"Déjà vu" - jokris1510
DÉJÀ VU
A short story by jokris1510
I have died every day, waiting for you
Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed, I would find you
Time has brought your heart to me, I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
(A Thousand Years – Christina Peri)
* * *
Bel jam istirahat pertama mulai berteriak nyaring di sepanjang selasar sekolah. Aku berjalan mengekor Sasi menuju kantin sekolah. Kepalaku menunduk, tatapanku tertancap pada sneakers hitam yang membungkus kedua kakinya seolah khawatir mereka tiba-tiba menghilang dan aku kesulitan mencari jejaknya.
Berbeda dengan jam istirahat kedua, pada istirahat jam pertama kantin lebih berjubel siswanya. Sasi mengajakku duduk di tempat biasa, di tempat yang seharusnya. Bangku-bangku beton berbentuk kotak pendek yang ada di luar kantin. Sekolah memang sengaja membangunnya untuk siswa yang tidak kebagian tempat duduk di dalam kantin.
Namun, seiring perjalanan waktu bangku-bangku tersebut seolah menegaskan status bagi siswa-siswi biasa dan tidak populer seperti kami. Sedangkan bangku dan meja kayu yang ada di dalam kantin dikhususkan untuk bintang dan selebritas sekolah.
Begitu kata Sasi dengan nada sinis saat pertama kali aku menjejakkan kaki di kantin ini.
Aku duduk sendirian di salah satu bangku betonnya, menunggu Sasi membeli jajanan di kantin untuk ia makan. Sejak beberapa hari ini, aku merasakan tak nyaman di sini. Bukan karena bisingnya mulut-mulut di sekitarku, atau pada bangku beton tempat aku menaruh bokongku sekarang. Apalagi menyalahkan ibuku yang sejak ayah meninggal 6 bulan lalu, beliau tak sanggup lagi menghidupi aku serta adikku. Hingga 3 minggu yang lalu, kami terpaksa meninggalkan tanah kelahiranku di pinggiran Yogyakarta yang damai dan harus tinggal bersama eyang di Jakarta.
Bukan pada itu semua. Tetapi pada rasa panas di tubuhku, sekaligus dingin, serta otot-otot dalam perutku yang selalu mengencang layaknya ratusan kupu-kupu beterbangan di dalam sana. Bahkan saat ini aku tak berani mengangkat wajahku, meskipun tarikan itu begitu kuat. Seperti sebuah panggilan mendesak yang terus berdengung dalam gendang telingaku.
"Lo enggak beli minuman, Praya?" Kembali dari dalam kantin, Sasi meletakkan tubuhnya di atas bangku beton di depanku, setengah kerepotan. Tangan kanan menyangga piring siomai, tangan kiri mencengkeram botol minuman, sementara lengan kirinya mengempit snack kemasan.
Aku terpaksa menengadahkan wajah untuk memberikan bantuan pada Sasi dengan meraih piring siomai dan snack kemasannya hingga sahabat baruku tersebut duduk dengan nyaman.
"Enggak." Jawabku. Telanjur menegakkan leher, pandangan mataku seolah langsung ditarik jauh melewati sisi kepala Sasi hingga 10 meter di belakangnya, di antara puluhan kursi dan meja kayu yang tersebar di dalam kantin.
Manik mata hitam itu sudah menunggu dan langsung memerangkapku, bahkan dalam jarak kami sekarang. Seperti yang selalu terjadi saat mata kami bertemu, aku terjebak pada wajah dingin minus ekspresinya, tanpa mampu untuk berpaling.
Kami seperti berada di dalam gelembung ciptaan kami sendiri, dunia tidak kasatmata yang hanya dihuni oleh kami berdua. Keberadaannya sanggup menyedot semua indra pada tubuhku, hingga celotehan Sasi menjadi samar di telingaku.
Bagaimana aku bisa sedemikian terhubung dengan seseorang yang baru kukenal 2 minggu yang lalu?
"Siapa sih yang lo perhatikan sejak tadi?" Senggolan tangan Sasi di punggung tanganku seketika memecahkan sihir dan menyeretku kembali pada dunia nyata di sekelilingku.
"Bukan siapa-siapa." Jawabku singkat seraya menunduk. Aku berpura-pura sibuk dengan bekalku untuk menyembunyikan rasa panas di sekujur wajah ini. Tidak puas dengan balasanku, Sasi berpaling ke belakang dan mulai mencari siapa kandidat terkuat yang sudah membetot habis mataku.
"Lo memperhatikan Gerhana, ya?" Mata Sasi sudah kembali padaku dan memandangku ingin tahu. Kontan aku mengelak. "Ck. Lo enggak usah malu mengakui, Praya. Gerhana memang ganteng, kerennya kebangetan. Siswi-siswi di sekolah ini rela antri kok demi bisa membonceng di belakang motor sport-nya itu. Saking gampangnya, tiap bulan pacar Gerhana ganti-ganti. Tetapi di mata gue, ada sesuatu dalam diri Gerhana yang... dark and dangerous, gitu. Semoga lo mengerti maksud gue."
Lantas Sasi mulai menceritakan prestasi Gerhana yang segudang, sekaligus bakat alaminya yaitu menaklukkan hati perempuan lalu mematahkannya begitu saja. Sebagian besar epos seorang Gerhana sudah pernah kudengar dari mulut teman-temanku yang lain bahkan dari Sasi sendiri.
Tampaknya Gerhana memang ditakdirkan menjadi seorang bad boy, memiliki sisi angels sekaligus demons dalam dirinya.
Tetapi mengapa aku merasa ada yang salah di sini?
Tak mungkin aku menceritakan kepada Sasi tentang apa yang kualami di hari keduaku menjadi murid baru di sekolah ini, sekaligus kali pertama aku bersinggungan tanpa sengaja dengan seorang Gerhana.
Sebagai siswi baru di tahun kedua di sebuah sekolah negeri terbaik di Jakarta, hal ini menjadi tekanan tersendiri bagiku. Aku menjadi begitu gugup.
Biasanya aku berangkat ke sekolah selalu datang lebih awal, tetapi kesialan datang padaku pada pagi hari itu. Di luar perhitungan, aku mendapatkan angkot yang berkali-kali berhenti dan harus menunggu beberapa lama demi mendapatkan satu penumpang. Alhasil, aku menjejakkan kakiku di dekat sekolah 7 menit sebelum bel berbunyi.
Tenggelam dalam kepanikan karena takut terlambat, kakiku setengah berlari di sepanjang jalanan aspal menuju gerbang sekolah. Mengabaikan keselamatan diriku sendiri, aku lupa kalau aku sekarang berada di kota seriuh Jakarta bukan ada di pinggiran Yogyakarta yang tenang. Ketika sebuah angkot hampir menyenggolku, tubuhku terjengkang ke samping dengan cara menyedihkan. Bukan kesakitan yang harus aku tanggung sekarang, tetapi rasa malu luar biasa. Isi tasku berhamburan, begitu dengan bekalku.
Menahan tonjolan isak di kerongkongan, aku memunguti bukuku terlebih dahulu. Ketika tahu-tahu sebuah tangan membantu memunguti buku dan memasukkannya dengan cepat ke dalam tas, sehingga aku bisa memberesi bekalku.
Ketika--siapapun dia--mengangsurkan kembali tas ke arahku, tanpa sengaja ujung jari kami bersentuhan. Seketika aku merasakan getaran tak bernama yang terasa akrab dan familier menjalar hangat dari jari-jari menuju ke sekujur tubuhku.
Terdorong rasa ingin tahuku yang begitu kuat, aku mendongak dengan cepat. Tetapi keinginanku seketika surut saat mendapati sepasang mata hitam tajam dan wajah tanpa ekspresi.
Aku tahu siapa siswa ini. Dia adalah Gerhana, kakak kelas 12 yang paling banyak dibicarakan oleh siswi-siswi di kelasku pada hari pertama aku masuk sekolah.
"Lain kali hati-hati." Suaranya dingin. Sudut bibirnya berkedut kesal. Kemudian Gerhana berlalu meninggalkanku begitu saja dan tak memberiku kesempatan untuk membuka mulut.
Astaga. Kalau memang tidak ikhlas, untuk apa dia menolongku?
Sejak kejadian sial pagi itu, hari-hariku berubah di sekolah. Aku merasakan sepasang mata Gerhana terus membayangi ke mana pun aku berada. Di lapangan olah raga, di kantin, saat berjalan di sepanjang selasar kelas menuju kamar kecil, saat duduk di atas bangku beton di depan kelas bersama Sasi.
Anehnya, aku selalu tahu ke arah mana kepalaku harus berpaling untuk menemukan sepasang mata hitam, tajam di atas permukaan wajah tanpa ekspresi. Dan pada detik itu juga, getaran akrab tak bernama langsung menggelenyar pelan di seluruh tubuhku.
Aku yakin baru mengenal wajah Gerhana saat tiba di sekolah ini, tetapi mengapa jiwaku seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun?
Namun, aku tidak mau terjebak dalam romansa dengan siapapun saat ini. Aku ingin fokus sekolah, lulus dan kuliah sambil bekerja untuk membantu ibuku menyekolahkan adikku.
Aku mencoba berbagai cara agar tidak terlihat di matanya. Dengan berdiri dekat-dekat Sasi saat olahraga, berjalan di belakang Sasi saat ke kantin, memunggungi di mana aku merasakan keberadaannya, menahan diri agar tidak menatap ke arah wajahnya.
Usahaku cukup berhasil sejauh ini. Hingga sebuah peristiwa terjadi beberapa hari yang lalu saat di sela-sela pergantian jam pelajaran, aku melangkah terburu-buru dari kamar kecil menuju kelasku lagi. Seseorang memanggil namaku, dan saat tubuhku berbalik aku menemukan Gerhana berdiri di tengah selasar. Darahku mengalir lebih cepat, memaksa jantungku berdegup lebih kuat.
"Kamu sedang mencoba menghindar dariku, Praya?" tanya Gerhana tajam dan menuntut. Tubuhku menegang. Perasaan familier seperti pernah terhubung sebelumnya dengan dirinya perlahan membanjiriku.
"Ti..tidak." Aku menelan ludah, merasa terintimidasi oleh sosoknya. "Maaf. Aku masih ada pelajaran."
Tanpa menunggu balasan Gerhana, bersicepat aku melarikan tubuhku di sepanjang selasar menuju kelasku.
Aku menyimpan ceritaku, dan tidak ingin membaginya kepada Sasi, apalagi teman-teman sekelasku yang lain. Mereka pasti menduga aku berhalusinasi atau minimal mereka yakin kepalaku habis membentur tembok sekolah.
Dari mana ceritanya seorang mega bintang sekolah mengejar-ngejar siswi canggung macam aku?
* * *
Tubuhku menyelinap di antara tumpukan buku-buku tua dan orang-orang di pasar buku bekas di daerah Jakarta Pusat. Sudah dua kali aku datang ke mari, dan sebelumnya tidak seramai ini.
Aku memang menyukai segala sesuatu yang berbau seni dan tua. Aku senang membaca buku-buku sastra lampau, mempelajari sejarah, melihat lukisan-lukisan lama, mendengarkan musik jadul bahkan penampilanku tak pernah berubah sejak dulu. Adikku yang lebih modis daripada aku, sering mengejek kalau seleraku bahkan lebih tua dari selera ibu.
Ah, anak kecil tahu apa soal selera!
Pertempuranku di pasar buku bekas berhasil membawa kemenangan. Setelah proses tawar-menawar yang cukup rumit akhirnya buku sastra Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran sukses menjadi milikku. Sembari memasukkan buku dalam ransel, aku berpikir mengapa ada orang yang rela melepaskan buku sebagus ini?
Sebagai imbalan kesuksesanku menawar buku, keluar dari pasar buku bekas aku membawa diriku duduk di depan penjual es kelapa muda. Setelah berkeliling selama tiga jam, kepanasan, berjalan ke sana kemari, menawar di mana-mana, ternyata mengundang rasa haus di kerongkongan.
Sudah tiga puluh menit lewat dari pukul sebelas siang, aku menyerahkan kembali gelas kelapa mudaku. Aku membenamkan tanganku ke dalam ransel untuk mencari dompet, dan mendorongnya lebih jauh lagi. Perasaanku mengatakan ada yang aneh di dalam sana.
Di mana dompet dan ponselku?
Penasaran dengan apa yang terjadi, aku menarik habis ritsleting ranselku dan melongok isinya.
Ya Tuhan! Bola mataku melotot sejadi-jadinya ketika mendapati garis terbuka sepanjang 10 senti ada di samping ransel.
Aku kecopetan!
Tenggelam dalam kepanikan, napasku seketika terengah-engah dengan sendirinya. Buru-buru aku menumpahkan seluruh isi ranselku, yang ternyata isinya tinggal buku Kahlil Gibran yang tadi aku beli. Dompet dan ponselku raib!
SIAL. Aku ingin memaki, tetapi tidak tahu ditujukan kepada siapa.
Keringat mulai membanjiri dahi dan punggungku. Menyadari kalau aku menghadapi masalah yang lebih besar dari dompet dan ponselku, bagaimana membayar segelas es kelapa mudaku?
Bola mataku menyapu sekeliling, berharap ada tangan Tuhan datang menolong dengan memberiku selembar uang 20 ribu untuk segelas es dan ongkos angkutan umum. Namun, sepertinya harapanku sia-sia belaka.
Dengan jantung berdebar dan mengelap keringat di dahi, aku mendekati abang penjual es kelapa muda. Aku akan menceritakan kesialanku, kalau perlu memohon agar diperbolehkan tidak membayar jajananku.
Aku meneguk ludah, bersiap-siap di dekat abang penjualnya. Di saat yang sama, tiba-tiba saja mataku menabrak sosok yang sangat aku kenal. Berbalut jaket hitam dan celana jeans senada, ia berdiri di antara padatnya orang-orang.
Gerhana.
Gerhana! Perahu yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku!
Tak peduli bagaimana seorang Gerhana bisa begitu kebetulan ada di tempat ini, aku berseru dengan suara lantang menyebut namanya. Aku mengangkat kedua lenganku ke atas dengan heboh dan melambai ke arahnya.
"Gerhana! Gerhana!"
Tidak hanya Gerhana yang berpaling memandangku, tetapi juga orang-orang di sekitarku.
"Sini! Tolong ke sini!" Aku benar-benar tidak tahu malu sekarang.
Dari tempatku, mataku bisa melihat wajah Gerhana menegang serta mulutnya membentuk garis lurus. Dia terlihat kesal. Tetapi aku tidak peduli. Apakah dia nantinya bakal membentak, membanting, atau menjambak, terserah. Pokoknya sekarang yang paling penting adalah aku bisa meminjam uang 20 ribu padanya!
Harus!
Rasanya berton-ton batu baru saja disingkirkan dari atas kepalaku ketika melihat Gerhana berjalan ke arahku.
"Ada apa?" Tanya Gerhana dingin dan ketus begitu ia tiba di dekatku. Mendadak aku menjadi gugup dan kehilangan kata-kataku. Setelah apa yang terjadi di antara kami, keberadaannya memberikan efek intimidasi padaku.
"Mm.. maaf. Aku.. aku mau minta tolong." Akhirnya aku menemukan suaraku, meski bergelombang. Gerhana bergeming, dan kuanggap dia menunggu kalimatku selanjutnya. "Aku kecopetan. Dompet dan ponselku hilang. Mm.. kalau boleh, aku mau pinjam 20 ribu untuk membayar es kelapa muda ini dan ongkos aku pulang."
Wajah Gerhana seketika mengendur saat aku memperlihatkan ranselku yang bolong.
"Kamu tidak hati-hati sih di tempat seperti ini." Tegurnya tanpa perasaan. Aku menahan mulutku. Mungkin dalam peristiwa biasa, aku pasti sudah membalas ucapannya. Saat sekarang ini, melawan kalimatnya sepertinya bukan pilihan bagus.
Terlintas di kepalaku, bagaimana siswi-siswi itu bisa tergila-gila dengan Gerhana? Sedangkan yang keluar dari mulutnya selalu sinis, dingin dan tak punya hati.
"Berapa, Bang?" Gerhana berpaling pada abang penjual es kelapa muda. Ia menyerahkan uang pas 10 ribu untuk segelas es yang kuminum, lantas berlalu meninggalkanku begitu saja. Bahkan aku belum mengucapkan terima kasih padanya.
Aku pulangnya bagaimana? Buru-buru kakiku mengejar dan menyamakan langkahnya.
"Gerhana. Tunggu. Aku.. aku mau bilang terima kasih. Dan.. aku masih mau pinjam 10 ribu untuk ongkos pulang. Besok semua uangmu aku ganti. Aku janji."
Gerhana berdecak, lantas menghentikan langkahnya dan memandangku tajam.
"Kamu pulang bareng aku." Sesudah berkata demikian, ia melanjutkan ayunan kakinya. Mataku terbelalak mendengar ucapannya, tetapi buru-buru tersadar dan mengekor kembali langkah Gerhana.
"Sebenarnya, kamu tak usah repot-repot. Cukup meminjami aku uang dan aku akan pergi." Balasku. Kami tiba di tempat ia memarkirkan motor sport-nya.
"Kenapa? Tidak mau pulang bareng aku?" balasnya tajam. Kelopak mataku berkedip cepat.
"Bukan. Bukan. Aku bukan tidak mau, hanya khawatir.. nanti pacarmu marah kalau tahu—"
Gerhana mendengus memotong kalimatku.
"Aku tidak punya pacar. Okay? Sekarang, kamu mau ikut atau tidak? Kalau tidak mau, silakan pulang jalan kaki sana." Tak acuh Gerhana menaiki motornya. Aku menelan ludah mendengar intimidasinya. Ia sudah membuatku tak punya pilihan.
"Okay. Aku akan pulang bersamamu," jawabku gugup. Jantungku dadakan merenyut cepat.
Ya Tuhan. Apa kata mereka kalau sampai tahu idola mereka mengantarkanku pulang? Gila! Mimpi apa aku? Sasi pasti tidak akan percaya kalau mendengar ceritaku!
"Pakai helm," perintah Gerhana sembari menyodorkan sebuah helm. Aku mengambil dari tangannya tanpa berani protes dan segera membungkus kepalaku dengan helm miliknya.
"Gerhana, mm.. sebenarnya.. kalau boleh tahu, ada urusan apa sih kamu kok tiba-tiba datang ke tempat ini?" tanyaku basa-basi saja seraya menunggu Gerhana menyiapkan motornya.
"Tidak ada apa-apa. Aku memang orangnya impulsif. Tiba-tiba saja aku ingin datang ke tempat ini dan ternyata bertemu denganmu. Puas? Sekarang naik," kata Gerhana, masih dengan nada memerintah. Aku terpaksa mengangguk meski tak puas dengan jawabannya.
Kakiku melebar, aku terpaksa melarikan tanganku ke atas kedua bahu Gerhana untuk mendapatkan pegangan. Syukurlah, aku berhasil duduk di atas motor Gerhana yang tinggi. Seketika aku menarik kedua tanganku saat merasakan tarikan hangat dan familier membanjiri diriku.
Hatiku bertanya-tanya sendiri, mengapa aku merasa tidak asing dengan nuansa dirinya?
"Karena sejalan, aku mau ke rumah sakit dahulu sebelum mengantarmu pulang. Pegangan yang kuat, aku tidak mau kamu terlempar ke belakang!" tandas Gerhana dari balik helm.
Aku mengikuti perintah Gerhana dengan memegang ujung jaketnya. Ketika tahu-tahu kedua tanganku dicekal Gerhana. Ia menghelanya hingga tubuhku tertarik ke depan dan menempel ketat pada punggungnya, sedangkan kedua lenganku melingkari perutnya.
Oh, Tuhan. Aku nyaris tak berani bergerak saat perlahan roda motornya keluar dari parkiran. Wajahku memanas. Beruntung Gerhana tidak bisa melihat betapa wajahku sudah semerah tomat sekarang.
Tiga puluh menit kemudian kami sudah tiba di rumah sakit. Gerhana memintaku duduk di sebuah bangku panjang, sementara ia masuk ke sebuah ruangan. Aku tidak tahu ruangan apa. Dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, aku bisa melihat Gerhana mendatangi salah seorang pasien di dalam sana. Permukaan wajahnya tampak bahagia, ada senyum lebar terukir di bibirnya. Ibunyakah yang sakit?
Gerhana tampak berbeda dari yang ia tampilkan sehari-hari di sekolah. Aku terpana sejenak, tetapi langsung tersadar kalau aku harus sesegera mungkin mengalihkan mataku darinya, atau tarikan hangat tak bernama ini akan semakin kuat melilitku.
Tahu-tahu Gerhana menegakkan kepalanya dan mendapatiku tengah mengamatinya. Wajahku memanas, perasaan seperti terhubung itu datang menyerbuku. Tunggang-langgang aku melarikan mataku ke mana saja, asal bukan pada manik mata hitam milik Gerhana.
"Kita mampir sebentar ke rumahku." Dadakan suara Gerhana sudah ada di sebelahku. Aku nyaris terlonjak dari kursi saking kagetnya dan buru-buru berdiri di atas kakiku. "Aku membawa pakaian kotor."
Gerhana menunjukkan tas kertas di tangannya, dan kubalas dengan kedipan kaku dan mengangguk.
Aku hanya menebeng motornya, apalagi yang bisa kukatakan?
Sesudah berkata demikian, Gerhana berlalu begitu saja. Terbirit-birit aku mengekor langkah lebarnya menuju parkiran rumah sakit.
Tubuhku kembali melekat di punggung Gerhana dan lenganku melingkari perutnya di sepanjang perjalanan ke rumahnya. Dari balik kaca helm, kelopak mataku terpejam rapat, mati-matian menahan gempuran dari tubuh di depanku. Aromanya, nuansanya, bahkan efeknya langsung mengenai tubuhku sendiri yang sudah menjadi panas dingin sejak tadi.
Nyaris satu jam aku disiksa oleh perasaanku sendiri hingga motor Gerhana melewati pintu gerbang besi tinggi dan berhenti di sebuah garasi yang luas dan terbuka.
Aku menurunkan kakiku dengan diliputi perasaan ganjil sejak pertama roda motornya menggilas halaman rumah megah ini. Tanpa banyak mulut aku meletakkan helm dan mengekor lagi langkah Gerhana.
Kami berjalan di samping rumah, kaki kami menjejak di atas potongan-potongan batu alam putih yang ditata secara simetris, di bawah jajaran rimbunnya pohon tabebuya berwarna pink pucat. Rumput hijau membentang di mana-mana, bunga berbagai jenis tertanam di atasnya. Atmosfernya terasa sejuk dan bersih.
Sembari melangkah, kepalaku terpanggil untuk mengamati rumah Gerhana yang bergaya victoria bercat coklat muda. Mataku menyapu setiap detailnya, atap rumah berbentuk segitiga curam yang menghadap ke segala arah, ornamen-ornamen klasik dan rumit yang menempel pada jendela, pintu dan atap runcingnya.
Mereka layaknya memiliki roh yang melemparkanku ke masa lalu dan membawaku serta bersamanya. Aku merasakan kelekatan yang amat kuat dengan mereka, tetapi aku tidak tahu kapan dan di mana.
Aku berani bersumpah, belum pernah melihat apalagi menginjakkan kakiku di rumah ini. Namun, bagaimana aku bisa begitu terhubung dengan mereka?
Buru-buru aku menundukkan kepala dan fokus mengekor kaki Gerhana, hingga kami tiba di beranda belakang rumahnya. Tak jauh dari beranda, ada kolam luas penuh dengan bunga lotus yang memisahkan beranda dengan sebuah bangunan berdinding kaca bening. Bangunan itu langsung menjerat perhatianku karena sepintas seperti sebuah galeri seni.
Aku menelan ludah, merasa takjub sekaligus kecil berada di tengah luasnya rumah Gerhana.
"Duduklah di sini, Praya. Aku masuk sebentar." Gerhana menunjuk satu set sofa yang ada di beranda.
"Mm.. kamu punya galeri seni?" Mataku mengarah ragu-ragu pada bangunan berdinding kaca tadi. Aku penasaran ingin melihat seperti apa isi di dalamnya, tetapi aku tidak berani memintanya kepada Gerhana.
"Bukan. Mamaku seorang pematung, bangunan itu adalah studionya. Aku kadang-kadang saja ikut melukis di sana."
Bola mataku membulat. Gerhana bisa melukis? Wah, berita baru buatku!
"Kenapa kaget? Kamu ingin melihat lukisanku? Masuk saja, tidak terkunci." Ujar Gerhana seraya berbalik dan berlalu meninggalkanku.
"Terima kasih, Gerhana!" Balasku antusias ke arah punggung Gerhana yang nyaris lenyap ditelan bangunan rumahnya. Bergegas aku mengayunkan kaki di sepanjang sisi kolam lotus yang elok hingga tiba di selasar studio.
Tanganku menarik lebar pintu kacanya, aroma kayu dan cat minyak langsung menyerbu hidungku. Ada sesuatu yang meluap dengan tiba-tiba di dalam dadaku saat kakiku menjejak lantai coklat kayunya. Untuk beberapa saat jemariku meraba pada patung-patung kontemporer hasil karya mama Gerhana, juga beberapa lukisan cat minyak karya Gerhana sendiri.
Ia melukis tentang full moon di langit biru pekat, lukisan yang lain menggambarkan sebuah perahu berada di tengah lautan luas.
Aku tak punya cukup kemampuan untuk menginterpretasikan gambar sebuah lukisan, tetapi entah datang dari mana, saat ini aku bisa merasakan energi selaras yang mengalir dari lukisan ini melalui jemari ke seluruh tubuhku. Aku dapat membayangkan dengan tepat apa yang ingin Gerhana sampaikan.
Ia tengah menggambarkan kesendirian dan penantian. Aku tidak bisa menebak mengapa ia melukis tentang itu.
Kakiku terus bergerak dan tiba di depan sebuah lukisan yang masih menggantung di atas easel. Awalnya dahiku mengernyit, lantas kedua bola mataku terbelalak tak percaya.
Bagaimana mungkin?
"Apa yang sedang kamu lihat?" Suara datar Gerhana mengoyak lamunanku. Aku bergeming dan tak mengalihkan mataku, terlalu tersesat dengan lukisan yang ada di depanku. "Kamu sudah pernah melihat lukisan ini sebelumnya?"
"Ini lukisanmu?" tanyaku berbisik tak menjawab pertanyaannya.
"Ya." Gerhana berdiri di sebelahku dan ikut mengamati. Gambar sepasang laki-laki dan perempuan dengan rambut panjang terurai. Tangan mereka saling berkaitan di tengah halaman luas, di depan sebuah rumah bergaya victoria bercat coklat muda.
Kepalaku tergeleng, suaraku meluncur bergetar. Ujung jemariku mengelus lambat permukaan kanvasnya.
"Aku.. aku tidak hanya pernah melihatnya. Potongan-potongan gambar ini kadang-kadang datang dalam mimpiku. Kejadian dan detailnya persis sama. Dan.. kamu tahu? Akulah yang menjadi perempuan itu. Aneh, bukan? Bagaimana mimpiku bisa ada di sini, Gerhana?" Aku berpaling dan menemukan Gerhana tengah menatapku. Dalam dan tak terbaca.
Kesunyian membentang sejenak di antara kami, sebelum akhirnya Gerhana melangkah mendekat dan persis berdiri di depanku.
"Tidak ada yang aneh, Praya. Sebenarnya aku sudah merasakan getaran itu sejak pertama kita bertemu, tetapi saat itu aku tidak yakin. Sekarang aku mulai bisa memahami, kamu dan aku adalah jiwa-jiwa tua yang sudah mengembara dan saling mencari selama ini. Alam semesta sudah mengatur agar kita bisa bertemu, dan selamanya kita akan saling memiliki." Kali ini Gerhana berujar lebih lembut dari biasanya. Sementara kelopak mataku berkedip menatapnya tak mengerti.
"Aku akan mengantarmu pulang." Aku dikejutkan oleh tangan Gerhana yang tiba-tiba meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Bola mataku bergerak bergantian, memandang kaitan tangan kami dan wajah Gerhana.
"Gerhana, tunggu. Apa.. apa maksud dari ucapanmu tadi?" Aku menahan langkahku.
"Artinya, sejauh dan selama apapun jiwa-jiwa kita berpisah, takdir sudah mengikat kita berdua, Praya. Andai kamu mencoba menghindar dariku, kamu tetap akan kembali padaku." Sesudah mengatakan demikian, Gerhana berbalik dan menghela tanganku yang masih ada dalam genggamannya.
Aku mengekor langkah Gerhana, keluar dari ruangan studio berdinding kaca ini. Kejadian barusan sudah membuat kepalaku terasa penuh, perasaanku campur aduk. Semua terasa membingungkan dan seolah tidak nyata.
Menyerah dengan ketidaktahuanku, akhirnya aku hanya membalas genggaman tangan Gerhana dan membiarkannya membimbing langkahku.
Mungkin tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk selamanya. Persis seperti yang dikatakan Gerhana tadi.
Sekarang dan selamanya.
TAMAT
Hi! Aku jokris1510. Aku suka membaca buku apa saja; fiksi dan non fiksi. Rakus beli buku, tetapi seringnya cuma jadi antrian. Menulis adalah sebuah katarsis buatku. Paling nyaman menulis genre adult romance, menulis anthology dengan genre high school seperti ini adalah sebuah tantangan tersendiri untukku. Motto saat aku menulis; membuat baper pembaca adalah doa. Selamat menikmati karyaku!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro