Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13

"Sebenranya kita...."

"Ehhmm maaf mengganggu, apa boleh saya membawa nampannya ke dapur?" ujar Asih memecah keheningan.

"Tentu. Maaf Asih aku melupakanmu," ujarku dengan senyum lebar.

"Aku mengerti mbok, dengan orang yang dimabuk kepayang," ledek Asih .

Diambilnya nampan kosong itu, kemudian Asih pergi setelah menatapku penuh arti.

Kutatap pangeran setelah pintu tertutup.

"'Sebenarnya kita tidak boleh bermalas-malasan di saat rakyat memberikan kepercayaan. Harus kerja keras dan cerdas' begitu yang Anda katakan pada saya." Aku tersenyum menutupi kebohongan yang kubuat.

"Benarkah? Aku tidak ingat sama sekali?" balas pangeran.

"Itu karena pangeran sedang mabuk kemarin," ujarku meyakinkan.

"Mungkin saja," gumamnya.

Suara pintu yang diketuk terdengar sangat nyaring. Seorang pelayan masuk setelah pangeran mengizinkan.

"Maaf pangeran, Acarya Nanda sudah menunggu," ujarnya setelah memberi hormat.

"Baiklah aku akan menemuinya." Pangeran menatapku kembali setelah pelayan itu keluar.

"Aku akan menemui Acarya mungkin akan seharian."

"Hhmm," gumamku.

Pangeran berjalan keluar dari kamar, aku mengikutinya dari belakang. Tidak satu pun kata yang terucap sampai kami berpisah di persimpangan.

Aku berjalan dengan pelan menikmati semilir angin yang bertiup. Ya, mungkin tidak ada salahnya aku pergi keluar istana. Tidak akan ada yang mencariku bukan?

Aku pergi ke pintu belakang istana, ini salah satu cara untuk keluar istana dengan aman.

"Anda mau ke mana?"

Aku berbalik saat seorang prajurit memergokiku.

"O... oh itu, aku mau melihat tanaman obat yang kutanam, aku harus merawatnya. Itu perintah tabib kepala," ujarku.

"Hmm... baiklah." Pengawal itu pergi setelah mendengar penjelasanku.

Setelah melewati taman belakang, maka aku akan tiba di luar istana. Hanya perlu mengelabui penjaga gerbang, saja.Penjagaan di pagi hari sangat ketat, aku harus mengendap-endap agar tidak diketahui.

"Tunggu... Nona ingin pergi kemana?"

Aku menoleh dan tersenyum pada penjaga gerbang itu.

"Waahh... aku bertemu kalian lagi, aku harus pergi sebantar," ujarku.

"Maaf Nona Sang Wei apa Anda mendapat izin?" tanya prajurit berbadan pendek.

"Belum... tapi kalian pasti mengizinkannya, 'kan? Aku mohon jangan katakan pada siapa pun."

Mereka adalah prajurit yang mengawalku saat pengasingan dulu, entah nasib buruk atau baik aku bisa bertemu mereka lagi.

"Baiklah, tapi Nona harus segera kembali!" ujarnya tegas.

"Tentu aku akan kembali."

Aku berlari sekuat tenaga. Kenapa rasa sakit di dadaku muncul kembali? Air mataku menetes dengan deras, biarlah orang-orang menganggapku tidak waras menangis di sepanjang jalan. Aku tidak perduli.

Sesekali aku berhenti untuk mengatur nafas yang mulai ngos-ngosan.

Aku berlari menuju hutan, tempat dimana aku sering bertemu Badra. Batu besar menjadi tanda bahwa aku sudah sampai. Batu besar yang sering Badra duduki.

"Kau dimana? Aku tidak bisa berteriak memanggilmu," gumamku.

Aku seperti orang yang kehilangan akal sehat. Aku duduk dan bersandar di batu besar itu. Kutekuk kedua kakiku. Angin bertiup cukup kencang. Hanya suara burung yang menemaniku di kesunyian.

"Wahai anak muda, ada apa engkau datang kemari dan bermuram durja?"

Aku tersentak, siapa pemilik suara itu. Di siang hari di tengah hutan yang banyak pohon bambu. Apa itu suara memedi yang orang-orang katakan? Aku mulai gemetar ketakutan. Aku ingin pergi tapi kakiku terasa kaku untuk digerakkan.

"Wahai anak muda, apa engkau bisu? Atau bisulan?"

Suara itu semakin jelas terdengar, aku semakin takut. 'Sang Wei jangan berpikir yang buruk, kau harus berani', batinku menyemangati diri.

Aku teringat kata ibu, "Jangan menjawab pertanyaan orang yang belum kau lihat. Jika kau menjawabnya kau akan dijemput ke dunianya. Kau bisa saja menghilang."

Aku menutup telingaku rapat-rapat. Tidak mau lagi mendengar suara gaib itu.

"Anak muda, sepertinya Anda bisu dan bisulan, atau Anda panas dalam, bibir pecah-pecah, sakit hati atau—"

Bruuukkk

"Aww sakit."

Suara itu. Aku mengenalnya. Aku bergegas berdiri berjalan menuju sumber suara. Badra duduk di tanah sambil mengelus pantatnya kasar.

"BADRAAA," pekikku. Aku merasa lega, suara itu bukan suara memedi, tapi suara Badra.

"Hehehe apa kabar manis?" cengirnya tanpa dosa.

Aku mendekatinya dengan cepat Badra berdiri dan menghindar. Badra berlari ke arah pohon pisang. Dia berlindung.

"Mau kemana kau?" hardikku.

"Aku diam di sini. Bicara saja dari sana, aku akan mendengarnya," ujarnya.

"Dasar bisulan," ejekku.

"Kau yang bisulan," balasnya tidak mau kalah.

"Kau kemari atau aku akan pergi? " ancamku.

"Baiklah-baiklah apa yang kau inginkan siang-siang seperti ini?" ujarnya. "Kalau rindu katakan saja, tidak perlu ditahan."

Aku tetap bungkam, Badra memang menyebalkan dan selalu menyebalkan.

"Gek ngambul?" ujarnya lembut.

"Tidak!"

Aku menatapnya malas. Badra mendekat.

"Terus?"

"Ngambek," balasku ketus.

"Sama saja. Ya sudah terserah yang penting kau bahagia."

"Bagaimana bisa bahagia, aku sedang kesal."

"Ya, sudah cerita saja, aku akan tidur," ujar Badra.

Badra berjalan menjauh, ia duduk di bawah pohon pinus.

"Badra aku serius." Aku berjalan ke arahnya dan duduk bersila di depannya.

"Ada apa?"

"Aku tidak bisa menceritakan semuanya. Pokoknya aku sedang sedih titik."

"Mau tahu cara melepaskannya?"

"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran.

"Ikut aku!"

Badra menarik tanganku masuk ke dalam hutan. Aku penasaran apa tempatnya semenarik dulu? Jalan berliku dan batu-batu besar kami lewati.

Aku merasa familiar dengan tempat ini. Kami terus berjalan melewati jalan yang ditumbuhi pohon besar, cukup lama kami berjalan sampai akhirnya Badra berhenti.

Kutoleh kanan dan kiri hanya pohon besar dan semak yang mengelilingi kami. Tidak ada yang indah, bukankah sama saja seperti tempat tadi?

"Ini tempatnya," ujar Badra merentangkan tangan.

"Tempat apa? Hanya masuk ke tengah hutan saja?" sahutku

"Justru itu. Ini tempat yang bagus untuk melampiaskan kemarahan," jelasnya. Badra mendekatiku. Dipegangnya pundakku erat.

"Teriak sekencang yang kau inginkan, tidak akan ada yang melarang. Aku jamin." Badra melepas tangannya dari pundakku seolah memberi kesempatan untuk melakukan apa yang dikatakannya.

Aku melangkah. Tepat di depanku jurang curam menanti. Hamparan hijau pohon di bawah sana seakan menyaksikanku. Kuberteriak sekuat tenaga melepas semua bebanku. Hanya gema yang menjawabnya.

-kali aku berteriak, berkali-kali pula gema menyahut. Aku meras lega, meski tidak dengan bercerita, setidaknya bebanku bisa berkurang setelah berteriak tidak jelas.

"Bagaimana?" tanya Badra berdiri di sebelahku.

"Sudah baikan, setidaknya aku lebih tenang."

"Baguslah. Mau makan sesuatu?"

"Sesuatu? Jangan yang aneh-aneh. Aku tidak suka," peringatku.

"Tidak akan. Ayo ikut aku," Badra kembali menyeretku. Kami kembali melewati jalan yang berliku dan batu besar.

Kami berhenti di sebuah gubuk dengan atap alang-alang. Banyak orang duduk santai di depan meja dengan caratan di atasnya.

"Ini dimana?"

"Ini warung Mbok Wayan, di pinggir hutan. Kau harus mencoba makanan disini."

Badra menarik tanganku ke sebuah meja kayu yang memanjang.

"Tunggu disini!" ujar Badra sebelum pergi.

Aku pandangi orang-orang di sekitar. Mereka orang asing, bisa kulihat dari wajah mereka, dan cara bicaranya.Dari kejauhan Badra datang dengan nampan kayu. Berbagai makanan aneh tersaji di atas nampan yang dialasi daun pisang.

"Apa ini?" Tanyaku penasaran saat Badra meletakkan nampan itu di atas meja.

"Ini belut goreng, nasi, kodok, sayur rembung, dan ayam" ujarnya dengan menunjuk makanan itu satu-satu.

"Apa ini enak?" Aku menelan liur. Bagaimana bisa aku menelan makanan ini.

"Kau harus mencobanya. Hanya di warung ini yang menyediakan nasi. Kau lihat orang-orang itu? Mereka adalah orang luar yang membawa barang dagang ke wilayah panarajon."

Badra memasukan satu potong daging kodok ke dalam mulutnya.

"Mereka akan beristirahat di tempat ini sampai mereka berangkat kembali," lanjutnya.

"Apa di sini ada tempat menginap?"

"Tentu ada, di belakang. Sangat luas."

Kudekatkan mangkuk sayur itu ke hadapanku. Aroma sayur rebung begitu menggoda. Uap panasnya masih mengepul, kutiup kuah itu agar lebih dingin sebelum menyeruputnya.

Rasa panas menjalari kerongkonganku, berbeda dengan rebung yang Bi Dayu buat. Bumbu rempahnya begitu terasa, tidak heran banyak yang menyukai makanan di tempat ini. Badra menyodorkan daging kodok padaku. Aku menerimanya, kucicipi sedikit daging itu.

Pantaslah Asih suka, rasanya seperti daging ayam, benar-benar enak.

"Bukankah makanan seperti ini mahal? Bagaimana kau membayarnya?"

Badra menghentikan makannya. Dia menatapku.

"Tenang, aku baru mendapat upah," ujarnya memamerkan sekantong uang kepeng. "Makan saja, aku yang bayar."

Badra makan dengam lahap, sepertinya dia benar-benar kelaparan.  Seorang pelayan datang membawa caratan yang sama seperti meja lain.

"Apa ini?" tanyaku setelah pelayan itu meletakkan caratan di atas meja.

"Ini arak, Nona," ujarnya.

"Tolong ganti dengan air biasa." Kuletakkan kembali caratan itu di atas nampannya. Pelayan itu pun pergi.

"Sang Wei, itu arak terbaik. Kenapa kau kembalikan?" tanya Badra. 

"Aku tidak ingin mencium bau arak!" balasku.

"Baiklah, hari ini tidak ada arak untukku," ucapnya lesu.

Pelayan itu kembali membawa caratan. Kuambil caratan itu dan menuangkannya ke cawan. Kuberikan untuk Badra. Diteguk habis air itu. Suara kuda terdengar dari kejauhan. Sepertinya ada pedagang yang datang untuk mencari tempat penginapan. Gedebeg yang di tarik kuda itu berhenti di depan warung. Seorang pria dan wanita muda turun dari gedebeg, berjalan ke arah warung. Kuyakin mereka keturunan Cina, sama seperti ayah.

"Bagaimana Subandar apa raja mengizinkannya?" ujar seorang pria berjenggot panjang.

"Belum, sepertinya akan sulit berdagang di Sukawana," sahut pria yang bernama Subandar itu ketika duduk di kursi kayu. Wanita cantik di belakangnya pun mengikuti.

"Badra, mereka siapa?" Badra menengok ke arah pandangku.

"Aku dengar pria itu adalah seorang Saudagar yang kaya raya. Mereka berasal dari Cina," jelas Badra.

Aku mengangguk. Aku tidak mengindahkan lagi percakapan mereka. Kulanjutkan menyantap makananku, sesekali pandanganku menjalar ke setiap sudut warung. Kupandangi lautan orang yang memenuhi warung ini, semakin malam warung ini semakin ramai.

Aku tersentak, saat mendengar garengpung berbunyi. Serangga yang bersuara nyaring itu menandakan hari sudah sore. Aku bergegas kembali ke istana, perjalanan dari warung cukup jauh jika berjalan kaki.

"Kau mau kemana, Sang Wei?"

"Aku harus kembali ke istana, perjalanan sangat jauh, aku tidak ingin pulang larut."

"Tunggu sebentar, aku akan menyewa kuda," ujar Badra.

Badra berjalan ke arah pria bernama Subandar itu, suara bising di warung membuat telingaku tidak begitu jelas mendengar percakapan mereka. Kulihat Badra memberikan sekantong uang yang ia punya. Kemudian dia menghampiriku.

"Ayo kita pergi, sebelum hari semakin petang." Ditariknya tanganku naik ke atas gedebeg. Badra melajukan gedebeg dengan cepat. Bodohnya aku sampai lupa waktu. 

Gedebeg itu bergerak dengan cepat, aku hanya bisa berpegangan erat. Semoga pangeran tidak mencariku.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro