Tragic Marionette
Semenjak kematian ibunya ia hanya mengurung diri di dalam rumahnya, menginjakkan kaki keluar rumah hanya untuk menyetok bahan makanan. Ia menyibukkan dirinya untuk membuat boneka sampai akhirnya boneka itu berkembang menjadi boneka marionette raksasa yang hanya dimainkan oleh orang dewasa.
Ketika ia sedang membuat tangan boneka, sebuah suara seperti seseorang jatuh dari atas tepat dari arah balkon rumahnya. Kegiatannya terhenti, tangan boneka yang masih ia ukir ditaruh ke meja. Ia berdiri dari kursi, berjalan menuju pintu jendela, melihat ke balkonnya. Manik ungunya melebar melihat seorang gadis berambut hitam panjang sepunggung, memakai gaun hitam polos selutut terbaring di lantai balkonnya.
Segera tangannya membuka pintu dan mengecek keadaan gadis itu, tangan kanannya mengangkat setengah tubuhnya naik, tangan kirinya mengecek denyut nadi di pergelangan tangan gadis itu. Nadinya masih berdenyut, gadis ini masih hidup.
Ia mendongakkan kepalanya ke langit, tidak mungkin gadis ini jatuh dari atas, dan tidak mungkin juga ada seorang gadis naik ke atap rumahnya.
"Siapa gadis ini? Dari mana asalnya?" gumamnya seraya menyapu poni gadis itu menggunakan jari.
Ia memutuskan untuk merawat gadis ini di rumahnya.
Ia membaringkan gadis itu dengan lembut di ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut, ketika hendak meninggalkan kamar, baju kemejanya ditarik dari belakang.
"Tunggu."
"Sudah sadar rupanya."
"Kamu siapa?"
Gadis itu bertanya sembari memiringkan kepalanya, tatapan matanya sayu, wajahnya seperti orang bingung.
"Abel Walker," jawabnya sembari membalikkan badan, lalu menggenggam tangan kanannya. "Itu namaku."
"Aber ... Walker." Gadis itu menggumamkan nama sang puppeteer sembari melihat ke matanya. "Boleh aku tinggal di sini?"
Abel tertegun dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut gadis tersebut, Abel tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, ia ragu karena ia tidak tahu dari mana gadis ini berasal. Sekali lagi gadis itu bertanya hal yang sama pada Abel, namun kali ini gadis itu menambahkan sebuah kalimat "Sampai hari itu tiba" habis mengatakan itu gadis itu terjatuh ke ranjang, kembali tertidur.
Abel tidak berkata "ya", Abel membiarkan gadis itu tinggal di rumahnya.
"Sampai hari itu tiba," Abel mengulangi perkataan gadis itu lirih sembari berjalan keluar dari kamar.
Sejak kedatangan gadis misterius itu, hari-hari Abel tidak berubah dari biasanya, ia tetap membuat beragam boneka, sekarang ia memfokuskan diri untuk membuat boneka raksasa yang dimainkan menggunakan kesepuluh jarinya, boneka yang bukan terbuat dari kapas, digerakkan dengan benang juga roda gigi. Boneka ini juga dibuat bisa masuk ke dalam koper agar mudah dibawa kemana-mana, saat diperlukan tinggal memasukan kesepuluh jari ke lubang yang ada di koper, tarik benangnya dan koper otomatis akan terbuka dan muncullah sang boneka.
Pada jam-jam tertentu Abel akan berhenti dari kegiatannya untuk membawakan makanan pada si gadis misterius di kamarnya. Abel menemani gadis itu sampai menghabiskan makanan yang dibawanya.
"Terima kasih," kata gadis itu di sela-sela makannya.
"Pelan-pelan." Abel mengambil selembar tisu, lalu mengelap sisi mulut gadis itu dari sisa-sisa roti yang menempel. "Oh iya, kamu belum memberi tahu namamu."
"Hm?" Gadis itu berhenti melahap roti di tangannya, pandangannya beralih ke Abel. "Mereka ... mereka memanggilku Mashila."
Abel memuji nama itu cantik di dalam hatinya.
Mashila kembali memakan rotinya sampai habis, setelah rotinya habis, kedua tangan Mashila tiba-tiba bergerak memeluk tubuhnya sendiri, tubuhnya meringkuk, jari-jarinya mencakar punggungnya, ekspresi wajahnya seakan menahan sakit, ia merasa aneh dengan tubuhnya sendiri, bagian punggungnya terasa gatal, seluruh tubuhnya mendadak sakit.
Abel tidak tahu harus melakukan apa melihat Mashila yang begitu kesakitan.
Mashila melihat ke arah Abel seolah meminta tolong. "Sakit ... Abel ... punggungku sakit sekali ...," rintihnya.
Bibirnya tak henti-henti mengeluhkan rasa sakit di punggungnya.
Abel tidak tahan melihat Mashila terus kesakitan, tangannya bergerak perlahan mendekat ke Mashila sesaat sebelum jarinya menyentuh punggung Mashila, kulit punggung Mashila robek secara mendadak dan keluarlah sepasang sayap putih bersih.
Sepasang sayap merekah di depan matanya.
Abel menatap tidak percaya dengan apa yang sudah dilihatnya, dari punggung seorang manusia tumbuh sepasang sayap, bulu sayap berterbangan memenuhi kamarnya. Dari awal pertemuan mereka Abel tidak tahu Mashila seorang manusia atau bukan.
"Mashila, punggungmu masih sakit?"
"Tidak ... sudah tidak."
"Mashila, apakah kamu seorang malaikat?"
"Aku tidak tau."
"Boleh kupegang?"
"Boleh ...."
Abel mendapatkan telapak tangannya pada sayap kirinya, sayang itu asli, bulu-bulunya pun sangat halus beda dengan bulu burung, sebuah ide muncul di dalam benak Abel, ia mendapatkan ide baru untuk boneka yang sedang dikerjakannya. Sesosok boneka yang mirip dengan wujud malaikat berambut hitam di depan matanya ini.
Boneka itu diberi nama Olympia. Boneka berwujud seorang wanita, memiliki rambut putih panjang memakai gaun putih, memiliki sepasang sayap putih, dan 4 tangan.
Abel menggerakkan boneka itu, mencoba beberapa gerakan, kedua tangan bersatu seperti sedang berdoa, lalu dua tangan lainnya mengangkat rok gaun, dan kedua kaki dalam posisi menyilang.
"Ini Olympia?" tanyanya sembari berjalan keluar dari kamar.
"Ya, cantik bukan? Cantik sepertimu." Abel membalikkan badannya menghadap Mashila.
Mashila butuh beberapa waktu untuk mencerna kata-kata Abel. "Cantik? Rambutku hitam, mereka bilang rambutku yang hitam ini jelek."
"Rambutmu sangat cantik, aku belum pernah melihatnya," katanya sembari mengambil beberapa helai rambut Mashila dalam genggamannya, mendekatkan helai rambut itu ke bibirnya.
"Begitu ya."
"Mashila, setelah kamu mendapatkan sayap itu apa kamu akan pergi dari sini? Terbang kembali ke rumahmu."
"Tidak tau, aku lebih suka di tempat ini ...." Mashila menundukkan kepalanya sembari memeluk tubuhnya sendiri. "Sayap ini baru saja tumbuh, mungkin butuh waktu lama untuk aku bisa terbang--tidak, lebih baik sayap ini tidak pernah ada sejak awal," lanjutnya dengan suara lemah, ia kembali masuk ke dalam kamar.
Abel memutar badannya kembali menghadap Olympia, di telinganya kalimat yang diucapkan Mashila itu seperti sebuah permintaan. Abel berpikir untuk mengabulkan keinginan Mashila, meski harus mengotori kedua tangannya.
--
Abel membuka kedua matanya, sisi kanan badannya terasa sangat berat seperti ada benda berat menimpa. Abel mendapati sang malaikat tengah berbaring di sebelahnya, memeluknya, wajah tidurnya begitu damai.
"Selamat pagi, Abel."
"Pagi."
Kedua tangannya memeluk tubuh sang gadis dan kembali memejamkan mata. Ia tidak ingin kehilangannya, berharap malaikatnya ini tidak akan pergi dari rumah ini. Lebih tepatnya Abel tidak akan membiarkan malaikatnya pergi. Kedua tangannya akan mendekap erat tubuh mungil itu.
"Abel, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
Tepat setelah kata itu terlontar, sepasang sayap indah milik sang malaikat lenyap berganti dengan tetesan darah yang mengalir dari punggungnya bersamaan dengan bulu-bulu sayap yang rontok berserakan di ranjang juga lantai, gaun putih tak bernoda kini diwarnai merah darah.
"Maaf."
Itulah yang pertama kali diucapkan oleh Abel setelah apa yang sudah ia lakukan. Kedua tangan Mashila mencengkram erat bajunya, kedua pipinya basah karena air mata yang mengalir.
"Pasti sakit ya? Tentu saja sakit ... maaf."
"Tapi setelah ini semuanya akan baik-baik saja, Mashila."
Abel memegang wajah malaikatnya, mengusap pipinya dengan lembut, sebuah senyum tipis Abel berikan untuk menenangkan malaikatnya. Mashila membalas senyuman Abel.
"Ibu, apakah yang telah lakukan ini benar?"
--
"Abel, aku ingin jalan-jalan ke luar."
"Mau ke mana?"
"Ke pantai yang ada di album fotonya Abel."
"Boleh, akan kuantarkan kamu ke sana."
"Olympia boleh ikut?"
"Jika itu maumu, Mashila."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro