Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"Behind The 33" - Aristav


BEHIND THE 33

A short story by Aristav 


September 2010

Kuburan itu masih basah, aroma bunga terasa menyengat. Derai air mata menghiasi prosesi pemakaman yang baru saja usai, menyisakan segelintir orang yang masih bertahan. Jennar Kinnas Niskala masih terduduk lemas di samping gundukan tanah yang masih basah. Wajahnya memerah, tapi tak lagi ada air mata yang keluar. Gadis berambut hitam panjang itu terpaku menatap nama yang terlukis di atas nisan yang baru saja tertancap.

Parama Daksatirta baru saja dikebumikan. Sahabat baiknya baru saja pergi meninggalkan kefanaan dunia, meninggalkan mereka yang menyayangi dan mengasihi. Meninggalkan Jennar dengan segudang kesedihan yang tak memiliki akhir.

"Jennar, kita pulang sekarang?"

Jennar menoleh, mendapati Tante Septa mengajaknya untuk pulang. Tante Septa adalah ibu kandung Rama yang juga mengenal Jennar dengan baik.

"Tante pulang dulu saja, aku masih mau di sini."

Septa mengusap air matanya, lalu mengangguk. Wanita yang baru saja kehilangan anaknya itu lalu berdiri di samping Jennar, mengajak suami dan anak tertuanya untuk pulang. Septa tak sanggup lagi berada di sisi makam putranya terlalu lama, rasa kehilangan itu begitu membekas, menyakitinya begitu dalam.

"Tante duluan ya?"

"Iya, hati – hati, Tante."

Jennar mengusap nisan Rama. Rama baru saja pergi setelah mengalami kecelakaan tunggal saat naik motor, laki – laki itu belum cukup usia untuk mengemudikan motor tapi karena Rama adalah sosok yang keras, segala hal yang ia inginkan harus dilakukan, walau pada akhirnya hal tersebut membawanya bertemu dengan maut.

"Ram, jahat ya kamu?" Jennar memandang nanar makam Rama.

Jennar pertama kali bertemu Rama saat kelas tujuh dan Rama adalah menginjak kelas delapan, lalu menjadi sangat akrab setelah saling menemukan kecocokan. Jennar yang bersekolah di luar kota dan tinggal dengan tantenya tidak lagi merasa kesepian saat tahu Rama adalah tetangga tantenya—Tante Meisya. Meski Rama telah memasuki bangku sekolah menengah atas, tetapi persahabatan mereka masih berjalan dengan baik, dan rencananya, Jennar akan menyusul Rama, memasuki sekolah yang sama tahun ini.

"Ram, katanya kamu mau ngomong sesuatu? Kamu belum sempet ngomong hal yang mau kamu sampaikan ke aku loh. Kenapa udah pergi?"

Lagi, Jennar bermonolog dengan dirinya sendiri, tidak ada sahutan, hanya ada suara kikikan seorang perempuan berpakaian hitam pekat yang tiba – tiba duduk di samping Jennar.

"Jangan ganggu, aku masih ingin di sini," kata Jennar pada sosok yang berada di sampingnya. Perempuan itu mendengkus, memerhatikan Jennar dengan mata sebelahnya yang rusak, dipenuhi darah dan tampak mengerikan.

Jennar memejamkan mata sejenak, gadis itu menghela napasnya. Begitu matanya terbuka, sosok perempuan berpakaian hitam legam itu telah menghilang. Selalu seperti ini, sejujurnya Jennar sangat membenci pemakaman, hanya karena masih ingin mengobrol dengan Rama, Jennar memutuskan untuk tinggal.

"Aku pergi ya, Ram. Selamat tinggal, tolong bahagia di sana."

Jennar beranjak, meninggalkan makam milik Rama, meninggalkan kenangan mereka yang tersisa dalam benaknya. Sementara, sosok laki – laki yang berdiri di belakang Jennar hanya diam, Ia menatap datar sosok Jennar, wajah pucatnya tak menghasilkan ekspresi apa pun. Raganya terasa sangat ringan. Jennar tak dapat melihatnya karena ia adalah arwah muda yang baru saja tercabut dari raganya. Pandangan laki – laki remaja itu lalu beralih pada nisan yang baru saja tertanam. Parama Daksatirta—namanya.

***

Juli 2012

"Jennar!"

Jennar berhenti melangkah. Gadis bermata bulat itu menatap Kinanta dengan dahi yang mengerut. Kinanta mengatur napasnya yang putus – putus setelah berlari menyusuri koridor sekolah—SMA Cakradarma, untuk mengejar Jennar yang sedang menuju perpustakaan sekolah.

"Ada apa Kinan?"

"Entar malem, nonton futsal yuk? Kelas kita kan tanding futsal, masa kamu kamu absen lagi?"

"Aku sibuk. Dua minggu lagi kan kan ada lomba melukis, aku harus latihan membuat sketsa dan mewarnai, kalau enggak latihan, nanti enggak bisa ngepasin waktunya buat lomba."

"Yah, Je. Kemarin kan udah ikut olimpiade Fisika masak lomba lagi? Ikut dong, sejam aja deh, yah?" Kinanta memasang wajah memelas, berharap Jennar—temannya akan ikut menonton pertandingan futsal yang diselenggarakan oleh pihak OSIS di sekolah mereka.

Jennar menghela napasnya, menatap Kinanta yang masih memasang wajah penuh harapan. Gadis itu tidak tega melihat Kinanta yang selalu membujuknya hampir setiap hari selama seminggu ini.

"Ya udah deh, tapi bentar aja ya? Nanti kamu mampir kosku dulu."

"Yash! Siap deh, Jennar. Gitu dong haha ... kan, sekalian nonton kakak kelas kita yang bening."

Jennar menggelengkan kepalanya melihat kelakuan teman baiknya itu. Jennar masih duduk di bangku kelas sebelas, jurusan IPA. Kelasnya ada di lantai satu terletak di bangunan paling tua di sekolahnya. Saat memasuki SMA, ia memutuskan untuk ngekos dan meninggalkan rumah tantenya, hidup mandirinya dimulai dari sana.

"Aku ke perpus dulu deh ya?"

"Oke deh, nanti aku jemput."

Jennar menganggukkan kepalanya, lantas berpisah dengan Kinanta. Gadis itu menghela napasnya, buku – buku di tangannya terasa memberat, udara di sekitarnya mendadak tidak enak, benar saja, sosok perempuan berambut panjang yang kusut masai menyamai langkahnya. Jennar sedikit terperanjat manakala menyadari separuh wajah perempuan itu terlihat penuh luka bakar, oh rupanya separuh badan sebelah kanannya tampak seperti terbakar. Perempuan itu menyeringai sambil berjalan di sampingnya.

"Jangan ganggu," kata Jennar setelah menemukan suaranya yang sempat hilang.

Perempuan itu tidak menjawab, hanya tersenyum sambil terus berjalan di samping Jennar, membuat Jennar merasa tidak nyaman. Tidak ada yang tahu, ia memiliki mata lain yang menembus apa yang tak terlihat oleh mata telanjang kebanyakan manusia lainnya. Jennar lahir dengan hal tidak biasa yang menyertainya. Ia bisa melihat yang tak dapat dijangkau oleh manusia biasa, dan memiliki kemampuan seni yang luar biasa dengan otak di level jenius. Bisa dibilang, Jennar adalah anak istimewa, orang – orang akan menyebutnya sebagai indigo, tapi Jennar bukan indigo, lebih dari itu, ia lahir sebagai anak dalam golongan crystal, generasi setelah indigo yang memiliki aura berwarna putih suci, berpendar layaknya bola crystal.

"Bantu saya," suara itu berbisik di telinga Jennar membuat bulu kudunya meremang.

"Enggak. Udah, pergi!"

Jennar mempercepat langkahnya, meninggalkan perempuan itu menuju perpustakaan di lantai dua. Jennar muak dengan hidupnya, terkadang, ia juga ingin hidup normal, hanya saja ... Jennar belum menemukan cara bagaimana dia bisa menjadi manusia normal pada umumnya. Jennar mengusap peluh di dahinya saat kedua matanya tak sengaja berserobok dengan seorang laki – laki yang sedang memerhatikannya, Kentarius—kakak kelasnya.

***

From: Kinanta

Aku udh nyampe. Keluar, Je.

Jennar menyemprotkan parfum ke badannya, lalu berjalan mengambil tas selempang di atas kasur di kamar kosannya. Ia memang sekolah di luar kota untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bagus dari segi fasilitas dan kuantitas, lagipula Jennar memang ingin bersekolah di kota besar agar bakat seninya lebih berkembang, sementara orang tuanya masih tetap tinggal di kota kelahirannya.

"Maaf ya lama," kata Jennar setelah menghampiri Kinanta.

"Ya udah, yuk. Keburu Mas Rius main."

"Mas Rius terus, dasar Kinan."

"Yeee, kan ganteng hehe."

Jennar menggelengkan kepalanya, ia tidak heran kalau Kinan menggemari sosok Rius, salah satu senior yang populer di sekolah mereka. Jennar lalu naik ke atas motor milik Kinan dan mereka segera pergi ke sekolah untuk menonton pertandingan futsal yang dilaksanakan pada malam hari di lapangan outdoor sekolah mereka.

Setelah memarkir motor di tempat parkir, Jennar dan Kinan berjalan menuju lapangan yang terletak di bagian paling depan sekolah, tepatnya di depan ruang kepala sekolah. Jennar memejamkan matanya sejenak, ini yang ia benci ketika datang ke sekolah malam – malam, tempat itu terasa jauh lebih menyeramkan, karena gerbang yang menghubungkan ke dunia lain tampak jelas keberadaannya, ada dua sosok bertubuh besar yang menjaga gerbang itu, gerbang besar yang terletak di dekat pos satpam, tak jauh dari lapangan futsal yang saat ini sedang ramai kedatangan para murid, yang menonton acara futsal tahunan yang memang rutin diselenggarakan.

"Jangan bengong, nanti kesambet," kata Kinan membuat Jennar sedikit terkejut.

"Enggak bengong kok," elak Jennar, karena memang ia tidak sedang melamun, hanya sedang memerhatikan sesuatu.

"Uwahhh kelas kita main lawan kelasnya Mas Rius, astaga ... ini pasti seru, Rius lawan Nevan haha ... "

"Kenapa gitu?"

Kinan berdecak, lalu menatap Jennar gemas, "Kepopuleran Rius kan memang agak tersaingi pas Nevan masuk. Apalagi Nevan itu ya, udah kalem, badannya tegap, baik, ramah, ganteng, anak futsal lagi, tapi gantengan Rius sih, sayang aja tuh, Rius terlalu kaku jadi orang."

"Kalau urusan cowok ganteng aja, kamu nomor satu ya, Nan?"

Kinanta tergelak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Jennar. "Oh, jelas saja. Mereka calon pacar potensial, harus didoakan, siapa tahu jadi kenyataan haha."

"Kebanyakan mimpi, yang kayak gitu ya seleranya tinggi, minimal kayak Derana teman kita atau kayak Mbak Meera."

"Heh, belum tentu. Derana boleh cantik, mulus, tinggi tapi dia cuma anak manja tahu, kalau Mbak Meera emang nyaris sempurna sih, cantik, model, beh badannya. Eh kok, jadi minder gini?"

Kinan berdecak, lalu melipat menyelipkan rambut hitamnya di balik telinga, matanya melihat ke arah gerombolan murid yang sedang bertanding futsal yang diiringi dengan suara sorai penonton.

"Gara – gara kamu deh, Je. Jadi minder kan aku."

"Yeee, ngapain minder? Cuma kalau ngayal jangan ketinggian, jatuh sakit ah, kita ngomongin fakta aja," balas Jennar sambil tergelak, Kinan berdecak sebal, Jennar memang paling bisa membuyarkan fantasinya, melempar khayalannya ke titik paling rendah.

"Eh, gabung yuk ke anak-anak kelas?"

Kinanta langsung menarik tangan Jennar dan mengajaknya bergabung dengan anak – anak kelas mereka yang berada di pinggir lapangan. Mereka mengenakan jersey berwarna merah, jersey kebanggaan kelas mereka—11 IPA 2.

"Eh, bantuin bukain tutup botolnya dong, biar pas mereka ke sini bisa langsung minum, semenit lagi jeda pertandingan nih," seru Derana seraya menyodorkan dua botol berisi air dingin berukuran sedang pada Kinan dan Jennar.

"Cepet woy, udah jeda nih," seorang teman laki – laki berteriak—Robert si cowok berambut cepak yang agak galak.

"Minum."

Seseorang meraih botol yang dibawa Jennar, Nevan laki – laki yang tadi dibicarakan oleh Kinan. Mereka memang teman satu kelas di kelas sebelas ini, hanya saja karena kelas ini baru terbentuk dua bulan, mereka belum terlalu akrab, atau ya hanya berbicara sekadarnya saja.

"Thanks," ujarnya setelah meneguk habis air di dalam botol itu.

"Eh, iya. Sama – sama," Jennar membalas agak kikuk.

"Punya tisu?"

Jennar mengerutkan dahinya, lalu membuka tasnya dan tidak menemukan tisu yang biasa ada di dalam tas selempang miliknya, ia hanya menemukan sebuah sapu tangan berwarna hitam yang memiliki bordir bunga mawar kecil di ujungnya juga nama panggilannya, Jennar.

"Pakai ini aja, aku enggak bawa tisu. Kalau mau."

Jennar menyodorkan sapu tangan miliknya pada Nevan, beberapa orang melihat interaksi keduanya, Kinan sendiri hanya bengong seperti kehilangan pikirannya.

"Oke, thanks again. Besok aku balikin," kata Nevan lantas meraih sapu tangan milik Jennar dan mengelap keringatnya yang berjatuhan, setelahnya, ia menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku celana jersey miliknya.

Nevan lalu pergi meninggalkan pinggir lapangan dan kembali ke pertandingan, karena waktu jeda sudah habis. Menyisakan Jennar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Cieee uhuyyy disamperin Nevan," ucap Kinan, ia sedang menggoda Jennar.

"Apaan?"

"Tuh disamperin Nevan."

"Random kali, enggak usah aneh – aneh deh."

"Pipimu merah, Je haha. Derana sampai melotot tuh."

"Berlebihan ah, kayak sinetron aja, pakai melotot pas tahu cowok yang disukai nyamperin orang lain," kata Jennar, ia memang tidak terlalu suka sesuatu yang didramatisir, baginya itu berlebihan.

"Haha, dasar. Eh, ngomong – ngomong, LDK OSIS kapan?'

"Sabtu depan kan? Ini juga acara perpisahan OSIS yang lama."

Kinan mengangguk – anggukkan kepalanya, "Masih enggak nyangka lolos OSIS sampai tahap LDK, mana kakak kelas yang jadi panitia LDK-nya Mas Rius lagi, duh makin enggak sabar. Nevan juga ikut, lengkaplah."

"Dih, dasar genit."

"Jennar tuh, enggak seneng banget lihat aku bahagia."

Jennar menatap gemas ke arah Kinan yang sudah memulai fantasinya tentang memiliki pacar ganteng seperti Rius dan Nevan.

"Aaaaaaaaaaaaa argggggggg ..."

Suara teriakan itu membuat semua orang terkejut, seorang gadis, murid kelas sepuluh bernama Ririn menggeliat di atas lantai, gadis itu mencakar – cakar badannya seperti berteriak, membuat semua orang panik, sampai pertandingan futsal dihentikan.

"Jen, itu anak kesurupan astaga."

Jennar mematung di tempatnya, ia berusaha mengatur napasnya agar kembali normal sementara detak jantungnya sudah menggila.

"Ayo lihat!"

Belum sempat menolak, Kinan segera meraih tangannya dan membawa Jennar menuju Ririn yang sudah dikerubungi banyak murid. Beberapa teman Ririn memberi informasi bahwa tadi gadis itu tadi sering melamun dan terlihat kosong sebelum akhirnya kesurupan. Ada sosok perempuan bersisik yang tampak berada di dalam tubuh Ririn, perempuan itu bertubuh hitam gelap dengan bola mata terbalik yang dipenuhi darah. Jennar memejamkan mata, tangannya mulai mendingin, ia berkeringat dingin. Jennar mulai gelisah saat sosok itu terus melihatnya dengan tatapan tajam. Di samping Ririn, ada seorang gadis berseragam SMA yang baru sekali ini Jennar lihat, hanya sekilas, karena setelahnya sosok itu menghilang tanpa jejak.

"Kamu!"

Jennar menggelengkan kepalanya, ia tidak mau orang – orang tahu tentang rahasianya dan membuat mereka menatapnya aneh. Jennar tidak siap akan hal itu. Gadis itu lalu mundur beberapa langkah, menjauh dari kerumunan. Teriakkan Ririn semakin kencang lalu tiba – tiba menghilang tanpa jejak, Ririn pingsan. Jennar semakin terkejut saat tak lagi menemukan sosok yang memasuki tubuh Ririn di sekitarnya, tidak mungkin sosok itu tiba – tiba menghilang sendiri, Jennar juga tidak melakukan apa – apa.

"Je, kamu enggak papa?" Kinan bertanya dengan cemas, wajah Jennar masih pucat pasi, pikirannya belum sepenuhnya terisi.

"Je, nyebut, Je."

"Kin, pulang?" kata Jennar pelan, ia lemas, menyaksikan kejadian malam ini, energinya seperti terkuras habis.

"Ya udah, pulang aja yuk."

Jennar mengangguk pelan, lalu mereka meninggalkan lapangan untuk segera pulang, menyisakan sepasang mata yang terus mengawasi Jennar dalam diam, sepasang mata yang mengetahui segala hal tentang Jennar.

***

Kejadian seminggu lalu masih menjadi hantu di kepala, berita tentang Ririn yang kerasukan dan sempat menunjuk ke arah Jennar menjadi perbincangan hangat di sekolah. Beberapa teman mulai menatapnya aneh dan penasaran, Jennar sendiri masih bungkam. Ia tidak mau membicarakan apapun, termasuk saat Kinan bertanya, ia lebih memilih menyimpannya rapat sebagai rahasia.

"Selamat, kalian sudah terpilih menjadi calon OSIS dan MPK periode tahun 2012-2013 yang akan menggantikan kami untuk menjalankan mandat sebagai pengurus OSIS dan MPK."

Rius membuka acara LDK OSIS/MPK yang diselenggarakan hari ini, LDK untuk calon pengurus yang baru. Kentarius adalah ketua pelaksana LDK OSIS/MPK periode tahun ini, karena kebetulan laki -laki bertubuh jangkung itu menjabat sebagai wakil ketua satu OSIS periode sebelumnya.

"Saya berharap kalian semua dalam keadaan sehat dan bahagia saat ini. Tetap jaga diri dan jangan lupa selalu berpikir positif, setelah ini ada beberapa pesan yang akan disampaikan oleh Tira kepada kalian."

Rius lalu mundur satu langkah dan digantikan Tira—kakak kelas mereka yang menjadi panitia sie acara LDK. Perempuan berambut sebahu itu menatap lurus tanpa senyum, Tira memang dikenal tegas dan agak sedikit judes.

"Dek, kalian kalau di sini jangan ngomong kasar, apalagi kalau udah malem, pokoknya jaga sikap, jangan macem – macem apalagi melakukan hal yang enggak baik. Kalian tahu mitos di sekolah ini?"

Tira menghela napas, memandang semua yang ada di depan ruang kepala sekolah itu dengan pandangan tajam. Udara menjadi lebih dingin karena hari sudah sore, acara LDK memang diadakan sore hari hingga esok sore di sekolah, setelah aktivitas belajar mengajar usai.

"Ada siklus dua tahunan, jadi, setiap dua tahun sekali, akan ada siswa sini yang meninggal, dan itu pasti, udah jadi rahasia umum. Lalu, di kelas IPA 4 ada sesuatu yang mungkin pernah kalian dengar, tentang sosok murid ke 33 yang menghuni kelas itu."

Jennar terdiam, teringat saat kelas sepuluh beberapa teman menggosipkan tentang murid ke tiga puluh tiga di kelas dua belas IPA empat. Dulu, seorang guru pernah mengabsen muridnya dengan memakai telunjuk, namun saat menghitung jumlah murid menjadi tiga puluh tiga, yang mana harusnya hanya berjumlah tiga puluh dua sesuai data di absensi, dan kejadian itu berlangsung beberapa kali, hingga membuat para murid ketakutan, dan pihak sekolah akhirnya membuat peraturan tak tertulis tentang para guru yang dilarang untuk mengabsen tanpa memanggil nama.

"Terus nanti kalau lewat gedung A pas ada tugas malam, jangan sekalipun menoleh ke dalam gudang itu, enggak boleh pokoknya. Harus jalan lurus, sekalipun kalian penasaran atau ada suara aneh, tetap fokus ... seakan – akan tujuan kalian hanya berjalan, enggak buat menoleh. Kalian paham?"

"Pahammmm, Kak," jawab mereka—para peserta LDK serempak.

Tira mengangguk, setelahnya kembali menyerahkan acara pada Rius.

"Je, kok serem ya, Je? Aku jadi takut," bisik Kinan yang duduk di samping kanan Jennar.

"Enggak usah takut. Kamu punya Tuhan, Kinan. Udah, enggak usah mikir aneh – aneh."

"Tetap takut, Je. Perasaanku enggak enak."

"Enggak papa. Santai aja," hibur Jennar walaupun perasaannya sendiri sedang tidak keruan, Jennar bisa merasakan sesuatu buruk akan terjadi, tapi ia berusaha untuk tetap berpikir positif, bahwa semua akan baik – baik saja.

***

Panitia menyediakan waktu istirahat satu jam untuk ibadah salat magrib dan persiapan untuk kegiatan malam ini. Jennar sendiri seusai salat lebih memilih duduk di depan ruang kelas sambil mendinginkan kepalanya yang terasa berat. Ia memang sering pusing kalau sudah memikirkan banyaknya hal yang semrawut di kepalanya, Jennar selalu berusaha untuk meredamnya sendiri. Biasanya, secangkir kopi cukup membantu, tapi berhubung tidak ada secangkir kopi, Jennar lebih memilih diam, membiarkan udara malam memeluknya yang mulai kedinginan. Kinan sendiri masih berada di dalam kelas bersama beberapa teman perempuan yang menjadi bagian dari tim A. Mereka memang tidur di dalam ruang kelas.

"Jennar ... Jennar .... hati – hati, Jennar ..."

Suara itu datang tanpa tuan, Jennar mengedarkan pandangannya namun tak menemukan sosok yang ia cari. Memang, sekalipun ia bisa melihat yang tak terlihat oleh manusia biasa, tapi tidak semua mahluk itu akan memunculkan diri dihadapan Jennar, hanya mereka yang menghendaki dan mereka yang mampu memperoleh energi dari ketakutan manusialah yang bisa dilihat oleh Jennar. Karena, semakin besar energi ketakutan dari manusia akan semakin besar peluang mereka untuk muncul dan menampakkan diri.

"Siapa?" Jennar berbisik lirih, nyaris terdengar oleh dirinya sendiri.

Tidak ada jawaban, hanya desau angin yang terdengar. Jennar mencengkram erat ujung kaus yang ia kenakan.

"Kamu Jennar kan?" seseorang membuatnya terkejut, ada Nevandra yang tengah berdiri di depannya dengan sebuah senyum yang hangat. Benar kata Kinan, Nevandra memang cukup ramah.

"Iya."

"Mau balikin sapu tangan, kemarin lupa. Ini," kata Nevan sambil menyodorkan sebuah sapu tangan yang tempo hari dipinjamkan Jennar padanya.

"Eh, oh ... makasih ya, Nevan."

"Oke. Jangan terlalu pendiam, Je."

"Hah? Maksudnya?"

"Ya, kamu terlalu pendiam, kita sekelas tapi jarang interaksi."

Jennar tersenyum tidak enak, ia merasa aneh dan gugup. Jennar memang tidak terlalu banyak bicara kecuali dengan Kinan yang sudah ia kenal baik sejak awal SMA.

"Aku balik duluan. Besok – besok kita ngobrol," pungkas Nevan sebelum pergi dari hadapan Jennar, menyisakan Jennar yang hanya diam melihat kepergian laki – laki itu. Ada aura kelam pekat di balik sosok Nevan yang tidak Jennar pahami.

Jennar menyandarkan tubuhnya pada tembok, waktu istirahat sepuluh menit lagi akan berakhir, dan mereka akan segera memulai kegiatan LDK, tangannya meraba – raba bangku yang ia duduki berniat mencari ID card yang tadi di letakkan di sana, sampai akhirnya ia merasakan sesuatu seperti tangan yang terasa sangat dingin, Jennar mengatur napasnya sebelum menoleh. Seorang gadis berambut sepunggung dengan wajah pucat, seragam putih abu-abu berlengan pendek dan kaki tanpa sepatu duduk di sebelahnya.

"Siapa kamu?"

Gadis itu hanya terdiam sambil tersenyum mengerikan pada Jennar. Membuat Jennar menerka-nerka sosok yang baru pertama kali ia temui ini.

"Pergi!" katanya sedikit berteriak. Sosok itu lenyap dalam sekejap mata, menyisakan udara kosong yang mendingin.

"Namanya Natasha, dia murid ke tiga puluh tiga," ujar seseorang membuat Jennar lagi – lagi terkejut, Rius berdiri di depannya dengan kedua tangan berada di dalam saku celana panjangnya.

"Kak Rius?" Jennar menatap tak percaya atas apa yang diucapkan Rius, gadis itu hanya memandang Rius dengan pandangan yang menuntut sebuah jawaban.

"Jennar Kinnas Nisaka, seorang crystal. Waktu istirahatmu sudah habis, silakan berkumpul di aula."

Rius berbalik badan, meninggalkan Jennar yang masih mencoba mengendalikan keterkejutannya. Rius mengetahui tentang Jennar?

***

"Oke, jadi kelompok paling akhir ada Jennar, Nevan dan Kinanta ya. Nanti kalian jalannya harus bergandengan, jangan saling tinggal, tetap fokus dan jangan mikir macam – macam. Paham?" Tira memberi wejangan, membuat ketiganya mengangguk tanda mengerti.

"Ya, sudah. Kalian berangkat sekarang!"

"Makasih, Kak," jawab mereka serempak. Peraturan di organisasi SMA Cakradarma, diwajibkan memanggil 'kakak' bukan 'mbak' atau 'mas' saat ada kegiatan resmi seperti ini.

"Ingat pesannya Kak Tira, kalian jangan sampai enggak fokus," kata Nevan setelah mereka berjalan menyusuri sekolah untuk menuju pos pertama.

"Iya, iya, Van. Tapi, jangan ditinggal ya? Kan takut."

Kinanta memandang ngeri suasana malam yang mencekam, Jennar sendiri memilih diam sambil terus berjalan dengan segala doa yang ia rapalkan di dalam hati. Jennar berharap tidak terjadi apapun, tapi ia melihat aura hitam pekat yang menyelimuti Nevan. Mereka mengikuti beberapa petunjuk yang dipasang oleh panitia.

"Je, Van. Ada Kak Caca di sana, post satu kali ya? Tapi Kak Caca pakai seragam SMA mana itu? Seragam SMA kita kan panjang, lah itu pendek?" kata Kinan. Jennar memucat.

Kinan berjalan cepat menghampiri seorang gadis berpakaian seragam putih abu – abu yang sedang duduk di depan kelas sebelas IPS satu. Diikuti Nevan dan Jennar. Mereka memang diberi tahu, beberapa orang yang berjaga di post satu sampai post empat.

"Kak Caca, ini post satu kan?" Nevan bertanya mendahului Kinan, sosok yang diyakini bernama Caca itu hanya diam, menundukkan kepalanya.

"Van, Kin. Ayo pergi!"

Suara Jennar bergetar, ia tahu benar sosok di depannya bukan Caca, melainkan sosok lain yang tak akan Nevan dan Kinanta sukai.

"Loh, ini kan pos satu, Je? Belum dikasih tugas loh kita," kata Kinan menyahuti.

"Kak Caca, jadi tugasnya apa?" Nevan masih ngotot untuk berbicara dengan Caca yang hanya diam.

"Ayo pergi!" Jennar sedikit berteriak, keringat dingin membasahi dahinya.

"Kak ... loh, badannya dingin?"

"Dia bukan Kak Caca, ayo pergi," kata Jennar dengan nada suaranya yang lebih keras, matanya menatap gelisah pada Nevan.

Sosok gadis yang memakai seragam putih abu – abu itu mendongakkan wajah pucatnya, senyum mengerikan tercetak jelas di sana, membuat Kinanta menjerit ketakutan dan Nevan terpaku diam.

"Ayo pergi sekarang!" Jennar meraih tangan kedua temannya, mengajak mereka untuk meninggalkan sosok gadis berseragam putih abu – abu itu.

"Itu bukan Kak Caca, itu siapa?" Kinan bertanya dengan panik, ia terus mengikuti langkah Jennar yang tergesa.

Jennar tidak menjawab, sejenak ia memejamkan matanya. Merasa menemukan jawaban, bahwa sosok itu kemungkinan adalah murid ke tiga puluh tiga yang selama ini menjadi mitos di sekolah mereka.

"Je, kita salah arah. Harusnya enggak lewat sini, ini kita malah ke Gedung A, Je. Ayo balik!" teriak Kinan, suasana yang sepi membuat Kinan semakin panik, kakinya sudah terasa lemas seperti jeli.

"Nevan mana?" Jennar bertanya dengan pandangan yang memindai sekitar.

"Tadi di sini? Astaga ... "

"Nevan!" teriak Jennar, tak ada sahutan. Nevan menghilang.

"Je, Nevan masuk ke sana. Gedung A, ke pintu gudang."

"Nevan, astaga. Ayo kita ke sana!"

Jennar kalang kabut, jantungnya seperti lari maraton, berdetak lebih cepat dari biasanya. Kepalanya dipenuhi hal – hal buruk yang tak bisa berpikir jernih. Sementara Kinan mengikuti Jennar dengan wajahnya yang sudah pucat pasi.

"Je, aku takut," bisik Kinan sambil menggenggam erat tangan Jennar.

"Aku enggak mungkin nyuruh kamu balik sendiri. Nevan harus segera diselamatkan, enggak ada waktu lagi, Kin."

"Je, sebenarnya ini ada apa? Kenapa kamu bisa tahu dia bukan Kak Caca?"

"Nanti aku jelasin, sekarang kita selamatkan Nevan dulu."

Kinan mengangguk, Jennar membuka pintu gudang setelah sampai di Gedung A. Suasana lebih sepi dan mencekam, suara cicitan tikus terdengar samar, tempat ini sangat gelap dan sepi, sehingga membuat Jennar menyalakan senter yang ia bawa. Hanya ada bangku – bangku kosong, dan beberapa sosok yang mendiami tempat itu. Benar mitos yang selama ini diyakini keberadaannya, energi negatif di gudang ini begitu melekat, membuat Jennar merasa mual.

"Nevan, kamu di mana?" Jennar berteriak.

Suara pintu tertutup lalu memenuhi ruangan yang sunyi, membuat Kinanta terpekik.

"Je, aku takut. Ayo pergi, Je."

"Kinan, kamu berdoa aja."

Kinanta mengangguk dengan tubuhnya yang bergetar. Gadis itu tidak pernah berada di situasi yang mencekam seperti ini, jantungnya berdetak tak keruan.

"Kembalikan Nevan!"

Suara tawa terdengar, memenuhi indera pendengaran dua orang manusia yang berada di tempat itu. Suara tawa yang membuat Kinan kehilangan suaranya, dan Jennar yang memejamkan matanya sejenak.

"Kamu yang sembunyikan Nevan? Aku tahu, cepat kembalikan!"

"Tidak, dia harus mati!" sahut suara itu, terdengar mengerikan di telinga Kinan dan Jennar.

"Natasha, berhenti!" teriak Jennar, ia ingat ucapan Rius.

"Haha ... jadi, sudah tahu namaku?"

Natasha memunculkan wujudnya, seorang gadis berseragam yang tadi disangka sebagai Caca. Wajahnya pucat pasi, dengan mata yang menatap tajam.

"Kembalikan Nevan!" teriak Jennar, ia tak menjawab pertanyaan Natasha. Jennar memang baru mengetahui bahwa murid ketiga puluh tiga adalah Natasha, sekelebat bayangan muncul di kepalanya, berupa potongan yang tak lengkap.

"Haha ... "

Bangku – bangku rusak di ujung gudang mendadak rubuh, Nevan muncul dari baliknya, dengan pandangan kosong dan tak berdaya. Sosok Natasha berjalan cepat, menyeret Nevan tanpa perlawanan, membuat Kinan terpekik dengan perasaan ketakutan.

"Nevan, kenapa, Je?"

Jennar tidak menjawab, ia memilih mengikuti Natasha yang menyeret Nevan keluar gudang. Nevan dalam kondisi tak sadar, dan tak berdaya, laki – laki itu kehilangan kesadarannya, walau matanya masih terbuka.

"Natasha berhenti!"

Jennar berlari mengejar Nevan yang menuju ke kelas paling pojok, kelas dua belas IPA 4, kelas tempat Natasha biasanya memunculkan diri.

Tawa Natasha terdengar menggelegar, sesosok makhluk hitam besar menghalangi langkah Jennar dan Kinan, membuat Kinan semakin ketakutan.

"Pergi, jangan ganggu!"

Sosok itu tidak mengatakan apapun, hanya menatap Jennar dan Kinan dengan tajam. Lalu, saat sosok hitam besar itu berniat untuk melukai Jennar, Kinan sudah terlebih dahulu menjadikan badannya tameng untuk Jennar, membuat tubuh Kinan seketika luruh ke atas lantai berwarna putih.

"Kinan!"

 Air mata membasahi wajah Jennar, Kinan menutup matanya rapat. Jennar memeriksa denyut nadi milik Kinan dan bersyukur saat denyut nadi itu masih ada. Sosok hitam yang menyerang Kinan tadi telah menghilang, ia hanya memperlambat langkah Jennar untuk menyusul Nevan dan Natasha.

"Jennar!" seseorang berteriak, membuat Jennar mendongakkan kepala, Kentarius berdiri di dekatnya dengan wajah panik.

"Ayo kita cari Nevan, biarkan Kinan, sebentar lagi akan ada yang menyelamatkannya.

"Tapi Kak?"

"Tidak ada waktu, sebelum Nevan mati. Tahun ini, adalah waktu untuk siklus dua tahun, jangan sampai ada korban lagi."

Jennar mengusap air matanya, ia melihat kondisi Kinan sejenak sebelum mengikuti langkah Rius menuju kelas dua belas IPA empat. Rius berjalan dengan tergesa, setengah berlari.

"NATASHA, KEMBALIKAN NEVAN!"

Rius berteriak dengan lantang seraya membuka pintu kelas yang tertutup rapat. Suara tawa Natasha menggelegar, di samping sosok itu, Nevan yang dalam kondisi tidak sadar telah memegang sebuah besi tua runcing.

"Nevan harus mati, mereka harus merasakan bagaimana menderitanya aku dulu. Dan kamu, Rama tidak usah ikut campur!" Natasha berteriak dengan lantang, membuat Jennar mengerutkan dahinya. Rama?

"Rama?"

Rius memilih diam, ia tidak menjawab. Matanya menatap nyalang sosok Natasha yang berdiri angkuh di depannya.

"Nevan tusukkan benda itu di badanmu!" kata Natasha, berbisik di telinga Nevan.

"Dendammu tidak akan membahagiakanmu di kehidupan selanjutnya, Natasha. Sudahlah, biarkan Nevan hidup, dan berhentilah."

"Mudah bagimu mengatakan segalanya, Ram. Kamu tidak mengalami apa yang aku alami, diperkosa, hamil dan diminta menggugurkan kandunganku, hingga berakhir bunuh diri, namun laki – laki itu bebas, tidak mendapatkan hukuman hanya karena dia anak pejabat. Hidup tidak adil bagiku, dan jika membunuh anak laki – laki biadab itu akan membuatku puas, aku akan melakukannya. Aku sudah terkurung di tempat ini sangat lama, menunggu kesempatan ini datang. Kamu jangan menghalangiku!"

Bayangan – bayangan dalam kepala Jennar bersahutan, membentuk sebuah gambar utuh, tentang seorang gadis yang harus menggantung dirinya di kelas ini seusai pulang sekolah. Rupanya, Natasha mati membawa dendam, dan ia menuntut balas kepada Nevan—anak dari laki – laki yang membuatnya membunuh dirinya sendiri.

"Nevan, tusuk tubuhmu!" kata Natasha pada Nevan yang jiwanya sedang ia kendalikan.

"Tidakkkkkkkk!" Jennar berteriak dengan lantang bersamaan dengan Nevan yang menusuk tubuhnya, membuat besi itu menembus badannya.

Tubuh Nevan luruh ke lantai dengan darah yang mulai membasahi badannya. Jennar tergugu di tempatnya, ia kehilangan kata – katanya. Natasha tersenyum, air mata jatuh di wajahnya yang tak lagi memiliki raga. Dendamnya sudah terbalas, laki – laki yang menyebabkan hidupnya terasa mengerikan telah mendapatkan balasan dengan kehilangan anak laki – lakinya. Natasha berjalan menuju pintu, perlahan tubuhnya menghilang, menyisakan angin yang menyertainya. Natasha telah menyeberang ke alam lain, meninggalkan segala sakit yang ia terima selama hidup.

***

Kejadian mengerikan yang masih menjadi perbincangan hangat itu membuat SMA Cakradarma ramai. Berita bunuh dirinya Nevan dan mitos tentang siklus dua tahunan berserta Natasha menjadi perbincangan hangat di kalangan siswa. Jennar masih tidak bisa mencerna segalanya, pikirannya seringkali tidak fokus, ia masih ketakutan saat mengingat Nevan membunuh dirinya sendiri dan ia gagal menyelamatkan Nevan.

Jennar mengusap air matanya, Kinan masih dirawat di rumah sakit, jadi saat ini, ia sedang sendiri, duduk di gazebo yang berada di dekat taman sekolah. Jennar memegang kepalanya yang terasa berat, ia masih menyesali dengan apa yang terjadi pada Nevan.

"Jennar. Boleh aku duduk?"

Jennar mendongakkan wajahnya, Rius tampak berdiri di dekatnya, lalu duduk di depan Jenar. Tatapan laki – laki itu seakan menenggelamkan Jennar pada kenangan masa lalu, kenangan tentang Rama yang masih dan akan selalu ada.

"Kamu sudah tahu siapa aku?"

Jennar mengangguk, ia memandang Rius yang menatapnya dalam.

"Kenapa aku enggak bisa kenalin kamu sebelumnya, Rama?"

"Karena aku arwah baru, dan tidak memiliki energi besar untuk muncul di depanmu. Aku meminjam badan Rius bulan lalu, laki – laki ini sebenarnya sudah meninggal karena penyakitnya, tapi aku meminjam raganya untuk menemuimu, akhirnya kesempatan itu datang."

"Apa yang mau kamu sampaikan?"

Rama memejamkan matanya sejenak, ia memegang tangan Jennar dengan erat, matanya menatap Jennar dengan lurus, seakan mengatakan segalanya yang perlu ia sampaikan.

"Aku salah satu korban siklus dua tahunan. Pada saat itu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi, belum sempat." Rama memberi jeda.

"Aku sayang sama kamu, Je. Aku belum sempat bilang. Aku sayang kamu sebagai perasaan laki – laki ke perempuan."

Jennar menangis, melihat ke arah Rama yang memandangnya dalam.

"Jaga dirimu baik – baik ya, Je. Aku sudah lega kamu selamat. Aku akan mengembalikan raga milik Rius ke keluarganya."

"Ram, aku—"

"Jangan sedih lagi ya, Je. Terima apa yang Tuhan berikan padamu, aku selalu ada di hatimu, kamu enggak sendiri, Je."

"Ram ... "

"Jangan menyalahkan dirimu, mereka enggak bisa membunuh manusia, tapi bisa memengaruhi seseorang untuk bunuh diri. Nevan salah satunya, keluarga Nevan hancur berantakan, dan itu berpengaruh pada jiwanya, makanya Nevan gampang dipengaruhi oleh Natasha. Semua ini bukan salahmu, jangan menyalahkan dirimu sendiri, ya?"

"Rama ... "

"Selamat tinggal, Je. Aku pergi," pungkas Rama.

Laki – laki itu lalu berjalan meninggalkan Jennar yang masih menangis, meninggalkan Jennar dan semua kenangan mereka. Sudah waktunya Rama kembali, dan semuanya selesai. Air mata Jennar jatuh, perasaannya menjadi sangat hampa.

"Selamat tinggal, Rama."

TAMAT

Arista Vee aktif menulis di wattpad sejak tahun 2014. Novel pertamanya di Wattpad yang berhasil terbit adalah Love is Possible, tahun 2017. Hingga saat ini ia sudah berhasil menerbitkan empat buku dan masih sibuk menulis tentang kisah romansa mahasiswa. Mendengarkan musik ballad, menonton film, dan bermain RPG adalah hal – hal random yang ia lakukan akhir – akhir ini. Jika ingin membaca karyanya yang lain, bisa mengunjungi akun wattpadnya, Aristav.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro