99 - Nurutin Bumil
Usia kandungan Melisa memasuki bulan ketujuh. Waktu yang cocok untuk beli perlengkapan bayi. Ini bukan menuruti mitos, sih. Menurut Melisa, memang harusnya beli-beli keperluan bayi itu di saat menjelang kelahiran saja, supaya nanti tidak kelamaan disimpan. Kalau di awal kehamilan, takutnya setelah lahir nanti malah tidak cocok. Apalagi, Melisa mengandung bayi kembar, menurut perkiraan dokter, bobot bayinya akan berbeda.
Beruntung Candra sedang di rumah. Ini saat yang tepat untuk menyeret laki-laki itu ke pusat perbelanjaan. Setelah makan, Melisa sangat bersemangat menulis daftar barang yang harus dibeli di ponselnya.
"Baju bayi nggak usah beli, Mas. Soalnya punya Xania masih banyak dan masih layak pakai. Nanti minta tolong Mbak Ambar buat cuci semuanya. Yang mesti ditambah itu kain bedong sama perlak. Punya Xania udah rusak, tuh. Terus kita harus beli sarung tangan, kaus kaki, topi, jaket, sama selimut. Oh, iya, botol susu juga. Beli yang baru jangan pakai bekas Xania."
"Kan, itu bisa beli online, Sayang. Nggak harus beli di luar."
Melisa menurunkan ponselnya usai mendengar suara Candra. "Ya, nggak bisa, Mas. Kalau online aku nggak bisa memastikan bahannya aman buat anak kita."
Mendapat tatapan tajam serta ucapan dari istrinya, Candra diam tak berkutik. "Ya udah, aku nurut."
Mendengar itu, Melisa tersenyum manis, kemudian melanjutkan catatannya. "Nah, habis itu kita beli stroller buat anak kembar, Mas. Bak mandi kayaknya perlu beli juga. Pokoknya yang di rumah ada satu, kita tambah aja biar nanti nggak repot."
"Gimana kalau aku aja yang belanja, Sayang? Kamu di rumah tinggal tunggu beres." Candra memberi usul. Maksudnya supaya Melisa tidak kelelahan belanja, tetapi sayangnya justru mendapatkan tatapan tajam dari istrinya.
"Aku mau ikut, Mas. Kalau Mas yang belanja, nanti di luar perkiraan budget. Kayak waktu itu aku pernah minta tolong beliin lotion Xania yang 500 mili. Disuruh beli satu, malah beli sepuluh. Itu habisnya kapan coba? Keburu kedaluwarsa. Udah, pokoknya aku harus ikut!"
Kalau sudah begini, Candra tidak bisa mengelak lagi. Memang harusnya dia menurut saja dengan istrinya.
Dirasa sudah lengkap daftar belanjanya, Melisa beranjak mengganti pakaian. Kini dia mengenakan dres panjang berwarna biru muda. Rambutnya diikat ke belakang dan sedikit merias wajahnya.
Sayangnya Xania tidak bisa ikut lantaran sedang tidur siang. Melisa hanya pergi berdua dengan Candra. Namun, sebelum pergi, mereka bertemu Sarina di ruang tamu.
"Mau ke mana kalian?" tanya Sarina.
"Mau belanja buat bayi." Melisa yang menjawab. Masih setia menggandeng lengan Candra.
"Lho, emangnya bekas anak pertama udah nggak ada, to?"
"Ya, masih ada, tapi beda, lah, Bu. Masa anak cowok pake baju anak cewek. Kasian anak aku, masa pakai bekas kakaknya."
"Emangnya kenapa? Wong masih bayi, belum ngerti. Lagian, kalau beli baru lagi, itu namanya boros. Kamu itu senengnya buang-buang duit aja!"
Melisa terbelalak. Apa katanya? Yang sering boros dan buang-buang uang itu Candra. Coba lihat saja lemari pakaian Xania sekarang. Sebagian isinya sudah Melisa berikan ke orang yang lebih membutuhkan sebelum pindah ke Jakarta, sisanya masih bingung mau ditaruh di mana. Belum lagi setiap kali pulang terbang selalu bawa barang banyak.
Melisa sudah sangat berusaha menjadi istri yang baik dengan mengirit pengeluaran. Ya, meskipun berakhir dapat omelan Candra karena laki-laki itu masih mampu.
"Enak aja Ibu kalau ngomong! Aku itu udah berusaha—" Ucapan Melisa terputus lantaran Candra membekap mulutnya dengan telapak tangan.
"Kita pergi dulu, ya, Bu. Nanti aku beliin bunga anggrek yang Ibu minta."
Tentu saja Sarina tidak terima. "Lho, lho, lho, ibu sama Melisa belum selesai ngomong!"
Candra langsung menyeret istrinya keluar, membantu Melisa masuk ke mobil.
"Mas, kenapa aku sama Ibu malah dipisahin?" Melisa kesal setengah mati. Padahal, dia ingin membela diri. Enak saja dibilang boros.
Candra sudah menghidupkan mesin mobilnya dan mulai memutar setir. "Kalau nggak dipisahin nanti nggak jadi belanja, kamu marah-marah lagi."
Melisa mencebik meskipun yang dikatakan suaminya itu benar. Dia sedang berusaha membangun hubungan yang baik dengan Sarina. Kalau bertengkar terus, bagaimana mau damai?
Sekitar 20 menit kemudian, mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Melisa menggandeng tangan Candra memasuki tempat itu. Mereka langsung melangkah menuju toko yang menyediakan peralatan bayi. Hal pertama yang Melisa lakukan adalah memilih botol susu dan gelas kecil untuk si kembar. Melisa juga membelikan sippy cup dan piring makan untuk Xania.
"Mas, ini kayaknya lucu buat Xania! Beli, ya, Mas?" Melisa mengambil botol minum dengan tutup berbentuk kepala kucing.
"Kok, malah jadi buat Xania—"
"Ya udah, Mas, dibeli aja! Nanti yang di rumah dibuang aja. Lagian, udah lama dipakainya, kan?" Melisa memotong ucapan suaminya.
Candra menutup mulutnya. Sekarang siapa yang kalap belanja? Padahal, di daftar belanja tadi tidak ada barang untuk Xania. Tidak masalah sebenarnya. Uangnya masih cukup untuk sekadar beli botol minum. Lagi pula, Xania juga harus dibelikan barang baru sebagai apresiasi karena sebentar lagi jadi kakak.
Mata Melisa kembali berbinar melihat piring makan silikon lengkap dengan sendok dan penutup dadanya. "Kita beli tiga, ya, Mas. Nanti Xania samaan sama adik-adiknya."
"Kan, adiknya Xania masih lama makannya. Terus pas adiknya udah waktunya makan, Xania nggak mungkin mau pakai piring itu lagi. Dia udah pinter milih."
"Iya juga, ya. Ya udah, beli dua aja buat adik."
Usai memasukkan dua barang itu ke troli yang sejak tadi didorong Candra, Melisa melangkah lagi. Kali ini berhenti di bagian peralatan tidur dan stroller bayi. Melisa mulai membeli dua set perlengkapan tidur bayi, juga memilih baby crib yang muat untuk bayi kembar.
"Menurut Mas mendingan warna terang atau gelap?" Melisa meminta pendapat suaminya.
"Yang gelap aja biar kontras sama warna dindingnya."
"Oke. Kalau stroller-nya mendingan warna merah atau biru, Mas?"
"Merah aja."
"Oke."
Akhirnya Melisa membeli baby crib berwarna hitam dan stroller berwarna merah. Karena tidak mungkin dibawa langsung, Melisa meminta jasa antar sampai rumah. Biar nanti Candra yang merakit kalau sudah tiba di rumah.
"Kita istirahat dulu, ya, Sayang. Kamu, kan, dari tadi jalan-jalan," kata Candra.
"Nggak usah, Mas. Aku masih kuat, kok."
Candra hendak berkata lagi, tetapi Melisa malah sudah beranjak menuju bagian pakaian bayi. Perempuan itu mulai memilih baju dan popok bayi. Di tempat ini, menyediakan pakaian dalam bentuk, motif, dan warna yang menarik. Melisa sampai kalap membeli. Ini baru baju, belum kain bedong dan sarung tangan kakinya.
"Sayang, ini kayaknya udah cukup. Kamu istirahat dulu, ya. Dari tadi kamu udah jalan terus." Candra kembali membujuk istrinya. Jujur dengan perut Melisa yang besar, terus belum istirahat sama sekali sejak datang, Candra jadi takut istrinya kelelahan.
"Belum, Mas. Ini kita belum pilih kain bedong sama selimutnya."
"Ya itu kita bisa beli besok atau bisa lewat online."
"Mas, aku—" Belum selesai ucapannya, Melisa merasakan kaku pada bagian perutnya. Seketika perempuan itu membungkuk.
Melihat Melisa seperti itu, tentu saja Candra panik. "Mel, kamu kenapa?"
"Kayaknya aku perlu duduk dulu, Mas. Perut aku sakit."
"Kan, aku bilang juga apa. Kamu itu istirahat dulu. Dari tadi aku udah bilangin kamu. Sekarang kalau begini, siapa yang sakit?"
Melisa menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. "Istri lagi sakit gini kenapa diomelin, sih, Mas?"
Candra mengembuskan napas. Tidak mau amarah menguasai, dia pun akhirnya beranjak mencari kursi untuk Melisa. Begitu sudah dapat, Candra menyuruh istrinya menepi dan duduk di kursi itu.
Tidak ada yang bersuara setelah itu. Melisa mulai sibuk mengatur napas sembari mengelus perutnya, sementara Candra tidak melakukan apa pun. Laki-laki itu hanya berdiri sambil memegang troli berisi belanjaan.
"Masih sakit?" Akhirnya Candra yang bersuara lebih dulu.
Melisa menggeleng. "Udah agak lega, Mas."
"Kita pulang, ya? Udahan dulu belanjanya. Besok ke sini lagi atau beli online."
"Iya, Mas. Aku minta maaf, ya." Melisa meraih tangan suaminya untuk dicium. Bagaimanapun dia salah karena tidak mau mendengarkan Candra.
Candra menunduk untuk mengecup kepala istrinya. "Nggak apa-apa. Aku juga minta maaf udah marahin."
Mendengar itu, Melisa tersenyum. "Aku laper, Mas. Sebelum pulang boleh mampir beli gado-gado dulu nggak?"
"Boleh. Habis ini kita cari gado-gadonya."
"Tapi, aku mau makan langsung di sana, Mas. Nggak mau bawa pulang. Boleh, ya, boleh, dong." Melisa mengedipkan mata. Berusaha merayu suaminya. Entah kenapa dirinya masih merasakan yang namanya ngidam. Padahal waktu Xania hanya sebentar.
"Oke. Kita makan di sana."
Melisa tersenyum penuh kemenangan. Candra tidak akan mungkin bisa menolak kalau menyangkut bayinya.
Usai membayar, mereka kemudian beranjak mencari warung gado-gado. Sekitar dua puluh menit mencari, akhirnya Candra menemukan warung gado-gado yang buka dan masih tampak sepi.
Mobil menepi. Setelahnya, Candra membantu Melisa membuka pintu dan melangkah memasuki tempat itu. Candra juga yang memesan dua porsi gado-gado. Dia tidak mengizinkan Melisa berdiri lagi.
Sepiring gado-gado tanpa lontong tersaji di hadapan Melisa. Perempuan itu langsung menyantap makanan itu.
"Makasih, ya, Mas. Aku seneng makan ini," kata Melisa setelah menelan hasil kunyahannya.
"Sama-sama. Habis ini kita pulang, ya."
"Iya, Mas."
Saat Candra hendak melanjutkan makannya, terdengar bunyi ponsel di dalam saku celananya. Benda itu segera dikeluarkan. Rupanya ada telepon dari Sarina.
Melisa memanjangkan leher sehingga bisa melihat dengan jelas nama yang tertera di layar ponsel suaminya. "Ibu, ya?"
"Iya, Sayang."
Ketika Candra ingin menerima telepon itu, Melisa justru merebut ponselnya dan menggeser ikon telepon warna hijau. "Ngapain Ibu telepon suamiku?"
Setelah Melisa berkata seperti itu, terdengar suara menggelegar dari Sarina. "Suamimu itu anakku. Kenapa kamu yang angkat teleponnya?"
"Sama aja, lah, Bu. Udah, Ibu mau ngomong apa?"
"Cepet pulang! Xania nangis nyariin kamu."
"Ya, Ibu tenangin dulu."
"Lho, ibu nggak bisa gendong!"
"Siapa yang minta Ibu gendong? Ditenangin, kan, nggak harus digendong. Nanti sama Mbak Ambar juga diem. Udah, jangan ganggu aku sama Mas Candra."
Sebelum Sarina berkata, Melisa mematikan teleponnya lebih dulu. Dia yakin di rumah pasti Sarina mulai marah-marah tidak jelas.
"Makan yang cepet, ya, Mas. Katanya Xania nangis. Kita harus pulang sekarang."
Tinggal satu bab lagi 🥺🥺🥺
Siapa yang udah follow aku buat nggak ketinggalan baca ceritanya Mas Ahsan dan baca season 3?
Btw, untuk ceritanya Mas Ahsan, aku udah posting hidden partnya di KK. Yang mau baca bisa ke sini: https://karyakarsa.com/pesulapcinta/pelerai-demam-hidden-part-1-2
Cara menyatukan Mas Ahsan ke Mbak Inayah udah dapet nih, tapi masih bingung gimana deketin ke Tiara 😭😭😭 karena kalau kalian baca hidden part itu pasti bakal ngerti Tiara bakal sulit didekati. Ada yang punya saran?
Gini amat punya duda 🤣🤧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro