih?" Akhirnya karena berhasil mendengar suaranya, aku ikut menoleh ke arah yang dikodekan oleh Septa. Tepat ketika mataku menatap ke arah tersebut, napasku seolah tertahan, udara di sekitarku mendadak lenyap. Demi Tuhan, nyaris saja aku menjerit.

Tepat di seberangku, seolah Tuhan mematutnya dengan sangat sempurna. Lelaki itu berdiri di antara kerumunan orang, hanya memakai kaus berwarna putih dan jaket kulit berwarna hitam tapi dia begitu tampan, benar-benar tampan. Aku bahkan bertanya-tanya mengapa Tuhan begitu sempurna menciptakan dirinya.

"Napas, Nad," ledek Anita yang juga menatap ke arah pandanganku.

"Sikat aja kali, Nad. Dia, kan, jomlo," celetuk Anita. "Biar kalau gue nge-date, kita bisa janjian. Triple date gitu." Ya, kedua sahabatku ini sudah punya pacar semua, hanya aku yang tersisa jomlo.

Aku masih terpaku melihat dia. Meskipun begitu, ucapan Anita tadi diam-diam kupikirkan.

"Lo suka, kan, sama dia?" tanya Septa yang merangkul bahuku.

"Apaan, sih," cibirku menghindar.

"Udah ngaku sama kita, suka, kan?" Anita ikut-ikutan pihak Septa.

"Siapa?"

"Lo!" Serempak Septa dan Anita menunjukku. Anita bicara kembali. "Kalau suka, ya, harus dilihatin dong sukanya. Mau nunggu sampai kapan, Nad. Sampai dia nggak jomlo lagi?"

Aku tertegun.

Kali ini gantian Septa yang menimpal. "Kalau gue jadi lo, ya. Mending bilang aja kalau suka, minimal itu nggak jadi bahan pikiran lagi di kepala. Cupu banget kalau suka sama orang cuma disimpan buat diri sendiri aja. Apa tuh cinta diam-diam, itu nggak berlaku buat kita, Nad."

"Jadi gue harus gimana?"

Sebal, Anita dan Septa mencubit lenganku. "Ungkapin dong, Nadia Natasya," ujar kedua sahabatku serempak.

Kepalaku menggeleng, tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Billie Jeans dan pensi sekolah. Aku jadi kangen dengan Septa dan Anita, meskipun intensitas pertemuan kami tidak sesering dulu, tapi sampai detik ini kami masih berhubungan kok. Dua sahabat terbaikku dari jaman SMA. Dua puluh lima tahun yang lalu.

Tanganku mencari lagu lain dan tanpa sadar aku berhenti di sana. Terdiam cukup lama, takut-takut aku menekannya.

Menarik napas dalam, aku tersenyum tipis.

Di dalam hati aku sedang menghitung berapa kemungkinan aku bakal diterima dan ditolak setelah pernyataan bodoh ini. Sayangnya, aku tidak terlalu ahli matematika, jadi aku tidak bisa mempraduga secara tepat berapa peluang yang bisa aku dapatkan.

Menarik napas lalu mengeluarkannya, hal itu terus saja aku lakukan sejak sepuluh menit yang lalu. Aku berdiri kaku di pinggir panggung dengan tatapan mata tidak berpindah dari beberapa laki-laki yang sedang berkumpul membentuk lingkaran di bawah panggung, mereka tampak heboh mengikuti setiap jalannya acara pensi, bahkan aku juga dapat melihat Anita dan Septa ikut bergabung di dalam lingkaran itu.

"Nad, gimana, jadi nggak?" Pertanyaan itu aku dapatkan dari teman seangkatanku yang memandu acara pensi tahun ini. Setiap tahunnya, ketika acara resmi selesai dilaksanakan, maka acara bebas seperti ini memperbolehkan siapapun untuk memberikan persembahan di atas panggung.

Sebenarnya aku tidak punya persiapan apapun, tapi karena momen seperti ini jarang terjadi, makanya aku ambil kesempatan kali ini.

"Boleh," balasku.

"Lo yakin?" tanyanya lagi, dia seolah menatapku dengan sorot ragu. Jelas, karena meskipun dikatakan acara bebas, banyak yang ingin tampil sudah mempersiapkan diri dari jauh hari, sangat bertolak belakang denganku yang semuanya serba kepepet.

Aku mengangguk. "Iya, yakin."

Lalu teman seangkatanku itu menganggukan kepala, sehabis adik kelasku yang baru saja mempersembahkan modern dance turun. Temanku itu muncul di panggung untuk memeruskan acara.

"Oke baiklah. Kali ini ada teman gue yang pengin nampilin sesuatu yang beda dari apa yang sudah kalian lihat tadi. Pokoknya gue jamin bakalan keren banget, so please welcome ... Nadia Natasya!"

Saat kalimat tersebut selesai dikatakan, ramai suara sorakan yang menyertai langkahku naik ke atas panggung. Suara yang paling jelas kudengar adalah dari teriakan Anita dan Septa yang seperti sudah mewakilkan dua puluh orang. Aku hanya meringis saat tahu kini semua mata memandang ke arahku.

"Oke, jadi gimana Nad? Udah siap?"

Aku mengangguk, lalu salah satu pemain band yang tadi mengisi acara memberikan gitar akustik kepadaku. Panitia yang lain juga tampak menyediakan kursi dan mic di tengah panggung untuk mendukung penampilan serba dadakanku hari ini.

"Oke, good luck, Nad," bisik temanku itu. Lantas dia menatap kembali kepada penonton pensi. "Oke mari kita sambut, Nadia Natasnya."

Aku sudah duduk di kursi yang disediakan, mengatur mic agar berada tepat di depan bibirku, sedangkan gitar sudah berada di pangkuanku. Aku siap untuk tampil, semoga berhasil.

"Halo," sapaku. "Gue tampil tanpa persiapan banget, benar-benar dadakan, cuma gue harap ini dapat menghibur kalian semua. So ... please enjoy!" kataku membuka, kemudian aku menunduk ke arah gitar, kupetik satu senar untuk memulai penampilanku.

"Netra kita bertemu di satu waktu dan aku tahu, bahwa saat itu aku telah jatuh," ujarku diiringi petikan yang lain. Ini adalah salah satu puisi yang kutulis dan akan aku perdengarkan kepada semua orang. Puisi mengenai seseorang yang kini berdiri sambil memandangku di bawah sana, sesekali ia berbisik tertawa dengan teman-temannya. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Lagi, aku mengatakan sebait puisi. "Padamu yang kuharap mampu menggenapkan satuku yang masih ganjil."

"Kamu, sebuah alasan senyum terbentuk dan mimpi-mimpi indah selalu jadi bunga tidur di malam hari."

Dia adalah Yudistira Saputra, lelaki yang aku sukai. Ini seperti cerita-cerita di dalam novel, seorang adik kelas yang menyukai kakak kelas. Iya, Bang Yudis itu kakak kelasku yang sangat terkenal di sekolahku ini. Alasan dia terkenal, tak lain dan tak bukan karena dia adalah pemimpin dari Agresor, nama dari angkatannya. Dialah sang jenderal perang SMA 70 di tahun 1996 ini.

Terhitung ada tujuh orang geng inti Agresor, semuanya adalah anak kelas tiga. Mereka ini yang sedang berkumpul di dekat Kak Yudis. Tujuh inti itu dikenal di sekolahku dengan sebutan Geng Tujuh.

Kak Yudis tidak perlu dikenalkan lagi, ya, lanjut yang lainnya saja.

Muhammad Dinegar—Pacar Septa yang terlihat sangar di luar, tapi hello kitty di dalam.

Bayu Reksamana—Dia yang paling rame di antara geng tujuh, apa saja bisa jadi bahan lawakan bagi bayu.

Dame Hasibuan—Orang Batak dengan tubuh paling bongsor yang kalau duduk pasti makan tempat, selalu jadi lawan adu mulutnya Kak Bayu.

Agus Purnomo—Kalau dia yang paling malas gerak, pernah suatu hari saat kami nongkrong bersama. Oh ya, gara-gara Septa berpacaran dengan Kak Egar, aku jadi sering ikut kumpul mereka. Nah, Kak Agus jadi teman dudukku makan pisang goreng karena yang lain sibuk ngutak-ngatik mobil. Iya, waktu itu kami kumpul saat ada pameran mobil.

Tanubrata Gerinda, aku kurang dekat dengannya. Dia juga jarang kumpul, tapi karena beberapa kali aku bertemu dengannya, aku jadi kenal Kak Brata ini.

Satu lagi ... aku baru kenal dengannya beberapa minggu yang lalu namanya adalah Irfan Suherman. Kak Egar pernah bilang bahwa cowok itu sedang fokus belajar, maklum dari mereka bertujuh, hanya yang satu ini berhasil masuk IPA. Enam lainnya, jelas anak-anak IPS yang lebih milih bolos pelajaran ketimbang menyimak materi mengenai persebaran kerajaan di wilayah nusantara. Makanya, aku baru kenal Kak Irfan ini, karena ya dia baru ikut kumpul waktu itu.

Aku menarik napas dalam, berusaha kembali fokus. Puisi itu masih berisi beberapa bait lagi, saat mataku menangkap sosok perempuan datang ke tengah lingkaran. Wajahnya tidak kukenali, tapi dari pandanganku, dia terlihat akrab dengan Kak Yudis dan rombongannya. Anita dan Septa yang masih berada di dalam rombongan itu sempat terkejut dengan kehadiran perempuan tersebut.

Bibirku berubah kelu, puisiku masih panjang. Bahkan belum sampai pada intinya, tapi nyaliku benar-benar runtuh ketika perempuan itu memeluk hangat tubuh Kak Yudis. Tanganku yang memegang senar bahkan terkepal. Aku membisu, semuanya selah berhenti di satu titik.

Ketika mataku siap menjatuhkan satu tetes air mata, gitar yang berada di pangkuanku di tarik seseorang. Kontan aku menoleh, mataku langsung bertatapan dengan lelaki yang tidak asing.

Dia adalah Irfan, salah satu geng inti Agresor yang memandangku dengan ekspresi datar.

Tanpa menjelaskan apa-apa, dia menggantikanku dalam memainkan senar gitar, ia bahkan memindahkan mic yang tadi berada di depan bibirku untuk ke arahnya. Kedatangannya yang mendadak di atas panggung membuat setengah penonton—atau lebih tepatnya perempuan-perempuan saja berteriak histeris.

Irfan memang tidak seterkenal Yudis, tapi bukan berarti dia tidak punya fans selayaknya Yudis. Sosoknya yang misterius membuat sebagian orang bertanya-tanya seperti apa Irfan sebenarnya.

Berdehem sejenak, ia benar-benar menggantikan penampilanku.

"Di lubuk hatiku tersimpan, ada rasa bimbang yang enggan kuceritakan."

Aku tidak pernah sekali pun berbicara dengannya, jujur aku kaget ketika mendengar suara nyanyiannya, lebih kaget lagi karena dia menyanyi sambil bermain gitar.

"Ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yang engkau simpan untuknya," nyanyi Irfan lagi.

Suaranya redup redam ditelan teriakan dari penonton yang kaget dengan penampilan dadakannya. Mataku bahkan masih membulat tidak percaya, duduk di sebelahnya tanpa mengatakan apapun, bahkan aku penasaran darimana datangnya kursi yang saat itu sedang diduduki.

"Aku cinta kepadamu, aku rindu di pelukmu. Namun, kukeliru telah membunuh cinta dia dan dirimu. Oh ...." Lagu milik Ruth Sahanaya berjudul Keliru adalah yang dia nyanyikan, penyanyi diva itu begitu terkenal tahun-tahun ini karena suaranya yang begitu familiar.

Tidak sampai tiga menit, Irfan berhasil menyelesaikan nyanyiannya. Tepuk tangan dan sorakan menggema dari seluruh orang yang datang ke pensi, tidak menyangka, sosok paling pendiam di Agresor bisa menampilkan penampilan sekeren tadi. Aku bahkan yakin setelah hari ini, Irfan akan menjadi bahan gosip semua perempuan.

Harus kuakui bahwa dari segi penampilan, dia bahkan lebih tampan dari Kak Yudis. Mungkin karena jarang terlihat saja, dia jadi tidak seterkenal itu.

Setelah menyanyi, Irfan berdiri sambil menunduk seolah memberi ucapan terima kasih kepada penonton. Lantas tanpa mengatakan apa pun, dia turun dari panggung meninggalkanku yang termangu.

Aku yang akhirnya tersadar ketika ia sempat menoleh setelah benar-benar di bawah panggung, segera bergegas untuk ikut turun.

Irfan kembali melangkah menjauh dari kerumunan, aku yang masih penasaran dengan tindakannya, langsung berlarian mengikutinya.

"Kak Irfan!" panggilku.

Irfan tidak menoleh sama sekali. Bahkan sampai kami berada di lorong sekolah yang sepi, jelas karena semua orang berada di sekitaran panggung.

"Kak!" Aku berlari lebih cepat untuk menyusulnya, hingga akhirnya aku berhasil memotong langkahnya. Aku menunduk sejenak untuk mengatur napas. Setelah kami saling berhadapan, ia tidak mengatakan apa pun. Hanya memandangku dengan ekspresi datarnya.

"Boleh gue tanya, kenapa lo ngelakuin hal tadi?" Bukan aku bodoh sehingga tidak tahu bahwa di panggung tadi, Irfan menyelamatkanku dari rasa malu. Dia menggantikan penampilanku.

Dia menjauhkan pandangannya dariku.

Napasku masih belum stabil, tapi pandanganku masih bertahan menatapnya yang kini sedang melipat tangan di depan dada. "Kak," panggilku ulang.

"Cewek yang lo lihat tadi pacar Yudis," ujar Irfan.

Tubuhku membeku, darahku mendesir kencang, napasku seolah berubah menjadi sesak. Karena kebisuanku tadi, Irfan melirikku lagi. Dia menghela napas, menatapku tidak enak.

"Gue tahu kalau lo suka sama Yudis. Gue cuma nggak mau lo merasa bodoh dua kali, lo tadi mau nembak dia, kan?"

Tebakan dari Irfan mengagetkanku sekali lagi, mataku bahkan sudah berkaca dan tidak kuat untuk memandangnya. Lantas yang kudengar hanyalah tarikan napas dari Irfan yang begitu dalam.

"Cewek itu sepupu gue. Gue yang bikin dia bisa masuk ke acara pensi ini padahal dia bukan sekolah di sini. Gue minta maaf sama lo, maaf udah bikin hati lo patah. Cuma penampilan tadi yang bisa gue tolong untuk nebus kesalahan gue ke lo. Sekali lagi, maaf."

Setelah kalimat itu, Irfan melangkah lagi, melewatiku yang sudah lemas atas semua ucapannya. Tanpa sadar tubuhku limbung dan terduduk di lantai begitu saja. Rasanya hatiku sangat patah.

Air mataku jatuh setetes demi setetes, saat kurasakan sesuatu tersampir di atas kepalaku.

"Jangan mau kalau nangis dilihat orang, sedih itu cukup diri sendiri aja yang tahu." Kalimat itu terdengar setelahnya, suara itu ... suara yang sama seperti yang baru saja menolongku.

Bunyi klakson panjang dari belakang membuat air mata di pelupuk mataku melesak turun tanpa aba-aba, segera aku kembali mengendarai mobilku. Ternyata kemacetan sudah terurai, meskipun masih berjalan merayap.

Aku menarik napas dalam, mengatur napas sambil melihat pantulan wajahku dari spion atas mobil. Tangan kananku segera mengusap air mataku.


-Traffic for Fania-


"Halo, apa kabar?"

Tanpa suara pertanyaanku itu hanya dijawab oleh desiran angin yang perlahan menerbangkan pashmina satin yang kukenakan. Masih dengan senyum tipis, aku memilih duduk berjongkok di hadapan yang kusapa tadi.

"Aku yakin kamu pasti baik ya. Kalau kabar Fania gimana, kamu jaga dia dengan baik, kan?"

Terdiam, suara angin selalu menjadi penjawab dari pertanyaanku. Menarik napas dalam, tanganku mengusap batu nisan di hadapanku itu, lantas beralih pada nisan yang lebih kecil di sampingnya. Sekuat mungkin aku berusaha untuk menahan air mataku, aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak menunjukkan kesedihanku di hadapan dua orang yang paling kusayangi ini.

Meskipun rasanya semua ini masih sama seperti empat tahun yang lalu.

Satu alasanku menunda kehamilan cukup lama adalah karena aku masih ingin fokus pendidikan. Apalagi karena sekarang untuk tetap bekerja sebagai dosen diperlukan pendidikan minimal magister dan sebaiknya doktor.

Mimpiku sudah di depan mata, aku bahkan sudah ingin pengajuan untuk kembali melanjutkan kuliah Doktoralku di Australia. Aku sudah mengurus semua berkas-berkas, memperpanjang visa, intinya tujuh puluh persen semuanya siap ... sampai tiga minggu yang lalu, aku mendapati dua garis merah terlihat di tespack.

Untuk beberapa menit ketika dua garis merah itu terlihat, aku merasa kosong, hampa, dan merasa mimpiku dicabut secara paksa. Aku memang egois, di saat semua perempuan yang sudah menikah hampir empat tahun mendambakan seorang buah hati. Aku tidak sama sekali.

Aku ingin menundanya, aku belum siap. Sama sekali tidak siap.

Berbulan-bulan aku menyiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan, tapi kenapa semua mendadak hancur hanya karena ini. Aku menundukkan kepala, melihat perutku yang belum membuncit sama sekali.

"Kenapa harus sekarang, sih?" gerutuku dalam hati. "Lo bener-bener ngehancurin semuanya banget."

"Nad."

"Ah!" Aku menjerit.

"Nad kamu kenapa?" Pertanyaan disertai genggaman di tangan kananku menyadarkanku.

Aku mengerjap, menoleh pada lelaki yang berada di sebelahku ini. Dia sedang menyetir, kami dalam perjalanan ke rumah sakit. Sejak semalam dia mengetahui kehamilanku ini, Berbeda denganku yang tampak tidak terima, dia malah sangat bahagia. Aku tahu bahwa dia sangat menanti moment ini.

"Ini semua gara-gara kamu, Mas." Dan ini bukan kali pertama aku memarahainya, sudah sejak semalam kami bertengkar. Kalau bukan karena tadi pagi aku tidak sengaja kepleset di teras depan, kami tidak mungkin berada di mobil seperti ini.

Aku bahkan mengabaikan lagu See You Again, soundtrack dari film favoritnya yang selalu menjadi list teratas lagu yang diputar saat kami dalam perjalanan seperti ini.

"Nad udah, ya," lerainya berusaha mengalah.

Aku menggeleng. "Mas, aku kan sudah bilang kalau aku belum mau hamil. Kita sudah sepakat untuk menunda ini sampai aku lulus doktor," umpatku.

Dia menghela napas sebelum menjawab, matanya masih menatap ke jalanan. "Nad, aku juga sudah sepakat tentang itu. Aku, kan, nggak pernah ngelarang kamu buat pendidikan, aku rela apa pun itu. Tapi, ternyata, kalau Tuhan kan ngasih kita rejekinya sekarang, Nad. Kita nggak bisa nolak."

Jeritanku terdengar, kepalaku kusandarkan di dashboard mobil. Aku menjerit sekali lagi. "Ini bakalan bikin pendidikan aku ketunda, Mas. Aku nggak mau anak ini, Mas."

"Nad, kamu ini ngomong apa, sih." Lelaki di sebelahku itu meliriku gusar, tangannya mengusap bahuku berulang kali. "Jangan ngomong kayak gitu, dosa, Nad. Tuhan tuh sudah percaya sama kita, makanya Tuhan kasih kitanya sekarang. Kita harus bersyukur, Nad."

Air mataku turun, bukannya mendengarkan ucapannya. Aku malah makin menangis. Bayanganku kembali ke Australia, menjalani kehidupan sebagai mahasiswi untuk kali ketiga benar-benar hancur. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, bukan karena aku tidak mau mengajak anak di kandunganku ini untuk ikut denganku ke Australia. Aku jelas mau, suamiku ini juga pasti setuju. Sayangnya, keluarga kami pasti tidak akan merestui.

"Mas, aku nggak siap!"

"Nad, nyebut. Jangan ngomong kayak gitu."

Aku memukul perutku sekali. Lelaki yang berada di sebelahku itu panik, matanya melirik ke arahku berulang kali. "Kamu kenapa harus hadir sekarang!" rutukku kesal.

"Nad!"

"Aku ben—"

Ucapanku tidak pernah selesai, ketika sebelah tangan lelaki itu menarik tanganku untuk tidak memukul perutku lagi dan di saat yang bersamaan, mobil yang dia kendarai melaju kencang menabrak pembatas trotoar. Aku tidak ingat apapun lagi.

Selain saat terbangun setelah tiga hari kejadian, kaki, kepala, dan tanganku diperban. Perutku terlihat ada jahitan bekas operasi dan satu kenyataan lagi ... bahwa lelaki yang sudah bersamaku selama empat tahun terakhir ini, pergi untuk selama-lamanya, satu jam setelah kecelakaan itu karena dia berusaha untuk tetap memelukku saat mobil kami meledak. Dia melindungiku dan bayi kami.

Sayangnya, dia hanya mampu melindungiku ... tidak dengan anaknya yang sempat aku tolak.

Selama satu bulan, aku depresi, teman dan keluargaku berbondong-bondong menghibur, bahkan hingga beberapa kali aku penyembuhan trauma ke psikiater. Satu tahun aku berusaha untuk menerima. Hingga akhirnya, keluarga dan orang terdekatku tetap mendukungku untuk melakukan apa yang sempat tertunda. Mereka bilang bahwa mungkin di atas sana, suami dan anakku juga sudah bahagia. Dan mereka juga pengin aku—sebagai yang tersisa di bumi ini, juga bahagia.

Aku kembali melanjutkan pendidikanku, tapi kali ini tidak dengan rasa egois, melainkan rasa bersalah. Berhari-hari di sana, aku hanya mencoba bangkit.

Dan semua ... sudah berjalan hingga detik ini.

Mataku menatap pada kuburan kecil yang berada di samping kuburan yang lebih besar itu, aku menunduk malu. Benar-benar malu, wajahnya saja belum pernah aku lihat. Dia baru bersamaku beberapa minggu, tapi aku menolaknya. Kalau waktu bisa diputar, aku sangat ingin menjaganya, menantinya, dan mendoakan agar dia selamat sampai ke dalam pelukanku.

Tangisku kembali pecah, kali ini berubah menjadi isakan.

"Maafin, ibu, ya, Nak."

Aku tersenyum pahit beralih pada kuburan di sebelahnya. "Maafin keegoisan aku, ya, Mas."

Dua orang yang akan selalu aku kenang.

"Maafin aku Mas, Fania."

Kunamakan dia Fania, atas gabungan namaku dan suamiku yang kuyakin pasti sangat menyayanginya. Fania, Irfan dan Fania. Ya, Irfan Suherman—laki-laki yang dulu dengan beraninya menggantikanku di atas panggung, siapa yang bisa menyangka bahwa beberapa tahun kemudian dialah yang menjadi pasanganku sehidup semati.

Kedua tanganku terulur mengusap nisan Mas Irfan dan Fania, aku berdiri di tengah-tengah mereka.

"Ibu rindu kalian," ujarku dari hati yang terdalam.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro