Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Delusif" - faizahekaa

DELUSIF

A short story by faizahekaa


Seminggu belakangan, ketika aku pulang dari sekolah dan berjalan kaki seorang, rasa-rasanya seperti ada yang ... mengikutiku diam-diam.

Ini serius. Aku sedang tidak mood bercanda. Karena rasanya memang seperti ada bayangan gelap yang selalu mengekorku jauh di belakang. Rasanya seperti diikuti ... hantu—ini menurut orang-orang sih, aku terlalu idealis untuk percaya bahwa di dunia ini ada makhluk semacam itu.

Oke deh, seandainya di dunia ini benar-benar ada hantu .... Tetapi, tetap saja, buatku, hantu itu tidak menyeramkan, karena mereka sudah mati. Tapi kalau yang di belakangku itu seorang pembunuh bayaran, beda cerita lagi.

Pembunuh bayaran itu hidup. Dan ironisnya, mereka butuh orang-orang yang ditargetkan untuk mati. supaya mereka tetap hidup. Seolah-olah hidup dan mati seseorang itu ada di tangan mereka. Seolah-olah ... mereka Tuhannya. Eh, ini kenapa jadi bahas pembunuh bayaran, sih?

Gelembung rasa penasaran dan tidak nyamanku lama-lama membesar. Aku penasaran, orang bodoh macam apa yang terus-menerus mengikutiku diam-diam, padahal ia tahu aku bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.

Toh, aku bukan anak orang kaya tujuh keturunan. Bukan anak pejabat juga. Jadi seandainya ia pembunuh bayaran, seharusnya ia tahu bahwa nyawaku tidak seberharga itu untuk menjadi ancaman orang lain—tapi nyawaku masih berharga untuk diriku sendiri, tentu saja. Dan karena aku tidak memiliki harta kekayaan yang luar biasa, seharusnya perampok itu tidak perlu mengikutiku sampai berhari-hari. Satu hari saja kiranya sudah cukup membuat mereka pergi.

Tapi, tunggu, apa aku punya penggemar rahasia di sekolah, ya? Jangan-jangan penguntit itu cuma penggemar rahasia.

Karena kalau benar, berarti ia hanya bermaksud untuk melihatku sampai rumah dengan selamat, bukan berniat macam-macam.

Yah, siapa yang tahu? Penggemar rahasia, kan, selalu punya cara yang unik untuk mengekspresikan perasaannya.

Tapi, membayangkan seorang Resha memiliki penggemar rahasia seperti dalam film-film, itu persis seperti membayangkan Neil Armstrong menginjakkan kakinya di matahari, bukan di permukaan bulan. Alias ... itu tidak mungkin.

Maka aku berhenti 'berprasangka baik' dan karenanya, aku jadi mulai merasa tidak nyaman dengan sosok penguntit tersebut.

Suatu hari ketika berjalan pulang dari sekolah—sendirian, sesekali aku diam sejenak dan berbalik badan dengan mendadak, untuk melihat siapa yang mengikutiku di belakang sana.

Lalu, aku akan melihat sosok gelap yang terkejut dan buru-buru bersembunyi di balik apapun itu—lebih sering tembok, tapi pernah juga bersembunyi di belakang gerobak bubur ayam—karena tertangkap basah.

Aku juga pernah ingin menemuinya langsung, dengan berjalan perlahan-lahan ketika ia bersembunyi di balik tembok. Tapi, sesosok itu selalu berhasil menghilang dalam sekejap. Selalu. Di balik tembok itu tidak ada siapa-siapa ketika kudatangi.

Oleh karenanya, aku membuat keputusan, jika ia tetap membuntuti lebih dari seminggu, aku akan minta Ibu untuk panggil polisi. Titik.

Namun, tepat di hari ketujuh, sebelum aku jadi memanggil polisi, sosok gelap itu akhirnya menampakkan diri tepat di depan mataku.

Sosok yang selalu mengikutiku sepulang sekolah itu rupanya hanya seorang laki-laki biasa (aku sangat bersyukur bahwa ia bukan pembunuh bayaran). Ia berkulit putih pucat, bertubuh tinggi dan memiliki warna iris mata yang unik—merah api.

Ia memperkenalkan diri dengan nama Michael.

Kemudian setelah memperkenalkan diri, Michael langsung menjentikkan jari tepat di depan wajahku.

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang ingin ia lakukan. Sampai semuanya berubah menjadi gelap seketika.

Aku menjadi tidak sadarkan diri.

***

Aku terbangun di kamarku dengan dada yang berdebar keras, napas yang putus-putus, dan keringat yang mengalir deras. Astaga, aku bermimpi.

Aku menghela napas pelan, lalu menoleh ke samping dan melihat sebuah jam di atas nakas yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Sekarang Minggu pagi, yang berarti aku masih bisa tidur kembali sampai siang hari nanti.

Namun mengingat mimpi aneh itu .... Ah, menyebalkan, aku jadi mengurungkan diri untuk bergelut di atas ranjang lagi.

Jadi aku terduduk di pinggir ranjang dan mengusap wajah dengan frustrasi, sambil mengingatkan diri sendiri bahwa itu cuma mimpi biasa. Mimpi biasa ... yang terulang kembali sebanyak tujuh kali. Aku tidak tahu apa artinya, tapi kuharap semuanya akan baik-baik saja.

Ya, semua akan baik-baik saja. Dan itu hanya mimpi biasa.

Seharusnya begitu.

Kemudian seseorang mengetuk pintu kamarku. "Rhesa, buka pintunya! Ayo sarapan!" Itu suara Ibu. "Rhesa, buka pintunya!"

Mau tak mau, dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, aku berjalan gontai hendak membukakan pintu kamarku yang dikunci. "Iya, iya," sahutku tak bertenaga.

Pintu kamar terbuka lebar. Dan Ibu yang masih menggunakan celemek langsung menarik tanganku dengan paksa supaya segera turun ke bawah. Karena Ibu menarikku seraya setengah berlari, aku dapat menduga bahwa Ibu pasti meninggalkan kompor yang masih menyala di dapur.

"Bangun siang itu enggak bagus, Rhesa. Nanti rezekimu bisa dipatok ayam!" omel Ibu sambil menuruni tangga.

Aku berusaha menyamakan kecepatan langkah kaki Ibu seraya menguap, lalu membalas, "Tinggal makan ayamnya, Bu. Gampang. Biar rezekinya balik lagi."

Ibu tidak tertawa menanggapi leluconku—di pagi hari Ibu memang jarang tertawa—tapi malah semakin menggerutu. Alih-alih tertawa, Ibu malah menjelaskan panjang-lebar tentang betapa pentingnya sarapan pagi bagi kesehatan, dan betapa pentingnya mengonsumsi makanan sehat untuk perkembangan otak.

Jadi, yah, seperti biasa, pagi-pagi telingaku sudah panas dibuatnya. Ini konsekuensi menjadi anak tunggal perempuan: mendengar ceramah dari Ibu sendirian.

Yah, orang-orang pikirkan ... menjadi anak tunggal itu menyenangkan. Padahal tidak juga. Menjadi anak tunggal berarti menerima semua perhatian dari orang tua itu sendiri. Menerima. Semua. Perhatian. Itu. Sendiri. Dan hal ini bukan sesuatu yang sangat menyenangkan. Catat itu.

"Kakakmu saja sudah bangun dari tadi. Masa perempuan kalah sama laki-laki, sih? Perempuan macam apa kamu?"

Kalau energiku sekarang penuh, aku akan mencerocos soal feminisme kepada Ibu, bahwa perempuan tidak hanya dilihat dari 'bangun paling pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah', tetapi seharusnya bisa lebih daripada itu. Tapi, karena nyawaku belum terkumpul sempurna, dan mata yang masih benar-benar lengket, jadi aku diam saja.

Istilahnya mendengarkan perkataan Ibu melalui telinga kanan, lalu keluar lagi lewat telinga kiri.

Lagipula siapa yang peduli tentang 'siapa yang bisa bangun pagi lebih cepat'? Aku anak tunggal, memang siapa yang bisa mengalahkan ....

Langkahku terhenti tepat di depan ruang keluarga. Kemudian tubuhku langsung berubah menjadi tegang dan pandangan berganti menjadi kosong—menatap lurus-lurus ke depan.

"Bu," panggilku. "Siapa yang mengalahkanku bangun pagi hari ini?" tanyaku dengan nada hati-hati, takut orang yang dimaksud Ibu mendengar.

Langkah kaki Ibu ikut terhenti. Lantas ia menoleh ke arahku dengan ekspresi yang tidak bisa dipahami. Ibu menurunkan tanganku. "Loh, Resha, kamu kemarin kenapa?" Nadanya berubah menjadi perhatian.

Aku menatap Ibu dan semakin tidak mengerti. "Kenapa gimana?"

"Kemarin kamu enggak pingsan terus jatuh dan kepalamu kepentok batu, kan?" tanya Ibu dengan dua alis yang tertaut.

Aku memutar bola mata. "Bu, aku serius!" ujarku penuh penekanan dan setengah berbisik. "Siapa yang mengalahkanku bangun pagi hari ini?"

Ibu geleng-geleng kepala lalu menghela napas panjang. "Kakakmu, Rhesa," jawab Ibu dengan sabar. "Kamu masih ngantuk, ya?"

Air mukaku berubah drastis menjadi datar. "Kakakku?"

"Rhesa, kamu lupa soal kakakmu?" Ekspresi Ibu berganti menjadi khawatir sekarang. Kedua tangannya memegang pundakku, lalu Ibu bertanya sungguh-sungguh. "Rhesa, kemarin kamu kenapa?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan. Tidak, tidak, sepertinya ada yang salah. Selama tujuh belas tahun terakhir, aku tidak pernah melihat atau tahu bahwa aku memiliki seorang kakak laki-laki di rumah.

Aku berjalan mundur dengan perlahan, mencoba melepas genggaman tangan Ibu pada pundakku. "Aku anak tunggalnya Ibu."

Ibu bingung. Dari raut wajahnya, ia terlihat tidak mengerti sama sekali soal yang aku bicarakan.

Tidak, tidak, bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang salah dengan ingatanku? Aku berjalan semakin mundur, mundur, mundur ... menatap Ibu dengan tatapan asing. Kemudian punggungku menabrak seseorang.

Aku refleks menoleh untuk melihat siapa yang kutabrak. Dan begitu berbalik, aku langsung tersentak kaget. "Michael!" teriakku, dengan nada tertahan.

Laki-laki itu tersenyum, iris mata merah apinya tidak memberikan banyak penjelasan. Lalu tangan kanan Michael terangkat tepat di depan wajahku. Dugaanku, ia bersiap untuk menjentikkan jarinya lagi.

Dan ... klik.

Semuanya kembali gelap.

***

Aku terbangun di kamarku dengan dada yang berdebar keras, napas yang putus-putus, dan keringat yang mengalir deras. Astaga, aku bermimpi.

Dan sialnya, masih mimpi yang sama.

Aku membuang napas dengan perlahan-lahan, mencoba untuk menenangkan diri, lalu menoleh ke samping dan melihat sebuah jam di atas nakas yang menunjukkan pukul dua pagi.

Karena sulit untuk tidur kembali, aku memilih duduk di pinggir ranjang untuk merenung sejenak. Kemudian mengusap wajah dengan frustrasi, sambil mengingatkan diri sendiri bahwa itu semua cuma mimpi biasa.

Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Dan itu hanya mimpi biasa. Tidak perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja ....

"Halo," sapa seseorang dengan lembut, memecah keheningan yang membentang di dalam kamarku.

Bulu kudukku terangkat, dan aliran darahku mengalir deras karena dipompa oleh jantung yang berdetak cepat. Aku menoleh ke samping kananku perlahan-lahan, untuk melihat siapa yang berbicara.

Dan rupanya, tepat di sampingku sudah ada Michael. Laki-laki misterius itu ... sudah duduk di pinggir ranjangku.

Aku tidak tahu kapan dan bagaimana caranya bisa masuk ke dalam. Aku tidak tahu. Lalu karena ketidaktahuan itu, air mata jadi menggenang di pelupuk mataku. Detik berikutnya, mereka menetes satu per satu di pipi.

"Ssst ... jangan menangis," ucap Michael sambil mengusap air mataku dengan ibu jarinya. "Sekarang, bersiap untuk bangun lagi, ya." Michael mengangkat tangan kanannya tepat di depan wajahku. Ia bersiap menjentikkan jari.

Dan ... klik.

Semuanya gelap kembali.

Mimpi yang sama itu ... akan terulang lagi, mimpi-mimpi di mana Michael selalu ada di sana.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro