Prolog
Ini seperti mimpi untukku. Kehidupanku berubah sejak dua hari yang lalu. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di istana Panarajon. Pria yang menyelamatkanku ternyata adalah seorang pangeran. Ini seperti mimpi baik dan buruk yang datang bersamaan.
Selama aku merawat pangeran semua gerak-gerikku diawasi. Aku merasa kurang nyaman, namun aku tetap bertahan demi kesembuhan pangeran.
Ini hari terakhirku merawat pangeran. Jika sampai besok pagi pangeran belum membuka mata, maka aku akan di hukum. Aku tidak perdulli dengan hukuman itu. Aku hanya mencemaskan keadaan pangeran, dan ingin membalas hutang budinya.
Aku sudah bertekad sebelumnya tidak akan menyerah. Aku sudah berjanji pada Badra jika aku akan menyembuhkan pangeran.
Sampai saat ini keadaan pangeran belum menunjukkan kemajuan.
Mata yang membuatku terpana itu masih tertutup. Aku tahu pangeran bisa mendengar perkataanku, dia selalu merespon ucapanku dengan gerakan kecil.Kulepaskan kalung jade yang menggantung dileherku. Kuikat ditangan pangeran.
Aku berharap kalung ini bisa membantu penyembuhan pangeran. Kugenggam erat tangan pangeran, kucoba memberikan kehangatan. Tubuh yang pernah mendekapku kini berbaring tak berdaya.
“Terima kasih Anda telah menyelamatkan saya,” bisikku dengan senyum.
Kuambil cawan yang berada di atas meja. Ini adalah obat terakhir yang bisa kuberikan pada pangeran. Aku menghela nafas lega saat pangeran bergumam. Kugenggam kembali tangannya.
“Apa Anda bisa mendengar saya?” ujarku semangat. Ada sedikit harapan untukku.
Tidak ada reaksi dari pangeran. Kuperiksa suhu tubuh pangeran. Panas tubuhnya bagaikan api yang berkobar. Kuambil kain diatas meja, kubasahi dengan air kemudian kuletakkan dikeningnya.
Kuperiksa denyut nadi pangeran. Masih teratur. Kedua kakinya kuberikan boreh agar lebih hangat. Bau rempah dari boreh memenuhi pernafasanku. Rasa hangatnya bisa kurasakan ditangan.
Kutatap wajah pucatnya. Masih terekam jelas dalam ingatan raut wajahnya saat menolongku. Membuat diriku tidak bisa tidur semalaman. Tapi… bolehkah aku berharap lebih? Aku ingin mata indah pangeran melihatku sebelum kami berpisah.
Kupandang lekat wajah pangeran sepuasnya karena besok aku tidak akan melihatnya lagi. Alis tebalnya menegaskan raut wajahnya yang rupawan. Hidung mancungnya terlihat memerah. Jika pangeran sadar apakah dia akan mengingatku? Kembali terlintas pikiran aneh di kepalaku.
Aku menggeleng. Aku tidak boleh berpikir senaif itu. Kesembuhan pangeran yang paling utama, jika pangeran tidak mengingatku itu wajar. Karena aku hanya salah satu dari ratusan ribu rakyatnya. Aku hanya gadis biasa yang pernah ia selamatkan.
“Pangeran… cepat sadar. Rakyat membutuhkan dirimu,” bisikku.
Bulan berganti matahari. Saat ini aku berdiri di tengah ruang persidangan. Para senapati, mpungku dan para samgat berdiri dekat singasana. Pelayan dan prajurit tepat berada disisi kanan dan kiriku.
Kulihat tabib kerajaan memasuki ruangan.
“Maaf Senapati , pangeran Jayapangus belum sadarkan diri sampai saat ini,” kata tabib itu dengan menunduk.
Aku hanya berdiri kaku. Pangeran masih belum sembuh, bagaimana bisa aku pergi begitu saja? Aku hanya menatap lurus dengan pandangan kosong. Aku sudah mempersiapakan diri untuk menerima keputusan.
Aku sangat menyesal tidak bisa berbuat banyak untuk kesembuhan pangeran. Kutatap Mpu Lim yang berdiri di depan. Aku harus berbicara dengannya, ini demi pangeran.
Para senapati kembali berdiskusi. Perasaanku kacau, aku belum bisa pergi sebelum memastikan pangeran benar-benar sembuh.
Aku merasa ingkar janji pada Badra dan rakyat Panarajon, rasa bersalah terus memenuhi batinku.
Para senapati kembali menatapku. Seorang samgat membuka selembar kertas kemudian membacanya.
“Seperti perjanjian sebelumnya, jika pangeran belum sadarkan diri hingga hari ke tiga maka—”
Tidak ada yang berbicara, suasana ruang persidangan terasa sunyi. Bahkan nyamuk pun enggan mengeluarkan suaranya. Hanya suara jangkrik yang memenuhi gendang telingaku.
“Sang Hwi kau akan dihukum!!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro