"Cross Out" - BayuPermana31
CROSS OUT
A Short Story by BayuPermana31
"Katanya dia kemarin jalan sama pacarnya sampai malam, ya? Nah lho, udah ngapain aja?"
Hah? Ini kenapa banyak siswa-siswi lirik ke arahku waktu kami—aku dan Jordan lewat di selasar? Masih pagi dan otakku sudah disuruh berpikir berat. Tolong deh ya, jam tujuh juga belum.
"Mereka ngomongin kita?" Pertanyaanku disambut kerutan di dahi sempit Jordan.
"Masa? Kenapa?"
Memang salah aku bertanya pada laki-laki yang mengedepankan logika, perlu analisis khusus sesuai urutan kerja penelitian pada suatu kejadian, dan sangat jarang memikirkan sesuatu kecuali yang langsung dibicarakan padanya ini.
"Satu, kenapa mikir mereka ngomongin kita? Kedua, kalau iya, kenapa baru sekarang mereka nyinggung soal itu? Terakhir—"
"Ssstt, Jordan! Pelan-pelan, oke? Otak gue belum pemanasan sama sekali, nanti ngebul!"
Laki-laki jangkung ini hanya meringis. Matanya yang sipit itu makin tampak seperti segaris saja.
Berjalan berdampingan dengan Jordan selalu berhasil membuatku merasa kecil. Tinggiku cuma sedagunya. Bibirnya yang merah tanpa pewarna itu lebih sering tertutup rapat, hidungnya yang mancung dan lurus itu dulu menyangga kacamata bulatnya. Sekarang, Jordan memilih mengenakan lensa kontak cokelat tua yang sewarna dengan rambut agak ikalnya.
"Udah, nggak usah dipikirin. Inget, sekarang ada tugas kimia. Nyokap gue yang bakal dateng gantiin Bu Tri, soalnya beliau ada uji kompetensi."
"Lho? Nggak apa-apa udah berangkat ke sekolah?" Perhatianku segera tertuju pada permasalahan yang sama sekali berbeda.
"Udah diperbolehkan, kok. Omong-omong, Kak Ratih bilang makasih."
"Sama-sama."
Jordan tak membalas lagi karena kami sudah mencapai pintu kelas. Seperti biasa, Jordan membiarkan aku masuk lebih dulu. Kami satu kelas sejak kelas sepuluh dan sekarang kelas dua belas. Sebenarnya, aku dan Jordan sudah dekat dari bangku SMP, berhubung rumah kami jaraknya berdekatan. Namun, Jordan baru menyatakan perasaannya di kelas sebelas.
Kursiku ada di urutan ketiga dari depan dan paling pinggir, dekat jendela. Yola, teman sebangkuku, sudah di sana dan tengah membaca buku novel yang judulnya beda lagi dari kemarin. Jujur saja, aku tidak cukup dekat dengan gadis berkacamata dan rambut dikuncir kuda itu meski satu meja. Selain karena kami tidak punya hobi yang sama, aku lebih dekat dengan dua siswi yang duduk di depan kursiku—Anna dan Dwita.
Bukan sahabat juga, sih. Kedua orang itu lebih dekat dibanding aku dengan mereka. Aku ini macam pengikut saja. Kalau mereka suka ini, aku ikut. Kalau mereka mau jajan ke kantin dekat gerbang, aku juga ikut. Begitu terus sejak kelas sepuluh.
Sementara itu, Jordan menghampiri bangkunya juga, tetapi sudah disambut Axel, teman sebangkunya yang kurus kering dan berpenampilan agak urakan. Hari ini saja, dasinya tak terpasang dengan baik. "Gila lo, Bro!"
"Apaan?" Jordan merespons sekilas.
Aku tak sempat memberi perhatian pada interaksi keduanya karena Yola sudah keburu memanggil, "Kinan."
"Apa?"
Aku dan Yola jarang saling bercakap. Kami seakan-akan mengerti maksud masing-masing dari gerak-gerik saja. Saling menyerahkan hasil ulangan yang dibagikan, menitipkan uang untuk bayar kas atau sedekah tiap Hari Jumat, sampai kalau ingin saling pinjam alat tulis. Tidak ada yang istimewa.
"Buku biologi udah ada di meja guru, tugas kemarin udah diperiksa."
"Oh, oke. Makasih."
Baru saja aku hendak melangkah menuju meja di depan, Yola sudah bersuara lagi, "Mmm, Kinan, nggak usah pikirin apa yang orang lain bilang kalau nggak benar, ya."
"Soal apa?" balasku sekonyong-konyong.
"Apa ... aja." Yola seperti menahan dirinya sendiri.
Tak tahu harus merespons apa, aku mengangguk saja dan menghampiri meja guru sambil menyelipkan anak rambut hitam sebahuku ke balik telinga. Buku biologiku ternyata ada di tumpukan terbawah, jadi aku agak lama mencarinya. Pada saat itulah, kudengar suara Anna dan Dwita yang biasa. Melengking, bicaranya cepat, dan topik pembicaraan mereka tak akan jauh-jauh dari riasan, gosip terbaru, hingga skandal selebritis.
"Pagi, Kinan." Anna, si gadis agak tambun berwajah mudah merah menyapaku. Tumben.
"Oh, pagi juga."
Dwita, yang jauh lebih kurus dibanding Anna hanya melambaikan tangan. Di kelas, seringkali melontarkan candaan kalau Anna dan Dwita sudah berjalan bersama, mereka kelihatan seperti angka sepuluh. Aku agak was-was, tapi Anna dan Dwita tidak tampak terganggu dengan sebutan itu. Mereka suka jadi sumber perhatian.
Aku kembali ke kursiku dan mendapati Yola melihat Anna dan Dwita dengan kening mengerut dalam, seakan ada sesuatu yang berat yang dipikirkannya. Paling-paling mencerna novel fiksi kegemarannya.
"Mmm ... Kinan." Yola memanggilku lagi.
"Ya?"
"Lo lihat ... sesuatu di sosial media nggak? Di Instagram?"
"Gue jarang main sosmed." Aku menjawab apa adanya.
Ketika remaja-remaja lain begitu menggandrungi sosial media dan mencoba jadi paling eksis, ketertarikanku justru semakin kecil. Selain karena itu memakan kuota yang tidak sedikit, aku juga tidak menemukan manfaat lain selain menghubungi orang-orang yang kukenal. Bukan berarti aku merasa istimewa, aku hanya merasa itu tidak perlu untukku saja.
"Kemarin nggak buka?"
"Emang ada apa, Yola?"
Mulut Yola tidak kunjung terbuka. Namun, tangannya sudah menutup novel yang sedang dia baca. Aku menunggu Yola berbicara lebih lanjut, tapi bel tanda pelajaran pertama dimulai sudah mendahuluiku.
"Nggak jadi," kata Yola, bertepatan dengan pengajar Bahasa Indonesia kami memasuki kelas.
Walau penasaran, aku mengangkat bahu dan memfokuskan diri pada pelajaran beberapa waktu ke depan.
* * *
Sewaktu membeli makanan di jam istirahat, aku tertinggal satu langkah dari Anna dan Dwita. Mereka jalan terlebih dulu ke arah stan dagangan langganan kami di kantin sekolah. Biasanya, aku membeli nasi uduk dan teh manis. Hanya saja, karena hari ini aku membawa air minum sendiri, berarti aku cuma keluar uang lima ribu rupiah.
Anna dan Dwita selalu membeli berbagai jenis gorengan dan makan bekal saat istirahat kedua siang nanti. Aku tidak mau memikirkan Jordan, dia selalu pura-pura lupa jika waktu makan sudah tiba.
"Eh, Kinan." Aku menolehkan kepalaku ke kiri, mendapati siswi dari kelas sebelah yang suka dikategorikan sebagai kakak kelas hits karena banyak dikenal adik kelas sebagai siswi menarik dari segi penampilan dan temannya banyak sekali. Dia memang ramah dan selalu tampil hampir tanpa gugup.
Hanya ada satu hal yang aku kurang suka dari Dahlia, mulutnya suka sekali membicarakan orang lain. Tipe manis di depan dan mengejek di belakang.
"Hai," balasku seadanya, sibuk dengan kembalian yang kuterima.
"Gue mau tanya sesuatu boleh?"
"Tanya apa?" Aku tidak punya bayangan Dahlia mau bertanya tentang apa, niatnya itu sendiri sudah seperti hujan di tengah siang bolong yang terik.
"Lo udah berapa lama jadian sama Jordan?"
Benar-benar di luar dugaan. "Dari kelas sebelas, kemarin tepat setahun."
"Oh, kemarin tepat satu tahun!" Aku tidak suka nada bicaranya, seperti yang kuucapkan adalah hal penting untuk kemaslahatan hidup orang banyak saja.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa, kepo doang."
Aku akhirnya berjalan bersampingan dengan Anna dan Widya saat kembali ke kelas. Mulutku gatal untuk tidak menceritakan ulang kejadian tadi. "Tumben Dahlia nanya-nanya soal gue sama Jordan."
"Dia kan, emang suka mau tahu." Anna membalas cepat.
"Kayak nggak tahu dia aja, Kin."
Memang tidak tahu, aku tidak cukup dekat dengan Dahlia.
Kondisi kelas hampir kosong di waktu istirahat. Aku menggeser kursi agar bisa makan bersama satu meja dengan Anna dan Dwita. Sementara aku melahap nasi udukku, Anna dan Dwita heboh membicarakan suatu kontes antar para influencer kecantikan di YouTube. Aku tak bisa mengikuti alur pembicaraan itu, tak pernah menonton.
Aku lebih suka pekerjaan-pekerjaan rumah, merajut, menjahit, dan berkebun. Mungkin karena aku tinggal dengan ayahku yang seorang perancang busana, tetapi juga hobi menata setiap tanaman di halaman rumah. Ibuku sudah lama meninggal karena sakit.
"Tahu nggak, Dwi, ternyata dia pernah pacaran sama mantannya aktris film, lho!"
"Masa? Gue tahunya dia pernah pacaran sama YouTuber juga."
Begitulah kira-kira isi obrolan Anna dan Dwita, kalau mau tahu.
"Udah tahu belum prank-nya aktor yang rame kemarin malah bikin dia tahu kalau pacarnya selingkuh?"
"Udahlah! Mereka saling bales-balesan lewat Instastory itu, 'kan? Sampe saling buka aib gitu!"
"Seru banget ya, emang, ngikutin yang kayak gitu?" Aku akhirnya buka suara. Buatku, masalah orang lain bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dibahas.
"Seru tahu, Kin! Makin ribut, biasanya makin banyak yang keseret. Itu bikin gue mikir kalau hidup tuh nggak ada yang sempurna!"
"Kita haus keributan!" Candaan Dwita disambut gelak tawa Anna.
Aku mengernyit, selain karena sinar matahari yang datang lewat jendela semakin panas, alasan Anna dan Dwita juga tak bisa kumengerti. Kita tidak mesti belajar soal hidup dari sesuatu yang mungkin tidak mengenakkan dan sebenarnya tidak mau dibesar-besarkan orang lain, 'kan?
Aku memilih diam hingga waktu beristirahat. Jam pelajaran kimia ini akhirnya datang. Ibu Jordan akan datang dan memberi arahan soal tugas yang mesti dikerjakan, menggantikan Bu Tri yang berhalangan. Jordan sudah muncul kembali dengan ekspresi datarnya. Dia membenarkan seragam yang dikeluarkan. Walau pintar, Jordan bukan murid paling disiplin.
Bukannya menghampiri kursinya sendiri, Jordan malah datang ke mejaku. "Kinan," panggilnya.
"Apaan?"
"Kenapa temen-temen gue yang biasa nongkrong di kantin pojok bilang selamat ke gue, ya? Katanya gara-gara lo."
Kudengar Anna dan Dwita terkikik geli, Yola tersedak air minumnya.
"Gara-gara gue?" Ada apa dengan hari ini? Kok banyak sekali pertanyaan yang muncul?
Jordan mengangguk. Ekspresi tidak puasnya macam anak kecil yang harus rela memberikan mainan kesayangannya pada orang lain.
"Mana gue tahu kan, mereka temen lo. Nggak lo tanya emang jelasnya gimana?"
"Pada nggak mau jawab."
Aku mengangkat bahu, tanda benar-benar tak bisa menjawab pertanyaan di kepala Jordan. Jordan sendiri ikut melakukan hal yang sama, lalu menoyor kepalaku. Dia memang suka seenaknya.
Sekembalinya Jordan ke kursinya, banyak siswi menggodaku karena tindakan Jordan tadi.
"Makin lengket aja, Kin."
"Kok cuma segitu, sih? Nggak sekalian yang lebih?"
"Lah nggak diulang yang semalem?"
Apaan yang semalam?
"Maksudnya?"
"Ah, jangan sok polos gitu." Kali ini siswa laki-laki yang duduk di belakangku, Andre, si penggila anime yang pikirannya terlalu dewasa untuk orang seumurannya yang angkat bicara.
"Pada kenapa deh." Aku bergumam sendiri.
Sampai lima belas menit kemudian, Tante Hani—Bu Hani jika sudah di sekolah, tidak kunjung datang. Aku tidak heran, di jam yang sama dia memang mengajar kelas sepuluh.
"Kinan."
Sepertinya aku harus menghitung berapa kali Yola memanggilku hari ini, siapa tahu jadi rekor. "Kenapa?"
"Boleh aku nitip kirim sesuatu ke DM Instagram kamu? Nggak tahu kenapa, postingannya nggak bisa aku simpan."
Memang bisa ya, error waktu simpan postingan? Aku baru dengar. Mungkin ada, aku jarang main sosmed, jadi tidak tahu pasti.
"Boleh aja."
"Coba liat deh, itu buat referensi stan kita di acara ulang tahun sekolah nanti."
Yola kelihatan cemas—agak mendesak juga. Tak ingin lihat ekspresi itu di wajahnya, aku menurut. Cuma, bukannya mengirim postingan seperti yang dia sebut, Yola mengirim Instastory Anna.
Tanpa suara, Yola berkata, "Liat aja."
Di Instastory itu, ada fotoku dan Jordan. Jordan sedang memakaikanku jaket, kami tengah di suatu pusat perbelanjaan. Lalu, ada pula fotoku dan Jordan menghadap rak di salah satu lorong penuh di mana susu bayi, susu ibu hamil, dan bermacam susu lainnya. Selain foto, ada tulisan di sana.
Selamat ya temenku, nggak nyangka udah sampai sejauh ini. Mau nyapa tapi harus pulang soalnya malem banget. Nanti dimarahin Mama~
Tanpa bisa kutahan, nada bicaraku mulai tinggi. "An, apa-apaan, sih?!"
Anna membalikkan badan, pipinya yang penuh bergerak seiring mulutnya bersuara, "Lho, Kin, kenapa? Kok tiba-tiba nyolot gitu?"
"Instastory lo maksudnya apa?" tanyaku.
"Kan, ada tulisannya. Bisa dibaca." Suara Anna jadi kelihatan menjengkelkan sekali, begitu pun ekspresi tak bersalahnya.
"Kalem kali, Kin." Dwita ikut nimbrung.
"Gimana bisa kalem kalo apa yang lo tulis bikin orang-orang mikir yang aneh-aneh soal gue sama Jordan?"
Tanpa kusadari, seisi kelas sudah berangsur mendekat dan mendengarkan perdebatan kami. Yola semakin terpojok di kursinya, tangannya terangkat, seperti hendak melerai. Akan tetapi, suaranya tak terdengar.
"Emang kalimat gue artinya apa? Hayo, kalo emang kalian nggak ngelakuin apa-apa ya nggak usah sensi. Kok baperan?"
Pelipisku langsung berdenyut karena kata-kata yang dipilih Anna untuk diucapkan. Kenapa orang-orang zaman sekarang suka berdalih di balik kata baperan setelah menyinggung orang lain, sih? Seakan dengan itu kesalahannya langsung terhapus dan tidak jadi dicatat malaikat.
"Gue nggak tahu ya, niat lo apa, tapi emang nggak bisa nanya dulu gitu gue sama Jordan ngapain di sana? Punya mulut kan, lo?"
Pertanyaanku menimbulkan banyak reaksi dari siswa-siswi sekelasku. Tak heran. Aku tidak biasa banyak bicara. Namun, sekali tak suka, kata-katanya lebih menyakitkan.
"Kok kasar banget, sih? Gue cuma bercanda kali. Sakit hati lho, gue digituin."
"Lha? Lo pikir gue nggak sakit hati dibercandain begitu? Nggak lucu."
Pundakku disentuh seseorang, aku menoleh dan melihat Jordan menggeleng. "Udah," katanya.
"Tuh, nasihatin cewek lo. Punya mulut kok kasar banget." Anna memutar bola matanya.
Aku bangkit dan berangsur kasar menuju temanku yang satu ini, tetapi Yola dan Jordan menahanku. "Kinan, udah!" Jordan berseru lantang.
"Kalo nggak bener nggak usah emosi kaliii." Anna mendengus bersama Dwita.
Aku berdecak. "Kok gue kaget, ya. Kan kalian emang biasa suka ngurusin gosip orang, nggak aneh sekarang gue yang dituduh begini."
"Gue nggak nuduh, ya. Gue cuma bercanda!"
Hampir semua kepala di kelas ini menoleh ke arah lain ketika pintu diketuk sebanyak tiga kali. Bu Hani, punya raut wajah datar dan sudah dikenal sebagai guru killer di sekolah akhirnya muncul. Dia adalah tipe-tipe guru yang tidak diinginkan mengawas saat ujian, atau tipe guru yang kurang disukai karena jam berakhir pelajarannya selalu tepat waktu, bahkan suka lebih.
Beberapa bagian wajahnya sudah menunjukkan kedewasaan dan usianya, garis-garis halus di area mata dan kening. Bibirnya membentuk garis lurus. Kali ini, matanya yang tajam menatap heran pada kami. "Ada apa ini? Suara kalian terdengar ribut sekali dari luar."
Jordan mendorongku kembali ke tempat duduk, berbisik kalau nanti saja urusan tadi diselesaikan. Aku masih gondok, tapi tak bisa membalas.
"Tidak ada yang mau menjawab?" Bu Hani tidak memberitahu tugas kimia untuk kami, malah membicarakan kejadian tadi.
"Anna dan Dwita ada cekcok sama Kinan, Bu." Andre, si penggila anime yang menjawab.
"Cekcok?" Bu Hani memperhatikanku dan dua orang di depan mejaku secara bergantian.
"Kinan omongannya jahat banget, Bu. Saya sakit hati." Anna sudah keburu berbicara, membela diri. Pelipisku lagi-lagi berdenyut dibuatnya.
"Omongan seperti apa?"
Sepertinya Anna merasa dapat dukungan, jadi mulutnya berkata dengan lancar. "Saya unggah sesuatu di sosial media, fotonya Kinan sama Jordan. Isinya cuma bercandaan, tapi Kinan malah marah dan tanya saya punya mulut apa nggak."
"Ih." Bisa kudengar Yola bergumam di sebelahku. Lihat, 'kan? Kalau orang lain saja kesal, apalagi aku dan Jordan?!
"Kinan, mau menjelaskan?" Suara Bu Hani masih tegas, dia tidak pernah membeda-bedakan. Meski aku adalah pacar anaknya, dia selalu berlaku profesional di lingkup sekolah.
"Foto yang diunggah Anna itu bikin orang-orang berpikir macam-macam, Bu—"
"Berarti bukan salah saya dong, Bu, saya nggak bisa mengatur orang lain menanggapi seperti apa," potong Anna.
"Tapi bisa tidak mengunggah foto saya dan Jordan di depan rak susu ibu hamil dan bayi dengan kalimat ambigu, 'kan? Lebih mudah tanya-tanya dulu?"
Anna tidak menanggapi.
"Anna tulis selamat dan keterangan malam di unggahannya. Saya pikir itu kenapa siswa-siswi sejak tadi menatap saya dan Jordan aneh, Bu. Saat saya tanya maksud unggahannya apa, dia jawab bercanda dan bilang saya baperan karena saya tersinggung. Masalahnya, itu sama saja menuduh saya dan Jordan yang tidak-tidak."
Kening Bu Hani mengurut, tangannya terlipat di depan dada. "Saya tahu ini tidak profesional, tetapi Anna, kalau kamu ingin tahu mengapa Jordan dan Kinan pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli susu ibu hamil, sebentar lagi Jordan akan punya keponakan. Saya yang menyuruhnya."
Aku sedikit merasa bersalah karena Bu Hani harus menjelaskan keadaan keluarganya, yang mana kurasa adalah sesuatu yang privat. Apalagi, dia sebenarnya tidak sedang dalam keadaan sepenuhnya sehat.
Usai membeli beberapa susu itu—Jordan memintaku menemaninya, dia payah kalau berbelanja—kami menjemput Bu Hani yang sudah memeriksakan diri. Dia punya migrain yang bisa membuatnya tak sanggup bangkit dari tempat tidur jika sudah menyerang.
Anna pucat pasi, Dwita pura-pura menunduk, pura-pura mengalihkan perhatian pada kuku-kukunya.
"Sekarang, buka buku paket kalian halaman tujuh puluh delapan. Pembahasannya ada halaman sebelumnya, kerjakan latihan nomor satu sampai empat. Dikumpulkan di meja Bu Tri saat pulang sekolah.
"Lalu Kinan, Jordan, Anna, saya tunggu di ruang BK sepulang sekolah juga."
Aku berusaha menenangkan detak jantungku agar bisa fokus mengerjakan tugas ini. Kimia adalah mata pelajaran yang sulit bagiku. Dikerjakan dengan mood baik saja sudah susah, apalagi dalam keadaan begini.
"Kinan, maaf, ya." Aku mendengar Yola berbisik kepadaku. Mengapa jadi dia yang minta maaf?
"Nggak apa-apa," kataku yakin.
Yah, besoknya orang-orang tidak lagi memandangku dan Jordan dengan pandangan aneh. Kabar soal kami dipanggil ke ruang BK dan kalimat Bu Hani di kelas sudah menyebar. Sekarang, Anna dan Dwita seakan-akan tidak pernah melihatku setiap kali berpapasan, sudah minta maaf kemarin. Mungkin malu, mungkin juga egonya masih setinggi langit.
"Udah, nggak apa-apa. Sekarang kelihatan mana yang temen dan mana yang bukan, 'kan?" Itu adalah ucapan Jordan setelah kami keluar dari ruang BK, suaranya cukup lantang hingga bisa didengar Anna dan Dwita. "Kalo bareng lo suka banget ngomongin orang lain, nggak heran ketika lo nggak ada malah lo yang diomongin," lanjut Jordan tak gentar.
Sama sepertiku, mulut Jordan memang suka tepat sasaran kalau menghadapi situasi tertentu.
"Udah yuk pulang. Biar beberapa tahun ke depan kejadian beli susu itu buat lo bukan buat Kak Ratih."
Kontan saja kupukul lengan atasnya. Humor Jordan sering tidak lucu dan tidak tahu waktu.
"Kinan, mau ke kantin bareng?" Yola bertanya di jam istirahat besoknya.
Aku mengerjap. "Boleh. Omong-omong, makasih ya, soal yang kemarin."
Yola tersenyum. "Nggak masalah."
Sambil menyusuri selasar, aku mulai berpikir. Bukan soal pilih-pilih teman, tetapi tentang mana yang pantas dapat kepercayaan. Kalau lingkup pertemanannya tidak sehat, tak ada salahnya keluar.
Tidak perlu merasa bersalah setelah keluar dari lingkungan yang merugikan.
TAMAT
Suka menulis, membaca, mendengarkan musik, dan menari. Cowok yang sebentar lagi menginjak kepala dua yang menganggap tokoh ceritanya sebagai teman-teman terdekat. Sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri dan masih fanboying Girls Generation dari sepuluh tahun yang lalu. Bisa sarkastis seperti Jordan, kalau dibutuhkan. Sekarang, rambutnya diwarnai warna ungu—padahal suka warna biru. Nggak tahu kalau besok. Dia bisa ditemukan di sosial media: Wattpad ( BayuPermana31 ), Instagram ( bayupermana31_ ), dan Twitter ( AlanoNavvare ).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro